Ia menjerit-jerit terus sampai ruangan itu menjadi gelap pekat karena matahari sudah lenyap dari angkasa, dan ia ber¬henti setelah suaranya menjadi serak dan habis. Dengan lelah dan lemah lahir ba¬tin, Sian Eng kini duduk bersandar dinding. Mulailah ia menenteramkan hatinya dan memperhatikan sekeliling yang kini menjadi gelap sekali itu. Dan setelah ia dapat menenangkan hatinya, baru ia tahu bahwa kini banyak sekali kelelawar berseliweran di dalam ruangan itu. Mula-mula ia merasa heran, dari mana datangnya begitu banyak kelelawar? Kemudian ia teringat bahwa di antara batu-batu penutup lorong itu terdapat lubang-lubahg yang cukup lebar untuk diterobosi kelelawar-kelelawar itu. Pada saat itu, alangkah inginnya dia menjadi seekor kelelawar!
Semalam suntuk, selama ruangan di bawah tanah itu gelap pekat menghitam membuat Sian Eng merasa seperti menjadi buta, merupakan saat-saat yang amat menyiksa bagi gadis ini. Bukan hanya tersiksa oleh keadaan dan tersiksa oleh para kelelawar yang makin memenuhi ruangan itu dan menyambarinya dari segenap penjuru, juga tersiksa oleh rasa serem dan ngeri, juga takut karena ia tak dapat memikirkan jalan keluar sama sekali. Andaikata Suma Boan datang pula menyusulnya, bagaimana pemuda itu dapat membebaskannya dari kurungan batu-batu yang kokoh kuat ini? Sian Eng tak dapat menangis lagi, air matanya sudah kering.
Akhirnya, menjelang pagi ia masih berjalan mengelilingi ruangan itu, meraba-raba sepanjang dinding bagaikan orang yang tidak waras otaknya.
“Aku harus hidup! Aku harus hidup!”
Terdengar ia berteriak-teriak dan menjerit-jerit, kemudian ketika ada angin menyambar, ia cepat menggerakkan tangannya untuk menangkap kelelawar itu, namun sia-sia. Binatang kecil ini amat gesit dan berbeda dengan dia yang buta di dalam gelap, binatang ini memiliki sesuatu sebagai pengganti mata, sesuatu yang merupakan indera rahasia, yang membuat ia mempunyai perasaan amat peka sehingga sambaran tangan Sian Eng itu dapat dielakkannya. Malah kemudian tiba-tiba gadis ini merasa tengkuknya disambar seekor kelelawar dan terasa kulit tengkuknya sakit sekali.
“Kurang ajar!”
Bentaknya, cepat ia mencengkeram ke belakang tengkuknya, namun binatang itu setelah menggigit sudah terbang pergi lagi.
Sian Eng meraba bekas gigitan, berdarah sedikit. Akan tetapi agaknya bau darah ini membuat binatang-binatang kecil itu menjadi ganas dan liar, karena secara tiba-tiba binatang-binatang itu menyerang Sian Eng dari segala jurusan. Sian Eng menggerak-gerakkan kedua tangannya, menampar kesana-sini, mencengkeram ke sana-sini. Ia berhasil meruntuhkan beberapa ekor kelelawar, akan tetapi gigitan-gigitan itu mengenai banyak bagian tubuhnya, leher, lengan, pipi, kaki.
Hebatnya, bekas-bekas gigitan itu terasa gatal dan panas dan akhirnya gadis ini terguling roboh ketika racun-racun dari luka gigitan membuatnya pening. Ketika ia roboh, binatang-binatang kecil itu masih menyerbu dan menggigitinya, mengisap darah!
Suma Boan yang menunggu di luar gua tanpa mengetahui keadaan gadis itu, menjadi amat gelisah karena sudah tiga hari tiga malam ia menanti, belum juga Sian Eng muncul keluar! Pemuda ini tetap bersembunyi di mulut gua, di belakang rumpun alang-alang karena ia khawatir kalau-kalau terlihat oleh orang-orang Beng-kauw. Hanya di waktu malam ia meninggalkan tempat sembunyinya untuk mencari makanan. Betapapun juga ia percaya penuh akan kesetiaan Sian Eng dan dengan sabar ia menanti.
Akan tetapi setelah lewat dua pekan masih juga belum ada bayangan gadis itu, Suma Boan habis sabar dan merasa gelisah sekali. Tentu saja ia tidak mengkhawatirkan keadaan Sian Eng, karena pada hakekatnya pemuda bangsawan ini berhati palsu, sama sekali ia tidak mencinta Sian Eng dengan hati murni, melainkan hanya suka karena kecantikannya. Baginya, keselamatan Sian Eng sama sekali tidaklah penting, yang penting adalah kitab-kitab itu. Ia gelisah karena memikirkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Apakah Sian Eng tertangkap? Ataukah gadis itu tidak mau memberikan kitab-kitab kepadanya? Hanya itulah yang ia pikirkan.
Karena khawatir kalau-kalau usahanya mendapatkan kitab-kitab itu gagal, maka pada hari ke enam belas, pagi-pagi setelah matahari mulai bersinar, Suma Boan memasuki gua itu untuk menyusul Sian Eng. Dengan pedang di tangan ia melangkah maju dengan hati-hati sekali. Seperti juga halnya Sian Eng, ia sampai di lorong yang membawanya ke ruangan yang kini tertutup batu.
Akan tetapi bedanya, ketika Sian Eng memasuki lorong ini, ada cahaya terang sinar matahari dari ruangan, kalau sekarang, karena yang menyorot dari celah-celah batu penutup, maka keadaan hanya remang-remang saja.
Betapa kaget dan bingungnya hati Suma Boan ketika ia tiba di depan batu besar yang menutup lorang. Jalan itu menjadi buntu! Dicobanya untuk mendorong batu itu, namun sia-sia belaka. Ia merayap pada batu itu untuk mengintai dari lubang atau celah-celah antara batu dan dinding karang, akan tetapi hanya melihat lantai batu yang amat terang karena pada saat itu cahaya matahari sudah memasuki sumur itu.
“Eng-moi!”
Ia memanggil. Sunyi tiada jawaban, hanya gema suaranya yang terdengar menggereng seperti suara dari alam lain.
“Sian Eng! Di mana kau?” Kembali ia berseru keras. Tetap sunyi.
Ah, tentu Sian Eng tidak berada di balik batu ini, pikirnya. Kalau dia sendiri tidak mampu mendorong batu ini, apalagi Sian Eng? Tentu, seperti juga dia sendiri gadis itu tidak dapat menembus jalan buntu ini dan menggunakan jalan lain. Tentu ada jalan simpangan di lorong bawah tanah ini, pikirnya.
Suma Boan lalu memutar tubuh dan dengan hati-hati, meraba-raba dinding batu ia kembali dan mencari jalan simpangan. Siapa tahu ada jalan simpangan dan Sian Eng tentu mengambil jalan simpangan itu. Usahanya berhasil. Memang betul terdapat jalan simpangan ini. Tangannya meraba lubang di sebelah kiri dinding dan ternyata di situ terdapat lorong kecil yang hanya dapat ia masuki dengan perlahan karena lebarnya hanya setengah meter saja.
Lorong kecil ini seakan-akan tidak ada ujungnya. Suma Boan maju terus sambil memanggil-manggil nama Sian Eng. Akhirnya lorong ini menembus pada sebuah ruangan lebar dan Suma Boan berdiri terpaku saking kaget dan serem. Lorong itu diterangi sinar kehijauan yang entah datang dari mana. Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika dari tempat gelap tiba-tiba ia dapat melihat, akan tetapi ia dihadapkan penglihatan yang luar biasa seremnya.
Ruangan itu lebarnya kurang lebih dua tombak, panjangnya tiga tombak. Di tiap ujung berdiri sebuah rangka manusia yang lengkap dengan rahang terbuka seakan-akan hendak berkata-kata atau hendak menggigit. Anehnya, empat buah rangka itu semua memegang senjata, sebuah memegang sepasang pedang, sebuah memegang golok, sebuah memegang joan-pian (semacam cambuk baja), dan yang sebuah lagi memegang tombak!
Suma Boan bukanlah seorang penakut. Dia murid seorang sakti yang menjadi seorang di antara Enam Iblis. Gurunya It-gan Kai-ong, agaknya lebih menakutkan daripada empat buah rangka manusia yang memegang senjata ini. Apa yang perlu ditakutkan dari empat buah rangka yang sudah mati dan tak dapat bergerak lagi? Pula, melihat keadaan ruangan yang aneh dan menyeramkan ini, agaknya di situlah disimpannya kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui! Oleh karena itu, dengan tabah hati Suma Boan melangkah memasuki ruangan itu dengan pedang di tangan.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia tiba di tengah ruangan, tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan empat buah rangka manusia itu bergerak-gerak menyerangnya dari empat penjuru!
Suma Boan kaget, akan tetapi ia tidak merasa takut, cepat ia memutar pedang menangkis. Ia memandang rendah. Apalagi hanya empat buah rangka mati yang entah bagaimana sekarang dapat bergerak menyerangnya, sedangkan manusia-manusia hidup saja kalau hanya baru empat orang mengeroyoknya, ia tidak akan takut! Dipikirnya bahwa sekali memutar pedang menangkis, tentu ia akan dapat membabat putus senjata-senjata dan tulang-tulang lengan mereka.
Terkejutlah Suma Boan ketika melihat betapa gerakan serangan mereka itu hebat dan aneh sekali, senjata mereka tidak bergerak biasa, melainkan dengan gerakan tergetar, ada yang menyerong dan ada yang berbentuk lingkaran yang sukar sekali diduga ke mana titik yang akan diserang. Inilah gerakan-gerakan dari jurus ilmu silat yang amat tinggi dan aneh!
Ia berusaha menyelamatkan diri dan berhasil menangkis sepasang pedang dan golok sekaligus, akan tetapi ia tak dapat mencegah serampangan gagang tombak pada kakinya dan cambukan pada punggungnya! Suma Boan merasa punggung dan kakinya sakit sekali dan tak dapat tertahankan lagi ia terguling roboh di atas lantai!
Kiranya empat buah rangka itu hanya satu kali saja menyerang karena kini secara otomatis mereka bergerak mundur dan berdiri mati di tempat masing-masing, yaitu di sudut-sudut ruangan itu. Kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan muncullah tiga ekor ular dari sebelah depan, tiga ekor ular kelaparan yang langsung merayap menghampiri Suma Boan.
Sebagai seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman, sekali melihat saja tahulah Suma Boan bahwa ular-ular itu adalah ular-ular kepala putih yang amat berbisa, yang gigitannya sekali saja dapat mendatangkan maut! Dan ia dapat memperhitungkan pula bahwa rangka-rangka itu digerakkan oleh alat rahasia yang agaknya akan menggerakkan rangka-rangka itu kalau ia menginjak lantai ruangan, maka jalan satu-satunya untuk dapat keluar dari ruangan ini hanya dengan jalan merangkak perlahan-lahan.
Akan tetapi kalau hal ini ia lakukan, ia akan terlambat karena ular-ular itu akan menyerangnya. Punggungnya masih terasa sakit yang membuat gerakannya kurang cepat dan kalau ia menggunakan pedangnya melawan ular-ular itu, keselamatannya belum tentu terjamin.
Pemuda bangsawan yang cerdik ini tanpa ragu-ragu lagi lalu menggunakan pedangnya, merobek dan memotong sebagian daging betis kirinya. Karena pedangnya amat tajam dan gerakan tangannya amat kuat, hampir tidak terasa nyeri ketika ia memotong betisnya. Gumpalan daging betisnya ia lemparkan ke tengah-tengah ular dan seketika ular-ular itu saling terjang untuk memperebutkan daging berdarah yang segar itu! Suma Boan mempergunakan kesempatan ini untuk merangkak, pergi dan begitu ia tiba di lorong, lalu ia menggerakkan kedua kakinya berdiri dan lari dari tempat itu.
Baru sekarang terasa betapa perih dan sakitnya kaki yang dipotong daging betisnya. Ia berhenti di tempat gelap, merobek celananya dan membalut luka di betisnya setelah ia beri obat bubuk yang memang tersedia di saku bajunya. Kemudian ia berjalan lagi sambil berteriak-teriak memanggil Sian Eng.
Mulai gelisah hati Suma Boan. Apakah yang terjadi dengan gadis itu? Terus melalui terowongan besar tentu tak mungkin karena terhalang batu besar. Memasuki lorong kecil ini pun takkan mungkin karena tentu akan bertemu ruangan rahasia yang amat berbahaya itu. Lalu kemana perginya Sian Eng? Jangan-jangan gadis itu telah tertawan oleh orang-orang Beng-kauw, pikirnya. Kalau tewas tentu ia dapat melihat mayatnya. Tak mungkin tiga ekor ular tadi menghabiskan seluruh badan mayat seseorang apalagi tiga ekor ular tadi kelihatan kelaparan, tanda bahwa berbulan-bulan tidak mendapat mangsa.
Dengan tubuh sakit-sakit dan hati kecewa sekali Suma Boan keluar dari terowongan itu. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pening dan napasnya sesak. Cepat ia berhenti di tempat gelap dan mengumpulkan napas, mengerahkan sin-kangnya. Sebagai murid orang sakti, tahulah ia bahwa ia telah kena hisap hawa beracun yang kini mulai mempengaruhinya! Kaget bukan main hati Suma Boan. Ia terhuyung-huyung dan pandang matanya kabur.
Hatinya lega ketika ia melihat sinar terang dari luar gua. Ia telah tiba di mulut gua dan tiba-tiba tampak olehnya bayangan seorang wanita berkelebat di depan gua itu.
“Moi-moi....! Kekasihku, akhirnya kita bertemu juga....!”
Teriaknya girang sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar keluar. Pandang matanya agak berkunang dan kabur, akan tetapi ia masih dapat melihat bahwa yang berdiri di luar alang-alang itu adalah seorang gadis muda. Siapa lagi kalau bukan Sian Eng?
“Kekasihku....!”
“Tutup mulutmu yang kotor!”
Tiba-tiba bayangan itu membentak dan sebuah tamparan keras menyambar muka Suma Boan.
Biarpun kepalanya pening, namun Suma Boan belum kehilangan kelihaiannya. Ia cepat mengelak dan bahkan berusaha mencengkeram lengan tangan gadis itu yang juga dapat menghindarkan diri.
“Moi-moi.... kau hendak mengkhianatiku? Serahkan kitab-kitab itu, dimana kau sembunyikan?” bentak Suma Boan sambil menubruk lagi hendak memeluk gadis itu.
Dengan teriakan tertahan, gadis itu mengelak dan menerjang Suma Boan dengan obor di tangannya. Kiranya cahaya terang yang kelihatan dari dalam gua oleh Suma Boan tadi adalah sebuah obor yang dipegang oleh gadis itu, dan ternyata bahwa keadaan waktu itu telah mulai gelap!
Suma Boan menjadi marah sekali dan cepat ia menggerakkan tangan melakukan pukulan jarak jauh dan.... padamlah obor itu. Keadaan sudah menjelang malam, namun masih belum gelap benar, cuaca remang-remang.
Tampak bayangan lain berkelebat datang,
“Ada apakah, Hwee-ji (Anak Hwee)?” terdengar bayangan yang datang ini bertanya.
Semalam suntuk, selama ruangan di bawah tanah itu gelap pekat menghitam membuat Sian Eng merasa seperti menjadi buta, merupakan saat-saat yang amat menyiksa bagi gadis ini. Bukan hanya tersiksa oleh keadaan dan tersiksa oleh para kelelawar yang makin memenuhi ruangan itu dan menyambarinya dari segenap penjuru, juga tersiksa oleh rasa serem dan ngeri, juga takut karena ia tak dapat memikirkan jalan keluar sama sekali. Andaikata Suma Boan datang pula menyusulnya, bagaimana pemuda itu dapat membebaskannya dari kurungan batu-batu yang kokoh kuat ini? Sian Eng tak dapat menangis lagi, air matanya sudah kering.
Akhirnya, menjelang pagi ia masih berjalan mengelilingi ruangan itu, meraba-raba sepanjang dinding bagaikan orang yang tidak waras otaknya.
“Aku harus hidup! Aku harus hidup!”
Terdengar ia berteriak-teriak dan menjerit-jerit, kemudian ketika ada angin menyambar, ia cepat menggerakkan tangannya untuk menangkap kelelawar itu, namun sia-sia. Binatang kecil ini amat gesit dan berbeda dengan dia yang buta di dalam gelap, binatang ini memiliki sesuatu sebagai pengganti mata, sesuatu yang merupakan indera rahasia, yang membuat ia mempunyai perasaan amat peka sehingga sambaran tangan Sian Eng itu dapat dielakkannya. Malah kemudian tiba-tiba gadis ini merasa tengkuknya disambar seekor kelelawar dan terasa kulit tengkuknya sakit sekali.
“Kurang ajar!”
Bentaknya, cepat ia mencengkeram ke belakang tengkuknya, namun binatang itu setelah menggigit sudah terbang pergi lagi.
Sian Eng meraba bekas gigitan, berdarah sedikit. Akan tetapi agaknya bau darah ini membuat binatang-binatang kecil itu menjadi ganas dan liar, karena secara tiba-tiba binatang-binatang itu menyerang Sian Eng dari segala jurusan. Sian Eng menggerak-gerakkan kedua tangannya, menampar kesana-sini, mencengkeram ke sana-sini. Ia berhasil meruntuhkan beberapa ekor kelelawar, akan tetapi gigitan-gigitan itu mengenai banyak bagian tubuhnya, leher, lengan, pipi, kaki.
Hebatnya, bekas-bekas gigitan itu terasa gatal dan panas dan akhirnya gadis ini terguling roboh ketika racun-racun dari luka gigitan membuatnya pening. Ketika ia roboh, binatang-binatang kecil itu masih menyerbu dan menggigitinya, mengisap darah!
Suma Boan yang menunggu di luar gua tanpa mengetahui keadaan gadis itu, menjadi amat gelisah karena sudah tiga hari tiga malam ia menanti, belum juga Sian Eng muncul keluar! Pemuda ini tetap bersembunyi di mulut gua, di belakang rumpun alang-alang karena ia khawatir kalau-kalau terlihat oleh orang-orang Beng-kauw. Hanya di waktu malam ia meninggalkan tempat sembunyinya untuk mencari makanan. Betapapun juga ia percaya penuh akan kesetiaan Sian Eng dan dengan sabar ia menanti.
Akan tetapi setelah lewat dua pekan masih juga belum ada bayangan gadis itu, Suma Boan habis sabar dan merasa gelisah sekali. Tentu saja ia tidak mengkhawatirkan keadaan Sian Eng, karena pada hakekatnya pemuda bangsawan ini berhati palsu, sama sekali ia tidak mencinta Sian Eng dengan hati murni, melainkan hanya suka karena kecantikannya. Baginya, keselamatan Sian Eng sama sekali tidaklah penting, yang penting adalah kitab-kitab itu. Ia gelisah karena memikirkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui. Apakah Sian Eng tertangkap? Ataukah gadis itu tidak mau memberikan kitab-kitab kepadanya? Hanya itulah yang ia pikirkan.
Karena khawatir kalau-kalau usahanya mendapatkan kitab-kitab itu gagal, maka pada hari ke enam belas, pagi-pagi setelah matahari mulai bersinar, Suma Boan memasuki gua itu untuk menyusul Sian Eng. Dengan pedang di tangan ia melangkah maju dengan hati-hati sekali. Seperti juga halnya Sian Eng, ia sampai di lorong yang membawanya ke ruangan yang kini tertutup batu.
Akan tetapi bedanya, ketika Sian Eng memasuki lorong ini, ada cahaya terang sinar matahari dari ruangan, kalau sekarang, karena yang menyorot dari celah-celah batu penutup, maka keadaan hanya remang-remang saja.
Betapa kaget dan bingungnya hati Suma Boan ketika ia tiba di depan batu besar yang menutup lorang. Jalan itu menjadi buntu! Dicobanya untuk mendorong batu itu, namun sia-sia belaka. Ia merayap pada batu itu untuk mengintai dari lubang atau celah-celah antara batu dan dinding karang, akan tetapi hanya melihat lantai batu yang amat terang karena pada saat itu cahaya matahari sudah memasuki sumur itu.
“Eng-moi!”
Ia memanggil. Sunyi tiada jawaban, hanya gema suaranya yang terdengar menggereng seperti suara dari alam lain.
“Sian Eng! Di mana kau?” Kembali ia berseru keras. Tetap sunyi.
Ah, tentu Sian Eng tidak berada di balik batu ini, pikirnya. Kalau dia sendiri tidak mampu mendorong batu ini, apalagi Sian Eng? Tentu, seperti juga dia sendiri gadis itu tidak dapat menembus jalan buntu ini dan menggunakan jalan lain. Tentu ada jalan simpangan di lorong bawah tanah ini, pikirnya.
Suma Boan lalu memutar tubuh dan dengan hati-hati, meraba-raba dinding batu ia kembali dan mencari jalan simpangan. Siapa tahu ada jalan simpangan dan Sian Eng tentu mengambil jalan simpangan itu. Usahanya berhasil. Memang betul terdapat jalan simpangan ini. Tangannya meraba lubang di sebelah kiri dinding dan ternyata di situ terdapat lorong kecil yang hanya dapat ia masuki dengan perlahan karena lebarnya hanya setengah meter saja.
Lorong kecil ini seakan-akan tidak ada ujungnya. Suma Boan maju terus sambil memanggil-manggil nama Sian Eng. Akhirnya lorong ini menembus pada sebuah ruangan lebar dan Suma Boan berdiri terpaku saking kaget dan serem. Lorong itu diterangi sinar kehijauan yang entah datang dari mana. Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika dari tempat gelap tiba-tiba ia dapat melihat, akan tetapi ia dihadapkan penglihatan yang luar biasa seremnya.
Ruangan itu lebarnya kurang lebih dua tombak, panjangnya tiga tombak. Di tiap ujung berdiri sebuah rangka manusia yang lengkap dengan rahang terbuka seakan-akan hendak berkata-kata atau hendak menggigit. Anehnya, empat buah rangka itu semua memegang senjata, sebuah memegang sepasang pedang, sebuah memegang golok, sebuah memegang joan-pian (semacam cambuk baja), dan yang sebuah lagi memegang tombak!
Suma Boan bukanlah seorang penakut. Dia murid seorang sakti yang menjadi seorang di antara Enam Iblis. Gurunya It-gan Kai-ong, agaknya lebih menakutkan daripada empat buah rangka manusia yang memegang senjata ini. Apa yang perlu ditakutkan dari empat buah rangka yang sudah mati dan tak dapat bergerak lagi? Pula, melihat keadaan ruangan yang aneh dan menyeramkan ini, agaknya di situlah disimpannya kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui! Oleh karena itu, dengan tabah hati Suma Boan melangkah memasuki ruangan itu dengan pedang di tangan.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika ia tiba di tengah ruangan, tiba-tiba terdengar suara berkerotokan dan empat buah rangka manusia itu bergerak-gerak menyerangnya dari empat penjuru!
Suma Boan kaget, akan tetapi ia tidak merasa takut, cepat ia memutar pedang menangkis. Ia memandang rendah. Apalagi hanya empat buah rangka mati yang entah bagaimana sekarang dapat bergerak menyerangnya, sedangkan manusia-manusia hidup saja kalau hanya baru empat orang mengeroyoknya, ia tidak akan takut! Dipikirnya bahwa sekali memutar pedang menangkis, tentu ia akan dapat membabat putus senjata-senjata dan tulang-tulang lengan mereka.
Terkejutlah Suma Boan ketika melihat betapa gerakan serangan mereka itu hebat dan aneh sekali, senjata mereka tidak bergerak biasa, melainkan dengan gerakan tergetar, ada yang menyerong dan ada yang berbentuk lingkaran yang sukar sekali diduga ke mana titik yang akan diserang. Inilah gerakan-gerakan dari jurus ilmu silat yang amat tinggi dan aneh!
Ia berusaha menyelamatkan diri dan berhasil menangkis sepasang pedang dan golok sekaligus, akan tetapi ia tak dapat mencegah serampangan gagang tombak pada kakinya dan cambukan pada punggungnya! Suma Boan merasa punggung dan kakinya sakit sekali dan tak dapat tertahankan lagi ia terguling roboh di atas lantai!
Kiranya empat buah rangka itu hanya satu kali saja menyerang karena kini secara otomatis mereka bergerak mundur dan berdiri mati di tempat masing-masing, yaitu di sudut-sudut ruangan itu. Kemudian terdengar bunyi mendesis-desis dan muncullah tiga ekor ular dari sebelah depan, tiga ekor ular kelaparan yang langsung merayap menghampiri Suma Boan.
Sebagai seorang tokoh yang sudah banyak pengalaman, sekali melihat saja tahulah Suma Boan bahwa ular-ular itu adalah ular-ular kepala putih yang amat berbisa, yang gigitannya sekali saja dapat mendatangkan maut! Dan ia dapat memperhitungkan pula bahwa rangka-rangka itu digerakkan oleh alat rahasia yang agaknya akan menggerakkan rangka-rangka itu kalau ia menginjak lantai ruangan, maka jalan satu-satunya untuk dapat keluar dari ruangan ini hanya dengan jalan merangkak perlahan-lahan.
Akan tetapi kalau hal ini ia lakukan, ia akan terlambat karena ular-ular itu akan menyerangnya. Punggungnya masih terasa sakit yang membuat gerakannya kurang cepat dan kalau ia menggunakan pedangnya melawan ular-ular itu, keselamatannya belum tentu terjamin.
Pemuda bangsawan yang cerdik ini tanpa ragu-ragu lagi lalu menggunakan pedangnya, merobek dan memotong sebagian daging betis kirinya. Karena pedangnya amat tajam dan gerakan tangannya amat kuat, hampir tidak terasa nyeri ketika ia memotong betisnya. Gumpalan daging betisnya ia lemparkan ke tengah-tengah ular dan seketika ular-ular itu saling terjang untuk memperebutkan daging berdarah yang segar itu! Suma Boan mempergunakan kesempatan ini untuk merangkak, pergi dan begitu ia tiba di lorong, lalu ia menggerakkan kedua kakinya berdiri dan lari dari tempat itu.
Baru sekarang terasa betapa perih dan sakitnya kaki yang dipotong daging betisnya. Ia berhenti di tempat gelap, merobek celananya dan membalut luka di betisnya setelah ia beri obat bubuk yang memang tersedia di saku bajunya. Kemudian ia berjalan lagi sambil berteriak-teriak memanggil Sian Eng.
Mulai gelisah hati Suma Boan. Apakah yang terjadi dengan gadis itu? Terus melalui terowongan besar tentu tak mungkin karena terhalang batu besar. Memasuki lorong kecil ini pun takkan mungkin karena tentu akan bertemu ruangan rahasia yang amat berbahaya itu. Lalu kemana perginya Sian Eng? Jangan-jangan gadis itu telah tertawan oleh orang-orang Beng-kauw, pikirnya. Kalau tewas tentu ia dapat melihat mayatnya. Tak mungkin tiga ekor ular tadi menghabiskan seluruh badan mayat seseorang apalagi tiga ekor ular tadi kelihatan kelaparan, tanda bahwa berbulan-bulan tidak mendapat mangsa.
Dengan tubuh sakit-sakit dan hati kecewa sekali Suma Boan keluar dari terowongan itu. Tiba-tiba ia merasa kepalanya pening dan napasnya sesak. Cepat ia berhenti di tempat gelap dan mengumpulkan napas, mengerahkan sin-kangnya. Sebagai murid orang sakti, tahulah ia bahwa ia telah kena hisap hawa beracun yang kini mulai mempengaruhinya! Kaget bukan main hati Suma Boan. Ia terhuyung-huyung dan pandang matanya kabur.
Hatinya lega ketika ia melihat sinar terang dari luar gua. Ia telah tiba di mulut gua dan tiba-tiba tampak olehnya bayangan seorang wanita berkelebat di depan gua itu.
“Moi-moi....! Kekasihku, akhirnya kita bertemu juga....!”
Teriaknya girang sambil mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengejar keluar. Pandang matanya agak berkunang dan kabur, akan tetapi ia masih dapat melihat bahwa yang berdiri di luar alang-alang itu adalah seorang gadis muda. Siapa lagi kalau bukan Sian Eng?
“Kekasihku....!”
“Tutup mulutmu yang kotor!”
Tiba-tiba bayangan itu membentak dan sebuah tamparan keras menyambar muka Suma Boan.
Biarpun kepalanya pening, namun Suma Boan belum kehilangan kelihaiannya. Ia cepat mengelak dan bahkan berusaha mencengkeram lengan tangan gadis itu yang juga dapat menghindarkan diri.
“Moi-moi.... kau hendak mengkhianatiku? Serahkan kitab-kitab itu, dimana kau sembunyikan?” bentak Suma Boan sambil menubruk lagi hendak memeluk gadis itu.
Dengan teriakan tertahan, gadis itu mengelak dan menerjang Suma Boan dengan obor di tangannya. Kiranya cahaya terang yang kelihatan dari dalam gua oleh Suma Boan tadi adalah sebuah obor yang dipegang oleh gadis itu, dan ternyata bahwa keadaan waktu itu telah mulai gelap!
Suma Boan menjadi marah sekali dan cepat ia menggerakkan tangan melakukan pukulan jarak jauh dan.... padamlah obor itu. Keadaan sudah menjelang malam, namun masih belum gelap benar, cuaca remang-remang.
Tampak bayangan lain berkelebat datang,
“Ada apakah, Hwee-ji (Anak Hwee)?” terdengar bayangan yang datang ini bertanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar