FB

FB


Ads

Sabtu, 13 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 134

Betapapun Suma Boan mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, ia tidak dapat mengimbangi kecepatan senjata cambuk di tangan Liu Hwee dan pada saat sebuah di antara bola-bola baja itu menyambar pundaknya, Suma Boan mengeluh panjang dan terhuyung-huyung. Ia sudah mengerahkan tenaga untuk menolak pukulan itu, namun tetap saja karena yang diarah adalah jalan darah yang lemah, ia menderita luka yang biarpun tidak parah namun cukup membuat kedudukannya menjadi makin lemah.

“Siapa berani mengotori tempat suci Beng-kauw, harus mati!”

Seru Liu Hwee dan senjatanya kembali menyambar, kini mengarah kepala dan yang sebuah lagi menotok pusar. Serangan maut yang agaknya sukar untuk dapat dihindarkan oleh Suma Boan yang sudah terhuyung-huyung.

Akan tetapi tiba-tiba menyambar angin pukulan yang amat dahsyat dari samping, yang membuat sepasang bola di ujung cambuk itu meleset arahnya, bahkan tampak bayangan orang yang cepat menyambar cambuk itu dan sekali merenggut, cambuk itu terampas dari tangan Liu Hwee!

Gadis ini kaget sekali karena sama sekali tidak menyangka-nyangka sehingga senjatanya kena dirampas orang. Ia mengira bahwa yang datang tentulah It-gan Kai-ong atau setidaknya tentu kawan Suma Boan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ia meloncat mundur dan siap-siap menghadapi lawan tangguh dengan tangan kosong.

Akan tetapi bayangan itu sudah menyambar tubuh Suma Boan dan dibawa lari dari tempat itu! Lie Hwee menjadi penasaran sekali, biarpun ia maklum bahwa lawan amat tangguh dan ia harus berhati-hati, namun ia diam-diam mengikuti dan mengejar ke arah lenyapnya bayangan yang membawa lari senjata dan juga membawa lari Suma Boan itu.

Sayang baginya, malam yang gelap membuat ia kehilangan jejak lawannya sehingga akhirnya Lie Hwee hanya melanjutkan pengejarannya dengan kira-kira saja, untung-untungan.

Sementara itu, bayangan tadi membuang jauh-jauh senjata rampasannya, dan terus membawa lari Suma Boan.

“Suma-koko.... kau terluka....?” katanya sambil lari.

Sejenak Suma Boan tak mampu menjawab. Tadi ketika ia sudah terancam bahaya maut di tangan Liu Hwee, ia merasa girang dan heran karena tertolong oleh bayangan yang belum ia ketahui siapa dia. Akan tetapi ketika tubuhnya disambar dan dibawa lari, ia tahu bahwa orang ini adalah seorang gadis yang pakaiannya robek-robek tidak karuan, akan tetapi yang memiliki kepandaian hebat sekali.

Karena kehebatan gerak inilah maka ia tidak mengenal Sian Eng, karena mana mungkin Sian Eng memiliki kepandaian sehebat ini? Pula, keadaan yang gelap membuat ia tidak dapat melihat wajah gadis itu dengan baik. Baru sekarang setelah gadis itu membuka mulut bicara, ia tahu bahwa penolongnya bukan lain adalah Sian Eng! Tentu saja ia menjadi bengong dan tak mampu menjawab. Pikirannya bekerja. Tentu terjadi sesuatu yang hebat kepada diri Sian Eng, dan tentu selama dua pekan itu, Sian Eng telah mempelajari ilmu yang sakti.

Suma Boan memang seorang yang cerdik, akan tetapi juga hatinya kotor oleh syakwasangka dan penuh tipu muslihat. Ia mulai curiga. Tentu gadis ini mengkhianatinya, setelah mendapatkan ilmu lalu dimilikinya sendiri!

“Suma-koko.... hebatkah lukamu?”

Kembali Sian Eng bertanya sambil melanjutkan larinya, karena gadis ini merasa khawatir kalau-kalau ada yang mengejar mereka.

Suma Boan pura-pura mengeluh panjang,
“Cukup hebat.... mengapa kau begitu lama baru muncul, Moi-moi? Dan bagaimana hasilnya, dapatkah kau menemukan kitab-kitab itu?”

“Dapat.... dapat.... jangan khawatir, Suma-koko. Aku membawa dua buah kitab untukmu.”

Tiba-tiba gadis ini tertawa dan berdirilah bulu tengkuk Suma Boan. Suara ketawa ini tidak sewajarnya, pikirnya. Akan tetapi diam-diam ia girang bukan main.

“Mana kitab-kitab itu? Biarlah aku yang membawanya!” katanya menahan suaranya agar tidak gemetar.

“Nanti saja, kita lari dulu, takut kalau-kalau dikejar musuh.”






“Katakan saja dimana, aku yang akan ambil.” tangan Suma Boan mulai meraba-raba.

Kembali Sian Eng tertawa geli,
“Ihhh, jangan begitu. Kusimpan di balik.... baju dalam dan....”

Tiba-tiba suaranya terhenti dan gadis itu roboh lemas. Kiranya Suma Boan telah menotoknya dengan tiba-tiba. Karena yang ditotok adalah tong-cu-hiat di belakang leher dan thian-hu-hiat, maka seketika Sian Eng roboh lemas dan tak dapat mengeluarkan suara lagi.

Terpaksa ia hanya dapat melihat dan merasa betapa Suma Boan meraba-raba dadanya dan mengeluarkan dua buah kitab yang disimpannya disitu. Terdengar pemuda itu berseru girang, mengantongi dua buah kitab itu lalu menyambar tubuh Sian Eng dan kini gadis itulah yang dibawa lari oleh Suma Boan, dipondong di atas pundak!

Sian Eng memjadi kecewa dan juga bingung. Sama sekali ia tidak menyangka bahwa kekasihnya akan melakukan perbuatan seperti ini. Saking marahnya, ketika ia berusaha untuk mengerahkan tenaga, jalan darahnya yang berhenti itu membuat hawa sakti menyerang dirinya sendiri dan ia pingsan seketika!

Ketika Sian Eng siuman dari pingsannya, ia mengerang perlahan dan tubuhnya tidak karuan rasanya. Ia memandang ke kanan kiri dan mendapatkan dirinya berbaring telentang di atas sebuah dipan di dalam kamar perahu yang oleng ke kanan kiri, agaknya sebuah perahu besar yang berlabuh di pinggir.

Melihat kamar yang bersih dan indah ini, tentu ia berada di sebuah perahu yang mewah. Sinar matahari yang memasuki jendela kamar perahu menandakan bahwa malam telah berganti pagi dan hawa pagi itu sejuk menyegarkan. Namun Sian Eng tidak merasa segar bahkan merasa tidak enak sekali.

Kagetlah ia ketika menengok dirinya. Ternyata pakaiannya yang robek-robek semalam telah diganti pakaian indah bersih, pakaiannya sendiri yang buntalannya dibawa Suma Boan ketika ia memasuki gua. Seketika wajahnya menjadi merah. Ia dapat menduga bahwa tentu Suma Boan yang mengganti pakaiannya. Serentak ia bangkit dan ia menyeringai. Badannya terasa sakit-sakit. Kemarahannya bangkit ketika ia teringat akan kelakuan Suma Boan semalam, yang secara khianat telah menotoknya. Kemudian kecurigaannya timbul ketika ia menyaksikan keadaan dirinya di pagi ini.

Tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dari luar dan masuklah Suma Boan. Pemuda ini berpakaian indah bersih pula, wajahnya berseri-seri dan ia memandang kepada Sian Eng dengan senyum lebar yang menambah ketampanan wajahnya.

“Isteriku yang manis, kau sudah bangun?”

Bagaikan disambar petir Sian Eng memandang terbelalak. Ucapan ini memperkuat kekhawatiran hatinya.

“Apa.... apa kau bilang....?”

Kemudian, pandang mata Suma Boan seakan-akan menceritakan semuanya, membuat Sian Eng gemetar seluruh tubuhnya.

“Kau.... kau telah melakukan....”

Suma Boan melangkah maju dan memeluknya mesra.
“Isteriku, kau isteriku yang tercinta. Sian Eng, kita telah menjadi suami isteri dan.... aduhhh....!”

Suma Boan terlempar ke sudut kamar karena dengan tenaga yang dahsyat sekali Sian Eng telah mendorongnya. Sian Eng kini bangkit berdiri, matanya merah menyala-nyala, pipinya seperti terbakar rasanya.

“Keparat biadab! Kau.... kau berani....”

Suma Boan terkejut bukan main, akan tetapi sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, ia tidak terluka. Ia melangkah maju lagi dan membujuk dengan suara manis.

“Eng-moi-moi, kau kenapakah? Bukankah kau mencintaku? Bukankah kau tahu bahwa aku pun mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku, dan bahwa kita toh akan menjadi suami isteri juga kelak? Aku.... saking bahagia hatiku semalam melihat besarnya cinta kasihmu sehingga kau rela melakukan tugas berbahaya, kemudian melihatmu aku tak tahan lagi. Ah, Sian Eng, apa sebabnya kau menjadi marah-marah?”

“Keparat busuk!”

Sian Eng memaki dan bagaikan seekor singa betina ia menerjang maju. Suma Boan tentu saja tidak mau membiarkan dirinya diserang, cepat ia mengelak, malah kemarahannya kini bangkit.

Memang sesungguhnya di hati putera pangeran ini tidak ada cinta kasih murni terhadap Sian Eng, yang ada hanya cinta berdasarkan nafsu binatang belaka yang dibangkitkan oleh kecantikan gadis itu. Perlakuannya terhadap Sian Eng memang ia sengaja, merupakan siasatnya karena ia menafsir bahwa Sian Eng telah mewarisi ilmu yang hebat dan jika sudah menjadi “isterinya” tentu Sian Eng akan membuka rahasia ilmu itu kepadanya. Tentu saja di samping ini, juga kelemahan batinnya terhadap kecantikan Sian Eng merupakan sebab yang kuat pula sehingga di malam itu ia melakukan perbuatan biadab seperti binatang.

Kini dalam marahnya, Suma Boan balas menyerang. Memang ilmunya lebih tinggi daripada kepandaian Sian Eng, maka sekali ia mengeluarkan jurus yang sulit, tangannya berhasil memukul pundak Sian Eng, membuat gadis itu terjungkal.

“Kau hendak berlagak, ya? Mulai sekarang kau harus mentaati segala perintahku, kalau tidak, kau akan kusiksa sampai mampus! Perempuan tak tahu diri, diperlakukan baik-baik kau tidak mau terima!”

Sambil berkata demikian, dalam kebesaran hatinya sudah berhasil merobohkan Sian Eng, Suma Boan melangkah maju.

Sian Eng rebah miring dan menoleh. Matanya terbelalak. Peristiwa ini hampir membuatnya menjadi gila. Rasa menyesal, kecewa, marah, malu, dan sakit hati memenuhi kepalanya, membuat kepalanya berdenyut-denyut, membuat tubuhnya sebentar panas sebentar dingin.

Tak disangkanya sama sekali bahwa orang yang dicintanya, yang dipujanya, yang diharapkan menjadi suaminya kelak, memperlakukan dia seperti ini. Tiba-tiba kemarahannya memuncak, ia mengerahkan tenaga Ban-kin-pek-ko-chiu dan ketika Suma Boan sudah melangkah dekat, ia siap-siap.

Benar saja, Suma Boan yang bermaksud hendak “menundukkan” Sian Eng mengangkat kakinya menendang. Pada saat itu Sian Eng menyambar kaki itu dan ia melompat berdiri. Suma Boan tidak bisa berkutik, tubuhnya jungkir-balik dan Sian Eng mengayun-ayun tubuh itu, diputar-putarnya di atas kepala!

“Kuhancurkan kepalamu! Kukeluarkan jantungmu! Binatang kau, jahanam keparat!” Sian Eng memaki-maki sambil menangis dan air matanya bercucuran.

Suma Boan takut setengah mampus. Ia berusaha untuk mengerahkan tenaga dan melepaskan diri, namun kakinya yang dicengkeram tangan Sian Eng itu serasa hancur dan ia tidak mampu meronta. Ia mulai merintih-rintih dan dari dalam saku bajunya meluncur keluar dua buah kitab kuno. Melihat ini Sian Eng mendadak tertawa-tawa!

“Hi-hi-hi-hik! Untuk dua kitab ini kau tega merusak diri dan hatiku! Kau tega menghancurkan harapan hidupku, membuyarkan cita-citaku, membanting remuk kasih sayangku. Hanya untuk dua buah kitab kuno, hi-hi-hik!”

Makin takutlah Suma Boan.
“Sian Eng.... Moi-moi.... kau ampunkanlah diriku.... Eng-moi, ingatlah.... aku cinta kepadamu, sungguh mati, biar aku bersumpah....!” Akan tetapi kata-katanya tenggelam dalam suara ketawa Sian Eng.

Pada saat itu, terdengar suara wanita nyaring di luar bilik perahu. Suara Liu Hwee yang menantang,

“Bangsat Suma Boan! Keluarlah kalau kau laki-laki!”

Sian Eng terkekeh makin geli.
“Dia memang laki-laki, akan tetapi laki-laki seperti anjing. Nah, terimalah!” Ia mengayun tubuh Suma Boan dan melemparkannya keluar dari pintu.

Baiknya Suma Boan dapat mengerahkan gin-kangnya sehingga ia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan dapat jatuh berdiri di luar kamar. Alangkah kagetnya ketika ia melihat Liu Hwee yang berdiri di situ dengan sikap menantang.

Mula-mula ia khawatir kalau-kalau Liu Hwee datang bersama orang lain. Akan tetapi setelah mendapat kepastian bahwa gadis puteri Beng-kauw ini hanya seorang diri, apalagi tidak bersenjata, melainkan bertangan kosong dan bertolak pinggang di situ, hatinya menjadi besar. Ia merasa malu sekali. Kalau tadi Liu Hwee atau orang lain menyaksikan keadaannya, benar-benar hal itu akan membuat ia malu dan merasa terhina oleh Sian Eng itulah maka kini kemarahannya ia tumpahkan kepada Liu Hwee.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar