FB

FB


Ads

Sabtu, 13 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 135

“Perempuan keparat! Kau mau apa?” bentaknya.

“Suma Boan mata-mata busuk. Mau menghukummu, apa lagi?”

Suma Boan berseru keras dan cepat menyerang. Akan tetapi dengan mudah Liu Hwee mengelak dan balas menyerang. Suma Boan menyeringai karena merasa betapa kakinya yang tadi dicengkeram Sian Eng terasa sakit dan kaku, membuat gerakannya kacau. Sebetulnya kalau dibuat perbandingan, dalam hal kematangan ilmu silat, kiranya Suma Boan lebih tinggi sedikit daripada Liu Hwee. Ia sudah mewarisi banyak macam ilmu dan sudah lebih banyak pengalamannya bertempur.

Akan tetapi pada saat itu, Suma Boan sedang merasa gelisah memikirkan keadaan Sian Eng. Selain itu, ia pun masih menderita luka di betisnya, luka yang terasa perih, ditambah lagi cengkeraman Sian Eng pada pergelangan kakinya tadi serasa meremukkan tulang kakinya. Oleh karena merasa kaku dan sakit-sakit kakinya, segera Suma Boan mengeluarkan ilmunya yang paling ia andalkan, yaitu Tok-ci-ciang-hoat (Ilmu Silat Jari Beracun).

Ilmu silat ini ia warisi dari It-gan Kai-ong, hebatnya bukan main. Untuk mainkan ilmu silat ini, ia hanya menggunakan jari telunjuk dan jari tengah dari kedua tangannya, dipakai menyerang secara menusuk. Namun jangan dipandang remeh jari-jari ini, karena ketika ditusukkan, jari-jari ini mengandung hawa pukulan beracun yang sekali mengenai tubuh lawan dapat mengakibatkan maut datang menjemput.

Melihat datangnya serangan yang mengeluarkan angin berciutan serta melihat uap hitam yang mengepul dari jari-jari itu, Liu Hwee sebagai puteri ketua Beng-kauw yang sakti maklum dan dapat menduga bahwa lawannya mempergunakan ilmu pukulan jahat dan ganas. Ia tidak berani menghadapi pukulan-pukulan keji ini, cepat menggunakan gin-kang dan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana ke mari mencari kesempatan membalas. Ia maklum bahwa kalau tangannya sampai terbentur jari-jari itu, ia akan terluka oleh racun berbahaya.

Suma Boan menjadi makin penasaran dan melihat lawannya tampak takut menghadapi jari-jarinya, ia menjadi makin ganas. Serangannya makin gencar dan ia mengejar terus ke manapun juga Liu Hwee mengelak. Baik bagi Liu Hwee bahwa kaki Suma Boan terluka sehingga pemuda itu kehilangan kegesitannya. Andaikata tidak demikian, agaknya tidak mudah bagi Liu Hwee untuk dapat menyelamatkan diri.

Pertandingan ini berjalan setengah jam lebih dan Suma Boan mulai tampak lelah. Memang ia sudah lelah sekali, dan kakinya makin sakit. Namun berkat ilmu pukulannya yang dahsyat dan keji, Liu Hwee belum sempat membalas dan selalu menyelamatkan diri.

Hal ini dimengerti oleh Suma Boan, maka sambil mengeluarkan suara gerengan seperti harimau ia mendesak terus, mengerahkan seluruh tenaganya dan tidak mempedulikan rasa sakit di kakinya. Liu Hwee kaget sekali dan ia betul-betul terdesak ketika ia mengelak sambil main mundur. Akhirnya ia terdesak sampai di ujung perahu dan agaknya tidak ada jalan keluar lagi baginya.

“Ha-ha-ha, bocah sombong. Ke mana lagi kau akan lari?”

Suma Boan mengejek, lalu menerjang maju dengan tusukan kedua jari tangan kanannya sambil memekik,

“Hiaaaaattttt!”

Hebat bukan main serangan ini dan Liu Hwee sudah berada di pinggir perahu, kalau ia melompat ke belakang tentu ia akan jatuh ke dalam air!

Namun gadis yang tenang dan gesit gerakannya ini dapat melihat bahwa betapapun hebat dan berbahayanya serangan lawan ini, ia dapat melihat bahwa Suma Boan sudah kehilangan kecepatannya. Maka dengan tenang dan tabah ia miringkan tubuh secepat kilat setelah ujung kedua jari berbahaya itu sudah mendekati dadanya.

Kedua ujung jari itu lewat hampir mengenai bajunya dan cepat Liu Hwee menggerakkan tangan kirinya mencengkeram pergelangan tangan kanan Suma Boan. Sebelum Suma Boan hilang kagetnya menyaksikan gerakan nekat Liu Hwee ini, puteri Beng-kauw yang perkasa itu telah mengerahkan tenaga, serentak menarik dengan lwee-kang sepenuhnya sambil menggerakkan dan melepaskan lengan itu.






Suma Boan memang sudah lelah dan tenaganya banyak berkurang. Apalagi ia tidak mengira sama sekali bahwa gadis yang sudah ia desak hebat itu akan melakukan perbuatan ini. Maka begitu ia disentakkan secara tiba-tiba dan kuat, tubuhnya yang ketika menusukkan jari tadi memang sudah condong ke depan dan kaki kanannya juga terangkat ke depan, tak dapat ia pertahankan lagi, terlempar dan....

“byurrrrr!” air sungai muncrat tinggi ketika tertimpa tubuh Suma Boan yang cukup berat.

Liu Hwee yang memang curiga bahwa putera bangsawan ini mengambil sesuatu dari Beng-kauw, cepat memasuki bilik perahu. Akan tetapi bilik itu kosong, tidak tampak seorang pun manusia. Ia memeriksa cepat dengan pandang matanya, namun tidak mendapatkan sesuatu yang penting.

Lalu ia melompat keluar lagi, juga tidak melihat Suma Boan. Agaknya pemuda jahat itu sudah tenggelam ke dalam sungai. Gadis ini lalu menggerakkan kedua kakinya melompat ke darat, lalu lari menuju pulang. Ia pun merasa lelah sekali karena semalam suntuk ia melakukan pengejaran, sedangkan pertandingan tadi sudah memeras banyak tenaganya.

Tentu saja tidak benar dugaan Liu Hwee bahwa Suma Boan mati tenggelam di dasar sungai. Pemuda bangsawan ini terlalu cerdik dan licin untuk dapat ditewaskan secara begitu mudah. Karena maklum bahwa dalam keadaan terluka dan lelah seperti itu tak mungkin ia dapat melakukan perlawanan lagi, pula karena khawatir kalau-kalau Liu Hwee menanti di pinggir perahu dan siap menyerangnya dengan serangan maut apabila ia hendak kembali ke perahu, Suma Boan lalu menyelam dan bersembunyi di bawah perahu dengan hanya mengeluarkan hidung dan mulutnya di permukaan air.

Dari bawah ia melihat perahu itu bergoyang-goyang sedikit, tanda bahwa di atasnya terdapat orang bergin-kang tinggi sedang bergerak. Tadinya ia mengharap Sian Eng membelanya dan menyerang Liu Hwee. Akan tetapi, goyangan perahu hanya sebentar saja, lalu diam dan sama sekali tidak bergerak. Maka Suma Boan lalu naik ke perahu, melalui tambang yang tergantung ke bawah. Dengan hati-hati ia melompat naik ke atas perahu, takut kalau-kalau ada bahaya mengancam. Terhadap Liu Hwee ia tidak begitu takut, akan tetapi ia ngeri memikirkan sepak terjang Sian Eng.

Namun di perahu itu sunyi saja, tidak terdapat seorang pun manusia. Suma Boan berindap-indap memasuki kamar perahu, menjenguk hati-hati. Kosong! Hatinya serasa tertusuk, penuh kekecewaan, penasaran dan kemarahan. Tak perlu ia mencari lagi. Terang bahwa dua buah kitab kuno yang dibawa Sian Eng dan kemudian ia rampas, ketika tadi jatuh dari dalam saku bajunya telah diambil kembali oleh Sian Eng yang sekarang telah pergi entah kemana!

“Perempuan laknat!”

Suma Boan menyumpah-nyumpah sambil menanggalkan pakaiannya yang basah untuk diganti dengan yang kering. Kemudian ia duduk di atas dipan dan termenung. Sian Eng telah ia nodai dan ada dua akibat yang mungkin menjadi ekor peristiwa ini. Pertama, gadis itu akan merasa menjadi isterinya walaupun tidak sah dan inilah yang ia harapkan ketika ia melakukan perbuatan terkutuk itu. Apabila begini akibatnya, tentu Sian Eng kelak akan hilang marahnya dan akan datang menyerahkan diri dan kalau sudah begitu, boleh saja ia pura-pura mengawininya dengan sah agar kitab-kitab itu dan terutama ilmu aneh yang dimiliki Sian Eng dalam waktu dua pekan, terjatuh ke dalam tangannya.

Akan tetapi akibat ke dua mengerikan hatinya. Mungkin sekali akibatnya sebaliknya sama sekali, dan gadis itu akan merasa sakit hati kepadanya lalu memelihara dendam kesumat yang tiada habisnya terhadap dirinya. Memikirkan akibat ke dua ini, Suma Boan bergidik.

“Dua buah kitab itu telah kulihat sepintas lalu, yang sebuah adalah kitab ilmu silat dan yang sebuah lagi ilmu pedang. Akan tetapi Sian Eng telah memiliki tenaga kecepatan dan gerakan yang luar biasa anehnya yang tak mungkin ia pelajari dari dua buah kitab itu, apalagi hanya dalam waktu dua pekan. Agaknya banyak rahasia aneh di dalam gua itu. Aku harus memberi tahu suhu.... ah, tidak, kalau suhu yang menemukan semua itu, tentu takkan diberikan kepadaku....”

Demikianlah, Suma Boan melamun dan memeras pikirannya. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mencari kesempatan baik dan kalau kesempatan ini terbuka, ia sendiri yang akan menyelidiki ke dalam gua. Akan tetapi untuk itu ia harus membuat persiapan. Sebelum melakukan tugas penting ini, lebih dulu ia harus menemui gurunya dan kebetulan gurunya akan membuat pertemuan di puncak Thai-san. Maka berangkatlah Suma Boan ke arah Thai-san.

Adapun Sian Eng, setelah melempar keluar Suma Boan, sambil terisak-isak lalu menyambar dua buah kitab dan selagi Suma Boan bertanding melawan Liu Hwee, ia mempergunakan kesempatan itu untuk melesat keluar dari jendela bilik perahu, terus melompat ke darat dan melarikan diri sambil menangis tersedu-sedu sepanjang jalan.

Akan tetapi, kadang-kadang ia tertawa dan memaki-maki diri sendiri. Mulai saat itu, apabila teringat akan nasibnya, teringat kepada Suma Boan, keadaan Sian Eng menjadi berubah tidak normal lagi, suka menangis dan tertawa berganti-ganti.

Tujuan hatinya hendak mencari kakaknya, Suling Emas, untuk mengadukan semua hal ihwalnya ini, untuk mengadukan penasarannya dan mohon kepada kakak tirinya untuk membalaskan dendamnya.

Akan tetapi apabila ia dalam keadaan tenang, ia hanya menangis perlahan dan termenung-menung, akan tetapi sifat liar itu lenyap. Dengan cepat Sian Eng yang pernah mendengar tentang niat Suling Emas mewakili ibunya ke Thai-san, juga menyusul ke Thai-san untuk bertemu dengan Suling Emas.

Demikianlah, setelah tiba di lereng Thai-san, secara kebetulan sekali ia yang berada di bawah jurang melihat orang jatuh meluncur dari atas. Betapapun berubahnya watak Sian Eng, melihat orang terancam maut ini, tak dapat ia berpeluk tangan, timbul sifat satria keturunan ayahnya.

Ia lalu mempergunakan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan ternyata ia berhasil menolong Bok Liong. Ketika melihat bahwa yang ia tolong adalah Lie Bok Liong, seketika timbul rasa malu di hatinya karena ia merasa bahwa ia telah menjadi seorang yang terhina, maka tanpa banyak cakap ia lari meninggalkan pemuda yang ditolongnya itu dan terus ia mendaki puncak dengan kecepatan luar biasa.

**** 135 ****






Tidak ada komentar:

Posting Komentar