“Oh.... aku.... namaku Kam Bu Sin, aku.... seperti yang Nona lihat sendiri, aku bukan tamu, aku.... aku masuk kesini bukan atas kehendakku, aku tawanan bukan tamu dan tentang julukan dan golongan, aku tidak punya julukan, juga tidak mempunyai teman-teman seperjalanan kalau itu yang Nona maksudkan....”
Bu Sin berhenti bicara karena melihat betapa wajah yang manis itu kini menatapnya dengan mata bintang terbelalak dan mulut mungil agak terpentang. Aduh, bukan main manisnya, bisik hati Bu Sin.
“Kau.... namamu Kam Bu Sin? Putera mendiang Jenderal Kam Si Ek?”
Kini giliran Bu Sin yang melengak kaget dan heran.
“Nona, bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan mendiang Ayah?”
Gadis itu tersenyum lagi dan kini wajahnya berubah girang.
“Wah, kalau begitu, kita bukanlah orang lain! Kita masih ada hubungan.... eh, pertalian keluarga, biarpun amat jauh. Kau masih terhitung.... keponakanku!”
Begitu terbuka dan jujur sikap gadis itu, mendatangkan rasa segar nyaman dalam hati Bu Sin yang tanpa disadarinya telah tertikam panah asmara yang berbisa!
“Ah, tidak mungkin!” Tanpa disengaja Bu Sin meneriakkan sangkalan karena tiba-tiba ia merasa kecewa mendengar bahwa ia adalah keponakan dara jelita ini! “Maaf, Nona, mana mungkin kau menjadi.... bibiku sedangkan usiamu paling banyak tentu baru dua puluh tahun?”
“Sembilan belas!”
Dara itu menjawab cepat, seakan-akan khawatir kalau dugaan tentang usia itu akan cepat membuatnya menjadi tua.
“Nah, sembilan betas malah! Aku yang sudah berusia dua puluh satu tahun, mana bisa menjadi keponakanmu?”
Dara itu tertawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, geli hatinya menyaksikan sikap terheran-heran dan bersitegang, dari pemuda itu.
“Keponakanku yang baik, dengarlah penjelasan bibimu. Aku mempunyai seorang keponakan, dan Ayahmu adalah ayah keponakanku itu, sedangkan ibu dari keponakanku itu adalah anak dari kakak Ayahku. Nah, kau yang tingkat susunan keluarganya sama dengan keponakanku, bukankah kau ini juga keponakanku dan aku bibimu?”
Pening kepala Bu Sin mendengar penjelasan yang tidak jelas itu.
“Mana bisa? Kalau Ayahku juga menjadi ayah keponakanmu, tentu keponakanmu itu Eng-moi atau....” Tiba-tiba wajah Bu Sin berubah dan ia menatap tajam. “Nona, apakah keponakanmu itu bernama Kam Bu Song?”
Nona itu mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Siapa lagi kalau bukan dia?”
Dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan girangnya hati Bu Sin mendengar ucapan ini. Sudah berbulan-bulan lamanya ia mencari-cari kakaknya ini, dan karena mencari kakak tirinya itulah, di samping menyelidiki tentang musuh besar yang membunuh orang tuanya, ia sampai di tempat ini, bersama kedua orang adiknya, mengalami suka duka dan terancam maut dan malapetaka, bahkan sampai saat itu pun ia berpisah dari kedua orang adiknya.
Maka dapat dibayangkan betapa gembiranya mendengar itu. Diluapkan oleh rasa gembira yang meledak di dalam hatinya, ia melangkah maju, memegang kedua pundak nona itu, mengguncang-guncangnya perlahan sambil berkata penuh gairah.
“Dimana dia? Dimana kakakku itu? Mana Kakak Kam Bu Song?”
Mula-mula gadis itu mengerutkan alisnya melihat perbuatan ini, tubuhnya terguncang-guncang, wajahnya, terutama di kedua pipinya, menjadi merah sekali. Akan tetapi dengan pandang mata maklum dan bibir manis tersenyum ia berkata, malah setengah menggoda.
“Kau perintah siapa? Mohon kepada bibimu ini dengan hormat, baru aku mau bicara!”
Mendengar ini Bu Sin sadar dan cepat-cepat ia melepaskan kedua tangannya, wajahnya juga menjadi merah dan ia cepat-cepat memberi hormat.
“Maaf.... maklumlah, selamanya aku belum pernah bertemu dengan Kakak Kam Bu Song dan justeru kepergianku dari kampung halaman adalah untuk mencarinya. Maka, mendengar bahwa dia itu keponakanmu.... aku mengharapkan dapat bertemu dengannya.”
“Sebut dulu bibi, dia itu keponakanku dan kau yang menjadi adik tirinya berarti keponakanku juga.”
Bu Sin maklum bahwa gadis ini tidak mengejek atau menghina, hanya menggodanya, maka ia tidak marah.
“Nona, kau lebih muda dariku. Biarpun Kakak Bu Song adalah keponakanmu, akan tetapi karena yang menjadi keluargamu adalah ibunya sedangkan aku bukan apa-apa, maka tak berani aku menganggap kau sebagai bibi. Karena kau lebih muda, kusebut kau adik saja, bagaimana?” Ia tersenyum dan memandang tajam.
Gadis itu pun memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya merasa jengah di samping jantung berdebar tidak karuan,
“Kalau begitu, aku akan menyebutmu koko, Bu Sin koko.”
Bu Sin tertawa.
“Adikku yang manis, enak saja kau ini, menyebut-nyebut namaku sedangkan aku sama sekali belum mengetahui namamu.”
“Aku she Liu, namaku Hwee. Ayahku adalah ketua Beng-kauw....”
“Ah, benar-benar aku lancang dan kurang ajar! Maaf kalau aku berlaku kurang hormat karena tidak tahu, kiranya Nona adalah puteri Beng-kauwcu yang terhormat dan....”
“Hishhh, apa-apaan ini? Bu Sin koko, kau tadi menyebut adik sekarang tiada hujan tiada angin berbalik menjadi nona-nonaan dan bicara sungkan-sungkanan. Apakah kau tidak suka bersahabat denganku?”
“Ti.... tidak begitu, tapi kau....”
“Sudahlah. Mari kita duduk dan bicara yang enak. Agaknya It-gan Kai-ong si Iblis jembel itu cukup menghormat kita sehingga disini tersedia makan minum dan bangku untuk duduk.”
Keduanya duduk dan sekarang Bu Sin tidak heran mengapa gadis begini muda sudah amat lihai dan sikapnya demikian tabah dan tidak pemalu. Kiranya puteri ketua Bengkauw! Mengertilah pula ia mengapa dara ini menyebut kakaknya sebagai keponakan. Ia sudah mendengar bahwa ketua Beng-kauw yang sekarang adalah adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kakek dari kakak tirinya itu.
“Hwee-moi, aku mendengar bahwa Beng-kauw mengadakan perayaan. Bagaimanakah kau sebagai puteri Beng-kauw malah berada disini dan menjadi tawanan It-gan Kai-ong? Kita sekarang ini berada dimana?”
“Bagus, Bu Sin koko, Ini barulah namanya sikap jantan, tidak seperti tadi kau ribut tentang kakak tirimu, sama sekali tidak mempedulikan keadaanku atau keadaanmu sendiri yang menjadi tawanan orang! Ketahuilah bahwa kita berada di wilayah Nan-cao, dan tempat ini adalah teworongan rahasia di bawah tanah kuburan keluarga kami,”
“Tapi, bagaimana It-gan Kai-ong....”
“Sabar dan dengarlah penuturanku. Dia itu menjadi tamu kami juga. Memang terjadi hal-hal aneh dalam perayaan di kota raja dan agaknya ada komplotan gelap diantara para tamu untuk melakukan pengacauan, mungkin juga untuk mengadu domba antara para tokoh yang hadir sebagai tamu. Aku dan keponakanku....”
“Kau maksudkan Kakak Bu Song....?”
Liu Hwee mengangguk.
“Aku dan dia dapat menduga hal buruk itu, maka kami berdua menyelidiki dan membagi tugas. Untuk mengawasi tokoh-tokoh iblis yang mau mengacau, tiada yang lebih tepat kecuali dia....”
“Wah, dia hadir juga dan dia.... dia juga lihai seperti kau, Hwee-moi?”
Liu Hwee membelalakkan matanya lalu tertawa merdu.
“Hi-hik. Pertanyaan aneh sekali ini. Dia selihai aku? Tentu saja tidak! Maksudku.... aku tidak selihai dia! Nah, kami berdua lalu melakukan penyelidikan atas terjadinya beberapa hal yang aneh dan mencurigakan.”
“Hal apakah yang terjadi dalam pesta perayaan itu?”
“Hal-hal yang memanaskan hati dan yang besar sekali bahayanya bagi persatuan antara kerajaan. Kau tahu, banyak kami menerima sumbangan-sumbangan yang amat berharga dari kerajaan-kerajaan lain. Dari Kerajaan Sung di utara saja kami menerima sepeti penuh emas permata yang dibawa oleh seorang panglima tua istana. Belum dari kerajaan-kerajaan lain. Akan tetapi, ketika secara iseng-iseng aku memeriksa isi peti, kiranya emas dan permata hanya sebagai lapisan di atas saja, sedangkan di bawahnya hanya batu-batu sungai yang tidak berharga!”
“Wah, alangkah menghinanya Kaisar Sung!”
“Bukan demikian. Isi peti itu memang diganti orang, dan panglima tua itu sendiri pun tidak tahu sama sekali. Hanya orang sakti yang mampu melakukan hal itu dan agaknya jelas maksudnya yaitu selain mengambil barang berharga, juga memancing keributan dan permusuhan antara Nan-cao dan Kerajaan Sung.”
“Hemmm, dan para tamu tahu akan hal itu?”
“Tidak. Memang Ayah menghendaki supaya hal itu dirahasiakan, lalu diam-diam kami mengadakan penyelidikan untuk menangkap pencurinya. Akan tetapi, hal itu tidaklah mudah. Banyak tokoh yang hadir. Tiga diantara Thian-te Liok-koai hadir, yaitu It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni...., eh kau kenapa?”
Tentu saja Liu Hwee kaget melihat perubahan muka pemuda itu. Muka yang tampan itu tiba-tiba menjadi pucat, matanya bersinar dan kelihatannya marah sekali. Memang Bu Sin amat marah mendengar disebutnya Siang-mou Sin-ni, akan tetapi cepat ia dapat mengendalikan perasaannya.
“Tidak apa-apa, hanya aku mendengar mereka itu orang-orang jahat sekali....”
“Memang jahat seperti iblis, maka disebut Enam Iblis. Seorang lagi adalah Tok-sim Lo-tong yang menjijikkan. Tiga tokoh iblis yang lain tidak hadir, akan tetapi kami tahu bahwa Hek-giam-lo secara sembunyi juga datang dan belum muncul, juga Toat-beng Koai-jin, mereka berdua hadir secara sembunyi. Tentang tokoh-tokoh yang lima itu, tak seorang pun boleh dipercaya, tapi....”
“Bagaimana dengan tokoh ke enam? Aku pernah mendengar julukannya Cui-beng-kui (Setan Pengejar Roh), apakah dia hadir pula?”
Lim Hwee termenung sejenak.
“Tentang dia.... mungkin dia hadir pula, tapi tentu saja keadaannya tidak mengijinkan ia muncul di depan orang banyak. Kukatakan tadi, di antara lima tokoh iblis itu, tak ada yang dapat dipercaya dan mungkin saja seorang di antara mereka yang melakukan perbuatan itu. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Hek-giam-lo terang adalah orang Khitan, sedangkan It-gan Kai-ong itu kalau tidak salah diam-diam bekerja untuk Kerajaan Wu-yue, maka kalau seorang di antara mereka bertiga ini yang melakukannya, tentu mempunyai dasar politik mengadu domba antara kami dengan Kerajaan Sung. Akan tetapi kalau tokoh lain, entahlah. Yang membikin bingung, disana hadir pula tokoh-tokoh aneh seperti Gan-lopek, juga menurut kakak tirimu, Kim-lun Seng-jin yang biasanya tak pernah turun gunung itu pun datang pula. Kami curiga bahwa agaknya pertemuan dalam pesta kami itu akan mereka pergunakan untuk berlumba mencari keunggulan dalam kedudukan di dunia persilatan, karena kabarnya diantara mereka ada yang telah mewarisi ilmu dari kakek sakti Bu Kek Siansu. Bu Sin koko, apakah kau bingung dan jemu mendengarkan penuturanku?”
“Ah, tidak.... tidak, aku tertarik sekali. Tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan itu pernah aku mendengarnya. Aku pernah mendengar bahwa masih ada seorang tokoh sakti lagi yang tak kalah ternamanya, yaitu yang berjuluk Suling Emas....”
“Wah, Koko! Kau ini apakah hendak main-main?” Dara itu melirik ke atas dan bersungut-sungut seorang diri. “....hemmm, dia bilang pernah mendengar nama Suling Emas.... apakah tidak gila ini....?”
“Hwee-moi, apa maksudmu? Aku tidak main-main. Apakah kau belum pernah mendengar nama Suling Emas? Kurasa dia akan hadir pula kalau memang orang-orang sakti dari semua penjuru hadir dan....”
“Sin-koko, benar-benarkah kau tidak tahu? Wah, tak tahu lagi aku apa yang lebih aneh dan lucu daripada ini....”
“Maksudmu?”
“Keponakanku itu, kakak tirimu Kam Bu Song itu kebetulan mempunyai julukan Suling Emas....!”
Bu Sin berhenti bicara karena melihat betapa wajah yang manis itu kini menatapnya dengan mata bintang terbelalak dan mulut mungil agak terpentang. Aduh, bukan main manisnya, bisik hati Bu Sin.
“Kau.... namamu Kam Bu Sin? Putera mendiang Jenderal Kam Si Ek?”
Kini giliran Bu Sin yang melengak kaget dan heran.
“Nona, bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan mendiang Ayah?”
Gadis itu tersenyum lagi dan kini wajahnya berubah girang.
“Wah, kalau begitu, kita bukanlah orang lain! Kita masih ada hubungan.... eh, pertalian keluarga, biarpun amat jauh. Kau masih terhitung.... keponakanku!”
Begitu terbuka dan jujur sikap gadis itu, mendatangkan rasa segar nyaman dalam hati Bu Sin yang tanpa disadarinya telah tertikam panah asmara yang berbisa!
“Ah, tidak mungkin!” Tanpa disengaja Bu Sin meneriakkan sangkalan karena tiba-tiba ia merasa kecewa mendengar bahwa ia adalah keponakan dara jelita ini! “Maaf, Nona, mana mungkin kau menjadi.... bibiku sedangkan usiamu paling banyak tentu baru dua puluh tahun?”
“Sembilan belas!”
Dara itu menjawab cepat, seakan-akan khawatir kalau dugaan tentang usia itu akan cepat membuatnya menjadi tua.
“Nah, sembilan betas malah! Aku yang sudah berusia dua puluh satu tahun, mana bisa menjadi keponakanmu?”
Dara itu tertawa kecil sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, geli hatinya menyaksikan sikap terheran-heran dan bersitegang, dari pemuda itu.
“Keponakanku yang baik, dengarlah penjelasan bibimu. Aku mempunyai seorang keponakan, dan Ayahmu adalah ayah keponakanku itu, sedangkan ibu dari keponakanku itu adalah anak dari kakak Ayahku. Nah, kau yang tingkat susunan keluarganya sama dengan keponakanku, bukankah kau ini juga keponakanku dan aku bibimu?”
Pening kepala Bu Sin mendengar penjelasan yang tidak jelas itu.
“Mana bisa? Kalau Ayahku juga menjadi ayah keponakanmu, tentu keponakanmu itu Eng-moi atau....” Tiba-tiba wajah Bu Sin berubah dan ia menatap tajam. “Nona, apakah keponakanmu itu bernama Kam Bu Song?”
Nona itu mengangguk-angguk sambil tersenyum.
“Siapa lagi kalau bukan dia?”
Dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan girangnya hati Bu Sin mendengar ucapan ini. Sudah berbulan-bulan lamanya ia mencari-cari kakaknya ini, dan karena mencari kakak tirinya itulah, di samping menyelidiki tentang musuh besar yang membunuh orang tuanya, ia sampai di tempat ini, bersama kedua orang adiknya, mengalami suka duka dan terancam maut dan malapetaka, bahkan sampai saat itu pun ia berpisah dari kedua orang adiknya.
Maka dapat dibayangkan betapa gembiranya mendengar itu. Diluapkan oleh rasa gembira yang meledak di dalam hatinya, ia melangkah maju, memegang kedua pundak nona itu, mengguncang-guncangnya perlahan sambil berkata penuh gairah.
“Dimana dia? Dimana kakakku itu? Mana Kakak Kam Bu Song?”
Mula-mula gadis itu mengerutkan alisnya melihat perbuatan ini, tubuhnya terguncang-guncang, wajahnya, terutama di kedua pipinya, menjadi merah sekali. Akan tetapi dengan pandang mata maklum dan bibir manis tersenyum ia berkata, malah setengah menggoda.
“Kau perintah siapa? Mohon kepada bibimu ini dengan hormat, baru aku mau bicara!”
Mendengar ini Bu Sin sadar dan cepat-cepat ia melepaskan kedua tangannya, wajahnya juga menjadi merah dan ia cepat-cepat memberi hormat.
“Maaf.... maklumlah, selamanya aku belum pernah bertemu dengan Kakak Kam Bu Song dan justeru kepergianku dari kampung halaman adalah untuk mencarinya. Maka, mendengar bahwa dia itu keponakanmu.... aku mengharapkan dapat bertemu dengannya.”
“Sebut dulu bibi, dia itu keponakanku dan kau yang menjadi adik tirinya berarti keponakanku juga.”
Bu Sin maklum bahwa gadis ini tidak mengejek atau menghina, hanya menggodanya, maka ia tidak marah.
“Nona, kau lebih muda dariku. Biarpun Kakak Bu Song adalah keponakanmu, akan tetapi karena yang menjadi keluargamu adalah ibunya sedangkan aku bukan apa-apa, maka tak berani aku menganggap kau sebagai bibi. Karena kau lebih muda, kusebut kau adik saja, bagaimana?” Ia tersenyum dan memandang tajam.
Gadis itu pun memandang, dua pasang mata bertemu pandang dan keduanya merasa jengah di samping jantung berdebar tidak karuan,
“Kalau begitu, aku akan menyebutmu koko, Bu Sin koko.”
Bu Sin tertawa.
“Adikku yang manis, enak saja kau ini, menyebut-nyebut namaku sedangkan aku sama sekali belum mengetahui namamu.”
“Aku she Liu, namaku Hwee. Ayahku adalah ketua Beng-kauw....”
“Ah, benar-benar aku lancang dan kurang ajar! Maaf kalau aku berlaku kurang hormat karena tidak tahu, kiranya Nona adalah puteri Beng-kauwcu yang terhormat dan....”
“Hishhh, apa-apaan ini? Bu Sin koko, kau tadi menyebut adik sekarang tiada hujan tiada angin berbalik menjadi nona-nonaan dan bicara sungkan-sungkanan. Apakah kau tidak suka bersahabat denganku?”
“Ti.... tidak begitu, tapi kau....”
“Sudahlah. Mari kita duduk dan bicara yang enak. Agaknya It-gan Kai-ong si Iblis jembel itu cukup menghormat kita sehingga disini tersedia makan minum dan bangku untuk duduk.”
Keduanya duduk dan sekarang Bu Sin tidak heran mengapa gadis begini muda sudah amat lihai dan sikapnya demikian tabah dan tidak pemalu. Kiranya puteri ketua Bengkauw! Mengertilah pula ia mengapa dara ini menyebut kakaknya sebagai keponakan. Ia sudah mendengar bahwa ketua Beng-kauw yang sekarang adalah adik dari mendiang Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kakek dari kakak tirinya itu.
“Hwee-moi, aku mendengar bahwa Beng-kauw mengadakan perayaan. Bagaimanakah kau sebagai puteri Beng-kauw malah berada disini dan menjadi tawanan It-gan Kai-ong? Kita sekarang ini berada dimana?”
“Bagus, Bu Sin koko, Ini barulah namanya sikap jantan, tidak seperti tadi kau ribut tentang kakak tirimu, sama sekali tidak mempedulikan keadaanku atau keadaanmu sendiri yang menjadi tawanan orang! Ketahuilah bahwa kita berada di wilayah Nan-cao, dan tempat ini adalah teworongan rahasia di bawah tanah kuburan keluarga kami,”
“Tapi, bagaimana It-gan Kai-ong....”
“Sabar dan dengarlah penuturanku. Dia itu menjadi tamu kami juga. Memang terjadi hal-hal aneh dalam perayaan di kota raja dan agaknya ada komplotan gelap diantara para tamu untuk melakukan pengacauan, mungkin juga untuk mengadu domba antara para tokoh yang hadir sebagai tamu. Aku dan keponakanku....”
“Kau maksudkan Kakak Bu Song....?”
Liu Hwee mengangguk.
“Aku dan dia dapat menduga hal buruk itu, maka kami berdua menyelidiki dan membagi tugas. Untuk mengawasi tokoh-tokoh iblis yang mau mengacau, tiada yang lebih tepat kecuali dia....”
“Wah, dia hadir juga dan dia.... dia juga lihai seperti kau, Hwee-moi?”
Liu Hwee membelalakkan matanya lalu tertawa merdu.
“Hi-hik. Pertanyaan aneh sekali ini. Dia selihai aku? Tentu saja tidak! Maksudku.... aku tidak selihai dia! Nah, kami berdua lalu melakukan penyelidikan atas terjadinya beberapa hal yang aneh dan mencurigakan.”
“Hal apakah yang terjadi dalam pesta perayaan itu?”
“Hal-hal yang memanaskan hati dan yang besar sekali bahayanya bagi persatuan antara kerajaan. Kau tahu, banyak kami menerima sumbangan-sumbangan yang amat berharga dari kerajaan-kerajaan lain. Dari Kerajaan Sung di utara saja kami menerima sepeti penuh emas permata yang dibawa oleh seorang panglima tua istana. Belum dari kerajaan-kerajaan lain. Akan tetapi, ketika secara iseng-iseng aku memeriksa isi peti, kiranya emas dan permata hanya sebagai lapisan di atas saja, sedangkan di bawahnya hanya batu-batu sungai yang tidak berharga!”
“Wah, alangkah menghinanya Kaisar Sung!”
“Bukan demikian. Isi peti itu memang diganti orang, dan panglima tua itu sendiri pun tidak tahu sama sekali. Hanya orang sakti yang mampu melakukan hal itu dan agaknya jelas maksudnya yaitu selain mengambil barang berharga, juga memancing keributan dan permusuhan antara Nan-cao dan Kerajaan Sung.”
“Hemmm, dan para tamu tahu akan hal itu?”
“Tidak. Memang Ayah menghendaki supaya hal itu dirahasiakan, lalu diam-diam kami mengadakan penyelidikan untuk menangkap pencurinya. Akan tetapi, hal itu tidaklah mudah. Banyak tokoh yang hadir. Tiga diantara Thian-te Liok-koai hadir, yaitu It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni...., eh kau kenapa?”
Tentu saja Liu Hwee kaget melihat perubahan muka pemuda itu. Muka yang tampan itu tiba-tiba menjadi pucat, matanya bersinar dan kelihatannya marah sekali. Memang Bu Sin amat marah mendengar disebutnya Siang-mou Sin-ni, akan tetapi cepat ia dapat mengendalikan perasaannya.
“Tidak apa-apa, hanya aku mendengar mereka itu orang-orang jahat sekali....”
“Memang jahat seperti iblis, maka disebut Enam Iblis. Seorang lagi adalah Tok-sim Lo-tong yang menjijikkan. Tiga tokoh iblis yang lain tidak hadir, akan tetapi kami tahu bahwa Hek-giam-lo secara sembunyi juga datang dan belum muncul, juga Toat-beng Koai-jin, mereka berdua hadir secara sembunyi. Tentang tokoh-tokoh yang lima itu, tak seorang pun boleh dipercaya, tapi....”
“Bagaimana dengan tokoh ke enam? Aku pernah mendengar julukannya Cui-beng-kui (Setan Pengejar Roh), apakah dia hadir pula?”
Lim Hwee termenung sejenak.
“Tentang dia.... mungkin dia hadir pula, tapi tentu saja keadaannya tidak mengijinkan ia muncul di depan orang banyak. Kukatakan tadi, di antara lima tokoh iblis itu, tak ada yang dapat dipercaya dan mungkin saja seorang di antara mereka yang melakukan perbuatan itu. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Hek-giam-lo terang adalah orang Khitan, sedangkan It-gan Kai-ong itu kalau tidak salah diam-diam bekerja untuk Kerajaan Wu-yue, maka kalau seorang di antara mereka bertiga ini yang melakukannya, tentu mempunyai dasar politik mengadu domba antara kami dengan Kerajaan Sung. Akan tetapi kalau tokoh lain, entahlah. Yang membikin bingung, disana hadir pula tokoh-tokoh aneh seperti Gan-lopek, juga menurut kakak tirimu, Kim-lun Seng-jin yang biasanya tak pernah turun gunung itu pun datang pula. Kami curiga bahwa agaknya pertemuan dalam pesta kami itu akan mereka pergunakan untuk berlumba mencari keunggulan dalam kedudukan di dunia persilatan, karena kabarnya diantara mereka ada yang telah mewarisi ilmu dari kakek sakti Bu Kek Siansu. Bu Sin koko, apakah kau bingung dan jemu mendengarkan penuturanku?”
“Ah, tidak.... tidak, aku tertarik sekali. Tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan itu pernah aku mendengarnya. Aku pernah mendengar bahwa masih ada seorang tokoh sakti lagi yang tak kalah ternamanya, yaitu yang berjuluk Suling Emas....”
“Wah, Koko! Kau ini apakah hendak main-main?” Dara itu melirik ke atas dan bersungut-sungut seorang diri. “....hemmm, dia bilang pernah mendengar nama Suling Emas.... apakah tidak gila ini....?”
“Hwee-moi, apa maksudmu? Aku tidak main-main. Apakah kau belum pernah mendengar nama Suling Emas? Kurasa dia akan hadir pula kalau memang orang-orang sakti dari semua penjuru hadir dan....”
“Sin-koko, benar-benarkah kau tidak tahu? Wah, tak tahu lagi aku apa yang lebih aneh dan lucu daripada ini....”
“Maksudmu?”
“Keponakanku itu, kakak tirimu Kam Bu Song itu kebetulan mempunyai julukan Suling Emas....!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar