Sungguh tidak ada yang mengira bahwa akan begitulah jawaban Empek Gan. Suasana yang tadinya tegang, perhatian yang dicurahkan sepenuhnya, pada akhirnya hanya akan dihancurkan oleh sebuah kelakar yang sungguh-sungguh tidak nyaman rasanya bagi telinga yang bersangkutan.
Ini bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu kesengajaan yang dimaksudkan untuk mempermainkan Suma Boan. Tidaklah aneh kalau Suma Boan berdiri dengan muka pucat, kemudian merah sampai hampir hitam, tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak kuat ia menahan kemarahannya.
Suara ketawa yang memenuhi ruangan itu seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang menusuk-nusuk jantungnya. Saking tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma Boan menerjang Empek Gan dengan pedangnya. Hebat serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawa-tawa sambil memandang ke atas, memegangi perutnya yang bundar kecil.
Sedangkan penyerangan itu merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur lurus mengarah dada dan melihat kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa jurus ini dapat segera diubah menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara kakek itu menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan serangan ini, menahan napas, apalagi kakek itu enak-enak saja seperti tidak melihat datangnya pedang yang siap mencokel pergi nyawanya dari badan!
Mendadak kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi Suma Boan dan memandang ke arah Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan matanya dipicingkan sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa terpingkal-pingkal.
“Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa kaku nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke sini?”
Lin Lin yang tadinya tertawa geli, kini memandang terbelalak. Tidak hanya Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ memandang heran dan tak mengerti. Kakek ini membelakangi Suma Boan, pantatnya megal-megol seperti bebek berjalan, tanpa menggeser kaki hanya tubuh belakang itu saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat dan lucu sekali.
Dan hanya dengan gerakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan tak pernah mengenai sasarannya! Mula-mula Lin Lin merasa ngeri menyaksikan pedang itu berkelebatan di sekeliling pantat Empek Gan. Sedikit saja menyerempet tentu akan merobek daging mengiris kulit daging kelebihan di belakang itu. Akan tetapi melihat cara Empek Gan mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali, kembali Lin Lin tertawa. Juga orang-orang mulai tertawa lagi.
“Hi-hik, pantas saja Liong-twako juga megal-megol kalau main pedang!” Lin Lin berkata sambil memukul-mukul lengan Suling Emas saking geli hatinya.
Suling Emas juga tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa justeru gerakan itulah yang menjadi keistimewaan ilmu silat Empek Gan ketika kakek ini dahulu merantau dan bertempat tinggal di sebuah pulau di sebelah selatan. Penduduk asli pulau ini suka sekali akan tari-tarian, memiliki tari-tarian khas yang aneh dan juga menarik serta lucu karena semua penari, laki-laki maupun perempuan, dalam menari selalu menggerak-gerakkan tubuh belakang mereka (seperti tari Hula-hula)! Dan tari-tarian inilah yang dijadikan dasar keanehan ilmu silat yang diciptakan Empek Gan, karena dia sendiri pun menjadi pecandu tari-tarian itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya bisa dilakukan dengan sempurna kalau disertai pantat megal-megol!
Suma Boan penasaran bukan main. Sudah tujuh kali ia menikam dan menabas, namun selalu makan angin belaka. Tiba-tiba Empek Gan tertawa dan mundur, entah bagaimana, tahu-tahu Suma Boan tak dapat mengelak lagi dibentur pantat Empek Gan sehingga ia terlempar sampai lima meter lebih! Luar biasa sekali!
“Ho-ho, manusia she Gan! Apakah di sini kau mau memamerkan diri?”
Tiba-tiba terdengar suara nyaring menggetarkan anak telinga, biarpun suara itu parau dan tak enak didengar.
“Heh-heh! It-gan Kai-ong, bukan aku memamerkan diri, melainkan bocah ini tak dapat menjaga baik nama gurunya, heh-heh-heh....”
Kata Empek Gan sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang masih duduk di deretan bangku bagian kaum kehormatan.
Melihat bahwa suasana menjadi tegang, Beng-kauwcu Liu Mo memberi tanda dengan tongkatnya. Segera Kauw Bian Cinjin yang mewakili suhengnya, melangkah maju dan menjura sambil berkata,
“Kauwcu mengharapkan dengan hormat agar keributan ini diakhiri untuk memberi kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat.”
Empek Gan menyengir sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang membalas dengan pandangan mengejek. Dengan langkah gontai dan pantat tetap megal-megol, Empek Gan lalu melangkah maju menghampiri Lin Lin, lalu tertawa!
“Wah, kau jempol sekali, Kakek Cebol!” Lin Lin menyambutnya dengan tertawa pula. “Pantas Lie Bok Liong twako kalau bersilat selalu megal-megol, kiranya gurunya pun begitu. Kakek gagah, apakah ilmu silatmu itu namanya ilmu silat bebek melenggang?”
Empek Gan tertawa senang karena banyak tamu yang mendengar ini ikut tertawa. Dasar berjiwa badut, kalau ada orang mentertawakan kelucuannya, kakek ini merasa girang dan puas sekali!
Sementara itu, para tamu lain yang tadi sudah menanti-nanti tidak sabar karena mereka terhalang oleh keributan sehingga mereka tiada kesempatan memberi selamat dan sumbangan, kini mulai melangkah maju, menghampiri tempat duduk Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Antrian tamu itu cukup panjang dan para tamu yang sudah duduk merasa jemu menyaksikan upacara itu, mereka bercakap-cakap dengan teman masing-masing sambil mengganyang hidangan yang berada di atas meja.
Lin Lin setelah puas tertawa menyaksikan pertunjukkan yang lucu dari Empek Gan tadi, kini teringat akan janji Suling Emas. Ia menengok dan melihat betapa Suling Emas sudah bangkit dari bangkunya, berdiri bersedakap, seperti orang sedang menonton para tamu seorang demi seorang memberi selamat dan menyerahkan barang sumbangan.
Lin Lin cepat melangkah maju menghampiri. Sejenak ia meragu, agak bingung. Perasaan ini selalu datang selama ini kalau ia hendak bicara kepada Suling Emas, karena sesungguhnya ia tidak tahu siapa nama pendekar itu. Tentu saja nama Suling Emas atau Kim-siauw-eng hanyalah julukan saja. Jarang ia memanggil, atau kalau terpaksa ia hanya menyebut “Suling Emas” begitu saja, sebutan yang sebetulnya kurang enak. Sejenak ia meragu, berdiri di belakang punggung yang bidang itu.
“Kim-siauw Koko (Kakak Suling Emas)....” akhirnya ia berkata perlahan.
Suling Emas terkejut seperti baru sadar daripada lamunannya, menengok ke belakang.
“Kau? Kau bilang apa tadi?”
Lin Lin tersenyum.
“Tidak bilang apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu. Susah memanggil karena tidak tahu siapa namamu, biar kusebut kau Kim-siauw Koko saja.”
“Hemmm, ada apakah, Lin Lin?”
“Aku menagih janji!”
“Janji apa?”
“Ihhh, masa kau lupa lagi? Bukankah kau bilang bahwa kau hendak mencarikan musuh besarku dan Kakak Bu Song. Eh, kau sudah lupa atau pura-pura lupa? Seorang gagah takkan menjilat.... eh, kau melihat apa?”
Lin Lin gemas sekali melihat Suling Emas tidak mempedulikannya dan sedang memandang dengan kening berkerut ke arah kiri. Ia cepat menoleh dan sempat melihat seorang gadis cantik jelita memberi isyarat dengan tangan kepada Suling Emas dan gadis itu cepat membuang muka dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka ketika Lin Lin memandang.
Gadis itu bukan lain adalah gadis jelita penyambut tamu tadi, puteri ketua Beng-kauw yang bernama Liu Hwee. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, Lin Lin merasa dadanya panas seperti dibakar dan ingin ia meloncat dan menerjang gadis itu, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus! Tanpa disadari lagi kedua kakinya melangkah menuju ke kiri, ke arah gadis puteri Beng-kauw itu.
“Lin-moi, ke sinilah....!”
Lin Lin tersentak dan sadar bahwa ia terlalu menuruti nafsu hati panas sehingga hampir saja ia menimbulkan keributan tanpa sebab. Panggilan Sian Eng ini menyadarkannya maka cepat ia menengok dan membalikkan tubuh lalu menghampiri encinya.
“Lin-moi, kau sudah tahu, kedatanganku kesini adalah karena percaya akan penuturan Suma Boan bahwa di sini aku akan dapat bertemu dengan kakak kita Bu Song. Aku percaya akal hal itu, Lin-moi, karena itu aku ikut ke sini.”
“Ah, orang macam itu kau percaya, Enci Eng?”
“Hush, bukan tak beralasan aku percaya dia!” jawab Sian Erg dengan muka agak panas. “Tak ingatkah kau akan penuturan sukouw (bibi guru) Kui Lan Nikouw? Ibu tiri kita, isteri pertama Ayah yang bernama Tok-siauw-kui Lui Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw yang sudah meninggal dunia dan yang kematiannya diperingati ke seribu harinya sekarang ini. Dengan demikian, maka kakak kita Bu Song itu adalah cucu dari ketua Beng-kauw, atau cucu keponakan dari ketua Beng-kauw yang sekarang. Kalau dia menghilang, agaknya di sinilah tempat ia bersembunyi, di tempat ibunya!”
“Wah, betul juga Enci Eng. Sekarang aku ingat akan hal itu! Kalau begitu, biar aku tanya langsung saja kepada Beng-kauwcu....”
Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kata-katanya sambil menoleh ke kiri. Dilihatnya Suling Emas tidak berada di tempatnya lagi.
“Jangan, Lin-moi. Tidak baik begitu, lebih baik kutanyakan kepada Suma-kongcu, siapa tahu Kakak Bu Song sudah hadir sekarang.... eh, Lin-moi, kau kemana....?”
Kiranya Lin Lin sama sekali tidak mendengarkan ucapan saudaranya karena ia telah lari meninggalkan tempat itu ketika melihat bahwa selain Suling Emas, juga puteri ketua Beng-kauw tidak berada di tempatnya lagi. Entah apa yang menyebabkan Lin Lin pergi, mungkin ia sendiri tidak tahu karena ia hanya merasa bahwa ia harus pergi mencari Suling Emas yang tadi dilihatnya diberi isyarat oleh Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Juga ia tidak tahu mengapa dadanya terasa makin panas!
Lin Lin keluar dari ruangan itu melalui pintu samping. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman bunga yang lebar. Sunyi di situ karena semua orang mencurahkan perhatian ke ruangan tamu dimana sedang berlangsung upacara penyambutan tamu dan penerimaan ucapan selamat.
Lin Lin berjalan terus, matanya memandang ke sana ke mari, mencari-cari. Tidak ada bayangan Suling Emas maupun Liu Hwee. Namun di ujung taman tampak beberapa buah pondok yang mungil, agaknya menjadi tempat peristirahatan, entah milik raja ataukah milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada sesuatu yang menarik, mungkin dugaan bahwa Suling Emas berada di situ yang menarik hati Lin Lin, karena gadis ini terus berlari-lari ke arah tiga buah pondok itu.
Setelah dekat, ia jalan berindap-indap, perlahan dan hati-hati. Apalagi ketika ia melihat bayangan dua orang dan mendengar suara bisik-bisik yang dibawa angin lalu, cepat ia menyelinap dan mengintai dari balik pondok. Kiranya Suling Emas berada di belakang pondok ke dua.... dadanya makin panas seperti terbakar ketika ia melihat Suling Emas berdiri berhadapan dengan Liu Hwee. Begitu dekat, dan keduanya berbisik-bisik! Lin Lin berusaha menangkap percakapan mereka, akan tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia hanya dapat menangkap beberapa buah kata-kata saja yang tidak berarti. Akhirnya, ia mendengar ucapan Liu Hwee lapat-lapat.
“.... ah, kau terlalu lemah....”
“.... cintaku takkan kunodai darah....”
Terdengar jawaban Suling Emas kemudian mereka berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam tempat persembunyiannya, Lin Lin tidak berani bergerak, tidak berani pula mengejar karena ia merasa malu kalau diketahui telah menjadi pengintai. Ucapan mereka yang ia dengar tadi merupakan teka-teki baginya, menambah rasa tidak enak di hatinya.
Agaknya Suling Emas dan gadis jelita itu demikian rukun dan ia takkan salah menduga kalau diantara mereka tentu ada hubungan yang amat erat. Dan dia demikian dinginnya terhadap aku, pikirnya. Mendadak air matanya menitik. Lin Lin kaget, cepat mengusap empat butir air mata dari pipinya. Cintaku takkan kunodai darah, demikian jelas terdengar ucapan keluar dari mulut Suling Emas tadi. Apa artinya ini? Cintanya terhadap siapa? Ah, kiranya pendekar yang diam-diam dipujanya itu telah mencintai seseorang. Siapa gerangan? Puteri ketua Beng-kauw itu?
Setelah dua orang itu tidak kelihatan bayangannya lagi, Lin Lin menarik napas panjang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Tiba-tiba ia tersentak kaget, matanya terbelalak lebar, dan hampir ia menjerit. Di depannya telah berdiri seorang.... iblis tengkorak berselubung hitam yang mengerikan! Akan tetapi Lin Lin memiliki dasar watak yang pemberani tak kenal takut. Hanya sebentar saja ia merasa ngeri saking kagetnya, akan tetapi segera ia mengenal manusia bertopeng tengkorak seperti iblis ini. Memang iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biarpun baru sekarang ia berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau mahluk ini tentulah Hek-giam-lo, yang pernah menawan encinya.
Ini bukanlah semata-mata lelucon, melainkan suatu kesengajaan yang dimaksudkan untuk mempermainkan Suma Boan. Tidaklah aneh kalau Suma Boan berdiri dengan muka pucat, kemudian merah sampai hampir hitam, tubuhnya bergoyang-goyang hampir tak kuat ia menahan kemarahannya.
Suara ketawa yang memenuhi ruangan itu seakan-akan merupakan ribuan mata pedang yang menusuk-nusuk jantungnya. Saking tak dapat menahan kemarahannya lagi, Suma Boan menerjang Empek Gan dengan pedangnya. Hebat serangan ini, karena Empek Gan sedang tertawa-tawa sambil memandang ke atas, memegangi perutnya yang bundar kecil.
Sedangkan penyerangan itu merupakan jurus berbahaya, pedang meluncur lurus mengarah dada dan melihat kedudukan kedua kaki pemuda itu, jelas bahwa jurus ini dapat segera diubah menjadi jurus apa saja, disesuaikan dengan cara kakek itu menghadapi jurus pertama. Orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan serangan ini, menahan napas, apalagi kakek itu enak-enak saja seperti tidak melihat datangnya pedang yang siap mencokel pergi nyawanya dari badan!
Mendadak kakek itu membalikkan tubuhnya, membelakangi Suma Boan dan memandang ke arah Lin Lin. Alisnya bergerak-gerak dan matanya dipicingkan sebelah melihat Lin Lin tertawa-tawa terpingkal-pingkal.
“Eh, Nona, jangan terlalu keras ketawa, perutmu bisa kaku nanti. Apakah kau sudah melihat tukang sate itu datang ke sini?”
Lin Lin yang tadinya tertawa geli, kini memandang terbelalak. Tidak hanya Lin Lin, juga banyak tokoh-tokoh persilatan yang berada di situ memandang heran dan tak mengerti. Kakek ini membelakangi Suma Boan, pantatnya megal-megol seperti bebek berjalan, tanpa menggeser kaki hanya tubuh belakang itu saja yang menonjol ke kanan kiri, cepat dan lucu sekali.
Dan hanya dengan gerakan ini saja, pedang di tangan Suma Boan tak pernah mengenai sasarannya! Mula-mula Lin Lin merasa ngeri menyaksikan pedang itu berkelebatan di sekeliling pantat Empek Gan. Sedikit saja menyerempet tentu akan merobek daging mengiris kulit daging kelebihan di belakang itu. Akan tetapi melihat cara Empek Gan mengegal-egolkan pantatnya secara lucu sekali, kembali Lin Lin tertawa. Juga orang-orang mulai tertawa lagi.
“Hi-hik, pantas saja Liong-twako juga megal-megol kalau main pedang!” Lin Lin berkata sambil memukul-mukul lengan Suling Emas saking geli hatinya.
Suling Emas juga tersenyum dan mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa justeru gerakan itulah yang menjadi keistimewaan ilmu silat Empek Gan ketika kakek ini dahulu merantau dan bertempat tinggal di sebuah pulau di sebelah selatan. Penduduk asli pulau ini suka sekali akan tari-tarian, memiliki tari-tarian khas yang aneh dan juga menarik serta lucu karena semua penari, laki-laki maupun perempuan, dalam menari selalu menggerak-gerakkan tubuh belakang mereka (seperti tari Hula-hula)! Dan tari-tarian inilah yang dijadikan dasar keanehan ilmu silat yang diciptakan Empek Gan, karena dia sendiri pun menjadi pecandu tari-tarian itu. Sementara itu, ilmu silatnya hanya bisa dilakukan dengan sempurna kalau disertai pantat megal-megol!
Suma Boan penasaran bukan main. Sudah tujuh kali ia menikam dan menabas, namun selalu makan angin belaka. Tiba-tiba Empek Gan tertawa dan mundur, entah bagaimana, tahu-tahu Suma Boan tak dapat mengelak lagi dibentur pantat Empek Gan sehingga ia terlempar sampai lima meter lebih! Luar biasa sekali!
“Ho-ho, manusia she Gan! Apakah di sini kau mau memamerkan diri?”
Tiba-tiba terdengar suara nyaring menggetarkan anak telinga, biarpun suara itu parau dan tak enak didengar.
“Heh-heh! It-gan Kai-ong, bukan aku memamerkan diri, melainkan bocah ini tak dapat menjaga baik nama gurunya, heh-heh-heh....”
Kata Empek Gan sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang masih duduk di deretan bangku bagian kaum kehormatan.
Melihat bahwa suasana menjadi tegang, Beng-kauwcu Liu Mo memberi tanda dengan tongkatnya. Segera Kauw Bian Cinjin yang mewakili suhengnya, melangkah maju dan menjura sambil berkata,
“Kauwcu mengharapkan dengan hormat agar keributan ini diakhiri untuk memberi kesempatan kepada tamu lain, tak lupa sekali lagi menghaturkan terima kasih kepada Gan-sicu dan Suma-kongcu atas ucapan selamat.”
Empek Gan menyengir sambil memandang ke arah It-gan Kai-ong yang membalas dengan pandangan mengejek. Dengan langkah gontai dan pantat tetap megal-megol, Empek Gan lalu melangkah maju menghampiri Lin Lin, lalu tertawa!
“Wah, kau jempol sekali, Kakek Cebol!” Lin Lin menyambutnya dengan tertawa pula. “Pantas Lie Bok Liong twako kalau bersilat selalu megal-megol, kiranya gurunya pun begitu. Kakek gagah, apakah ilmu silatmu itu namanya ilmu silat bebek melenggang?”
Empek Gan tertawa senang karena banyak tamu yang mendengar ini ikut tertawa. Dasar berjiwa badut, kalau ada orang mentertawakan kelucuannya, kakek ini merasa girang dan puas sekali!
Sementara itu, para tamu lain yang tadi sudah menanti-nanti tidak sabar karena mereka terhalang oleh keributan sehingga mereka tiada kesempatan memberi selamat dan sumbangan, kini mulai melangkah maju, menghampiri tempat duduk Beng-kauwcu dan Raja Nan-cao. Antrian tamu itu cukup panjang dan para tamu yang sudah duduk merasa jemu menyaksikan upacara itu, mereka bercakap-cakap dengan teman masing-masing sambil mengganyang hidangan yang berada di atas meja.
Lin Lin setelah puas tertawa menyaksikan pertunjukkan yang lucu dari Empek Gan tadi, kini teringat akan janji Suling Emas. Ia menengok dan melihat betapa Suling Emas sudah bangkit dari bangkunya, berdiri bersedakap, seperti orang sedang menonton para tamu seorang demi seorang memberi selamat dan menyerahkan barang sumbangan.
Lin Lin cepat melangkah maju menghampiri. Sejenak ia meragu, agak bingung. Perasaan ini selalu datang selama ini kalau ia hendak bicara kepada Suling Emas, karena sesungguhnya ia tidak tahu siapa nama pendekar itu. Tentu saja nama Suling Emas atau Kim-siauw-eng hanyalah julukan saja. Jarang ia memanggil, atau kalau terpaksa ia hanya menyebut “Suling Emas” begitu saja, sebutan yang sebetulnya kurang enak. Sejenak ia meragu, berdiri di belakang punggung yang bidang itu.
“Kim-siauw Koko (Kakak Suling Emas)....” akhirnya ia berkata perlahan.
Suling Emas terkejut seperti baru sadar daripada lamunannya, menengok ke belakang.
“Kau? Kau bilang apa tadi?”
Lin Lin tersenyum.
“Tidak bilang apa-apa, belum lagi, baru memanggilmu. Susah memanggil karena tidak tahu siapa namamu, biar kusebut kau Kim-siauw Koko saja.”
“Hemmm, ada apakah, Lin Lin?”
“Aku menagih janji!”
“Janji apa?”
“Ihhh, masa kau lupa lagi? Bukankah kau bilang bahwa kau hendak mencarikan musuh besarku dan Kakak Bu Song. Eh, kau sudah lupa atau pura-pura lupa? Seorang gagah takkan menjilat.... eh, kau melihat apa?”
Lin Lin gemas sekali melihat Suling Emas tidak mempedulikannya dan sedang memandang dengan kening berkerut ke arah kiri. Ia cepat menoleh dan sempat melihat seorang gadis cantik jelita memberi isyarat dengan tangan kepada Suling Emas dan gadis itu cepat membuang muka dan pura-pura tidak melihat ke arah mereka ketika Lin Lin memandang.
Gadis itu bukan lain adalah gadis jelita penyambut tamu tadi, puteri ketua Beng-kauw yang bernama Liu Hwee. Entah mengapa ia sendiri tidak tahu, Lin Lin merasa dadanya panas seperti dibakar dan ingin ia meloncat dan menerjang gadis itu, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus! Tanpa disadari lagi kedua kakinya melangkah menuju ke kiri, ke arah gadis puteri Beng-kauw itu.
“Lin-moi, ke sinilah....!”
Lin Lin tersentak dan sadar bahwa ia terlalu menuruti nafsu hati panas sehingga hampir saja ia menimbulkan keributan tanpa sebab. Panggilan Sian Eng ini menyadarkannya maka cepat ia menengok dan membalikkan tubuh lalu menghampiri encinya.
“Lin-moi, kau sudah tahu, kedatanganku kesini adalah karena percaya akan penuturan Suma Boan bahwa di sini aku akan dapat bertemu dengan kakak kita Bu Song. Aku percaya akal hal itu, Lin-moi, karena itu aku ikut ke sini.”
“Ah, orang macam itu kau percaya, Enci Eng?”
“Hush, bukan tak beralasan aku percaya dia!” jawab Sian Erg dengan muka agak panas. “Tak ingatkah kau akan penuturan sukouw (bibi guru) Kui Lan Nikouw? Ibu tiri kita, isteri pertama Ayah yang bernama Tok-siauw-kui Lui Lu Sian adalah puteri ketua Beng-kauw yang sudah meninggal dunia dan yang kematiannya diperingati ke seribu harinya sekarang ini. Dengan demikian, maka kakak kita Bu Song itu adalah cucu dari ketua Beng-kauw, atau cucu keponakan dari ketua Beng-kauw yang sekarang. Kalau dia menghilang, agaknya di sinilah tempat ia bersembunyi, di tempat ibunya!”
“Wah, betul juga Enci Eng. Sekarang aku ingat akan hal itu! Kalau begitu, biar aku tanya langsung saja kepada Beng-kauwcu....”
Tiba-tiba Lin Lin menghentikan kata-katanya sambil menoleh ke kiri. Dilihatnya Suling Emas tidak berada di tempatnya lagi.
“Jangan, Lin-moi. Tidak baik begitu, lebih baik kutanyakan kepada Suma-kongcu, siapa tahu Kakak Bu Song sudah hadir sekarang.... eh, Lin-moi, kau kemana....?”
Kiranya Lin Lin sama sekali tidak mendengarkan ucapan saudaranya karena ia telah lari meninggalkan tempat itu ketika melihat bahwa selain Suling Emas, juga puteri ketua Beng-kauw tidak berada di tempatnya lagi. Entah apa yang menyebabkan Lin Lin pergi, mungkin ia sendiri tidak tahu karena ia hanya merasa bahwa ia harus pergi mencari Suling Emas yang tadi dilihatnya diberi isyarat oleh Liu Hwee puteri ketua Beng-kauw. Juga ia tidak tahu mengapa dadanya terasa makin panas!
Lin Lin keluar dari ruangan itu melalui pintu samping. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman bunga yang lebar. Sunyi di situ karena semua orang mencurahkan perhatian ke ruangan tamu dimana sedang berlangsung upacara penyambutan tamu dan penerimaan ucapan selamat.
Lin Lin berjalan terus, matanya memandang ke sana ke mari, mencari-cari. Tidak ada bayangan Suling Emas maupun Liu Hwee. Namun di ujung taman tampak beberapa buah pondok yang mungil, agaknya menjadi tempat peristirahatan, entah milik raja ataukah milik ketua Beng-kauw. Akan tetapi ada sesuatu yang menarik, mungkin dugaan bahwa Suling Emas berada di situ yang menarik hati Lin Lin, karena gadis ini terus berlari-lari ke arah tiga buah pondok itu.
Setelah dekat, ia jalan berindap-indap, perlahan dan hati-hati. Apalagi ketika ia melihat bayangan dua orang dan mendengar suara bisik-bisik yang dibawa angin lalu, cepat ia menyelinap dan mengintai dari balik pondok. Kiranya Suling Emas berada di belakang pondok ke dua.... dadanya makin panas seperti terbakar ketika ia melihat Suling Emas berdiri berhadapan dengan Liu Hwee. Begitu dekat, dan keduanya berbisik-bisik! Lin Lin berusaha menangkap percakapan mereka, akan tetapi karena mereka bicara lirih sekali ia hanya dapat menangkap beberapa buah kata-kata saja yang tidak berarti. Akhirnya, ia mendengar ucapan Liu Hwee lapat-lapat.
“.... ah, kau terlalu lemah....”
“.... cintaku takkan kunodai darah....”
Terdengar jawaban Suling Emas kemudian mereka berjalan pergi meninggalkan tempat itu.
Dalam tempat persembunyiannya, Lin Lin tidak berani bergerak, tidak berani pula mengejar karena ia merasa malu kalau diketahui telah menjadi pengintai. Ucapan mereka yang ia dengar tadi merupakan teka-teki baginya, menambah rasa tidak enak di hatinya.
Agaknya Suling Emas dan gadis jelita itu demikian rukun dan ia takkan salah menduga kalau diantara mereka tentu ada hubungan yang amat erat. Dan dia demikian dinginnya terhadap aku, pikirnya. Mendadak air matanya menitik. Lin Lin kaget, cepat mengusap empat butir air mata dari pipinya. Cintaku takkan kunodai darah, demikian jelas terdengar ucapan keluar dari mulut Suling Emas tadi. Apa artinya ini? Cintanya terhadap siapa? Ah, kiranya pendekar yang diam-diam dipujanya itu telah mencintai seseorang. Siapa gerangan? Puteri ketua Beng-kauw itu?
Setelah dua orang itu tidak kelihatan bayangannya lagi, Lin Lin menarik napas panjang, lalu membalikkan tubuh hendak pergi dari situ. Tiba-tiba ia tersentak kaget, matanya terbelalak lebar, dan hampir ia menjerit. Di depannya telah berdiri seorang.... iblis tengkorak berselubung hitam yang mengerikan! Akan tetapi Lin Lin memiliki dasar watak yang pemberani tak kenal takut. Hanya sebentar saja ia merasa ngeri saking kagetnya, akan tetapi segera ia mengenal manusia bertopeng tengkorak seperti iblis ini. Memang iblis, atau seorang di antara enam iblis. Biarpun baru sekarang ia berhadapan, ia dapat menduga bahwa orang atau mahluk ini tentulah Hek-giam-lo, yang pernah menawan encinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar