“Bagus, bagus sekali! Heh-heh-heh-heh!”
Suara ini disusul ketawa bergelak yang mengumandang di lain bagian dari lereng Gunung Thai-san, keluar dari sebuah hutan yang penuh pohon pek. Hutan kecil ini merupakan hutan yang paling kaya akan tumbuh-tumbuhan obat-obatan yang tumbuh liar di bawah pohon pek itu.
“Bagus, wah-wah-wah! Kalau kita pergi ke pasar dan kau main seperti ini, aku memukul tambur dan canang, tentu kita mendapat banyak uang, heh-heh-heh-heh!”
Suara itu berteriak-teriak lagi kegirangan. Ternyata suara ini keluar dari mulut seorang kakek yang pendek lucu, yang bukan lain adalah Gan-lopek. Dia berdiri menari-nari kegirangan, mengangkat ibu jari menyatakan jempolnya sambil memandang ke arah Lin Lin yang sedang bermain-main di atas sebatang balok yang melintang diikatkan pada dua batang pohon di kanan kiri.
Tadinya Lin Lin berloncat-loncatan dan bersilat di atas balok yang tingginya dua meter lebih itu, bersilat dengan gesit dan dengan pengerahan gin-kang yang luar biasa. Kini gadis itu dengan kedua kakinya dikaitkan pada balok melintang, tubuhnya berayun-ayun dan berputar-putar seperti baling-baling pesawat terbang!
Mendengar ucapan terakhir dari Gan-lopek, Lin Lin yang tadinya merasa bangga dan girang akan pujian-pujian itu, tiba-tiba tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia berdiri di depan Gan-lopek sambil bertolak pinggang dan mulutnya cemberut.
“Apa kau bilang, Kek? Kau mau anggap aku seperti komedi monyet, ya? Terlalu sekali!” Tiba-tiba gadis ini memasang kuda-kuda yang aneh, kedua kakinya jinjit (berdiri di ujung jari) sambil berkata lagi, “Hayo kau layani hasil latihanku, Kek!”
Setelah berkata demikian, dengan gerak langkah perlahan Lin Lin bertindak maju dan kedua tangannya diangkat seperti orang memberi hormat, kemudian tiba-tiba didorongkan ke depan, mengarah dada Gan-lopek.
“Ehhh, jangan....!”
Gan-lopek kaget setengah mati dan cepat ia membuang diri ke belakang dan bergulingan ketika mendengar desir angin yang dahsyat keluar dari pukulan gadis itu. Hawa pukulan yang amat berbahaya itu menyambar terus ke depan dan....
“kraaakkkkk!” patah dan tumbanglah batang pohon yang berdiri di belakang Gan-lopek tadi!
“Eh, ganas! Eh, keji!” Gan-lopek melompat-lompat. “Apakah kau hendak membunuhku, bocah liar?”
Sejenak Lin Lin sendiri tertegun menyaksikan hebatnya akibat pukulannya, akan tetapi kemudian ia menjadi girang sekali, menghampiri dan merangkul pundak si kakek sambil tertawa-tawa.
“Masa aku hendak membunuhmu, Kek? Andaikata aku mau, mana mampu? Jangan kau main-main!”
“Heh-heh-heh-heh, kaulah yang main-main, Lin Lin, pukulan-pukulanmu hebat, jurus-jurusmu luar biasa dan kau sudah berhasil. Selamat, selamat....”
“Kek, banyak terima kasih. Kaulah yang memberi petunjuk caraku berlatih sehingga aku dapat menguasai tenaga sin-kang yang selalu mendesak di dalam diriku semenjak aku melatih ilmu-ilmu pukulan ini.”
“Hemmm, entah iblis mana yang sudah menurunkan ilmu iblis ini kepadamu. Biarpun kau tidak memberi tahu dan aku pun tidak tertarik untuk mengetahui, namun jurus-jurus yang kau latih ini adalah jurus-jurus iblis yang hanya sejajar dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Thian-te Liok-koai. Mengerikan!”
Tiba-tiba empek ini meloncat dan memukul-mukul kepalanya sendiri.
“Wah-wah-wah, keenakan bersenang-senang dengan gadis cantik di hutan ini sampai lupa bahwa waktunya telah tiba. Hayo kita ke puncak, jangan-jangan kita akan terlambat menonton pertunjukkan yang terhebat di kolong langit!”
Setelah berkata demikian, ia menggandeng tangan gadis itu dan diseretnya diajak lari cepat. Akan tetapi sambil tertawa-tawa Lin Lin merenggut lepas tangannya dan berkata.
“Kakek Gan, hayo kita berlumba lari cepat ke puncak!”
Maka berlari-larilah kakek dan gadis itu seperti dua orang iblis beterbangan, cepat bukan main, berloncat-loncatan sambil tertawa-tawa. Diam-diam kakek ini kagum bukan main, mulailah ia meragu apakah pilihan muridnya ini tepat, karena ia melihat sifat-sifat liar dan tak mau ditundukkan dalam diri Lin Lin, sedangkan muridnya, Lie Bok Liong, adalah seorang pemuda yang sabar dan tidak berandalan.
Sementara itu, dalam benak Lin Lin timbul pikiran lain daripada yang dipikirkan Gan-lopek. Gadis ini memikirkan Suling Emas. Selama ini memang ia selalu memikirkan Suling Emas dengan hati mengandung bermacam-macam perasaan. Ia marah dan penasaran karena Suling Emas meninggalkannya dan seperti marah-marah kepadanya padahal ia memukul roboh seorang perempuan yang menjadi musuh besar Suling Emas.
Mengapa Suling Emas marah-marah kepadanya? Mengapa Suling Emas menolong perempuan yang hampir mampus terkena pukulan saktinya itu? Bukankah perempuan itu bersumpah hendak membunuhi isteri dan anak-anak Suling Emas? Bukankah perempuan yang keji itu di depan kuburan ayahnya menyatakan cintanya kepada Suling Emas? Perempuan macam itu harus dibunuh!
Berani mencinta Suling Emas! Dan berani bersumpah hendak membunuh isteri Suling Emas. Padahal isteri Suling Emas, kalau kelak ada tentu.... dirinya! Berpikir sampai di sini, merahlah kedua pipi Lin Lin dan ia menarik napas panjang, pandang matanya mesra teringat akan peristiwa di gedung perpustakaan kaisar ketika ia dipeluk dan diciumi Suling Emas. Akan tetapi wajahnya menjadi muram karena seketika ia teringat bahwa perbuatan itu dilakukan Suling Emas karena salah duga, mengira dia orang lain! Panaslah perutnya memikirkan hal ini.
Selain marah dan penasaran terhadap pendekar yang dipujanya itu, ia pun merasa khawatir dan gelisah. Oleh karena itu, ingin sekali ia lekas-lekas bertemu dengan Suling Emas. Maka setelah Gan-lopek mengajaknya ke puncak, ia seakan-akan hendak terbang agar dapat cepat-cepat sampai ke puncak dan bertemu dengan pujaan hatinya. Sama sekali ia tidak peduli akan pertandingan antara Thian-te Liok-koai yang oleh Gan-lopek disebut sebagai pertunjukkan terhebat di kolong langit itu.
Suara ini disusul ketawa bergelak yang mengumandang di lain bagian dari lereng Gunung Thai-san, keluar dari sebuah hutan yang penuh pohon pek. Hutan kecil ini merupakan hutan yang paling kaya akan tumbuh-tumbuhan obat-obatan yang tumbuh liar di bawah pohon pek itu.
“Bagus, wah-wah-wah! Kalau kita pergi ke pasar dan kau main seperti ini, aku memukul tambur dan canang, tentu kita mendapat banyak uang, heh-heh-heh-heh!”
Suara itu berteriak-teriak lagi kegirangan. Ternyata suara ini keluar dari mulut seorang kakek yang pendek lucu, yang bukan lain adalah Gan-lopek. Dia berdiri menari-nari kegirangan, mengangkat ibu jari menyatakan jempolnya sambil memandang ke arah Lin Lin yang sedang bermain-main di atas sebatang balok yang melintang diikatkan pada dua batang pohon di kanan kiri.
Tadinya Lin Lin berloncat-loncatan dan bersilat di atas balok yang tingginya dua meter lebih itu, bersilat dengan gesit dan dengan pengerahan gin-kang yang luar biasa. Kini gadis itu dengan kedua kakinya dikaitkan pada balok melintang, tubuhnya berayun-ayun dan berputar-putar seperti baling-baling pesawat terbang!
Mendengar ucapan terakhir dari Gan-lopek, Lin Lin yang tadinya merasa bangga dan girang akan pujian-pujian itu, tiba-tiba tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia berdiri di depan Gan-lopek sambil bertolak pinggang dan mulutnya cemberut.
“Apa kau bilang, Kek? Kau mau anggap aku seperti komedi monyet, ya? Terlalu sekali!” Tiba-tiba gadis ini memasang kuda-kuda yang aneh, kedua kakinya jinjit (berdiri di ujung jari) sambil berkata lagi, “Hayo kau layani hasil latihanku, Kek!”
Setelah berkata demikian, dengan gerak langkah perlahan Lin Lin bertindak maju dan kedua tangannya diangkat seperti orang memberi hormat, kemudian tiba-tiba didorongkan ke depan, mengarah dada Gan-lopek.
“Ehhh, jangan....!”
Gan-lopek kaget setengah mati dan cepat ia membuang diri ke belakang dan bergulingan ketika mendengar desir angin yang dahsyat keluar dari pukulan gadis itu. Hawa pukulan yang amat berbahaya itu menyambar terus ke depan dan....
“kraaakkkkk!” patah dan tumbanglah batang pohon yang berdiri di belakang Gan-lopek tadi!
“Eh, ganas! Eh, keji!” Gan-lopek melompat-lompat. “Apakah kau hendak membunuhku, bocah liar?”
Sejenak Lin Lin sendiri tertegun menyaksikan hebatnya akibat pukulannya, akan tetapi kemudian ia menjadi girang sekali, menghampiri dan merangkul pundak si kakek sambil tertawa-tawa.
“Masa aku hendak membunuhmu, Kek? Andaikata aku mau, mana mampu? Jangan kau main-main!”
“Heh-heh-heh-heh, kaulah yang main-main, Lin Lin, pukulan-pukulanmu hebat, jurus-jurusmu luar biasa dan kau sudah berhasil. Selamat, selamat....”
“Kek, banyak terima kasih. Kaulah yang memberi petunjuk caraku berlatih sehingga aku dapat menguasai tenaga sin-kang yang selalu mendesak di dalam diriku semenjak aku melatih ilmu-ilmu pukulan ini.”
“Hemmm, entah iblis mana yang sudah menurunkan ilmu iblis ini kepadamu. Biarpun kau tidak memberi tahu dan aku pun tidak tertarik untuk mengetahui, namun jurus-jurus yang kau latih ini adalah jurus-jurus iblis yang hanya sejajar dengan ilmu-ilmu yang dimiliki Thian-te Liok-koai. Mengerikan!”
Tiba-tiba empek ini meloncat dan memukul-mukul kepalanya sendiri.
“Wah-wah-wah, keenakan bersenang-senang dengan gadis cantik di hutan ini sampai lupa bahwa waktunya telah tiba. Hayo kita ke puncak, jangan-jangan kita akan terlambat menonton pertunjukkan yang terhebat di kolong langit!”
Setelah berkata demikian, ia menggandeng tangan gadis itu dan diseretnya diajak lari cepat. Akan tetapi sambil tertawa-tawa Lin Lin merenggut lepas tangannya dan berkata.
“Kakek Gan, hayo kita berlumba lari cepat ke puncak!”
Maka berlari-larilah kakek dan gadis itu seperti dua orang iblis beterbangan, cepat bukan main, berloncat-loncatan sambil tertawa-tawa. Diam-diam kakek ini kagum bukan main, mulailah ia meragu apakah pilihan muridnya ini tepat, karena ia melihat sifat-sifat liar dan tak mau ditundukkan dalam diri Lin Lin, sedangkan muridnya, Lie Bok Liong, adalah seorang pemuda yang sabar dan tidak berandalan.
Sementara itu, dalam benak Lin Lin timbul pikiran lain daripada yang dipikirkan Gan-lopek. Gadis ini memikirkan Suling Emas. Selama ini memang ia selalu memikirkan Suling Emas dengan hati mengandung bermacam-macam perasaan. Ia marah dan penasaran karena Suling Emas meninggalkannya dan seperti marah-marah kepadanya padahal ia memukul roboh seorang perempuan yang menjadi musuh besar Suling Emas.
Mengapa Suling Emas marah-marah kepadanya? Mengapa Suling Emas menolong perempuan yang hampir mampus terkena pukulan saktinya itu? Bukankah perempuan itu bersumpah hendak membunuhi isteri dan anak-anak Suling Emas? Bukankah perempuan yang keji itu di depan kuburan ayahnya menyatakan cintanya kepada Suling Emas? Perempuan macam itu harus dibunuh!
Berani mencinta Suling Emas! Dan berani bersumpah hendak membunuh isteri Suling Emas. Padahal isteri Suling Emas, kalau kelak ada tentu.... dirinya! Berpikir sampai di sini, merahlah kedua pipi Lin Lin dan ia menarik napas panjang, pandang matanya mesra teringat akan peristiwa di gedung perpustakaan kaisar ketika ia dipeluk dan diciumi Suling Emas. Akan tetapi wajahnya menjadi muram karena seketika ia teringat bahwa perbuatan itu dilakukan Suling Emas karena salah duga, mengira dia orang lain! Panaslah perutnya memikirkan hal ini.
Selain marah dan penasaran terhadap pendekar yang dipujanya itu, ia pun merasa khawatir dan gelisah. Oleh karena itu, ingin sekali ia lekas-lekas bertemu dengan Suling Emas. Maka setelah Gan-lopek mengajaknya ke puncak, ia seakan-akan hendak terbang agar dapat cepat-cepat sampai ke puncak dan bertemu dengan pujaan hatinya. Sama sekali ia tidak peduli akan pertandingan antara Thian-te Liok-koai yang oleh Gan-lopek disebut sebagai pertunjukkan terhebat di kolong langit itu.
**** 136 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar