FB

FB


Ads

Selasa, 09 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 123

Beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali di tanah pekuburan kaum Beng-kauw terdapat dua orang muda yang berjalan perlahan berdampingan. Mereka ini adalah Lin Lin dan Suling Emas yang melakukan perjalanan cepat ke selatan dan kini telah tiba di tanah pekuburan kaum Beng-kauw di Nan-cao. Inilah tanah pekuburan para tokoh yang termasuk pimpinan Beng-kauw, selama Beng-kauw didirikan di Nan-cao oleh Pat-jiu Sin-ong.

Keadaan disitu menyeramkan. Matahari belum tampak, masih tertutup pohon-pohon dan Lin Lin merasa seakan-akan ia mendatangi sebuah kota orang mati yang penghuninya hanya terdiri dari orang-orang mati yang pada saat sepagi itu masih belum bangun, masih tidur di dalam rumah yang berupa gundukan-gundukan tanah dihias batu nisan itu.

“Dimana makamnya....?” tanya Lin Lin, suaranya agak gemetar.

Setelah tiba di tempat pekuburan itu, hatinya gentar juga. Harus diakui bahwa sesungguhnya ia tidaklah begitu senang untuk bersumpah menjadi murid Pat-jiu Sin-ong yang sudah mati. Ia mempelajari ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong bukan disengaja, secara kebetulan dan ia sama sekali tidak tahu sebelumnya bahwa ilmu itu ciptaan pendiri Beng-kauw.

Kalau dulu ia menurut kepada Suling Emas dan sanggup untuk bersumpah menjadi murid, hal itu hanyalah karena ia begitu amat inginnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas! Dan harus ia akui bahwa selama beberapa pekan ini, melakukan perjalanan di samping Suling Emas, siang malam selalu berada di dekatnya, mendatangkan rasa gembira luar biasa dan mempertebal keyakinannya bahwa Suling Emas juga mencintanya, sebesar ia mencinta pendekar sakti itu!

“Disana makamnya, di bagian yang agak tinggi. Kau lihat, masih baru!” jawab Suling Emas sambil menudingkan telunjuknya.

Mereka berjalan menghampiri makam Pat-jiu Sin-ong yang besar dan mewah. Bagi Lin Lin tempat ini menyeramkan sekali, akan tetapi yang lebih menggelisahkan hatinya adalah bahwa ia harus bersumpah menjadi murid penghuni makam!

Amat heran hati Lin Lin melihat betapa Suling Emas serta-merta menjatuhkan diri berlutut dan memberi hormat di depan makam. Mengapa Suling Emas begini menghormat ketua Beng-kauw yang sudah meninggal, pikirnya. Padahal seingatnya, Suling Emas duduk sejajar dengan ketua Beng-kauw yang masih hidup.

“Lin-moi, lekas kau berlutut dan mengucapkan sumpahmu, biar aku menjadi saksi.” terdengar Suling Emas berkata.

Akan tetapi Lin Lin tetap berdiri tegak, tidak mau berlutut dan tidak mengeluarkan kata-kata.

“Lin-moi, mau tunggu apa lagi?”

Lin Lin tetap diam saja.

“Lin-moi, mengapa kau ragu-ragu? Bukankah sudah jelas kuterangkan kepadamu?”

“Ah, aku.... aku tidak bisa. Hal ini seakan-akan suatu paksaan. Suling Emas, bagaimana kau bisa tahu apakah benar-benar Pat-jiu Sin-ong menghendaki aku menjadi muridnya? Kalau beliau tidak menghendaki, bukankah berarti kita membikin rohnya menjadi penasaran?”

Suling Emas tertegun, memandang kepada Lin Lin, lalu menoleh ke arah makam. Pada saat itu ia melihat berkelebatnya bayangan orang. Ketika ia memandang jauh, hatinya berdebar karena ia mengenal laki-laki tua memakai caping lebar itu. Kauw Bian Cinjin! Celaka, pikirnya. Kalau Kauw Bian Cinjin melihat mereka disitu tentu akan bertanya dan kalau kakek itu mengetahui duduk perkara sebenarnya, sudah pasti kakek itu takkan membiarkan Lin Lin hidup!

“Lin-moi, lekas berlutut. Lekas bersumpah sebelum terlambat!” desaknya sambil memegang tangan gadis itu.

“Tidak, aku tidak bisa lakukan itu.... masih ada jalan lain....”

Suling Emas hendak membantah, akan tetapi terlambat. Kauw Bian Cinjin yang bergerak cepat sekali sudah tiba disitu dan kakek ini biarpun terheran melihat Suling Emas dan Lin Lin berada di makam Pat-jiu Sin-ong, namun agaknya tidak mempedulikan ini. Malah ia segera berseru.

“Kim-siauw-eng (Suling Emas)! Apakah kau tidak melihat Hwee-ji (Anak Hwee)?”

Pertanyaan ini yang sama sekali tidak tersangka-sangka, tentu saja membuat Suling Emas tercengang.

“Bukankah dia sudah pulang bersama Bu Sin?”






Tentu saja ia menjadi tercengang dan heran karena ia sendiri yang menolong kedua orang muda itu dari ancaman Siang-mou Sin-ni, kemudian ia menyuruh mereka kembali ke Nan-cao sedangkan ia sendiri pergi mencari Lin Lin dan Sian Eng.

Kauw Bian Cinjin kelihatannya tergesa-gesa sehingga tidak sempat untuk banyak bercerita.

“Dia sudah pulang. Kam Bu Sin sicu (tuan muda gagah) pulang lebih dulu ke Cin-ling-san menemui bibi gurunya. Akan tetapi malam tadi, entah bagaimana dan mengapa, kelihatan disini putera pangeran yang jahat itu, Suma Boan, berkeliaran dan keadaannya seperti orang gila! Hwee-ji mengejarnya, akan tetapi sampai sekarang keduanya tidak tampak bayangannya, kami menjadi khawatir sekali.”

“Ahhh....!” Suling Emas terkejut. “Biarlah aku mencari mereka!” Sambil berkata demikian, ia menyambar tangan Lin Lin dan berkata, “Hayo kita pergi dulu dari sini mengejar mereka!”

Lin Lin tidak diberi kesempatan bicara. Pula, gadis ini diam-diam merasa girang dan lega bahwa ada urusan lain yang membuat penyumpahannya sebagai murid Pat-jiu Sin-ong tertunda. Ia tadi sudah bingung dan khawatir kalau-kalau Suling Emas menjadi kecewa dan marah oleh penolakannya. Kini Suling Emas mengajaknya pergi, tanpa banyak cakap lagi ia lalu ikut berlari sambil mengangguk dan tersenyum kepada Kauw Bian Cinjin yang memandangnya dengan kening berkerut. Mau apa gadis liar ini disini? Demikian pikir Kauw Bian Cinjin. Akan tetapi karena ia tahu bahwa gadis itu adalah adik angkat Suling Emas, ia pun tidak mau memikirkannya lagi.

“Kim-siauw-eng, kau mencari ke timur aku ke utara!” teriaknya.

Suaranya terbawa angin dan karena kakek ini mengerahkan khi-kang, dapat juga suara ini mengejar dan sampai ke telinga Suling Emas.

“Baik!”

Jawab Suling Emas sambil mengerahkan khi-kang pula karena keduanya sudah terpisah amat jauh, tidak tampak lagi, namun dengan kesaktian mereka, kedua orang ini masih dapat saling menyampaikan pesan!

Apakah sebenarnya yang terjadi? Bagaimana Suma Boan, putera pangeran itu, secara mendadak berada di Nan-cao, berkeliaran seperti orang gila kata Kauw Bian Cinjin, sehingga kini dikejar-kejar oleh Liu Hwee?

Seperti telah dituturkan di bagian depan, ketika Sian Eng dan Bu Sin menjadi tawanan Hek-giam-lo di dalam terowongan rahasia, Bu Sin diculik oleh Siang-mou Sin-ni sehingga akhirnya tertolong oleh Liu Hwee dan kemudian ditolong pula oleh Suling Emas. Adapun Sian Eng yang berada dalam keadaan tertotok, ditolong dan dibawa pergi oleh Suma Boan!

Cinta memang dapat meracuni hati siapa saja tanpa pandang bulu. Dan kalau cinta sudah berkuasa, banyak terjadi hal-hal aneh dan kadang-kadang pandangan seorang korban cinta jauh berlawanan dengan pandangan umum. Agaknya seluruh orang di dunia ini yang merasa suka kepada Sian Eng, akan kecewa dan tidak setuju kalau gadis cantik gagah ini jatuh cinta kepada seorang pemuda bangsawan yang berwatak buruk macam Suma Boan. Akan tetapi apa hendak dikata. Sejak pertemuan pertama Sian Eng memang sudah jatuh hati kepada putera pangeran ini! Apa pun yang akan dikatakan orang lain, tak mungkin masuk di hati seorang yang sudah jatuh cinta.

Demikianlah, ketika dirinya dipondong pergi oleh Suma Boan, diam-diam Sian Eng merasa terharu dan girang sekali, sungguhpun ada perasaan kecewa dan khawatir di hatinya kalau ia teringat akan kakaknya, Bu Sin. Suma Boan berlari cepat dan karena ia berada dalam keadaan tertotok, Sian Eng tidak bisa apa-apa.

Baru beberapa hari kemudian Suma Boan menurunkannya dari pondongan dan membebaskan totokannya. Sian Eng segera menegur.

“Suma-koko, kenapa baru sekarang kau bebaskan aku? Kalau tadi-tadi, kan kita berdua bisa menolong Bu Sin koko? Ah, bagaimana nasibnya sekarang?”

Suma Boan merangkul pundaknya.
“Jangan bodoh, Eng-moi. Kau tahu sendiri, tempat itu adalah tempat Hek-giam-lo yang lihai. Bagaimana aku bisa sekaligus menolong dua orang? Dan saking takutku kalau-kalau Hek-giam-lo akan mengejar, aku terus saja membawamu lari dan baru sekarang berani berhenti disini. Ah, Moi-moi, baru sekarang kita dapat bertemu dan berkumpul. Alangkah gelisah hatiku ketika kita berpisah di Nan-cao. Eng-moi, mengapa kau bisa berada di terowongan tempat sembunyi Hek-giam-lo itu bersama kakakmu?”

Dengan halus Sian Eng melepaskan pundaknya dari rangkulan. Biarpun di hutan itu sunyi tidak ada orang lain, namun ia tidak mau pemuda yang dicintanya itu bersikap terlalu mesra kepada dirinya. Mereka belum berjodoh, belum pula bertunangan! Akan tetapi ia mengajak pemuda itu duduk mengaso dan berceritalah ia tentang usaha mereka mencari Lin Lin sehingga mereka berdua terpisah dari Suling Emas dan kena tangkap Hek-giam-lo.

“Kau agaknya sudah tahu bahwa kakakku yang hilang, Kam Bu Song, adalah Suling Emas. Kenapa dahulu-dahulu tidak lekas beri tahu padaku?” tegur Sian Eng.

Suma Boan tersenyum dan memegang tangan gadis itu.
“Aku belum yakin, hanya baru menduga. Kakakmu itu saling mencinta dengan adikku, akan tetapi perjodohan mereka gagal karena ayah tidak setuju. Tidak apa, sekarang ada gantinya engkau. Ayah pasti setuju mempunyai mantu seperti kau.” Sambil berkata demikian Suma Boan mencoba untuk merangkul lagi.

“Ihhh, jangan begitu....!” Sian Eng melepaskan diri. “Soal perjodohan, bagaimana aku dapat memberi keputusan? Ada kakak-kakakku, dan terutama sekali ada bibi guruku di Cin-ling-san.”

“Aku akan pergi kesana, akan kulamar kau dari tangan bibimu. Eng-moi, sekarang aku ada urusan penting sekali. Maukah kau membantuku?”

“Lihat-lihat urusannya!”

“Begini, adikku yang manis. Kita melihat sendiri betapa Tok-siauw-kui Liu Lu Sian yang semenjak belasan tahun lenyap tak tentu rimbanya, kiranya muncul pada ulang tahun Beng-kauw dan tewas pula di situ. Akan tetapi ia telah memperlihatkan ilmu yang amat luar biasa. Agaknya ia mempunyai tempat persembunyian di Nan-cao. Ketahuilah, sewaktu hidupnya, di waktu muda dahulu, Tok-siauw-kui telah mencuri banyak sekali kitab-kitab rahasia ilmu kesaktian yang jarang bandingnya di dunia ini. Sekarang ia telah mati, akan tetapi aku percaya bahwa kitab-kitab itu masih ada, ia sembunyikan di tempat dimana ia tadinya sembunyi sebelum ia muncul dan tewas di tangan ayahnya sendiri. Hiiihhh, mengerikan sekali! Pat-jiu Sin-ong dan Tok-siauw-kui, ayah dan anak itu benar-benar bukan manusia, melainkan iblis-iblis yang luar biasa.”

Sian Eng mengerutkan keningnya, lalu menggunakan tangan kanannya menutup bibir pemuda itu.

“Hushhh, jangan kau bicara begitu, Suma-koko. Betapapun juga, dia adalah kakek dan ibu kandung dari kakakku Kam Bu Song.”

Suma Boan mencekal tangan itu dan menciumi jari-jari yang mungil sampai Sian Eng menariknya kembali.

“Gila!” cela gadis itu dengan muka menjadi merah. “Kau ceritakan semua itu kepadaku, dengan maksud apakah?”

“Begini, kekasihku. Aku ingin sekali mendapatkan kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kui itu dan kuharap kau suka membantuku....”

“Ihhh!” Sian Eng mengkirik karena merasa seram. “Kau sudah begini lihai, kau menjadi murid It-gan Kai-ong yang sakti, masa masih mau mencari kitab pusaka lagi, untuk apa?”

“Ah, siapa bilang aku lihai? Hanya kau yang mencintaku, Eng-moi. Akan tetapi, apakah kau tidak suka melihat aku menjadi lebih lihai lagi? Begitu lihai, sehingga kalau kelak kau menjadi isteriku, aku mampu melindungimu daripada segala macam bahaya, dan kelak kalau kiia mempunyai anak, aku mampu menurunkan kepandaian kepada anak kita sehingga dia menjadi seorang pendekar nomor satu di dunia?”

Sian Eng adalah seorang gadis gunung yang sederhana pikirannya. Ucapan manis dan muluk-muluk ini sudah membuat semangatnya terbang melayang dengan nikmat sekali. Akan tetapi ia memandang Suma Boan dengan bingung.

“Bagaimana kau bisa menemukan tempatnya? Andaikata bisa.... hiiihh, mengerikan sekali!” Gadis ini teringat akan cerita kakaknya, Bu Sin dan ia merasa takut.

“Apa yang mengerikan? Kau akan kuajak ke Nan-cao dan di sana, mengingat bahwa kau adalah adik tiri Suling Emas, tentu kau akan leluasa bergerak di antara orang-orang Beng-kauw. Nah, kau menjadi semacam penyelidik dan aku akan bersembunyi di luar kota raja. Setelah kau mendapat keterangan, kau sampaikan kepadaku dan kita mencari kitab-kitab itu bersama. Bukankah ini bagus? He, kau mau bilang apa?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar