FB

FB


Ads

Jumat, 26 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 163

Melihat keadaan berbalik untuk keuntungan fihaknya, Lin Lin segera teringat kepada Hek-giam-lo yang masih bertanding melawan pengeroyokan Gan-lopek dan Bok Liong. Hampir gadis ini menjerit ketika memandang ke arah pertempuran itu.

Terjadi perubahan hebat dan pertandingan itu kini menjadi pergulatan mati-matian. Kiranya dengan gerakan yang hebat bukan main Hek-giam-lo yang cerdik itu telah mendesak Bok Liong, berniat merobohkan dulu lawan yang lebih lemah ini agar ia dapat memusatkan kepandaian dan tenaganya untuk mengalahkan Gan-lopek.

Pada saat Bok Liong menangkis sebuah sambaran maut sabit, pedang pemuda yang bersinar kuning itu bertemu sabit dan.... terus menempel lekat tak dapat ditarik kembali. Bok Liong merasa tiba-tiba lengannya panas dan kejang. Terpaksa ia hendak melepaskan gagang pedangnya, namun alangkah kagetnya ketika ia mendapatkan kenyataan bahwa hal ini pun tidak mungkin.

Telapak tangannya seakan-akan sudah lekat pula dengan gagang pedangnya, seakan-akan gagang pedang itu sudah “berakar” ke dalam tangannya. Rasa panas dan sakit makin menghebat sehingga pemuda itu mengeluh.

Melihat ini, Gan-lopek kaget sekali. Ia maklum bahwa iblis hitam itu lihai bukan main, memiliki hawa sakti yang telah dilatih dengan racun sehingga setiap serangannya kalau mengenai sasaran merupakan tangan maut. Ia maklum bahwa muridnya terancam bahaya maut dan terlambat sedikit saja usaha pertolongan, tentu takkan tertolong lagi.

Oleh karena itu, sejenak ia melupakan Hek-giam-lo dan cepat ia memindahkan mouw-pit putih ke tangan kanan, tangan kirinya yang kosong memegang pangkal lengan muridnya sambil mengerahkan sin-kang untuk melawan penyaluran hawa serangan Hek-giam-lo, sedangkan tangan kanan yang memegang sepasang pena bulu itu ia hantamkan ke arah sabit.

“Cringgggg.... Plakkk....!”

Peristiwa itu terjadi hanya beberapa detik saja. Dengan bantuan tenaga sin-kang suhunya, Bok Liong berhasil melepaskan gagang pedangnya dan terlepas dari bahaya maut. Adapun hantaman sepasang pena bulu itu tepat mengenai sabit, demikian hebatnya sehingga baik sepasang pena bulu maupun senjata sabit itu patah-patah.

Akan tetapi agaknya Hek-giam-lo yang cerdik menggunakan saat yang tepat itu untuk menggerakkan tangan kirinya, mengerahkan tenaga yang mengandung penuh Hek-in-tok (Racun Uap Hitam) memukul punggung Gan-lopek dengan telapak tangan. Pada saat tepukan itu mengenai punggung, dari dalam lengan bajunya yang kiri melayang sebatang hui-to (pisau terbang) yang menancap sampai ke gagangnya di punggung Gan-lopek pula!

Gan-lopek kelihatan terkejut, terhuyung dan memandang Hek-giam-lo, lalu tertawa bergelak dan roboh terguling!

“Iblis keparat!”

Lin Lin menerjang maju, menyesal mengapa tidak sejak tadi ia turun tangan. Adapun Bok Liong yang menyaksikan gurunya roboh, cepat memungut pedangnya dan menerjang lagi dengan nekat.

Biarpun ia telah berhasil merobohkan Gan-lopek, Hek-giam-lo harus menebusnya dengan mahal. Ia menderita luka dalam yang hebat, kini ia harus mengerahkan tenaga sin-kang dari dalam tubuhnya yang membutuhkan pengerahan sekuatnya, maka luka di dalam dadanya menjadi menghebat, membuat ia merasa darah naik ke dalam kerongkongannya dan tak tertahankan lagi ia muntah darah.

Pada saat itu, Lin Lin datang menerjangnya. Karena Hek-giam-lo sudah bertangan kosong, cepat ia menggerakkan lengan kiri. Belasan batang hui-to atau pisau terbang menyambar ke depan, sebagian besar ke arah Lin Lin dan beberapa buah ke arah Bok Liong. Namun semua dapat dipukul runtuh oleh kedua orang muda itu.

Sinar kuning bergulung-gulung menyambarnya. Hek-giam-lo yang sudah lemah dan berkunang-kunang matanya itu mengangkat lengan kanan menangkis.

“Crakkk!”

Putuslah lengan itu dan darah menyembur dari pangkal lengan yang putus. Lin Lin mendesak terus. Kembali Hek-giam-lo menangkis dengan tangan kiri, dan sekali lagi putuslah lengan kirinya. Ia mendengus-dengus aneh, akan tetapi tak seorang pun tahu apa yang ia ucapkan karena pada saat itu gulungan sinar pedang kuning emas sudah membabatnya dan robohlah Hek-giam-lo dengan dua tusukan di dadanya dan sebuah babatan pada lehernya membuat leher itu hampir putus pula!






Para perajurit yang dipimpin Pek-bin-ciangkun bersorak gembira. Adapun para perajurit yang menjadi anak buah Hek-giam-lo menjadi kecil hati dan melawan sambil mundur. Saat itulah dipergunakan Pek-bin-ciangkun untuk berseru lantang.

“Orang-orang gagah bangsa Khitan, dengarlah baik-baik! Yang mampus itu, Hek-giam-lo si iblis kejam adalah pengkhianat yang puluhan tahun kita benci dan kita cari-cari, kita sangka sudah binasa. Dia adalah Bayisan! Bersama Kubakan, dia membunuh sri baginda tua Kulukan dan merampas kedudukan sebagai raja. Kalau kalian membelanya berarti kalian membela pengkhianat bangsa. Sudah semestinya kita membantu Puteri Mahkota Yalina untuk menumbangkan kekuasaan jahat membangun Kerajaan Khitan yang kuat dan besar, seperti dahulu!”

Ucapan yang nyaring ini ternyata besar sekali pengaruhnya. Banyak di antara para pasukan itu yang segera membuang senjata dan menggabungkan diri. Memang ada yang masih setia kepada Raja Kubakan, namun kekuatan mereka tidak ada artinya lagi dan pertempuran dilanjutkan dalam keadaan berat sebelah.

Lin Lin untuk sejenak tidak mempedulikan semua itu. Bersama Bok Liong ia berlutut di dekat tubuh Gan-lopek yang sudah payah. Muka kakek ini perlahan-lahan sudah berubah kehitaman, akan tetapi kakek sakti ini masih dapat tersenyum-senyum.

Bok Liong pendekar muda yang gagah itu kali ini tak dapat menahan diri menangisi gurunya karena ia maklum bahwa tak mungkin suhunya tertolong lagi. Dengan lengan kiri menyangga leher suhunya, ia hanya dapat berbisik-bisik menyebut nama suhunya dengan putus harapan.

“Eh, mengapa kau menangis, muridku? Apa kau kira kelak kau sendiri takkan mati juga? Kalau kau menangisi orang mati, berarti kau menangisi dirimu sendiri. Eh, Lin Lin bocah nakal! Kau benar-benar tidak percuma hidup, sudah banyak menimbulkan geger. Sebelum aku mati, kau bilanglah dulu secara jujur, apakah kau suka dan sayang kepada muridku Bok Liong ini?”

Lin Lin juga berlinang air mata. Mendengar pertanyaan ini, tanpa ragu-ragu ia menjawab,

“Tentu saja aku sayang dan suka kepada Liong-twako!”

“Ha-ha-ha! Nah, apa kataku, Bok Liong? Dia suka padamu!”

Gan-lopek terbatuk-batuk karena ketika tertawa tadi dadanya terasa sesak sekali, kemudian ia menggigit bibir menahan rasa nyeri yang secara mendadak terasa di seluruh tubuhnya. Tadi ia dapat menahan rasa nyeri karena ia mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi setelah bicara, ia lupa akan ini dan serentak pengaruh racun membuat ia kesakitan.

“Tapi.... tapi....”

Bok Liong kebingungan, sebagian karena kata-kata itu, sebagian pula karena melihat keadaan suhunya.

“Heh....” Gan-lopek menghela napas. “Kau masih penasaran? Lin.... Lin.... jawab lagi...., apakah.... apakah kau.... suka menjadi.... isteri muridku ini....?” Gan-lopek tak dapat bicara dengan baik lagi, sudah tersendat-sendat dan sukar.

Bukan main kagetnya hati Lin Lin mendengar pertanyaan ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa kakek ini akan bertanya tentang perjodohan. Tentu Bok Liong sudah bercerita kepada gurunya tentang penolakannya. Sebetulnya ia merasa tidak tega terhadap Gan-lopek yang sudah mendekati kematiannya ini, tidak tega mengecewakan hatinya.

Akan tetapi, tidak mungkin ia dapat berbohong dalam menjawab tentang perjodohan, apalagi Bok Liong sendiri berada disitu. Pemuda itu menundukkan mukanya yang pucat seperti orang terdakwa menanti dijatuhkannya keputusan hukuman. Ia harus berterus terang sehingga urusan yang tidak menyenangkan ini segera selesai.

“Tidak, Empek Gan, aku tidak suka menjadi isterinya karena kuanggap Liong-twako seperti kakakku sendiri.”

Bok Liong tidak heran mendengar ini, akan tetapi sepasang mata Gan-lopek yang tadinya sudah meram itu mendadak terbuka lagi dan memandang dengan melotot lebar.

“Apa....? Kau.... kau tidak mau....? Kau nakal.... sebelum aku mati.... hayo bilang laki-laki mana yang kau harapkan menjadi suamimu....?”

Sambil menundukkan mukanya Lin Lin menjawab, perlahan akan tetapi cukup jelas untuk Gan-lopek, bahkan merupakan halilintar menyambar ke dalam telinga Bok Liong,

“Suling Emas....!”

“Suhu.... Suhu....!”

Bok Liong tiba-tiba memeluk gurunya yang sudah putus napasnya dengan mata masih terbelalak lebar. Lin Lin menahan isaknya, hatinya terharu dan penuh iba. Akan tetapi apakah yang dapat ia lakukan?

“Liong-twako, dia sudah meninggal, biar kusuruh atur pemakamannya....” katanya perlahan.

Akan tetapi Bok Liong menggeleng-geleng kepala, membungkuk dan memondong jenazah gurunya, bangkit berdiri, memandang sejenak kepada Lin Lin dengan air mata bercucuran, kemudian ia membalikkan tubuh dan melangkah pergi.

Gadis itu pun memandang dengan air mata berlinang akan tetapi ia menguatkan hati dan tidak menahan karena maklum bahwa inilah yang terbaik. Ia merasa kasihan sekali kepada Bok Liong dan berjanji dalam hatinya bahwa selamanya ia akan menganggap Bok Liong sebagai kakaknya sendiri. Ia hanya mengharapkan mudah-mudahan kelak akan tiba saat dan kesempatan baginya untuk membalas budi kebaikan Bok Liong terhadap dirinya.

Sementara itu pertempuran sudah selesai. Sebagian besar pasukan istana menyerah dan takluk, sebagian pula melarikan diri. Lin Lin segera mengumpulkan pasukannya, kemudian memerintahkan kepada Pek-bin-ciangkun untuk melakukan penyerbuan ke istana.

“Kalau Paman tiriku mau menyerah dengan baik-baik, jangan ganggu dia. Aku akan memberi kesempatan kepadanya untuk memilih, pergi dari Khitan atau menjadi seorang tahanan selamanya dengan perlakuan baik. Akan tetapi kalau dia melawan, kita gempur!”

Dengan sorak gemuruh pasukan pendukung Lin Lin berangkat menuju istana dan di sepanjang jalan, pasukan ini bertambah besar jumlahnya karena pasukan lain yang mendengar tentang pemberontakan ini dan tentang tewasnya Hek-giam-lo yang ternyata adalah pengkhianat Bayisan, ikut bergabung. Apalagi pasukan di bawah perwira-perwira tua yang mengenal Bayisan, tentu saja bersimpati kepada Puteri Yalina, anak dari Puteri Tayami yang mereka kagumi.

Tidak ada perlawanan berarti di sepanjang jalan. Baru setelah pasukan tiba di depan istana, dari halaman istana para pasukan pengawal mengadakan perlawanan. Segera terjadi pertempuran hebat, namun tidak lama pula jalannya pertempuran karena hanya beberapa orang saja fihak musuh yang melakukan perlawanan sungguh-sungguh, yaitu mereka yang masin terhitung keluarga raja sendiri. Adapun para perwira lain juga hanya setengah hati saja melakukan perlawanan.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa menyeramkan dan barisan depan menjadi kacau. Barisan tengah mendesak ke belakang dan kelihatan beberapa orang perajurit dengan muka pucat melarikan diri.

“Ada setan....!” terdengar teriakan. “Iblis sendiri membantu sri baginda, kita celaka!” disusul teriakan lain.

Lin Lin kaget sekali. Selagi ia hendak berlari ke depan, tiba-tiba ia terhenti dan terbelalak memandang ke depan, Kayabu datang sambil memondong tubuh ayahnya. Pek-bin-ciangkun telah terluka hebat sekali. Dari mata, hidung, mulut, telinga keluar darah segar!

“Ahhh, siapa melukainya?” teriak Lin Lin terkejut.

“Tuan Puteri, kita terjebak!” kata Kayabu gelisah. “Sri baginda mendatangkan bala bantuan dua orang iblis yang luar biasa sekali kepandaiannya. Dari jauh mereka memukul-mukul dan barisan kita kocar-kacir. Ayah sendiri terkena pukulan jarak jauh dan beginilah akibatnya.”

Dengan pedang di tangan Lin Lin berseru keras dan tubuhnya sudah berkelebat lenyap karena secepat kilat ia sudah berlari ke depan. Ia melihat barisannya sudah mundur ketakutan sehingga halaman istana itu kosong kembali, kecuali barisan pengawal yang berjaga di kiri, sedangkan di tengah terbuka tidak terjaga.

Ketika Lin Lin berlari dekat, ia melihat bahwa di bagian tengah ini berdiri dua orang kakek. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mengenal mereka. Bukan lain mereka ini adalah Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, dua orang kakek sakti yang belum lama ini juga telah mendatangkan geger di puncak Thai-san!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar