Baik kita tinggalkan dulu Lin Lin dan Gan-lopek yang berlari-larian cepat menuju puncak itu untuk sejenak menengok keadaan Suling Emas yang sudah lama kita tinggalkan.
Ketika Suling Emas menyaksikan dan mendengar sumpah yang diucapkan oleh Bu-eng-sin-kiam Tan Lian di depan kuburan mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, ia sampai pucat saking tergetarnya perasaannya. Benar-benar hidupnya telah menimbulkan banyak hal-hal yang merupakan malapetaka besar.
Persoalan antara ayah gadis itu dan ibunya, sudah dibentangkan oleh Bu Kek Siansu dan merupakan persoalan antara mereka sendiri yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan Tan Lian dan dia. Akan tetapi agaknya kini timbul lagi hal lain yang mencelakakan, yaitu kenyataan pahit bahwa gadia baju hijau, ahli pedang itu, ternyata jatuh cinta kepadanya! Celaka dua belas! Dan Tan Lian bersumpah di depan kuburan ayahnya untuk membunuh isteri dan anak-anaknya!
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Suling Emas, betapa duka dan menyesalnya. Akan tetapi percobaan yang menimpa hatinya ini menjadi lebih hebat ketika Lin Lin tiba-tiba muncul dan menyerang Tan Lian tanpa ia mampu mencegahnya.
Pukulan yang dahsyat itu tak bisa lain adalah hasil mempelajari ilmu pukulan peninggalan Pat-jiu Sin-ong, hebatnya bukan kepalang dan sekali memeriksa saja tahulah Suling Emas bahwa ia tidak mampu menolong keselamatan nyawa Tan Lian. Tak seorang pun di dunia ini akan mampu, kecuali tentu saja si Raja Obat di lereng Thai-san. Maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu memondong tubuh Tan Lian dan setelah menegur Lin Lin, ia melesat pergi meninggalkan Lin Lin.
Ada tiga hal yang membuat ia sengaja meninggalkan Lin Lin sambil memondong tubuh Tan Lian yang terluka hebat, yaitu pertama-tama untuk pergi mencari Yok-ong (Raja Obat) di lereng Thai-san, ke dua untuk mewakili mendiang ibunya bertemu dan menguji ilmu dengan para anggauta Thian-te Liok-koai. Dan hal yang ke tiga adalah karena ia sengaja hendak menjauhi Lin Lin!
Ia merasa betapa besar bahayanya kalau ia terus melakukan perjalanan bersama gadis itu. Gadis remaja itu secara jelas sekali membayangkan kasih sayang kepadanya, membayangkan cinta berahi dan agaknya mempunyai keyakinan bahwa ia pun membalas cinta kasih Lin Lin. Dan inilah yang amat ia khawatirkan.
Dekat dengan Lin Lin sama dengan dekat dengan setangkai bunga yang indah jelita, yang semerbak mengharum, yang mendatangkan rasa suka di hati, mendatangkan rasa gembira. Beratlah rasanya untuk mempertahankan hati. Lebih berat daripada menghadapi seratus orang lawan tangguh.
Ia maklum bahwa lambat-laun ia akan jatuh pula, tak mungkin seorang laki-laki yang normal takkan runtuh hatinya menghadapi seorang gadis yang begitu cantik jelita, dengan muka yang mirip dengan muka bekas kekasihnya, Suma Ceng, dengan watak yang demikian jenaka, gembira, lincah dan dengan hati yang putih bersih tak ternoda sedikit pun kekotoran duniawi.
Kalau dilanjutkan pergaulannya dengan Lin Lin, akhirnya sifat egonya (mementingkan diri sendiri) akan mengalahkannya, dan kalau sudah terjadi demikian, mau tak mau ia akan mengisi kekosongan hatinya dengan Lin Lin, sebagai pengganti Suma Ceng.
Akan tetapi, bukanlah demikian dasar perasaan Suling Emas. Ia tidak ingin merusak hidup Lin Lin. Gadis itu masih seorang remaja, sedangkan dia sudah cukup dewasa, terlalu tua untuk Lin Lin. Hatinya telah terlalu kering untuk bermain cinta. Apalagi setelah timbul peristiwa semacam sumpah Tan Lian, ia tidak ingin menyeret orang lain, apalagi Lin Lin yang ia sayang, ke dalam rantai dendam yang mengerikan itu.
Demikianlah, dengan batin menderita Suling Emas berlari cepat membawa Tan Lian ke Thai-san. Harus ia akui bahwa perjalanan beberapa hari bersama Lin Lin cukup membuat ia kini merasa rindu, merasa kehilangan sehingga ia maklum betapa besar bahayanya kalau perjalanan bersama itu dilakukan lebih lama lagi.
Suling Emas yang berpandangan luas, tidak marah kepada Lin Lin karena gadis itu memukul Tan Lian secara demikian ganas. Sebagai seorang yang berpengalaman ia dapat mengerti mengapa Lin Lin melakukan hal itu dan hal ini menambah keyakinannya bahwa tidak salah, Lin Lin mencintanya! Inilah yang membuat Lin Lin memukul Tan Lian. Bukankah Lin Lin ikut pula mendengar sumpah itu? Sumpah yang menjelaskan bahwa Tan Lian mencinta Suling Emas dan akan membunuh isteri dan anak-anaknya? Inilah sebabnya mengapa Lin Lin memukul Tan Lian, karena hendak membelanya, karena.... cemburu pula!
Ketika berhenti sebentar di pinggir sebuah sungai kecil di luar hutan, untuk sekedar menyegarkan tubuh dan minum, Tan Lian mengerang perlahan dan membuka matanya. Gadis itu dibaringkan oleh Suling Emas di atas rumput hijau, Suling Emas segera menghampiri.
“.... kau....?”
Tan Lian terbelalak memandang, kemudian menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan, seakan-akan meragukan pandang matanya, serasa dalam mimpi.
Suling Emas menggerakkan tangannya, mencegah gadis itu bangkit. Akan tetapi sebetulnya tak perlu ia lakukan ini karena begitu bergerak, Tan Lian menyeringai kesakitan dan tidak kuat bangun.
“Kau terluka hebat, harap jangan bergerak! Aku sedang membawamu ke Thai-san, untuk minta pertolongan Kim-sim Yok-ong (Raja Obat Berhati Emas). Kau tenanglah. Tan-siocia (Nona Tan), kurasa Yok-ong akan mampu menyembuhkanmu.”
Tan Lian nampak gelisah.
“Kau.... kau mendengar semua....?”
Suling Emas dapat menduga apa yang digelisahkan gadis ini. Ia menarik napas panjang, mengangguk dan berkata halus.
“Aku mendengar semua, akan tetapi sekarang juga sudah lupa lagi apa yang kudengar.”
Jawabannya ini berarti bahwa hal-hal yang ia dengar diucapkan gadis itu tidak dipikirkannya dan ia menjamin takkan ia ceritakan kepada orang lain.
Biarpun Tan Lian maklum akan arti jawaban ini, namun tak dapat dicegah lagi ia merasa berduka dan malu. Air matanya mengucur keluar dan ia menangis terisak-isak.
Suling Emas menarik napas panjang lagi. Ia tahu apa yang menyebabkan gadis ini menangis, maka ia tak dapat bicara banyak. Diam-diam ia merasa kasihan sekali kepada gadis baju hijau yang gagah perkasa ini. Ia maklum bahwa Tan Lian adalah seorang pendekar wanita yang tinggi ilmu silatnya, jauh lebih tinggi daripada Lin Lin. Kalau saja Lin Lin tidak mempergunakan ilmunya yang ia dapat dalam tongkat pusaka Beng-kauw, tak mungkin Lin Lin mampu merobohkan Tan Lian, apalagi hanya dengan sekali pukul. Ilmu yang dimiliki Lin Lin itu benar-benar hebat dan berbahaya sekali, lagi ganas dan dahsyat. Jangankan Tan Lian, dia sendiri kalau ilmu itu sudah terlatih baik oleh Lin Lin, tidak akan mudah dapat mengalahkannya.
Pat-jiu Sin-ong tidak percuma terkenal sebagai tokoh besar puluhan tahun yang lalu, dan ilmu yang ia ciptakan itu merupakan inti sari daripada semua kepandaian yang menjadi ilmu pusaka Beng-kauw!
“Tenanglah, Nona. Memang nasib kita yang buruk, terseret oleh gelombang yang disebabkan oleh orang-orang tua kita, terikat oleh karma yang buruk. Akan tetapi, baik ayahmu maupun ibuku sudah meninggal dunia, mengapa kita tidak mengubur riwayat mereka bersama jenazah mereka? Mengapa kita harus mengikatkan nasib kita dengan riwayat dan urusan mereka? Ah, Nona Tan, kuharap kau tidak berpemandangan sesempit itu....”
Tan Lian menghentikan tangisnya, memandang dengan mata merah dan ia menahan isak ketika berkata,
“Berpemandangan sempit? Kau.... kau tidak merasakan, tentu saja pandai mencela! Di dunia aku hanya hidup berdua dengan ayah. Kematian ayah karena dibunuh ibumu membuat aku sebatangkara. Kau salahkan aku kalau aku bersumpah mendendam dan hendak membalas kematian ayah? Akan tetapi Thian tidak menaruh kasihan kepadaku. Aku terlambat!” Suaranya terisak. “Aku terlambat setelah aku berlatih dengan susah payah selama bertahun-tahun, setelah aku rela tinggal seorang diri...., tidak mau menikah.... menjadi perawan tua.... semua ini hanya untuk satu tujuan, yaitu membalas sakit hati. Setelah aku merasa sudah cukup kuat dan hendak mencari ibumu, aku mendengar berita tentang kematiannya dan tentang keturunannya, yaitu engkau. Apa yang dapat kulakukan lagi selain menimpakan dendam kepadamu? Tapi.... aku tidak becus.... aku.... aku tidak mampu mengalahkanmu....” Sampai di sini Tan Lian menangis lagi.
Suling Emas mengerutkan keningnya. Ia dapat membayangkan penderitaan batin yang selama ini menimpa diri Tan Lian. Memang benar hebat dan berat sekali dan diam-diam ia memuji kebaktian Tan Lian yang demi untuk berbakti kepada ayahnya sampai berkorban sedemikian rupa, menyia-nyiakan kebahagiaan hidupnya sendiri, rela menjadi seorang gadis yang sudah agak terlambat usianya, kurang lebih tiga puluh tahun, padahal gadis ini cantik dan gagah, tentu dalam usia tujuh belas atau delapan belas sudah menjadi isteri orang kalau saja ayahnya tidak meninggal, terbunuh oleh ibunya!
“Tan-siocia harap kau jangan berduka tentang kekalahan. Ilmu kepandaian tak dapat diukur sampai dimana puncaknya, dan siapa yang mengejar kepandaian untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, ia akan gagal karena pasti akan menemui yang lebih tinggi lagi. Andaikata ibuku masih hidup, agaknya kau pun takkan mampu menandinginya, karena biarpun kau telah menggembleng dirimu belasan tahun lamanya, ibuku pun terus memperdalam ilmunya selama puluhan tahun!”
“Lebih baik kalau aku tewas dalam usahaku membalas ibumu, daripada seperti sekarang ini....” ia terisak. “.... tidak saja aku tak mampu mengalahkanmu, juga kau.... kau tidak membunuhku, malah menolongku! Aku tidak kuat menanggung penghinaan ini, lebih baik kau bunuh aku!”
“Nona, diantara kita tidak ada permusuhan pribadi, mengapa aku harus membunuhmu? Tidak, aku tidak akan berpemandangan begitu picik. Dan kuharap kau pun dapat sadar akan hal ini, bahwa diantara kita tidak ada urusan pribadi yang membuat kita saling benci dan saling bermusuhan.”
“Akan tetapi...., aku sudah bersumpah.... untuk membunuh isterimu....”
“Jangan khawatir, aku tidak beristeri,” kata Suling Emas, tersenyum.
“Tapi wanita yang memukulku itu? Ah, dia tentu tunanganmu!”
Suling Emas kembali menggelengkan kepalanya, tapi kini keningnya berkerut.
“Tapi, jelas dia mencintamu!”
Suling Emas kaget bukan main mendengar pernyataan ini. Bagaimana gadis ini bisa tahu bahwa Lin Lin mencintanya?
“Hemmm, mengapa kau berkata demikian?” katanya, suaranya tenang saja, padahal jantungnya berdebar keras.
“Dia cemburu kepadaku.... eh, kumaksudkan....”
Tan Lian menjadi gugup sekali karena tanpa ia sengaja atau sadari, ia sendiri sudah membuka rahasia hatinya.
“Tak mungkin, Nona. Dia adalah adik tiriku!”
Tan Lian tercengang dan entah mengapa, tiba-tiba wajahnya berseri gembira! Akan tetapi hanya sebentar, karena ia lalu menghela napas dan berkata dengan lirih dan berat,
“Aku sudah bersumpah memusuhimu, tak perlu kau berlaku baik kepadaku, tiada gunanya. Lebih baik aku mati saja, tak perlu kau carikan orang pandai untuk berobat.”
“Hemmm, mengapa kau begini putus harapan, Nona? Kau masih muda, kau berhak hidup....”
“Muda, katamu? Seorang wanita sudah berusia.... seperti aku, kau bilang masih muda? Aku adalah perawan tua. Tiada harapan lagi. Untuk apa hidup hanya menjadi bahan ejekan? Sebatangkara, tiada keluarga, tugas pun terbengkalai tak terpenuhi, apa artinya hidup? Aku sudah tua!” kembali air matanya mengalir turun.
“Kau masih muda, Nona Tan. Muda dan cantik jelita lagi gagah perkasa. Kurasa, dia yang merasa dirinya pandai dan tampan, satria-satria di dunia kang-ouw, akan berebutan untuk mendapatkan perhatianmu, dan akan merasa bahagia sekali kalau menjadi pilihanmu.”
Sepasang pipi gadis itu tiba-tiba menjadi merah, matanya memandang lebar-lebar ke arah Suling Emas seakan-akan hendak menyelidiki apakah ucapan itu keluar dari hati yang jujur. Melihat sepasang mata Suling Emas memandang sungguh-sungguh dan membayangkan kejujuran, Tan Lian menjadi begitu girang sehingga ia tergagap.
“Be.... betulkah....?”
Suling Emas lega hatinya. Ia mengangguk meyakinkan, lalu membungkuk dan memondong tubuh Tan Lian lagi sambil berkata,
“Mari kita lanjutkan perjalanan agar kita segera sampai di Thai-san. Tak baik bagi kesehatanmu terlalu banyak bicara seperti ini.”
Ketika Suling Emas menyaksikan dan mendengar sumpah yang diucapkan oleh Bu-eng-sin-kiam Tan Lian di depan kuburan mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, ia sampai pucat saking tergetarnya perasaannya. Benar-benar hidupnya telah menimbulkan banyak hal-hal yang merupakan malapetaka besar.
Persoalan antara ayah gadis itu dan ibunya, sudah dibentangkan oleh Bu Kek Siansu dan merupakan persoalan antara mereka sendiri yang sebenarnya tidak ada sangkut-pautnya dengan Tan Lian dan dia. Akan tetapi agaknya kini timbul lagi hal lain yang mencelakakan, yaitu kenyataan pahit bahwa gadia baju hijau, ahli pedang itu, ternyata jatuh cinta kepadanya! Celaka dua belas! Dan Tan Lian bersumpah di depan kuburan ayahnya untuk membunuh isteri dan anak-anaknya!
Dapat dibayangkan betapa hancur hati Suling Emas, betapa duka dan menyesalnya. Akan tetapi percobaan yang menimpa hatinya ini menjadi lebih hebat ketika Lin Lin tiba-tiba muncul dan menyerang Tan Lian tanpa ia mampu mencegahnya.
Pukulan yang dahsyat itu tak bisa lain adalah hasil mempelajari ilmu pukulan peninggalan Pat-jiu Sin-ong, hebatnya bukan kepalang dan sekali memeriksa saja tahulah Suling Emas bahwa ia tidak mampu menolong keselamatan nyawa Tan Lian. Tak seorang pun di dunia ini akan mampu, kecuali tentu saja si Raja Obat di lereng Thai-san. Maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu memondong tubuh Tan Lian dan setelah menegur Lin Lin, ia melesat pergi meninggalkan Lin Lin.
Ada tiga hal yang membuat ia sengaja meninggalkan Lin Lin sambil memondong tubuh Tan Lian yang terluka hebat, yaitu pertama-tama untuk pergi mencari Yok-ong (Raja Obat) di lereng Thai-san, ke dua untuk mewakili mendiang ibunya bertemu dan menguji ilmu dengan para anggauta Thian-te Liok-koai. Dan hal yang ke tiga adalah karena ia sengaja hendak menjauhi Lin Lin!
Ia merasa betapa besar bahayanya kalau ia terus melakukan perjalanan bersama gadis itu. Gadis remaja itu secara jelas sekali membayangkan kasih sayang kepadanya, membayangkan cinta berahi dan agaknya mempunyai keyakinan bahwa ia pun membalas cinta kasih Lin Lin. Dan inilah yang amat ia khawatirkan.
Dekat dengan Lin Lin sama dengan dekat dengan setangkai bunga yang indah jelita, yang semerbak mengharum, yang mendatangkan rasa suka di hati, mendatangkan rasa gembira. Beratlah rasanya untuk mempertahankan hati. Lebih berat daripada menghadapi seratus orang lawan tangguh.
Ia maklum bahwa lambat-laun ia akan jatuh pula, tak mungkin seorang laki-laki yang normal takkan runtuh hatinya menghadapi seorang gadis yang begitu cantik jelita, dengan muka yang mirip dengan muka bekas kekasihnya, Suma Ceng, dengan watak yang demikian jenaka, gembira, lincah dan dengan hati yang putih bersih tak ternoda sedikit pun kekotoran duniawi.
Kalau dilanjutkan pergaulannya dengan Lin Lin, akhirnya sifat egonya (mementingkan diri sendiri) akan mengalahkannya, dan kalau sudah terjadi demikian, mau tak mau ia akan mengisi kekosongan hatinya dengan Lin Lin, sebagai pengganti Suma Ceng.
Akan tetapi, bukanlah demikian dasar perasaan Suling Emas. Ia tidak ingin merusak hidup Lin Lin. Gadis itu masih seorang remaja, sedangkan dia sudah cukup dewasa, terlalu tua untuk Lin Lin. Hatinya telah terlalu kering untuk bermain cinta. Apalagi setelah timbul peristiwa semacam sumpah Tan Lian, ia tidak ingin menyeret orang lain, apalagi Lin Lin yang ia sayang, ke dalam rantai dendam yang mengerikan itu.
Demikianlah, dengan batin menderita Suling Emas berlari cepat membawa Tan Lian ke Thai-san. Harus ia akui bahwa perjalanan beberapa hari bersama Lin Lin cukup membuat ia kini merasa rindu, merasa kehilangan sehingga ia maklum betapa besar bahayanya kalau perjalanan bersama itu dilakukan lebih lama lagi.
Suling Emas yang berpandangan luas, tidak marah kepada Lin Lin karena gadis itu memukul Tan Lian secara demikian ganas. Sebagai seorang yang berpengalaman ia dapat mengerti mengapa Lin Lin melakukan hal itu dan hal ini menambah keyakinannya bahwa tidak salah, Lin Lin mencintanya! Inilah yang membuat Lin Lin memukul Tan Lian. Bukankah Lin Lin ikut pula mendengar sumpah itu? Sumpah yang menjelaskan bahwa Tan Lian mencinta Suling Emas dan akan membunuh isteri dan anak-anaknya? Inilah sebabnya mengapa Lin Lin memukul Tan Lian, karena hendak membelanya, karena.... cemburu pula!
Ketika berhenti sebentar di pinggir sebuah sungai kecil di luar hutan, untuk sekedar menyegarkan tubuh dan minum, Tan Lian mengerang perlahan dan membuka matanya. Gadis itu dibaringkan oleh Suling Emas di atas rumput hijau, Suling Emas segera menghampiri.
“.... kau....?”
Tan Lian terbelalak memandang, kemudian menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan, seakan-akan meragukan pandang matanya, serasa dalam mimpi.
Suling Emas menggerakkan tangannya, mencegah gadis itu bangkit. Akan tetapi sebetulnya tak perlu ia lakukan ini karena begitu bergerak, Tan Lian menyeringai kesakitan dan tidak kuat bangun.
“Kau terluka hebat, harap jangan bergerak! Aku sedang membawamu ke Thai-san, untuk minta pertolongan Kim-sim Yok-ong (Raja Obat Berhati Emas). Kau tenanglah. Tan-siocia (Nona Tan), kurasa Yok-ong akan mampu menyembuhkanmu.”
Tan Lian nampak gelisah.
“Kau.... kau mendengar semua....?”
Suling Emas dapat menduga apa yang digelisahkan gadis ini. Ia menarik napas panjang, mengangguk dan berkata halus.
“Aku mendengar semua, akan tetapi sekarang juga sudah lupa lagi apa yang kudengar.”
Jawabannya ini berarti bahwa hal-hal yang ia dengar diucapkan gadis itu tidak dipikirkannya dan ia menjamin takkan ia ceritakan kepada orang lain.
Biarpun Tan Lian maklum akan arti jawaban ini, namun tak dapat dicegah lagi ia merasa berduka dan malu. Air matanya mengucur keluar dan ia menangis terisak-isak.
Suling Emas menarik napas panjang lagi. Ia tahu apa yang menyebabkan gadis ini menangis, maka ia tak dapat bicara banyak. Diam-diam ia merasa kasihan sekali kepada gadis baju hijau yang gagah perkasa ini. Ia maklum bahwa Tan Lian adalah seorang pendekar wanita yang tinggi ilmu silatnya, jauh lebih tinggi daripada Lin Lin. Kalau saja Lin Lin tidak mempergunakan ilmunya yang ia dapat dalam tongkat pusaka Beng-kauw, tak mungkin Lin Lin mampu merobohkan Tan Lian, apalagi hanya dengan sekali pukul. Ilmu yang dimiliki Lin Lin itu benar-benar hebat dan berbahaya sekali, lagi ganas dan dahsyat. Jangankan Tan Lian, dia sendiri kalau ilmu itu sudah terlatih baik oleh Lin Lin, tidak akan mudah dapat mengalahkannya.
Pat-jiu Sin-ong tidak percuma terkenal sebagai tokoh besar puluhan tahun yang lalu, dan ilmu yang ia ciptakan itu merupakan inti sari daripada semua kepandaian yang menjadi ilmu pusaka Beng-kauw!
“Tenanglah, Nona. Memang nasib kita yang buruk, terseret oleh gelombang yang disebabkan oleh orang-orang tua kita, terikat oleh karma yang buruk. Akan tetapi, baik ayahmu maupun ibuku sudah meninggal dunia, mengapa kita tidak mengubur riwayat mereka bersama jenazah mereka? Mengapa kita harus mengikatkan nasib kita dengan riwayat dan urusan mereka? Ah, Nona Tan, kuharap kau tidak berpemandangan sesempit itu....”
Tan Lian menghentikan tangisnya, memandang dengan mata merah dan ia menahan isak ketika berkata,
“Berpemandangan sempit? Kau.... kau tidak merasakan, tentu saja pandai mencela! Di dunia aku hanya hidup berdua dengan ayah. Kematian ayah karena dibunuh ibumu membuat aku sebatangkara. Kau salahkan aku kalau aku bersumpah mendendam dan hendak membalas kematian ayah? Akan tetapi Thian tidak menaruh kasihan kepadaku. Aku terlambat!” Suaranya terisak. “Aku terlambat setelah aku berlatih dengan susah payah selama bertahun-tahun, setelah aku rela tinggal seorang diri...., tidak mau menikah.... menjadi perawan tua.... semua ini hanya untuk satu tujuan, yaitu membalas sakit hati. Setelah aku merasa sudah cukup kuat dan hendak mencari ibumu, aku mendengar berita tentang kematiannya dan tentang keturunannya, yaitu engkau. Apa yang dapat kulakukan lagi selain menimpakan dendam kepadamu? Tapi.... aku tidak becus.... aku.... aku tidak mampu mengalahkanmu....” Sampai di sini Tan Lian menangis lagi.
Suling Emas mengerutkan keningnya. Ia dapat membayangkan penderitaan batin yang selama ini menimpa diri Tan Lian. Memang benar hebat dan berat sekali dan diam-diam ia memuji kebaktian Tan Lian yang demi untuk berbakti kepada ayahnya sampai berkorban sedemikian rupa, menyia-nyiakan kebahagiaan hidupnya sendiri, rela menjadi seorang gadis yang sudah agak terlambat usianya, kurang lebih tiga puluh tahun, padahal gadis ini cantik dan gagah, tentu dalam usia tujuh belas atau delapan belas sudah menjadi isteri orang kalau saja ayahnya tidak meninggal, terbunuh oleh ibunya!
“Tan-siocia harap kau jangan berduka tentang kekalahan. Ilmu kepandaian tak dapat diukur sampai dimana puncaknya, dan siapa yang mengejar kepandaian untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, ia akan gagal karena pasti akan menemui yang lebih tinggi lagi. Andaikata ibuku masih hidup, agaknya kau pun takkan mampu menandinginya, karena biarpun kau telah menggembleng dirimu belasan tahun lamanya, ibuku pun terus memperdalam ilmunya selama puluhan tahun!”
“Lebih baik kalau aku tewas dalam usahaku membalas ibumu, daripada seperti sekarang ini....” ia terisak. “.... tidak saja aku tak mampu mengalahkanmu, juga kau.... kau tidak membunuhku, malah menolongku! Aku tidak kuat menanggung penghinaan ini, lebih baik kau bunuh aku!”
“Nona, diantara kita tidak ada permusuhan pribadi, mengapa aku harus membunuhmu? Tidak, aku tidak akan berpemandangan begitu picik. Dan kuharap kau pun dapat sadar akan hal ini, bahwa diantara kita tidak ada urusan pribadi yang membuat kita saling benci dan saling bermusuhan.”
“Akan tetapi...., aku sudah bersumpah.... untuk membunuh isterimu....”
“Jangan khawatir, aku tidak beristeri,” kata Suling Emas, tersenyum.
“Tapi wanita yang memukulku itu? Ah, dia tentu tunanganmu!”
Suling Emas kembali menggelengkan kepalanya, tapi kini keningnya berkerut.
“Tapi, jelas dia mencintamu!”
Suling Emas kaget bukan main mendengar pernyataan ini. Bagaimana gadis ini bisa tahu bahwa Lin Lin mencintanya?
“Hemmm, mengapa kau berkata demikian?” katanya, suaranya tenang saja, padahal jantungnya berdebar keras.
“Dia cemburu kepadaku.... eh, kumaksudkan....”
Tan Lian menjadi gugup sekali karena tanpa ia sengaja atau sadari, ia sendiri sudah membuka rahasia hatinya.
“Tak mungkin, Nona. Dia adalah adik tiriku!”
Tan Lian tercengang dan entah mengapa, tiba-tiba wajahnya berseri gembira! Akan tetapi hanya sebentar, karena ia lalu menghela napas dan berkata dengan lirih dan berat,
“Aku sudah bersumpah memusuhimu, tak perlu kau berlaku baik kepadaku, tiada gunanya. Lebih baik aku mati saja, tak perlu kau carikan orang pandai untuk berobat.”
“Hemmm, mengapa kau begini putus harapan, Nona? Kau masih muda, kau berhak hidup....”
“Muda, katamu? Seorang wanita sudah berusia.... seperti aku, kau bilang masih muda? Aku adalah perawan tua. Tiada harapan lagi. Untuk apa hidup hanya menjadi bahan ejekan? Sebatangkara, tiada keluarga, tugas pun terbengkalai tak terpenuhi, apa artinya hidup? Aku sudah tua!” kembali air matanya mengalir turun.
“Kau masih muda, Nona Tan. Muda dan cantik jelita lagi gagah perkasa. Kurasa, dia yang merasa dirinya pandai dan tampan, satria-satria di dunia kang-ouw, akan berebutan untuk mendapatkan perhatianmu, dan akan merasa bahagia sekali kalau menjadi pilihanmu.”
Sepasang pipi gadis itu tiba-tiba menjadi merah, matanya memandang lebar-lebar ke arah Suling Emas seakan-akan hendak menyelidiki apakah ucapan itu keluar dari hati yang jujur. Melihat sepasang mata Suling Emas memandang sungguh-sungguh dan membayangkan kejujuran, Tan Lian menjadi begitu girang sehingga ia tergagap.
“Be.... betulkah....?”
Suling Emas lega hatinya. Ia mengangguk meyakinkan, lalu membungkuk dan memondong tubuh Tan Lian lagi sambil berkata,
“Mari kita lanjutkan perjalanan agar kita segera sampai di Thai-san. Tak baik bagi kesehatanmu terlalu banyak bicara seperti ini.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar