FB

FB


Ads

Minggu, 07 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 116

Dengan amat tekun dan rajin Lin Lin menghafalkan ilmu yang tertulis pada tiga belas helai kertas tipis yang ia dapatkan di dalam tongkat pusaka Beng-kauw itu. Memang segala sesuatu sudah menjadi takdir Tuhan. Ketika masih hidup, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan sengaja menciptakan tiga belas jurus ilmu silat sakti ini yang merupakan inti sari daripada isi tiga buah kitab pusaka Sam-po-cin-keng, bahkan dipilih jurus-jurus yang dapat mengatasi isi kitab itu, karena ketika menciptakan ilmu ini, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan memang bermaksud untuk menurunkannya kepada Beng-kauw untuk menghadapi puterinya yang murtad.

Dengan demikian, ilmu ini ia tinggalkan untuk Beng-kauw. Akan tetapi, biarpun sudah lama tongkat pusaka yang dijadikan tempat penyimpanan wasiat ini berada di tangan Liu Mo ketua Beng-kauw yang baru, namun belum pernah dapat ditemukan oleh Liu Mo atau tokoh Beng-kauw yang lain. Sekarang, tanpa disengaja sama sekali, Lin Lin dapat menemukan wasiat ini dan mempelajarinya. Bukankah ini jodoh namanya?

Karena ia termasuk seorang anak yang cerdas, Lin Lin segera dapat menghafal wasiat ini diluar kepala dan ia dapat menduga bahwa ilmu mujijat ini tak boleh sekali-kali diketahui orang lain. Maka setelah ia hafal benar, yaitu selama lima belas hari di atas perahu, ia segera merobek-robek tiga belas helai kertas tipis itu dan menebarkan sobekan-sobekan kecil ke sungai.

“He, apakah itu?” bentak Hek-giam-lo dan tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Lin Lin.

Betapapun juga, iblis hitam ini merasa curiga karena selama setengah bulan ini, Lin Lin tak pernah keluar, juga tidak pernah memperdengarkan protes atau memperlihatkan sikap rewel. Kini tiba-tiba gadis itu keluar dan menebarkan potongan-potongan kertas banyak sekali ke sungai.

Akan tetapi ia terlambat mencegah atau memeriksa karena potongan-potongan kertas yang amat kecil-kecil itu sudah melayang-layang ke permukaan sungai, seperti kupu-kupu terbang melayang lalu hingap di atas air.

Hek-giam-lo merasa penasaran, tubuhnya berkelebat dan bagaikan seekor kelelawar besar, tubuhnya melayang ke permukaan air, tangannya menyambar dan dengan gerakan kedua kakinya, tubuh itu membalik kembali ke atas perahu. Beberapa potongan kertas berada di tangannya.

Diam-diam Lin Lin kagum bukan main. Benar-benar sakti Hek-giam-lo ini dan merupakan lawan yang berat sekali. Ia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono, biarpun sudah memiliki hafalan ilmu mujijat yang ia dapatkan dari dalam tongkat pusaka Beng-kauw.

Dengan sepasang mata bersinar penuh ejekan ia memandang Hek-giam-lo yang sudah melihat potongan-potongan kertas itu. Lin Lin tadi sudah berlaku hati-hati sekali sehingga kertas yang dirobek-robek itu hanya merupakan potongan sebesar ibu jari. Memang ada satu dua huruf di tiap potongan kertas, akan tetapi apa artinya? Dan untuk dapat mengumpulkan potongan-potongan kertas itu serta memasangnya kembali seperti semula, tak mungkin dapat dilakukan orang!

“Apa ini....?”

Hek-giam-lo meneliti potongan-potongan kertas itu, menoleh ke arah Lin Lin dengan perasaan ingin tahu sekali.

“Kenapa kau tidak mau menduga-duga? Coba terka. Hek-giam-lo, kau yang terkenal sebagai seorang diantara Enam Iblis, sakti dan cerdik, masa tidak bisa menduga apa adanya surat yang kurobek-robek menjadi potongan-potongan kecil itu?”

Suara Lin Lin mengejek dan mempermainkan karena setelah ia menguasai ilmu itu, timbul kembali kejenakaan dan kelincahannya.

“Tuan Puteri, harap jangan main-main! Hamba telah diberi tugas oleh kaisar untuk menjaga Tuan Puteri dan membawa Paduka sampai ke Khitan dengan selamat. Sebagai calon ratu, Tuan Puteri harus hamba jaga teliti dan tidak boleh sama sekali ada rahasia. Surat apakah, tadi?”

Lin Lin tersenyum, matanya mengerling penuh ejekan.
“Kiranya Hek-giam-lo yang terkenal cerdik itu tidak dapat menduga? Hemmm, kalau kau memang amat ingin mengetahui, bolehlah kuberi tahu. Surat yang kurobek-robek tadi adalah surat dari.... kekasihku. Nah, puaskah kau? Jangan kau ingin tahu apa isinya. Rahasia dong!”

Lin Lin bersikap nakal dan mempermainkan sehingga diam-diam Hek-giam-lo mendongkol juga.






“Paduka maksudkan surat dari Lie Bok Liong pemuda tolol itu?”

Lin Lin menghela napas panjang dan seketika ia menghampiri pinggir perahu dan pandang matanya mencari-cari ke tepi pantai. Disebutnya nama pemuda itu mengingatkan ia akan penderitaan Bok Liong yang mati-matian membelanya.

“Bukan, bukan dia. Liong-twako adalah seorang yang amat baik, gagah perkasa dan ia amat mencintaku. Akan tetapi bukan dia....” Mulutnya tidak melanjutkan kata-katanya, akan tetapi hatinya berbisik, “Bukan dia orang yang merampas hatiku, bukan dia orang yang kucinta....”

“Kau mencari dia?”

Kini suara Hek-giam-lo yang penuh ejekan sehingga Lin Lin terkejut sekali. Selama setengah bulan ia bersembunyi di dalam perahu saja. Bagaimana jadinya dengan Bok Liong? Jangan-jangan pemuda yang nekat itu menyerbu lagi dan dibunuh oleh Hek-giam-lo.

“Dimana dia? Kau apakan Lie Bok Liong twako?” bentaknya dengan mata terbuka lebar.

“Paduka cukup cerdik, mengapa tidak menduga sendiri?” Kini Hek-giam-lo yang mengejeknya.

Lin Lin membanting-banting kakinya.
“Hek-giam-lo, aku tahu kau seorang iblis yang tidak segan-segan melakukan segala macam kejahatan di dunia ini, akan tetapi aku pun tahu bahwa kau terlalu sombong untuk bersikap pengecut dan membohong terhadap seorang gadis cilik macam aku! Nah, apakah kau telah membunuh Lie Bok Liong?”

Hek-giam-lo menggeleng kepalanya.
“Orang macam dia, perlu apa aku membunuhnya? Dia sudah mau mampus dan sekarang tentu sudah mampus kalau saja gurunya, pelukis sinting itu tidak datang dan membawanya pergi.”

Berseri wajah Lin Lin.
“Apa kau bilang? Empek Gan datang? Tentu kau telah dipukulnya? Mengapa dia tidak membunuhmu?”

Hek-giam-lo mendengus marah.
“Badut tolol itu mana berani? Dia datang membawa pergi muridnya, tergesa-gesa dan ketakutan.”

“Kau bohong, aku tidak percaya!”

Hek-giam-lo hanya mengangkat bahu, lalu membalikkan tubuh meninggalkan Lin Lin ke kepala perahu. Lin Lin menoleh ke sana ke mari, akan tetapi pandang mata para anak buah perahu yang mentertawakannya membuat ia gemas dan dengan marah ia kembali memasuki bilik perahu. Hatinya panas dan ingin ia memberontak dan pergi dari perahu. Akan tetapi ia tidak bodoh. Ilmu baru yang didapatnya belum terlatih masak-masak, pula di atas perahu tidak berani ia sembarangan bergerak. Sekali perahu digulingkan sehingga ia terjatuh ke dalam air, ia takkan dapat melawan pula. Ia harus bersabar dan menanti kesempatan baik.

Dengan makin tekun Lin Lin mulai melatih diri, siang malam ia melatih diri. Bukan main girang hatinya ketika pada setiap gerakan pukulan, terasa ada angin pukulan yang antep dan dahsyat menyambar keluar dari tangannya yang terbuka. Dinding bilik perahu sampai berguncang dan hal inilah yang membuat Hek-giam-lo menjadi curiga sekali dan malam itu, menjelang subuh, mendadak Hek-giam-lo membuka pintu bilik dan menerobos masuk.

Baiknya ketika itu Lin Lin sudah melatih jurus yang ke sembilan. Jurus ini dilakukan dengan duduk, merupakan pukulan jarak jauh yang dilakukan sambil duduk. Pukulan kedua tangan itu merupakan gerakan lingkaran sehingga angin pukulannya memutari tubuhnya dapat menghantam lawan yang berada di manapun juga tanpa mengubah kedudukan tubuh yang duduk.

Untuk melatih jurus ini, Lin Lin duduk di atas pembaringannya, maka ketika tiba-tiba pintu biliknya terbuka, ia tidak menjadi gugup, melainkan menghentikan pukulan-pukulannya dan bersikap seperti orang bersamadhi, sikap yang sudah lajim dilakukan oleh ahli-ahli silat tinggi apalagi waktu menjelang subuh adalah waktu terbaik untuk bersamadhi.

Melihat “tuan puteri” itu duduk bersamadhi, sama sekali tidak bergerak, Hek-giam-lo tidak berani mengganggu. Akan tetapi getaran-getaran pada dinding bilik sekarang berhenti. Makin curigalah iblis itu. Ia menutup pintu bilik dan melompat keluar, menyelidik di sekeliling perahu, bahkan ia menyelidiki ke darat. Akan tetapi ia tidak menemukan sesuatu.

Kecurigaan Hek-giam-lo ini yang mengganggu latihan Lin Lin. Pada keesokan harinya, secara mendadak Hek-giam-lo menghentikan perahu, lalu mengambil keputusan untuk melakukan perjalanan ke utara melalui darat! Hek-giam-lo sudah timbul curiga, tidak hanya pada diri Lin Lin, melainkan curiga kalau-kalau ada orang pandai yang hendak merampas Lin Lin dan tongkat pusaka Beng-kauw daripadanya. Hal ini mungkin saja, apalagi setelah muncul Gan-lopek yang membawa pergi muridnya dari pantai.

“Aku tidak mau melakukan perjalanan di darat!” Lin Lin membentak marah. “Lebih enak melalui air, tidak lelah dan dapat tidur nyenyak!”

“Tidak bisa, Tuan Puteri. Air sungai ini akan membawa kita ke laut, sedangkan Khitan letaknya bukan di laut. Kita harus mendarat sekarang juga. Jangan khawatir, untuk Paduka, hamba akan menyediakan seekor kuda yang baik.”

Tentu saja keberanian yang diajukan oleh Lin Lin ini hanya pura-pura belaka. Sesungguhnya ia ingin melakukan perjalanan dengan perahu agar ia leluasa melatih ilmunya. Dengan perjalanan melalui darat, ia akan kelihatan terus, di bawah pengawasan Hek-giam-lo dan tentu saja tidak akan ada kesempatan untuk berlatih.

Namun Lin Lin cukup cerdik untuk membantah terus karena hal ini tentu akan menimbulkan kecurigaan. Selain itu, biarpun ia kini tak mungkin dapat berlatih lagi, namun terbukalah kesempatan baginya untuk melarikan diri, sungguhpun ia takkan sembrono melakukan hal ini kalau tidak mendapatkan kesempatan yang baik.

Kesempatan ini tak pernah ia dapatkan karena Hek-giam-lo selalu mengawalnya sendiri dengan hati-hati dan teliti sekali. Ia diberi seekor kuda pilihan yang baik sedangkan Hek-giam-lo berjalan cepat di belakangnya. Lin Lin cukup maklum bahwa melarikan kudanya itu akan percuma, tidak saja disitu terdapat banyak kuda-kuda yang cepat, akan tetapi juga orang sakti macam Hek-giam-lo tak mungkin dapat ditinggal lari diatas kuda.

Untuk nekat melarikan diri dan melawan, akan sia-sia belaka dan akibatnya hanya membuat perlakuan mereka terhadapnya kurang baik. Kini biarpun ia merupakan seorang setengah tawanan, namun mereka, bahkan Hek-giam-lo sendiri, selalu bersikap menghormat. Ia selalu diberi hidangan yang lezat dan selalu diperhatikan keperluannya.

Beberapa pekan kemudian, pada suatu sore, tibalah mereka di perbatasan yang menjadi wilayah bangsa Khitan. Suku bangsa Khitan adalah bangsa perantauan di sebelah utara, sering kali berpindah wilayah sesuai dengan keadaan dan musim. Mereka terkenal sebagai bangsa yang gagah berani dan pandai menunggang kuda, pandai melakukan perang.

Hek-giam-lo menghentikan rombongannya dan menyuruh orang-orangnya mendirikan kemah di tempat itu, yaitu di sebuah padang rumput yang luas. Ia sendiri lalu menunggang kuda untuk mengabarkan kepada rajanya tentang kedatangan Puteri Yalina!

Pada waktu itu, karena tekun mempelajari bahasa bangsanya, sedikit-sedikit Lin Lin sudah pandai berbahasa Khitan. Memang ada hubungan darah, maka bahasa ini baginya amat mudah dipelajari. Maka ia mengerti akan perintah Hek-giam-lo dan terbukalah kesempatan baik baginya. Hek-giam-lo pergi meninggalkan rombongan itu!

Akan tetapi pada saat Hek-giam-lo pergi, datanglah serombongan wanita cantik yang ternyata adalah dayang-dayang yang serta-merta melayaninya. Mereka ini terdiri dari selosin orang wanita muda yang cantik, mereka datang membawa makanan asing yang enak, membawa pakaian-pakaian indah dan perhiasan untuk Sang Puteri Yalina, calon permaisuri!

Memang watak Lin Lin nakal dan ingin sekali ia mencoba pakaian itu. Maka ketika ia didandani, ia menurut saja. Akhirnya ia tertawa sendiri cekikikan ketika melihat bayangannya di cermin. Ternyata ia telah menjadi seorang puteri asing yang pakaiannya aneh beraneka warna, bahkan kepalanya ditutup perhiasan terbuat daripada emas penuh batu permata!

“Pantaskah aku memakai ini?”

Tanyanya dalam bahasa Khitan kepada para dayang yang tertawa-tawa gembira melihat puteri itu cekikikan di depan cermin.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar