FB

FB


Ads

Selasa, 09 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 122

“Hemmm, anak nakal. Lalu, dia bagaimana? Percayakah?”

“Mula-mula tidak. Ia bertanya siapakah kekasih itu.”

“Dan kau jawab....? Tentu.... murid Gan-lopek, ya?”

Suling Emas sendiri merasa heran mengapa mendadak sontak ia melayani kelakar Lin Lin bahkan mengeluarkan godaan ini. Benar-benar ia menjadi seperti kanak-kanak, pikirnya dengan wajah merah.

“Iiiihhhhh....!”

Tiba-tiba Lin Lin menggunakan kedua tangannya menangkap lengan tangan Suling Emas dan sepuluh buah jari-jari tangannya mencubiti kulit lengan itu.

“Aduh-aduh.... aduh....!”

Suling Emas tertawa dan menjerit-jerit karena memang sakit sekali cubitan-cubitan jari yang berkuku runcing itu. Ia tidak tega tentu saja untuk menggunakan tenaga melawan cubitan karena selain tak patut main-main dibalas sungguh-sungguh, juga ia khawatir kalau-kalau kuku-kuku jari yang terpelihara itu akan rusak oleh perlawanannya.

“Kau menyebalkan! Siapa bilang, hayo, siapa bilang aku punya kekasih murid Gan-lopek si badut tua itu? Memalukan, menggemaskan....!”

“Sudah.... sudah, aduh....!” Suling Emas masih tertawa-tawa. “Lepaskan!”

“Hayo bilang dulu siapa yang mengatakan demikian?”

Kegembiraan Suling Emas timbul, maka ia merasa belum cukup menggoda. Sambil tertawa ia berkata,

“Memang sudah sepantasnya Lie Bok Liong yang tampan dan gagah itu menjadi anumu.... ha-ha.... aduhhh!”

Cubitan Lin Lin makin keras.
“Anu apa? Hayo bilang, apa yang kau maksudkan dengan anumu....?”

“Aduh, sakit, Lin-moi, lepaskan. Kumaksudkan kekasihmu tentu. Bukankah ia amat mencintamu dan selalu membelamu?”

Mendadak Lin Lin melepaskan tangannya dan.... menangis!

“Eh-eh.... mengapa menangis....?” Suling Emas benar-benar terkejut dan heran sekali.

“Kau jahat....! Kau mengejekku, kau menjengkelkan, sengaja bikin aku marah....! Kau tidak punya hati, tak berjantung!”

“Eh.... oh.... nanti dulu, Lin-moi! Aku sama sekali tidak mengejekmu, aku.... aku hanya main-main. Masa tidak boleh orang main-main? Maafkan aku, Lin-moi, sungguh mati aku tidak bermaksud membikin kau marah dan jengkel. Sudahlah, kau maafkan aku.”

Lin Lin mengangkat mukanya yang merah dan basah.
“Betul-betul kau tidak mengejek?”

Tanyanya dan Suling Emas tidak berani main-main lagi karena suara itu mengandung kesungguhan hati yang mengherankan dan mengejutkan. Mengapa gadis yang lincah dan suka berjenaka ini begitu sedih ketika digoda?

“Tidak, aku tidak mengejek, hanya main-main.”

“Bagaimana kau bisa menyangka begitu terhadap Lie Bok Liong twako? Apa sebabnya kau mengira dia kekasihku?”

Bingunglah Suling Emas, akan tetapi dengan tenang ia menjawabp
“Lin-moi, sudahlah, aku tadi hanya main-main. Pula, andaikata aku benar timbul persangkaan demikian, bukankah engkau sendiri yang tadi menceritakan betapa Lie Bok Liong hampir saja mengorbankan nyawa demi untuk membelamu? Hanya orang yang mencinta dengan sepenuh jiwa raga dapat membela dengan pengorbanan sehebat dia.”






Dengan muka termenung Lin Lin mengangguk-angguk.
“Memang dia amat baik hati, dia.... agaknya memang betul bahwa dia amat mencintaku. Liong-twako seorang berbudi. Tapi.... tapi bukan dia.... aku tidak mencintanya, aku hanya suka kepadanya sebagai seorang kakak atau sahabat....”

“Hemmm, kasihan dia. Sudahlah, Lin-moi, cukup tentang dia. Terang kalau begitu bahwa bukan dia kekasihmu, maafkan aku tadi. Kemudian bagaimana dengan Hek-giam-lo tadi? Ketika dia tanya siapa kekasihmu, bagaimana jawabmu? Apa kau bilang kekasihmu itu ada?”

Suling Emas tak dapat menyembunyikan keheranan yang membayang pada wajahnya ketika melihat betapa gadis itu kini memandangnya sambil tersenyum dengan wajah cerah. Bukan main! Baru saja menangis dan marah-marah, kini sudah tersenyum-senyum. Siapa tidak akan heran kalau melihat udara yang gelap mendung dan hujan tiba-tiba tampak matahari bersinar?

“Tentu saja ada, dan dia percaya!”

“Siapa?”

Lin Lin berdebar jantungnya. Ia seorang gadis yang tabah dan jujur, tidak pemalu, akan tetapi pertanyaan ini sekarang amat sukar terjawab. Ia terpaksa menyembunyikan mukanya dengan tunduk, lalu menjawab.

“Suling Emas....”

Suling Emas menjadi begitu kaget sampai ia berdiri terkesima tak mampu bergerak atau mengeluarkan kata-kata. Ia masih mengira bahwa Lin Lin gadis nakal itu sengaja menyebut namanya untuk mempermainkannya sebagai pembalasannya tadi. Akan tetapi melihat kepala yang ditundukkan, sikap yang malu-malu dan bersungguh-sungguh itu, makin gelisahlah dia.

“Lin-moi, harap kau jangan main-main yang bukan-bukan....” Ia masih mencoba untuk melawan kekhawatirannya.

Lin Lin mengangkat mukanya. Merah sekali muka itu, terutama sepasang pipinya, seolah-olah ketika menunduk tadi, gadis ini memulas kedua pipinya dengan yanci (pemerah pipi). Tapi kini suaranya terdengar sungguh-sungguh dan penuh tuntutan.

“Mengapa, Koko? Aku tidak main-main! Bukankah pengakuanku itu benar-benar? Kalau kau sekarang terheran, kaulah yang pura-pura dan main-main. Yang kau lakukan terhadapku di perpustakaan istana itu....”

Suling Emas gelagapan. Tentu saja ia tidak dapat melupakan peristiwa itu, pertemuannya pertama kali dengan Lin Lin, pada suatu malam di lingkungan istana, ketika itu ia berada di dalam gedung perpustakaan, sedang melamunkan kekasihnya, Suma Ceng, ketika tiba-tiba muncul Lin Lin yang di dalam cuaca remang-remang itu bentuk tubuh dan potongan wajahnya mirip benar dengan Suma Ceng.

Pada waktu itu, karena hatinya sedang diliputi penuh rindu dendam terhadap kekasihnya, ia seperti orang mimpi, mengira Lin Lin, Suma Ceng, memeluknya, menciumnya! Agaknya Lin Lin tak pernah dapat melupakan peristiwa itu pula, hanya bedanya, kalau ia mengenang peristiwa itu, dengan perasaan jengah dan malu serta merasa bersalah, sebaliknya gadis ini menganggap peristiwa itu sebagai pernyataan cinta kasih Suling Emas terhadap gadis itu!

“Kenapa? Apakah kau mempermainkan aku ketika itu?”

Lin Lin mendesak ketika melihat wajah Suling Emas menjadi pucat. Gadis ini merasa gelisah sekali, khawatir kalau-kalau dugaan hatinya meleset. Ketika itu ia merasa yakin benar bahwa Suling Emas mencintanya.

“Sudahlah, Lin-moi. Apakah kau tidak bisa memaafkan kesalahanku? Lekas kau lanjutkan ceritamu. Bagaimana dengan tongkat pusaka? Dimana tongkat itu sekarang?”

“Dirampas Hek-giam-lo,”

Jawab Lin Lin pendek, masih bersungut-sungut karena ia merasa betapa Suling Emas seperti hendak mengingkari perbuatannya di perpustakaan.

“Lin-moi, sekarang juga kau harus ikut aku. Kalau hal ini tidak lekas kuurus, selamanya kau akan dianggap musuh besar Beng-kauw.”

Ucapan ini begitu mengagetkan Lin Lin sehingga ia melupakan urusan cinta kasih.
“Apa? Mengapa?”

“Lin Lin, ketahuilah. Sudah menjadi rahasia yang belum terpecahkan oleh para pimpinan Beng-kauw bahwa Pat-jiu Sin-ong meninggalkan warisan ilmu yang mujijat. Mereka mencari-cari, namun belum juga dapat menemukannya. Kini rahasia wasiat itu terbuka olehmu, bahkan telah kau musnahkan dan kau pelajari isinya, padahal kau sama sekali bukanlah orang Beng-kauw. Hal ini akan menimbulkan geger di kalangan Beng-kauw dan kalau mereka tahu, tentu mereka itu akan mencarimu dan membunuhmu. Rahasia ilmu itu sama sekali tidak boleh diketahui oleh orang luar. Kalau sampai mereka tahu dan memusuhimu, biar aku sendiri takkan mampu mencegahnya.”

“Aku tidak takut! Aku tidak mencuri ilmu, hanya kebetulan....”

“Hemmm, kau seperti anak kecil yang tidak pedulikan langit ambruk bumi terbalik, Lin-moi. Ketahuilah, urusan ini amat besar dan gawat. Biarpun secara kebetulan kau menemukan ilmu itu, akan tetapi bukankah engkau yang menyuruh Hek-giam-lo merampas tongkat pusaka? Dan tahu pulakah kau mengapa Hek-giam-lo suka merampas tongkat itu? Semata-mata karena taat kepadamu? Tak mungkin. Dia mempunyai pamrih lain. Ketahuilah bahwa ilmu ciptaan Pat-jiu Sin-ong itu telah terdengar pula oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan Hek-giam-lo termasuk seorang di antara mereka yang ingin sekali mengetahui dan memiliki ilmu itu. Tentu saja ia tidak menduga bahwa ilmu itu disimpan di dalam tongkat pusaka, akan tetapi aku berani bertaruh bahwa ia merampas tongkat pusaka untuk ditukar dengan wasiat ilmu peninggalan Pat-jiu Sin-ong itu.”

“Wah-wah, bagaimana baiknya? Aku sih tidak takut! Kalau kakek ketua Beng-kauw marah-marah, aku dapat mengembalikan ilmu ini kepadanya dengan mengajarnya. Bukankah beres begitu?”

Kembali mau tak mau Suling Emas tersenyum. Bocah ini sama sekali belum tahu akan seluk beluknya dunia kang-ouw. Kalau tahu tentu akan ketakutan sekali, karena urusan ini berarti kematiannya yang sukar untuk dicegah pula.

“Lin-moi, aku percaya akan ketabahanmu yang luar biasa, sungguhpun aku tahu bahwa tak mungkin kau mampu menghadapi Beng-kauw. Andaikata ilmu ini sudah kau sempurnakan, agaknya kau memang akan menjadi penantang Beng-kauw yang berbahaya, akan tetapi kau seorang diri mana mampu menghadapi Beng-kauw yang mempunyai banyak sekali orang sakti?”

“Termasuk kau?”

“Jangan ngacau! Lin-moi, bukan saatnya kita bicara main-main. Hanya ada satu cara untuk membebaskanmu daripada keadaan berbahaya ini.”

“Bagaimana?”

“Kau harus mengunjungi makam mendiang Pat-jiu Sin-ong, bersumpah di depan makam sebagai murid yang menemukan ilmu itu. Dengan cara demikian, maka kau boleh dibilang sudah menjadi murid Pat-jiu Sin-ong sehingga biarpun kau bukan anggauta Beng-kauw, kau berhak mewarisi ilmunya.”

Lin Lin mengerutkan alisnya yang kecil hitam.
“Pergi sendiri? Aku tidak tahu tempatnya!” Hatinya berkata, “Aku ogah!”

“Aku yang akan membawamu kesana.”

Seketika wajah gadis itu berseri ketika ia memandang Suling Emas.
“Dengan kau? Boleh, mari kita berangkat!”

Suling Emas menggeleng-geleng kepala, akan tetapi diam-diam hatinya khawatir sekali. Bocah ini baginya merupakan ancaman bahaya yang jauh lebih hebat dan mengerikan daripada ujung senjata para pengeroyoknya tadi.

**** 122 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar