FB

FB


Ads

Selasa, 02 Juli 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 108

“Sudah kukatan tadi, Kim-siauw-eng, bahwa orang-orang yang merasa dirugikan menjadi marah dan benci. Benci menimbuikan dendam. Dendam menimbulkan perbuatan merugikan fihak lain sehingga timbul dendam-mendendam yang tiada habisnya, rangkaian permainan karma. Orang membenci takkan kehabisan bahan untuk mencela, sebaliknya orang mencinta takkan kehabisan bahan untuk memuji. Karena dasarnya hanya dirugikan atau diuntungkan, maka kedua perasaan itu mudah berubah. Benci berubah cinta setelah yang dibenci mendatangkan untung, baik di bidang benda maupun perasaan.”

“Sebaliknya cinta bisa berubah benci setelah yang dicinta mendatangkan rugi. Karena itu, jangan kau pusingkan siapa orangnya yang membencimu atau mencintamu. Semua harus kau pandang sama, dengan pandangan kasih sayang antar manusia. Kalau toh kau hendak menebus perbuatan-perbuatan ibumu yang dianggap DOSA, kau lakukanlah hal-hal yang menguntungkan dan menyenangkan hati orang lain, atau yang lazim disebut kebaikan, sebanyak-banyaknya. Dengan perbuatan baik berarti kau mengangkat tinggi nama orang tua, termasuk ibumu. Tapi jangan sekali-kali kau lupa akan kewajibanmu sebagai satria, yaitu membela si lemah tertindas, menyadarkan si kuat penindas, baik dengan nasihat maupun dengan ilmu kepandaianmu. Orang-orang yang lupa dan melakukan hal-hal yang merugikan orang lain, perlu disadarkan, baik dengan jalan halus maupun kasar. Kau mengerti maksudku, bukan?”

Suling Emas mengangguk.
“Terima kasih, Locianpwe.”

“Sekarang mari kau perdalam Kim-kong Sim-im, tadi kudengar latihanmu ada beberapa bagian yang kurang sempurna.”

Kakek itu lalu bersila di depan Suling Emas, menurunkan yang-kim dan mulai mainkan yang-kimnya. Suling Emas cepat-cepat mengambil sulingnya dan tak lama kemudian di tempat yang sunyi itu kembali terdengar paduan suara yang-kim dan suling, melagukan nyanyian yang amat merdu, akan tetapi yang mengandung pengaruh luar biasa sekali sehingga keadaan di lembah itu amat aneh.

Kadang-kadang paduan suara itu terdengar seperti badai mengamuk sehingga keadaan sekelilingnya menjadi makin sunyi karena binatang-binatang hutan tidak ada yang berani muncul maupun bersuara. Di lain saat terdengarlah paduan suara yang lembut merayu seperti bisikan-bisikan angin lalu, seperti kicau burung dan gemerciknya air anak sungai yang bening, sehingga burung-burung di hutan itu mulai ikut berkicau, binatang-binatang mulai keluar dari tempat sembunyi mereka dan suasana menjadi tenteram dan penuh damai.

Lebih dua jam mereka berlatih. Akhirnya paduan suara itu menghilang dan dengan senyum puas kakek Bu Kek Siansu meninggalkan Suling Emas yang masih berlutut di atas tanah.

“Tugasmu amat banyak, Suling Emas. Berbahagialah manusia yang masih mempunyai tugas-tugas dalam hidupnya, karena tidak ada yang lebih mulia dalam hidup ini selain menunaikan tugas-tugas hidup, mempergunakan tenaga dan pikirannya yang amat dibutuhkan orang lain.”

“Locianpwe, setelah semua tugas teecu selesai, teecu ingin sekali ikut Locianpwe menuntut ilmu bertapa dan menjauhkan diri daripada urusan dunia.”

Kakek itu tertawa dan mengelus-elus jenggotnya yang putih.
“Lamunan semua orang muda yang sedang diamuk duka nestapa. Tunggu saja kalau kau sudah bertemu dengan jodohmu, ha-ha, mungkin kupaksa ikut pun kau akan menolak! Selamat tinggal!” Maka pergilah kakek itu.

Sepergi kakek sakti Bu Kek Siansu Suling Emas duduk terus bersila sambil termenung. Tunggu kalau dia bertemu jodohnya? Apa arti ucapan kakek sakti itu? Ia maklum bahwa Bu Kek Siansu adalah seorang sakti yang sukar dicari bandingnya pada masa itu, dan bahwa kakek itu selain memiliki kesaktian, juga memiliki ilmu kebatinan yang dalam.

Akan tetapi, dalam hal jodoh, tiada manusia di dunia ini lebih berkuasa daripada Dewa jodoh yang sudah diberi tugas oleh Thian untuk mengurus soal-soal perjodohan manusia di permukaan bumi. Dan oleh Dewa jodoh, pertaliannya dengan satu-satunya wanita yang pernah ia cinta, pertalian kasih sayang yang mendalam, agaknya telah diputuskan. Ataukah ini yang dibilang bahwa wanita itu bukan jodohnya? Akan tetapi dia satu-satunya gadis yang pernah ia cinta, ia sayang, seperti hatinya!

“Ceng Ceng.... kekasihku....” terdengar ia berbisik, merupakan keluhan yang langsung keluar dari hatinya yang terluka.

Terbayanglah wajah seorang wanita yang ayu, yang lemah lembut dan yang sikapnya agung. Wajah jelita gadis pujaan hatinya. Suma Ceng. Terbayanglah dengan amat jelasnya di dalam ingatan, sepuluh tahun yang lalu. Ia masih menjadi seorang pengawal muda yang dipercaya oleh Pangeran Suma Kong di kota raja, bahkan diberi tempat tinggal di sebuah bangunan samping gedung pangeran itu.

Masih jelas terbayang pertemuan pertama kali dengan Suma Ceng, puteri pangeran itu. Bulan bersinar indah dan penuh pada malam itu. Ia duduk di dalam taman bunga Pangeran Suma yang luas, duduk di depan pondok taman sambil meniup suling, permainan yang digemarinya semenjak ia kecil. Kemudian, bagaikan Sang Dewi Malam atau Dewi Purnama sendiri turun ke dunia, puteri jelita itu muncul, tertarik oleh suara sulingnya.

“Ceng Ceng....” kembali Suling Emas menarik napas panjang dalam lamunannya.

Teringat dan terbayanglah semua itu. Betapa mesra pertemuan itu, betapa sinar mata mereka yang bicara dalam seribu bahasa, mewakili bibir yang tak pandai berkata-kata. Kemudian betapa mimpi muluk itu menjadi hancur berantakan oleh kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Ia hanya seorang pelajar yang tak pernah lulus ujian, Suma Ceng puteri seorang pangeran, bahkan pangeran yang menjadi majikannya!

Namun betapa cinta kasih membikin ia buta akan kenyataan ini, membuat Suma Ceng juga buta bahkan ia tak mungkin berjodoh dengan seorang pegawai biasa. Mereka bagaikan mabuk asmara, asyik dan masyuk, dibuai gelora cinta kasih yang mendalam. Hubungan dilanjutkan, hanya bulan dan kadang-kadang malam gelap yang menjadi saksi akan pertalian cinta kasih di antara mereka yang makin mendalam.

Akhirnya, semua mimpi muluk berakhir. Dalam lamunannya, Suling Emas mengeluh. Pertemuannya dengan kekasihnya ketahuan. Ia seorang pemuda lemah ketika itu. Ia dihajar, dihukum, hampir dibunuh, akhirnya ia tertolong oleh Kim-mo Taisu yang kemudian menjadi gurunya (baca cerita Suling Emas yang amat menarik).

“Ceng Ceng....!”

Suling Emas mengusir ingatan tentang kesengsaraan yang dideritanya semenjak hubungannya dengan Suma Ceng ketahuan. Ia kembali memaksa ingatannya membayangkan wajah kekasihnya yang jelita. Wajah yang mirip dengan wajah Lin Lin, yang kemudian dalam lamunannya berubah perlahan-lahan menjadi wajah Lin Lin!

Ia mengerutkan kening, lalu menggoyang-goyang kepalanya keras-keras sehingga bayangan itu lenyap dari pandang matanya. Suling Emas bangkit berdiri, sikapnva tenang, wajahnya biasa, akan tetapi jantung di dalam dadanya seakan-akan menjeritkan nama itu berkali-kali,

“Ceng Ceng.... Ceng Ceng....!” Jeritan yang membuat ia makin lama makin rindu kepada yang punya nama ini.

Makin dipikirkan, makin perih hatinya. Selama hidup di dunia ini, hanya ada dua orang saja yang selalu berada di hatinya. Orang pertama adalah ibu kandungnya, orang ke dua adalah Suma Ceng. Akan tetapi ibunya yang semenjak kecil ia rindukan, ia harap-harapkan perjumpaan dengan ibunya, ternyata begitu bertemu lalu meninggal dunia dan meninggalkan nama yang dibenci oleh dunia kang-ouw, yang dianggap jahat.

Adapun Suma Ceng, gadis yang dicinta dan mencintainya, telah direnggut orang dari pelukannya, kini telah menjadi isteri orang lain! Apalagi yang diharapkan di dunia ini? Untuk apalagi ia hidup? Sudah sepatutnya kalau ia ikut dengan kakek Bu Kek Siansu, bertapa dan mengasingkan diri dari dunia ramai. Akan tetapi kakek sakti itu bilang bahwa kalau ia bertemu dengan jodohnya, diajak bertapa pun ia takkan mau?

Semua renungan ini membuat ia merasa makin rindu kepada Ceng Ceng yang masih hidup. Andaikata ibu kandungnya masih hidup, tentu ia akan mendekati ibunya dan berusaha melupakan Suma Ceng yang sudah menjadi isteri orang lain. Bahkan andaikata ayahnya masih hidup, ia tentu akan mendekati ayahnya yang selama ini ia benci karena berpisah dari ibunya. Akan tetapi kedua orang tuanya sudah meninggal, hanya Suma Ceng yang masih hidup.

“Ceng Ceng.... aku harus menemuimu.... sekali lagi....!”

Tubuhnya berkelebat cepat meninggalkan tempat itu. Tujuannya adalah kota raja di mana Suma Ceng berada! Ada memang ingatan akan tugas-tugasnya berkelebat di benaknya, namun ia sengaja mengesampingkan dulu tugas-tugas ini. Setelah bertemu dengan Suma Ceng, baru ia akan melaksanakan tugas-tugas itu.

Merampas kembali tongkat Beng-kauw, mewakili ibu kandungnya ke puncak Thai-san untuk menghadapi tokoh-tokoh Thian-te Liok-koai. Merampas kembali Lin Lin dari tangan orang-orang Khitan dan menyuruh tiga orang adik-adiknya kembali ke Cin-ling-san. Mengurus perjodohan, apabila mungkin, antara Bu Sin dengan Liu Hwee, dan tugasnya yang terakhir, seperti dipesankan oleh Bu Kek Siansu, yaitu memupuk perbuatan-perbuatan bermanfaat dan baik bagi orang lain untuk mengangkat kembali nama ibu kandungnya.

Dengan ilmu lari cepatnya yang luar biasa, sebentar saja tubuh Suling Emas tampak jauh, hanya sebesar titik hitam yang dalam beberapa detik berikutnya lenyap sudah.

**** 108 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar