FB

FB


Ads

Sabtu, 15 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 075

“Takut apa, Loheng? Biarpun dia lihai, akan tetapi ia sudah tertotok dan kaki tangannya terikat. Aku pun tidak hendak mengganggunya, hanya ingin melihatnya agar pemandangan buruk di kuburan ini agak kurang mengerikan. Biarlah kalau ada apa-apa, aku yang tanggung,” Sambil berkata demikian, si bopeng menggerakkan tangan membuka tali pengikat mulut karung. “Pula, sudah terlalu lama ia dimasukkan karung, kalau ia tahu-tahu mati bagaimana? Kan malah celaka kita, mendapat marah dari Kongcu!”

Kedua temannya yang tadinya hendak melarangnya, ketika mendengar ucapan terakhir ini saling pandang, kemudian mengangguk-angguk tanda setuju. Malah mereka membantu si bopeng mengeluarkan isi karung itu.

Apakah isinya? Bu Sin yang sudah dapat menduga-duga, tidak terkejut melihat mereka menarik keluar tubuh seorang gadis muda yang luar biasa cantiknya, gadis yang meramkan kedua matanya, agaknya pingsan. Muka yang putih halus dan kemerahan, rambut yang tebal hitam awut-awutan karena ikat kepalanya hampir terlepas, sebagian menutupi pipi kiri. Pakaian gadis ini agak aneh, terbuat dari kain sutera yang halus, akan tetapi warnanya lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih, kaki celana kanan hitam dan yang kiri putih, demikian pula sepatunya. Akan tetapi keanehan pakaian ini tidak begitu menarik perhatian Bu Sin karena perhatiannya tercurah ke arah wajah yang ayu dan bentuk tubuh yang padat molek.

“Coba lihat, alangkah manisnya!” kata si juling.

“Hebat, memang patut menjadi puteri Beng-kauwcu,” sambung si kepala besar.

“Suheng, suheng...., a.... aku.... kan boleh ya aku.... menciumnya satu kali saja?”

Kata si bopeng, berkali-kali menelan ludah dan sepasang matanya bersinar-sinar menatap wajah yang cantik itu.

“Sam-te, jangan gila kau!” seru si kepala besar.

Si juling tertawa menyeringai.
“Mencium sih tidak ada halangannya, biarpun kita bertiga melakukannya juga. Kongcu tidak akan tahu, dia ini pun tidak akan tahu. Kan dia belum sadar?”

Bu Sin tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia melompat keluar dari tempat sembunyinya sambil membentak.

“Buaya-buaya kaki dua! Di siang bolong menculik gadis, benar-benar sudah bosan hidup!”

Tiga orang itu kaget sekali dan dengan gerakan ahli mereka sudah melompat berdiri. Akan tetapi si mata juling kurang cepat bergerak dan pundaknya terkena tendangan kaki kiri Bu Sin! Ia roboh dan bergulingan, ketika dapat merangkak bangun, matanya menjadi makin juling karena menahan rasa nyeri, napasnya sesak dan ia terbatuk-batuk.

Akan tetapi dua orang pengemis lain dapat menghindarkan diri dari terjangan Bu Sin dan sekarang mereka berdiri menghadapi pemuda itu si kepala besar sudah menyambar tongkatnya, sedangkan si bopeng sudah mengeluarkan sebatang golok.

“Bocah jahanam, siapakah kau berani main gila di depan Tiat-kak-cao (Ular Tanduk Besi)?” seru si kepala besar yang mempunyai “tanduk” daging di jidatnya.

“Tak perlu tahu aku siapa, lekas kalian minggat dan tinggalkan nona ini sebelum kuantar kalian ke neraka!” bentak Bu Sin, hampir tidak kuat menahan kemarahannya.

Si kepala besar yang berjuluk Tiat-kak-coa itu mendengus marah, lalu berkata kepada temannya yang bermuka bopeng.

“Sam-te, kau masukkan lagi dia ke dalam karung agar leluasa kita memberi hajaran kepada bocah lancang ini.”

Setelah berkata demikian ia sendiri lalu menggerakkan tongkatnya, diputar cepat seperti kitiran helikopter menerjang Bu Sin yang segera mengelak.

Si muka bopeng yang sudah mencabut goloknya dan siap mengeroyok, mendengar perintah ini, mengayunkan goloknya lagi dan dengan mata berminyak dan mulut menyeringai ia menghampiri tubuh gadis yang masih pingsan,

“Heh-heh.... pipimu begini halus....!”






Ia pikir tidak ada salahnya melakukan niatnya tadi selagi ada kesempatan begini baik, maka ia menjulurkan leher mendekatkan mukanya pada muka gadis itu untuk memberi ciuman kurang ajar.

“Plakk! Ngekkk....!”

Si muka bopeng memekik lemah dan roboh terguling pada saat gadis itu meronta dan melompat ke samping. Kiranya gadis yang mulai sadar dari pingsannya itu telah menggerakkan tangan menyodok ulu hati dan mengenjot leher sehingga si bopeng yang roboh kini berkelojotan tanpa dapat mengeluarkan suara, agaknya genjotan pada leher merusak alat suaranya!

“Siluman betina, berani kau memukuli temanku?”

Teriak si mata juling yang sekarang sudah mencabut sebatang pedang, langsung ia menusukkan senjatanya ke arah dada si gadis.

Dengan gerakan masih lemah dan terhuyung-huyung, gadis itu menghindarkan diri, namun ia didesak terus oleh lawannya yang ternyata cukup lihai ilmu pedangnya. Gadis ini masih pening, masih lemah, dan sedapat mungkin ia mengelak sambil mencari kesempatan untuk membalas. Untung baginya bahwa si muka bopeng belum dapat mengeroyok biarpun si bopeng itu kini tidak berkelojotan lagi dan sudah bangkit duduk, tapi belum dapat berdiri, menekan ulu hati dan meraba lehernya sambil mengeluarkan suara ngorok seperti ayam diserang penyakit ayan!

Sementara itu, Bu Sin yang bertangan kosong pula menghadapi serangan Tiat-kak-coa dengan gerakan lincah sekali. Pemuda ini maklum bahwa si kepala besar ini tidak hanya besar kepala dan lebar mulut, akan tetapi juga memiliki kepandaian yang tinggi, ilmu tongkatnya ganas sekali, menyambar-nyambar amat cepatnya lagi kuat.

Namun, dengan ilmunya yang baru, ia dapat menyalurkan hawa sakti di tubuhnya sedemikian rupa sehingga sekaligus gin-kangnya juga mengalami kemajuan pesat dan gerakannya menjadi amat ringan karenanya. Dengan gesit bagaikan seekor burung walet Bu Sin dapat berkelebatan di antara sinar tongkat.

Hatinya girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa gadis jelita itu ternyata telah siuman dan sama sekali di luar dugaannya, gadis itu kiranya seorang yang berkepandaian tinggi pula. Hal ini menambah semangatnya dan dengan gerakan indah Bu Sin menyelinap di bawah sambaran tongkat, tangan kirinya menyambar ke atas, sedangkan tangan kanannya mengirim pukulan sambil melangkah lebar ke depan, kepalanya meluncur ke arah pusar lawan.

Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat ini, Tiat-kak-coa kaget dan cepat ia menggeser kaki ke kanan belakang. Akan tetapi kiranya pukulan dahsyat itu tidak dilanjutkan dan ternyata tangan kiri pemuda itulah yang betul-betul bekerja, yaitu pada saat Tiat-kak-coa sibuk menghindarkan diri dari pukulan tadi, cepat tangan kiri Bu Sin sudah mencengkeram tongkat lawan.

Tiat-kak-coa cepat menggerakkan tenaga membetot untuk merampas kembali tongkatnya, akan tetapi Bu Sin melangkah maju setindak dan mengirim tendangan maut ke bawah pusar. Tiada jalan lain bagi Tiat-kak-coa untuk menyelamatkan diri kecuali meloncat mundur dan untuk melakukan hal ini terpaksa ia melepaskan tongkatnya yang kini pindah ke tangan Bu Sin!

Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan hitam menyambar turun dari angkasa seperti seekor naga hitam yang amat dahsyat, didahului oleh kesiur angin keras, Bu Sin kaget bukan main, sedetik mengira bahwa benda itu betul-betul seekor naga atau ular besar. Cepat ia menangkis atau menyabet dengan tongkat rampasannya.

“Dukkk!”

Pemuda ini melompat mundur, kaget setengah mati karena tongkat di tangannya hancur, tangannya pedas dan panas sekali, sebelum ia tahu apa yang terjadi, dua jalan darahnya telah tertotok dan ia roboh tak dapat berkutik lagi. Kekagetannya bertambah ketika ia mengenal wajah kakek berambut riap-riapan yang mukanya mengerikan dengan mata buta sebelah, bukan lain It-gan Kai-ong!

Gadis jelita itu masih terdesak hebat oleh lawannya, namun ia selalu dapat mengelak sambaran pedang.

“Bocah tiada guna, minggir!”

Tiba-tiba terdengar seruan dan si juling itu terlempar seperti seekor kucing ditendang saja, kemudian gadis itu melihat bayangan orang berkelebat. Ia dapat melihat jelas dan kalau saja ia tidak sedang pening dan lemas agaknya ia akan dapat menghindarkan diri dengan ilmunya yang tinggi. Namun, lawannya kini adalah seorang tokoh besar yang sakti, maka dalam sekejap mata saja gadis yang masih pening ini pun seperti Bu Sin, roboh oleh totokan tongkat kakek yang luar biasa.

“Huh, kalian ini tiga orang gentong kosong sungguh memalukan saja. Hayo bawa mereka dan ikuti aku!” kata It-gan Kai-ong.

Tiga orang pengemis itu dengan muka ketakutan cepat-cepat mengangkat tubuh Bu Sin dan gadis itu yang sudah tak dapat bergerak lagi, lalu mengikuti It-gan Kai-ong. Kakek pengemis mata satu yang sakti ini berjalan dengan terbungkuk-bungkuk menghampiri tengah tanah pekuburan itu, berhenti di depan sebuah kuburan kuno.

Tongkatnya menotok pinggir batu nisan dan.... tiba-tiba batu nisan itu terbuka. It-gan Kai-ong memasuki lubang kuburan, diikuti tiga orang anak buahnya atau murid-muridnya yang agaknya baru pertama kali memasuki tempat menyeramkan ini sehingga mereka saling pandang dan kelihatan ngeri.

Setelah mereka semua memasuki lubang terowongan di bawah tanah, batu nisan itu tertutup kembali dari dalam. Kuburan itu menjadi sunyi kembali dan tak seorang pun manusia akan dapat menyangka bahwa kuburan kuno ini merupakan pintu terowongan jalan rahasia di bawah tanah.

Bu Sin dan gadis itu merasa terheran-heran akan tetapi juga ngeri. Terowongan di bawah tanah itu kiranya menembus di daerah pegunungan yang banyak terdapat gua-gua besar dan mereka akhirnya dibawa ke sebuah ruangan bawah tanah yang luasnya lebih dari lima meter persegi,

Bu Sin dilempar ke sudut dan gadis itu tentu saja mendapat perlakukan yang lebih halus diletakkan di atas lantai ruangan kosong itu. Di pinggir kiri, menempel dinding, terdapat sebuah meja besar yang penuh dengan panci berisi roti kering dan beberapa guci terisi arak dan air.

“Kalian jaga baik-baik di luar, jangan biarkan seorang pun memasuki ruangan ini. Awasi nona ini, sekali-kali tidak boleh diganggu. Tahu?”

Terdengar It-gan Kai-ong meninggalkan pesan kepada anak buahnya ketika mereka meninggalkan ruangan itu.

Sunyi di ruangan bawah tanah. Bu Sin melihat gadis cantik itu masih terlentang di tengah ruangan, sedangkan dia rebah miring di sudut. Cepat ia mengatur pernapasan seperti yang ia pelajari dari kakek tua. Hawa murni mengalir di dalam tubuhnya dan setelah mencoba-coba, akhirnya hawa Im-kang dapat mengusir pengaruh totokan yang berdasarkan hawa panas.

Perlahan-lahan jalan darahnya mengalir kembali. Ia segera bangkit duduk bersila dan melanjutkan usahanya memulihkan tenaga. Akan tetapi ketika ia membuka mata dan melompat berdiri, ia melihat gadis jelita itu pun sudah duduk bersiulian. Kagumlah ia, maklum bahwa gadis itu pun seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Gerakannya terdengar oleh gadis itu yang segera bangkit pula. Mereka berpandangan, gadis itu tersenyum manis dan dengan suara ramah dan halus ia berkata,

“Terima kasih atas pertolonganmu....”

“Ah, tak perlu dibicarakan, Nona. Buktinya aku tidak dapat menolongmu, malah kita berdua sekarang pun entah bagaimana agar dapat membebaskan diri.”

“Yang kunilai bukanlah hasilnya, melainkan sifat daripada perbuatan. Kau telah menolongku dan karenanya, berhasil maupun tidak, aku amat berterima kasih kepadamu. Bolehkah aku mengetahui siapa nama dan julukan saudara dan saudara ini seorang tamu dari golongan mana?”

Bu Sin tidak menjawab karena dia sedang bengong melihat wajah jelita, terutama bibir manis yang bergerak-gerak, seakan-akan ia bergantung kepada bibir itu.

“Eh, bagaimana ini? Harap kau jawab pertanyaanku.”

“Ehhhhh.... ap.... apa....?”

Bu Sin tergagap, mukanya menjadi merah sekali karena ia sadar akan sikapnya yang linglung.

Gadis itu tersenyum lebar. Deretan gigi yang putih bagai butir-butir mutiara tersusun rapi, berkilau menyambarnya, menyilaukan mata menggetarkan hati, sepasang mata yang bersinar-sinar dan lincah menambah kencang degup jantung, tak kuasa lagi Bu Sin menyentuh dadanya yang dirasa seperti hendak meletup.

“Kau pelamun benar. Aku bertanya, siapakah saudara ini, siapa nama dan julukan yang mulia dan termasuk tamu dari golongan terhormat yang mana?”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar