Si kakek tua renta mengangguk-angguk,
“Saudara-saudara sekalian. Kebetulan sekali Tok-siauw-kui pernah menceritakan semua dosa-dosanya kepadaku dan minta petunjuk pula, oleh karena itu aku banyak tahu akan urusannya.”
Ia menarik napas panjang dan mengingat-ingat wanita yang menjadi biang keladi semua keributan ini (baca cerita Suling Emas).
“Dan urusannya dengan Siauw-lim-pai juga telah kuketahui. Hwesio yang baik, kalian dari Siauw-lim-pai memang selamanya jujur, keras dan berdisiplin. Kematian tiga orang suhengmu dalam pertandingan melawan Tok-siauw-kui adalah karena tiga orang suhengmu kalah pandai. Adapun yang menjadi sebabnya adalah sutemu yang sama sekali bukan diculik oleh Tok-siauw-kui, melainkan karena tergila-gila dan memang mengadakan perhubungan gelap dengan Liu Lu Sian sehingga hal itu membuat tiga orang suhengmu marah-marah dan hendak membunuh sutemu.”
“Tok-siauw-kui membela kekasihnya dan tiga orang suhengmu tewas dalam pertempuran. Nah, Cheng San Hwesio, biarpun dalam hal ini Tok-siauw-kui boleh jadi mempunyai kesalahan karena berjina dengan sutemu, namun fihak Siauw-lim-pai juga mempunyai kesalahan, yaitu apa yang dilakukan oleh sutemu. Kiranya tidak patut kalau hendak menimpakan kesalahan ini kepada putera Tok-siauw-kui yang tidak tahu apa-apa dalam urusan itu. Apalagi kalau diingat bahwa kalian dari Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang menjadi murid Buddha. Ke manakah pelajaran welas asih dan cinta kasih yang menjadi pokok pelajaran agamamu? Cheng San Hwesio, harap kau jangan lupa bahwa BALAS DENDAM adalah buah daripada BENCI yang menjadi senjata setan untuk menyeret manusia ke lembah kesesatan. Sebaliknya RELA MAAF adalah buah daripada CINTA KASIH yang akan menjadi obor bagi manusia menuju jalan kebajikan.”
“Omitohud.... kata-kata mutiara Siansu bagaikan air sungai gunung yang dingin menyegarkan orang kehausan. Terima kasih, Siansu. Suling Emas, urusan ibu kandungmu sudah selesai oleh kematian Tok-siauw-kui, mulai sekarang Siauw-lim-pai takkan mempersoalkannya lagi. Pinceng sudah bicara!”
Hwesio ini memberi hormat kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu.
“Omitohud.... Bu Kek Siansu telah memuaskan hati Cheng San Hwesio. Siansu yang bijaksana, pinceng harap kau akan dapat memberi penerangan pula kepada pinceng! Dua puluh tahun lebih yang lalu, Tok-siauw-kui mencuri kitab pusaka dari Go-bi-pai. Sekarang Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan kitab itu masih lenyap dari Go-bi-pai. Kalau sekarang pinceng menuntut kepada putera tunggalnya agar kitab itu dikembalikan, bukankah hal ini sudah adil dan patut?”
“Hwesio yang baik dari Go-bi-pai, sudah sewajarnya yang kehilangan mencari yang mencuri dan mengembalikan. Akan tetapi Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan sudah sewajibnya kalau kitab itu ditinggalkan kepada Suling Emas, ia harus mengembalikannya kepadamu. Kim-siauw-eng (Suling Emas) apakah kau mendapat peninggalkan sesuatu dari ibumu termasuk kitab Go-bi-pai itu?”
Suling Emas menggeleng kepalanya.
“Teecu (murid) tidak menerima peninggalan sesuatu dan tak pernah mendengar tentang kitab pusaka Go-bi-pai.”
Bu Kek Siansu mengelus jenggotnya yang putih.
“Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban Suling Emas untuk membantu fihak Go-bi-pai mencari kembali kitab itu agar dikembalikan kepada Go-bi-pai yang berhak memilikinya, di samping berbakti kepada ibu kandung. Sanggupkah kau, Kim-siauw-eng?”
“Teecu sanggup. Hek Bin Hosiang, apakah nama kitab itu?”
“Kitab yang dicurinya adalah kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Tiga Belas Bintang) yang mengandung pelajaran I-kin-swe-jwe (Mengganti Otot Mencuci Sumsum)!”
Suling Emas mengangguk-angguk.
“Harap Lo-suhu sudi memberi waktu, saya akan berusaha mencarinya dan mengembalikannya ke Go-bi-pai.”
Wajah hitam hwesio Go-bi-pai itu berseri.
“Bagus! Kalau Suling Emas sudah sanggup mencari dan mengembalikan, pinceng cukup puas dan hal itu pasti akan terlaksana. Kiranya ketua kami juga akan menghabiskan perkara ini, apalagi setelah Bu Kek Siansu yang mulia menjadi penengah! Maaf, pinceng tak dapat lebih lama tinggal di sini.”
Hwesio ini pun menjura kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Bu Kek Siansu gembira sekali.
“Nah, nah, bukankah segala hal dapat diselesaikan? Bukankah kita dapat mengatasi segala macam kesulitan kalau kita mau dengan landasan cinta kasih?”
“Maaf.... aku....”
Suling Emas mengerutkan kening dan sinar matanya agak gugup ketika ia melihat gadis baju hijau melangkah maju dan mengeluarkan kata-kata terputus-putus itu. Muka gadis itu sebentar pucat sebentar merah.
“Ya, apa yang hendak kau bicarakan, Nona Muda?” Bu Kek Siansu menenangkannya dengan kata-kata halus.
“Maaf, Siansu....” Gadis itu memberi hormat. “Teecu sudah lama mendengar nama Siansu yang dipuja sebagai dewa, bahkan di waktu ayah masih hidup, ayah sering kali mendongeng tentang Siansu yang amat dikagumi ayah. Akan tetapi ayah.... ah, ayah meninggalkan teecu dalam keadaan menyedihkan. Ayahku telah dibunuh oleh Tok-siauw-kui setelah iblis wanita itu berhasil membujuk ayah dan mengelabuhi ayah sehingga ayah menurunkan gin-kang keluarga kami kepada Tok-siauw-kui. Wanita iblis yang palsu dan jahat itu sebagai tanda terima kasih malah membunuh ayah. Siansu, setelah Tok-siauw-kui meninggal, kepada siapa lagi kalau bukan kepada puteranya teecu membalas? Kalau teecu tidak membalas dendam ayah ini, bukankah teecu akan menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)?” Di dalam suara gadis ini terkandung isak.
“Nona, siapakah ayahmu?”
“Ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui....”
Mendengar nama ini, semua orang menengok dan ada yang berseru perlahan. Nama besar Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) Tan Hui sudah amat terkenal dan mereka tadinya tidak menyangka bahwa gadis baju hijau yang cantik dan gagah ini adalah puteri pendekar itu. Maklumlah, mereka semua adalah orang-orang yang tadinya menjadi tamu di Nan-cao.
Ketika mereka keluar dari Nan-cao, di jalan mereka terbujuk oleh ucapan It-gan Kai-ong yang mengajak musuh-musuh Tok-siauw-kui membalas dendam mereka kepada putera tunggalnya. Semua tokoh kang-ouw mengenal belaka siapa adanya Hui-kiam-eng Tan Hui jago pedang yang memiliki ilmu gin-kang luar biasa sekali sehingga kalau ia main pedang, seakan-akan jago ini terbang bersama pedangnya sehingga ia dijuluki Pendekar Pedang Terbang (baca cerita Suling Emas).
“Ahhhhh.... dia itu ayahmu? Nona, kebetulan sekali aku sendiri tahu akan hal ayahmu dan Tok-siauw-kui, karena diantara semua yang diceritakanya, soal ayahmu ia ceritakan dengan jelas. Ketahuilah bahwa semenjak meninggalkan suaminya di kaki Gunung Cin-ling-san, laki-laki pertama yang merebut hati Tok-siauw-kui adalah ayahmu yang pada waktu itu menjadi duda pula. Mereka itu saling mencinta, dan demikian besar cinta ayahmu sehingga ayahmu mengajarkan gin-kangnya kepada Tok-siauw-kui. Hal itu terjadi dua puluh tahun lebih yang lalu, agaknya kau masih kecil....”
“Teecu baru berusia lima tahun ketika ayah meninggal. Teecu lalu dipelihara oleh paman teecu berikut warisan kitab-kitab pelajaran dari ayah....” kembali suara ini tercampur isak.
“Begitulah. Ayahmu jatuh cinta bersama Tok-siauw-kui dan agaknya mereka akan menjadi suami isteri kalau saja ayahmu tidak mendengar akan latar belakang riwayat hidup Tok-siauw-kui. Ayahmu menjadi kecewa, lalu mendekati gadis lain yang dicalonkan menjadi isterinya. Tok-siauw-kui menjadi cemburu, marah, terjadi percekcokan sehingga mereka bertempur yang mengakibatkan tewasnya ayahmu. Nah, bukankah kematian ayahmu itu bukan semata-mata akibat kejahatan Tok-siaw-kui, akan tetapi banyak tali temalinya dan sebagian besar sebabnya adalah karena ayahmu sendiri?”
Wajah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian menjadi pucat.
“.... tapi.... betulkah itu, Siansu....?”
“Begitulah kiranya. Kau dapat bertanya-tanya kepada pamanmu atau mereka yang mengetahuinya. Begitulah hidup di dunia ini, Nona. Kejadian yang sudah SEMESTINYA terjadi, akan terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini mampu mengubahnya. Setiap kejadian di dunia ini sudah sewajarnya, tidak mempunyai sifat menyenangkan atau menyusahkan, wajar dan sudah semestinya. Kalau toh mengakibatkan senang dan susah, bukan kejadian itu yang mengakibatkan, melainkan si orang itu sendiri yang menghadapi kejadian. Kalau dibuat susah, akan susahlah ia, kalau dibuat senang, akan senanglah ia. Ayahmu sudah mati, juga Tok-siauw-kui sudah mati. Kau yang masih hidup, mengapa harus melibatkan diri dengan urusan mereka yang sudah mati?”
Wajah yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Beberapa kali ia mengerling ke arah Suling Emas, kemudian dengan isak tertahan ia melompat dari situ dan sekali berkelebat lenyaplah nona itu. Semua orang menjadi kagum dan terbuktilah kehebatan gin-kang yang disohorkan orang dari keluarga Hui-kiam-eng Tan Hui.
“Wah-wah, tua bangka ini menggunakan sihirnya untuk melemahkan semangat orang!” It-gan Kai-ong membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. “Kawan-kawan semua, kita pergi saja jangan sampai dia sempat mengelabui kita dengan omongan-omongan busuk dan ilmu sihir. Kita laki-laki seiati, bukan banci, sekali mempunyai cita-cita membalas dendam dan berbakti kepada yang sudah mati, hanya maut yang dapat menghentikan cita-cita itu. Mari kita pergi, lain kali masih banyak waktu untuk menghukum putera tunggal Tok-siauw-kui!”
Memang para tokoh kang-ouw itu merasa jerih dan juga sungkan untuk bermusuhan dengan Bu Kek Siansu, maka mendengar ucapan It-gan Kai-ong ini, berturut-turut mereka meninggalkan tempat itu. Setelah semua orang pergi, Suling Emas menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu.
Kakek ini mengerutkan keningnya, berkata halus,
“Kim-siauw-eng, kemana perginya keteguhan hatimu? Mengapa saat ini kau terserang kelemahan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kegagahanmu? Laki-laki sama sekali pantang untuk turun semangat dan membiarkan hatinya digerogoti perasaan duka. Apakah yang mengganggu pikiranmu, orang muda?”
“Locianpwe, teecu berterima kasih bahwa Locianpwe telah menyelamatkan teecu daripada bahaya maut. Akan tetapi kesedihan hati teecu lebih besar daripada rasa syukur telah bebas dari kematian. Mendengar semua orang membenci teecu karena mendiang ibu, tidaklah mengguncangkan perasaan teecu. Akan tetapi mendengar kenyataan bahwa ibu kandung teecu dahulunya begitu keji dan jahat hal inilah yang menghancurkan hati teecu. Mohon petunjuk Locianpwe.”
Kakek itu menarik napas panjang.
“Aku sudah heran tadi mengapa kau hanya menghadapi orang-orang yang mengancam nyawamu dengan Kim-kong-sin-im saja, padahal kalau kau melawan mereka dengan Hong-in-bun-hwat dan dengan ilmu silatmu yang lain, kau takkan terancam bahaya maut. Kiranya kau merasa betapa ibumu berdosa dan kau sengaja hendak mengorbankan diri menebus dosanya! Orang muda, ibumu memang memiliki watak yang keras. Akan tetapi ia hanya seorang manusia biasa saja, seperti manusia-manusia lain ia pun mempunyai kelemahan. Manusia adalah mahluk yang lemah dan karenanya mudah lupa akan kemanusiaan. Tidak ada manusia baik atau jahat di dunia ini, semua sama saja karenanya dengan dasar pikiran ini orang budiman mengasihi semua manusia tanpa pandang perbedaan.”
“Yang suka disebut orang jahat adalah orang yang sedang lupa, dilupakan oleh nafsu ingin senang sendiri, ingin menang sendiri, ingin enak sendiri, tanpa mempedulikan keadaan orang lain, maka perbuatannya yang ditunggangi nafsu-nafsu demikian itu merugikan orang lain. Orang yang dirugikan tentu akan menganggapnya jahat. Sebaliknya, orang yang sedang sadar, bebas nafsu, tentu akan timbul prikemanusiaannya dan melakukan perbuatan yang menguntungkan atau menyenangkan orang lain. Orang yang diuntungkan atau disenangkan demikian itu tentu akan menganggapnya baik. Jadi pada umumnya, manusia menilai BAIK atau JAHAT itu didasarkan pada akibat MENGUNTUNGKAN atau MERUGIKAN dirinya yang sebetulnya juga menjadi rangkaian daripada nafsunya sendiri.”
Suling Emas mengangguk-angguk,
“Teecu dapat memahami filsafat yang Locianpwe ajarkan. Mungkin mendiang ibu melakukan semua itu karena lemah dan lupa, ingin mengumbar nafsu sehingga akibatnya merugikan banyak orang dan menimbulkan benci. Sekarang mereka hendak menuntut kepada teecu, bagaimana teecu harus berbuat? Locianpwe, biarpun ibu dikatakan orang jahat, namun ia adalah ibu kandung teecu dan teecu belum pernah melakukan sesuatu kebaktian bagi ibu, belum dapat membalas kesengsaraan ibu ketika ibu mengandung dan melahirkan serta memelihara teecu. Apakah yang teecu harus lakukan?”
“Saudara-saudara sekalian. Kebetulan sekali Tok-siauw-kui pernah menceritakan semua dosa-dosanya kepadaku dan minta petunjuk pula, oleh karena itu aku banyak tahu akan urusannya.”
Ia menarik napas panjang dan mengingat-ingat wanita yang menjadi biang keladi semua keributan ini (baca cerita Suling Emas).
“Dan urusannya dengan Siauw-lim-pai juga telah kuketahui. Hwesio yang baik, kalian dari Siauw-lim-pai memang selamanya jujur, keras dan berdisiplin. Kematian tiga orang suhengmu dalam pertandingan melawan Tok-siauw-kui adalah karena tiga orang suhengmu kalah pandai. Adapun yang menjadi sebabnya adalah sutemu yang sama sekali bukan diculik oleh Tok-siauw-kui, melainkan karena tergila-gila dan memang mengadakan perhubungan gelap dengan Liu Lu Sian sehingga hal itu membuat tiga orang suhengmu marah-marah dan hendak membunuh sutemu.”
“Tok-siauw-kui membela kekasihnya dan tiga orang suhengmu tewas dalam pertempuran. Nah, Cheng San Hwesio, biarpun dalam hal ini Tok-siauw-kui boleh jadi mempunyai kesalahan karena berjina dengan sutemu, namun fihak Siauw-lim-pai juga mempunyai kesalahan, yaitu apa yang dilakukan oleh sutemu. Kiranya tidak patut kalau hendak menimpakan kesalahan ini kepada putera Tok-siauw-kui yang tidak tahu apa-apa dalam urusan itu. Apalagi kalau diingat bahwa kalian dari Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang menjadi murid Buddha. Ke manakah pelajaran welas asih dan cinta kasih yang menjadi pokok pelajaran agamamu? Cheng San Hwesio, harap kau jangan lupa bahwa BALAS DENDAM adalah buah daripada BENCI yang menjadi senjata setan untuk menyeret manusia ke lembah kesesatan. Sebaliknya RELA MAAF adalah buah daripada CINTA KASIH yang akan menjadi obor bagi manusia menuju jalan kebajikan.”
“Omitohud.... kata-kata mutiara Siansu bagaikan air sungai gunung yang dingin menyegarkan orang kehausan. Terima kasih, Siansu. Suling Emas, urusan ibu kandungmu sudah selesai oleh kematian Tok-siauw-kui, mulai sekarang Siauw-lim-pai takkan mempersoalkannya lagi. Pinceng sudah bicara!”
Hwesio ini memberi hormat kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari dengan langkah lebar meninggalkan tempat itu.
“Omitohud.... Bu Kek Siansu telah memuaskan hati Cheng San Hwesio. Siansu yang bijaksana, pinceng harap kau akan dapat memberi penerangan pula kepada pinceng! Dua puluh tahun lebih yang lalu, Tok-siauw-kui mencuri kitab pusaka dari Go-bi-pai. Sekarang Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan kitab itu masih lenyap dari Go-bi-pai. Kalau sekarang pinceng menuntut kepada putera tunggalnya agar kitab itu dikembalikan, bukankah hal ini sudah adil dan patut?”
“Hwesio yang baik dari Go-bi-pai, sudah sewajarnya yang kehilangan mencari yang mencuri dan mengembalikan. Akan tetapi Tok-siauw-kui sudah meninggal dunia dan sudah sewajibnya kalau kitab itu ditinggalkan kepada Suling Emas, ia harus mengembalikannya kepadamu. Kim-siauw-eng (Suling Emas) apakah kau mendapat peninggalkan sesuatu dari ibumu termasuk kitab Go-bi-pai itu?”
Suling Emas menggeleng kepalanya.
“Teecu (murid) tidak menerima peninggalan sesuatu dan tak pernah mendengar tentang kitab pusaka Go-bi-pai.”
Bu Kek Siansu mengelus jenggotnya yang putih.
“Kalau begitu, sudah menjadi kewajiban Suling Emas untuk membantu fihak Go-bi-pai mencari kembali kitab itu agar dikembalikan kepada Go-bi-pai yang berhak memilikinya, di samping berbakti kepada ibu kandung. Sanggupkah kau, Kim-siauw-eng?”
“Teecu sanggup. Hek Bin Hosiang, apakah nama kitab itu?”
“Kitab yang dicurinya adalah kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Tiga Belas Bintang) yang mengandung pelajaran I-kin-swe-jwe (Mengganti Otot Mencuci Sumsum)!”
Suling Emas mengangguk-angguk.
“Harap Lo-suhu sudi memberi waktu, saya akan berusaha mencarinya dan mengembalikannya ke Go-bi-pai.”
Wajah hitam hwesio Go-bi-pai itu berseri.
“Bagus! Kalau Suling Emas sudah sanggup mencari dan mengembalikan, pinceng cukup puas dan hal itu pasti akan terlaksana. Kiranya ketua kami juga akan menghabiskan perkara ini, apalagi setelah Bu Kek Siansu yang mulia menjadi penengah! Maaf, pinceng tak dapat lebih lama tinggal di sini.”
Hwesio ini pun menjura kepada Bu Kek Siansu, lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu.
Bu Kek Siansu gembira sekali.
“Nah, nah, bukankah segala hal dapat diselesaikan? Bukankah kita dapat mengatasi segala macam kesulitan kalau kita mau dengan landasan cinta kasih?”
“Maaf.... aku....”
Suling Emas mengerutkan kening dan sinar matanya agak gugup ketika ia melihat gadis baju hijau melangkah maju dan mengeluarkan kata-kata terputus-putus itu. Muka gadis itu sebentar pucat sebentar merah.
“Ya, apa yang hendak kau bicarakan, Nona Muda?” Bu Kek Siansu menenangkannya dengan kata-kata halus.
“Maaf, Siansu....” Gadis itu memberi hormat. “Teecu sudah lama mendengar nama Siansu yang dipuja sebagai dewa, bahkan di waktu ayah masih hidup, ayah sering kali mendongeng tentang Siansu yang amat dikagumi ayah. Akan tetapi ayah.... ah, ayah meninggalkan teecu dalam keadaan menyedihkan. Ayahku telah dibunuh oleh Tok-siauw-kui setelah iblis wanita itu berhasil membujuk ayah dan mengelabuhi ayah sehingga ayah menurunkan gin-kang keluarga kami kepada Tok-siauw-kui. Wanita iblis yang palsu dan jahat itu sebagai tanda terima kasih malah membunuh ayah. Siansu, setelah Tok-siauw-kui meninggal, kepada siapa lagi kalau bukan kepada puteranya teecu membalas? Kalau teecu tidak membalas dendam ayah ini, bukankah teecu akan menjadi seorang anak yang puthauw (tidak berbakti)?” Di dalam suara gadis ini terkandung isak.
“Nona, siapakah ayahmu?”
“Ayah adalah Hui-kiam-eng Tan Hui....”
Mendengar nama ini, semua orang menengok dan ada yang berseru perlahan. Nama besar Hui-kiam-eng (Pendekar Pedang Terbang) Tan Hui sudah amat terkenal dan mereka tadinya tidak menyangka bahwa gadis baju hijau yang cantik dan gagah ini adalah puteri pendekar itu. Maklumlah, mereka semua adalah orang-orang yang tadinya menjadi tamu di Nan-cao.
Ketika mereka keluar dari Nan-cao, di jalan mereka terbujuk oleh ucapan It-gan Kai-ong yang mengajak musuh-musuh Tok-siauw-kui membalas dendam mereka kepada putera tunggalnya. Semua tokoh kang-ouw mengenal belaka siapa adanya Hui-kiam-eng Tan Hui jago pedang yang memiliki ilmu gin-kang luar biasa sekali sehingga kalau ia main pedang, seakan-akan jago ini terbang bersama pedangnya sehingga ia dijuluki Pendekar Pedang Terbang (baca cerita Suling Emas).
“Ahhhhh.... dia itu ayahmu? Nona, kebetulan sekali aku sendiri tahu akan hal ayahmu dan Tok-siauw-kui, karena diantara semua yang diceritakanya, soal ayahmu ia ceritakan dengan jelas. Ketahuilah bahwa semenjak meninggalkan suaminya di kaki Gunung Cin-ling-san, laki-laki pertama yang merebut hati Tok-siauw-kui adalah ayahmu yang pada waktu itu menjadi duda pula. Mereka itu saling mencinta, dan demikian besar cinta ayahmu sehingga ayahmu mengajarkan gin-kangnya kepada Tok-siauw-kui. Hal itu terjadi dua puluh tahun lebih yang lalu, agaknya kau masih kecil....”
“Teecu baru berusia lima tahun ketika ayah meninggal. Teecu lalu dipelihara oleh paman teecu berikut warisan kitab-kitab pelajaran dari ayah....” kembali suara ini tercampur isak.
“Begitulah. Ayahmu jatuh cinta bersama Tok-siauw-kui dan agaknya mereka akan menjadi suami isteri kalau saja ayahmu tidak mendengar akan latar belakang riwayat hidup Tok-siauw-kui. Ayahmu menjadi kecewa, lalu mendekati gadis lain yang dicalonkan menjadi isterinya. Tok-siauw-kui menjadi cemburu, marah, terjadi percekcokan sehingga mereka bertempur yang mengakibatkan tewasnya ayahmu. Nah, bukankah kematian ayahmu itu bukan semata-mata akibat kejahatan Tok-siaw-kui, akan tetapi banyak tali temalinya dan sebagian besar sebabnya adalah karena ayahmu sendiri?”
Wajah Bu-eng-sin-kiam Tan Lian menjadi pucat.
“.... tapi.... betulkah itu, Siansu....?”
“Begitulah kiranya. Kau dapat bertanya-tanya kepada pamanmu atau mereka yang mengetahuinya. Begitulah hidup di dunia ini, Nona. Kejadian yang sudah SEMESTINYA terjadi, akan terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini mampu mengubahnya. Setiap kejadian di dunia ini sudah sewajarnya, tidak mempunyai sifat menyenangkan atau menyusahkan, wajar dan sudah semestinya. Kalau toh mengakibatkan senang dan susah, bukan kejadian itu yang mengakibatkan, melainkan si orang itu sendiri yang menghadapi kejadian. Kalau dibuat susah, akan susahlah ia, kalau dibuat senang, akan senanglah ia. Ayahmu sudah mati, juga Tok-siauw-kui sudah mati. Kau yang masih hidup, mengapa harus melibatkan diri dengan urusan mereka yang sudah mati?”
Wajah yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Beberapa kali ia mengerling ke arah Suling Emas, kemudian dengan isak tertahan ia melompat dari situ dan sekali berkelebat lenyaplah nona itu. Semua orang menjadi kagum dan terbuktilah kehebatan gin-kang yang disohorkan orang dari keluarga Hui-kiam-eng Tan Hui.
“Wah-wah, tua bangka ini menggunakan sihirnya untuk melemahkan semangat orang!” It-gan Kai-ong membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. “Kawan-kawan semua, kita pergi saja jangan sampai dia sempat mengelabui kita dengan omongan-omongan busuk dan ilmu sihir. Kita laki-laki seiati, bukan banci, sekali mempunyai cita-cita membalas dendam dan berbakti kepada yang sudah mati, hanya maut yang dapat menghentikan cita-cita itu. Mari kita pergi, lain kali masih banyak waktu untuk menghukum putera tunggal Tok-siauw-kui!”
Memang para tokoh kang-ouw itu merasa jerih dan juga sungkan untuk bermusuhan dengan Bu Kek Siansu, maka mendengar ucapan It-gan Kai-ong ini, berturut-turut mereka meninggalkan tempat itu. Setelah semua orang pergi, Suling Emas menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu.
Kakek ini mengerutkan keningnya, berkata halus,
“Kim-siauw-eng, kemana perginya keteguhan hatimu? Mengapa saat ini kau terserang kelemahan yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kegagahanmu? Laki-laki sama sekali pantang untuk turun semangat dan membiarkan hatinya digerogoti perasaan duka. Apakah yang mengganggu pikiranmu, orang muda?”
“Locianpwe, teecu berterima kasih bahwa Locianpwe telah menyelamatkan teecu daripada bahaya maut. Akan tetapi kesedihan hati teecu lebih besar daripada rasa syukur telah bebas dari kematian. Mendengar semua orang membenci teecu karena mendiang ibu, tidaklah mengguncangkan perasaan teecu. Akan tetapi mendengar kenyataan bahwa ibu kandung teecu dahulunya begitu keji dan jahat hal inilah yang menghancurkan hati teecu. Mohon petunjuk Locianpwe.”
Kakek itu menarik napas panjang.
“Aku sudah heran tadi mengapa kau hanya menghadapi orang-orang yang mengancam nyawamu dengan Kim-kong-sin-im saja, padahal kalau kau melawan mereka dengan Hong-in-bun-hwat dan dengan ilmu silatmu yang lain, kau takkan terancam bahaya maut. Kiranya kau merasa betapa ibumu berdosa dan kau sengaja hendak mengorbankan diri menebus dosanya! Orang muda, ibumu memang memiliki watak yang keras. Akan tetapi ia hanya seorang manusia biasa saja, seperti manusia-manusia lain ia pun mempunyai kelemahan. Manusia adalah mahluk yang lemah dan karenanya mudah lupa akan kemanusiaan. Tidak ada manusia baik atau jahat di dunia ini, semua sama saja karenanya dengan dasar pikiran ini orang budiman mengasihi semua manusia tanpa pandang perbedaan.”
“Yang suka disebut orang jahat adalah orang yang sedang lupa, dilupakan oleh nafsu ingin senang sendiri, ingin menang sendiri, ingin enak sendiri, tanpa mempedulikan keadaan orang lain, maka perbuatannya yang ditunggangi nafsu-nafsu demikian itu merugikan orang lain. Orang yang dirugikan tentu akan menganggapnya jahat. Sebaliknya, orang yang sedang sadar, bebas nafsu, tentu akan timbul prikemanusiaannya dan melakukan perbuatan yang menguntungkan atau menyenangkan orang lain. Orang yang diuntungkan atau disenangkan demikian itu tentu akan menganggapnya baik. Jadi pada umumnya, manusia menilai BAIK atau JAHAT itu didasarkan pada akibat MENGUNTUNGKAN atau MERUGIKAN dirinya yang sebetulnya juga menjadi rangkaian daripada nafsunya sendiri.”
Suling Emas mengangguk-angguk,
“Teecu dapat memahami filsafat yang Locianpwe ajarkan. Mungkin mendiang ibu melakukan semua itu karena lemah dan lupa, ingin mengumbar nafsu sehingga akibatnya merugikan banyak orang dan menimbulkan benci. Sekarang mereka hendak menuntut kepada teecu, bagaimana teecu harus berbuat? Locianpwe, biarpun ibu dikatakan orang jahat, namun ia adalah ibu kandung teecu dan teecu belum pernah melakukan sesuatu kebaktian bagi ibu, belum dapat membalas kesengsaraan ibu ketika ibu mengandung dan melahirkan serta memelihara teecu. Apakah yang teecu harus lakukan?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar