FB

FB


Ads

Minggu, 21 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 150

“Locianpwe.... tolonglah....! Selamatkan dia!”

Suara setengah menangis ini membangunkan Suling Emas daripada samadhinya. Ia membuka mata dan bangkit berdiri. Kim-sim Yok-ong sedang sibuk mencari daun-daun dan akar-akar obat di sebelah belakang, maka agaknya tidak mendengar suara orang di depan pondok itu.

Suling Emas melangkah keluar pintu pondok dan melihat seorang pemuda kurus pucat berlutut di depan pintu pondok sambil menangis. Karena memang Suling Emas mengintai dari tempat jauh ketika pemuda ini untuk pertama kali datang ke pondok, maka ia mengenal bahwa pemuda ini adalah tunangan Tan Lian, pelajar yang bernama Thio San itu.

“Apakah yang terjadi? Ceritakan!”

Suling Emas bertanya, di dalam hatinya ia merasa amat tidak enak dan kasihan karena ia merasa dirinya menjadi “gara-gara” kesengsaraan hati pemuda ini.

Thio San, pemuda itu mengangkat muka dan ia agak bingung melihat seorang laki-laki gagah yang tak dikenalnya. Ia mengharapkan pertolongan tabib sakti, bukan orang muda ini.

“Jangan ragu-ragu, sahabat. Aku tahu bahwa kau adalah tunangan Nona Tan Lian. Saudara Thio San, apakah yang terjadi? Aku adalah sahabat baik tunanganmu itu, ceritakanlah apa yang terjadi, aku akan menolongmu.”

Pada saat itu, Kim-sim Yok-ong berjalan mendatangi dari belakang. Melihat kakek itu muncul, Thio San menangis lagi dan berkata,

“Locianpwe, tolonglah dia! Dia.... dia hendak menjadi nikouw, hendak menggunting rambutnya, dan hendak bunuh diri! Saya tidak kuasa menahannya....!”

Mendengar ini, Suling Emas cepat menyambar tangan pemuda itu dan menariknya pergi.

“Cepat, antarkan aku kepadanya!”

Jantung Suling Emas berdebar-debar tegang, dan ia merasa khawatir sekali. Sedikit pun tak pernah ia menyangka bahwa hati Tan Lian akan sekeras itu, tak mengira bahwa gadis itu akan menempuh jalan nekat. Sambil berjalan setengah berlari biasa, tak berani ia berlari cepat, pikiran Suling Emas membayangkan keadaan Tan Lian.

Mula-mula gadis itu bersumpah hendak membalaskan dendam ayahnya, kemudian gadis itu kecewa karena tidak mampu mengalahkannya, bahkan lebih celaka lagi, gadis itu jatuh cinta kepadanya. Kemudian, di depan makam ayahnya, Tan Lian bersumpah hendak memusuhi anak isteri Suling Emas, kemudian melihat kenyataan bahwa Suling Emas tidak beristeri, lalu timbul kembali cinta kasihnya dan berhasrat menghabiskan permusuhan dengan perjodohan. Akan tetapi kembali harapan ini buyar ketika Suling Emas dengan terus terang menyatakan tak dapat menerimanya.

Ia dapat membayangkan betapa hancur hati gadis itu. Kecewa, menyesal, malu, merasa terhina dan gadis yang tadinya merupakan seorang pendekar wanita, keturunan pendekar besar mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, anak berbakti, kini telah mengambil keputusan nekat untuk menjadi nikouw, bahkan hendak membunuh diri.

Dan semua ini dialah yang menjadi gara-garanya. Kalau Tan Lian berhasil membunuhnya, atau kalau dia mau menerimanya sebagai isterinya, tentu takkan terjadi hal-hal ini. Akan tetapi itu bukanlah merupakan jalan keluar yang baik. Apalagi menerima gadis itu menjadi isterinya. Bukankah itu berarti merebut hak orang lain? Dan dia pun tidak ada rasa kasih terhadap Tan Lian! Sayang, seorang gadis yang baik, seorang anak yang berbakti!

Berbakti! Kata-kata ini mendatangkan ilham bagi Suling Emas. Inilah agaknya senjata yang dapat ia pergunakan untuk memecahkan persoalan Tan Lian ini.

“Mari cepat, dimana dia?”

“Di depan itu, di balik gunung-gunungan batu, di tepi jurang!”

Kata Thio San, suaranya gemetar penuh kegelisahan. Dia ini calon suami yang amat baik, pikir Suling Emas. Dengan hati penuh cinta kasih murni, pemuda ini akan dapat mendatangkan bahagia di hati Tan Lian.






Benar saja, ketika mereka memutari gunung-gunungan batu, tampaklah Tan Lian duduk menangis, berlindung dari teriknya matahari di bawah batu yang menonjol, jurang curam yang luas terbentang tak jauh di depan.

“Lian-moi....” Thio San berseru dengan isak tertahan.

Tan Lian mengangkat mukanya dan ia meloncat karena kaget melihat Suling Emas datang bersama tunangannya. Adapun Suling Emas berdiri seperti patung, hatinya serasa tertusuk melihat gadis itu. Muka gadis itu pucat sekali, kedua pipinya basah air mata, matanya kemerahan dan kepalanya gundul plontos. Rambut yang tadinya gemuk hitam dan panjang, yang ia lihat diurai ketika gadis itu bersumpah di depan makam ayahnya, kini lenyap sama sekali. Wajah itu tetap cantik, dan kegundulan kepalanya sama sekali tidak mengakibatkan lucu, melainkan mendatangkan rasa iba.

“Kau.... kau bawa dia datang bersamamu? Kau.... kalian terlalu menghinaku! Apa gunanya hidup lagi?” Gadis itu lalu berlari cepat menuju ke tepi jurang, siap hendak meloncat.

“He, tunggu dulu, Nona! Dengar dulu omonganku....!”

Suling Emas berlari maju dan Thio San juga lari mengejar dengan kedua lengan dikembangkan, wajahnya makin pucat.

Di tepi jurang, Tan Lian menoleh, kedua tangannya sudah berkembang siap meloncat ke dalam mulut maut yang ternganga lebar di bawah kakinya.

“Jangan dekat! Aku akan meloncat dan tak seorang pun dapat mencegahku. Mau bicara apa, boleh bicara, tapi jangan mendekat!”

Dengan hati tegang terpaksa Suling Emas menghentikan langkahnya. Ia maklum bahwa kalau ia mendekat lagi, gadis nekat ini akan meloncat turun tanpa mendengarkan lagi kata-katanya. Hatinya perih melihat titik-titik air mata menetes dan sepasang mata yang lebar jeli itu memandang kepadanya penuh sesal.

“Nona Tan, ingat dan sadarlah. Pikirlah masak-masak. Apa kau tidak kasihan kepada Saudara Thio San, tunanganmu ini? Dia amat mencintamu, mencinta dengan murni, dengan sepenuh jiwa raganya. Nona, dia bersedia melupakan segala-galanya, bersedia menerimamu dan melanjutkan perjodohan kalian. Tak seorang pun laki-laki di dunia ini yang dapat mencintamu seperti dia....”

Sepasang mata itu terbelalak memandangnya, bibir yang gemetar itu berkata lemah,
“Dia.... dia....?”

Tertusuklah hati Suling Emas oleh pandang mata dan kata-kata ini. Ia maklum apa artinya itu. Pandang mata dan dua kata itu merangkai pertanyaan tak berbunyi,

“Mengapa dia dan dia saja, mengapa bukan engkau?”

“Sudahlah, pergilah kalian. Atau.... barangkali kalian ingin melihat aku terjun?” Kembali Tan Lian siap untuk terjun ke depan.

“Lian-moi....! Kalau kau bertekad hendak mati, biarlah aku menemanimu ke alam baka!” teriak Thio San. Teriakan ini agaknya meragukan Tan Lian.

Melihat bahwa tidak ada jalan lain untuk menghalangi maksud gadis keras hati itu, tiba-tiba Suling Emas berkata keras.

“Nona Tan Lian, kau ternyata adalah seorang anak yang paling murtad dan tidak berbakti di dunia ini! Arwah ayahmu pasti akan merasa malu sekali!”

Cepat sekali Tan Lian membalikkan tubuhnya. Matanya memandang penuh kemarahan kepada Suling Emas.

“Suling Emas! Tutup mulutmu! Kau sudah menghinaku, apakah kau juga hendak menghina ayah? Tak boleh kau sebut-sebut nama ayah, dan aku.... karena baktiku kepada ayah maka sampai begini!”

Suling Emas sengaja tersenyum mengejek.
“Huh, orang seperti engkau ini masih mengaku berbakti kepada ayah? Kau durhaka dan tidak berbakti. Orang seperti Saudara Thio San ini, barulah bisa disebut setia dan berbakti. Ia berbakti dan menjunjung tinggi perintah ayahnya untuk menjadi jodohmu dan ia setia kepadamu sampai mati. Akan tetapi engkau? Huh, kau durhaka terhadap ayah, masih pura-pura merasa diri berbakti? Memalukan!”

“Jahanam, tutup mulutmu! Buktikan apa yang kau katakan tidak berbakti itu, kalau kau tidak dapat membuktikan, hemmm.... aku akan mengadu nyawa denganmu!”

Suling Emas tertawa memanaskan hati.
“Kau sudah bersumpah membalaskan dendam ayahmu, tidak terlaksana. Hal itu masih bisa dimengerti karena ibuku yang hendak kau balas sudah meninggal dunia, pula untuk membalas dendam itu kepadaku, memang kau tidak mampu menangkan aku. Akan tetapi ayahmu telah memilih Thio San menjadi jodohmu. Perintah ayahmu ini bukan tak dapat kau penuhi, karena Thio San masih ada dan pemuda itu mencintamu. Mengapa kau mengingkarinya? Mengapa kau hendak melanggar janji perjodohan yang ditentukan ayahmu? Bukankah dengan demikian berarti kau menyeret ayahmu ke jurang kehinaan, sebagai orang yang mengingkari janji ikatan jodoh? Huh-huh, kukira kalau kau sekarang meloncat terjun ke dalam jurang itu dan mampus, arwahmu akan disambut penuh kemarahan dan kebencian oleh arwah ayahmu. Nah, kau loncatlah, biar kulihat!” Suling Emas berdiri tegak sambil memangku tangan.

“Kurang ajar!” Thio San berteriak sambil berlari menghampiri Suling Emas. Kemarahannya membuat wajah pemuda ini merah padam, “Kau kurang ajar sekali. berani mengeluarkan kata-kata menghina seperti itu kepada Lian-moi. Biarpun kau seorang pendekar yang pandai ilmu silat, biarlah aku yang mengadu nyawa denganmu untuk mencuci penghinaanmu!”

Setelah berkata demikian Thio San menggerakkan kedua tangannya, bertubi-tubi memukuli muka dan dada Suling Emas yang menerima semua pukulan itu tanpa melawan dan dengan mata tidak berkedip.

“San-koko.... jangan....!”

Thio San yang tadinya sudah merasa betapa sia-sia memukuli “manusia baja” yang seperti tidak merasakan pukulannya dan yang sebaliknya malah membuat kedua tangannya sakit itu, tercengang dan cepat menengok mendengar sebutan “koko” dari tunangannya. Ia melihat tunangannya itu menangis tersedu-sedu menutupi muka dengan kedua tangan.

“Lian-moi, dia kurang ajar!”

“....tidak.... dia benar.... Ya Tuhan.... ayah, ampunkan anakmu ini, ayah....!”

Thio San cepat maju memeluk tubuh tunangannya yang terhuyung-huyung hendak roboh. Gadis itu makin tersedu-sedu di atas dada tunangannya.

“Koko.... kau.... pun maafkanlah aku....” isaknya.

Thio San hanya dapat mengusap pundak gadis pujaan hatinya dengan air mata bercucuran. Ketika ia menengok, ia melihat Suling Emas sudah melangkah pergi dari situ dengan wajah berseri dan bibir tersenyum. Thio San mengejap-ngejapkan matanya menahan haru yang menguasai hatinya. Ia takkan melupakan pendekar itu, selama hidupnya.

Tahulah ia sekarang bahwa sesungguhnya nyawa Tan Lian tertolong oleh Suling Emas, bukan hanya nyawa Tan Lian, melainkan juga nyawanya, kebahagiaan hidupnya! Cepat-cepat ia lalu memapah dan merangkul Tan Lian, diajak pergi meninggalkan jurang yang tetap menganga dan sunyi, seakan-akan merenungi peristiwa itu tanpa perasaan apa-apa.

Suling Emas berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia mengerti betul bahwa sungguhpun tadi ia berhasil mencegah Tan Lian membunuh diri, bukan itu saja, juga menemukan kembali dua buah hati dan mempersatukan dua kasih yang tadinya menyeleweng, namun semua hasil ini dibeli dengan pengorbanan yang cukup besar. Karena biarpun ia berhasil membelokkan cinta kasih Tan Lian kepada tempat yang wajar, kepada orang yang berhak, namun sebagai imbangannya ia membangkitkan kembali dendam gadis itu sebagai pelaksanaan daripada kebaktian terhadap ayahnya. Sumpah di depan kuburan yang tadinya terselimut oleh rasa cinta, kini muncul kembali berupa ancaman terhadap keluarga Suling Emas!

Berkali-kali Suling Emas menarik napas panjang dan karena perjalanan ini sedikit banyak mempergunakan tenaga, ia merasa dadanya sakit kembali. Dalam keadaan melamun dan nelangsa ini ia tidak tahu bahwa dirinya dibayangi orang, juga tidak tahu bahwa udara yang tadinya terang menjadi gelap oleh mendung dan angin mulai bertiup.

Baru setelah ada daun-daun gugur yang tertiup angin keras menghantam mukanya, dan kain kepalanya hampir terlepas terbang dari kepalanya, ia sadar dan kaget. Ternyata cuaca sudah menjadi agak gelap dan udara yang tadinya tenang menjadi liar karena angin bertiup keras. Sebentar lagi turun hujan, pikirnya. Ia lalu membelok ke arah gunung batu di mana terdapat banyak gua-gua batu untuk berlindung.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar