Hening di tempat yang tadinya ramai itu. Tidak terdengar sedikit pun suara berisik. Suasana menjadi tegang karena semua orang, tiada kecuali, memasang telinga untuk mendengarkan baik-baik apakah empat buah kata-kata yang akan dikeluarkan oleh Gan-lopek.
Juga Suling Emas, sebagai seorang ahli dalam hal bu dan bun (silat dan sastra), memandang penuh perhatian. Lin Lin merasa geli menyaksikan tingkah-polah dan sepak terjang Gan-lopek, akan tetapi juga agak khawatir karena ia pun merasa sangsi apakah kakek ini betul-betul akan dapat menandingi Suma Boan dalam hal ilmu sastra.
Karena keadaan yang hening itu, suara Gan-lopek terdengar lantang ketika ia berkata,
“Bocah she Suma, enak saja kau mau menipu orang tua! Aku sudah mempertaruhkan kepalaku kau bisa memenuhi syaratku tadi, akan tetapi apa taruhanmu kalau kau kalah?”
Suma Boan tersenyurn mengejek.
“Kakek she Gan! Semua orang terhormat yang hadir disini mendengar belaka bahwa kau sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang minta. Akan tetapi, kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah kata-katamu menjadi kalimat yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau sebagai guru!”
“Ho-hah, boleh.... boleh.... akan tetapi aku sangsi apakah aku akan cukup sabar mempunyai murid sastra yang tolol seperti engkau. Nah, buka telingamu baik-baik, Suma Boan, dan juga hadirin yang menjadi saksi. Huruf pertama yang kupilih adalah huruf TAHI!”
Pecah suara ketawa di sana-sini, bahkan ada yang terkekeh-kekeh. Akan tetapi banyak pula, terutama mereka yang mengerti tentang ilmu sastra, mengerutkan kening. Kakek she Gan ini benar-benar berani mati, di depan begitu banyaknya tokoh kang-ouw yang terhormat dan terhitung tokoh kelas atasan, berani main-main sampai begitu hebat. Semua ahli sastra itu tahu belaka bahwa huruf yang artinya kotor ini tak mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang gila saja yang dapat memasukkan kata-kata “tahi” ke dalam sebuah sajak, tentu menjadi sajak orang gila!
Akan tetapi Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia cerdik dan dia sudah berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, maklum bahwa kakek ini mempunyai banyak tipu muslihat dan akal. Biarpun ia sendiri takkan mampu merangkai huruf yang kotor ini ke dalam sajak, namun masih tidak sukar untuk menggunakan huruf ini untuk melengkapi sebuah kalimat.
Setelah suara ketawa mereda, Gan-lopek mengangkat tangan kanan, memperlihatkan dua buah jari tangan.
“Sekarang huruf nomor dua, yaitu huruf MAKAN!”
Kembali orang-orang pada tertawa. Gila benar kakek ini. Masa merangkai huruf tahi dengan huruf makan? Satu-satunya rangkaian yang berarti hanya “makan tahi”! Benar-benar orang sinting dia! Juga Raja Nan-cao tersenyum-senyum tapi keningnya berkerut, seperti halnya Beng-kauwcu dan yang lain-lain, karena mereka sendiri merasakan keanehan Empek Gan ini. Hanya Suma Boan yang nampak tenang-tenang saja, akan tetapi diam-diam otaknya dikerjakan.
Setelah menanti sebentar, Empek Gan lalu berkata lantang,
“Huruf nomor tiga adalah KUDA dan huruf nomor empat adalah HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang kau putar-putarlah otakmu, kau rangkai empat huruf itu menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan mengandung kebenaran. Aku tunggu sampai kau menyatakan tidak sanggup, lalu berlutut di depan kakiku, mengangkat aku sebagai gurumu. Itu pun kalau aku mau menerimamu, hoh-hoh!”
Suma Boan tidak mempedulikan kelakar ini karena ia sudah memutar otak dan memikir-mikir. Ujian atau teka-teki yang gila, pikirnya. Keempat huruf itu adalah TAHI MAKAN KUDA HARIMAU yang harus dirangkai menjadi kalimat, biarpun dapat dibolak-balik sampai dua puluh empat macam kalimat, namun agaknya hanya ada dua macam kalimat yang berarti, yaitu pertama adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN TAHI KUDA. Selain dua ini, kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah mudahnya! Benar-benar kakek goblok yang miring otaknya. Belum sampai lima menit ia berpikir, ia sudah membolak-bolik empat huruf itu menjadi dua puluh empat kalimat dan hanya dua itulah yang ada artinya.
“Ha-ha, Empek Gan, kau benar-benar mencari mampus. Nah, siaplah untuk menyerahkan kepalamu karena aku sudah dapat menjawabnya!”
Seru Suma Boan dan para tamu menjadi berisik karena mereka itu pun masing-masing ikut pula mencari jawabannya.
Empek Gan mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru.
“Harap hadirin jangan berisik!”
Suaranya perlahan saja, akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat semua orang kaget dan diam. Para locianpwe (orang tua jagoan) yang hadir disitu diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun gila dan tololnya Empek Gan datam ilmu sastra, akan tetapi dalam ilmu silat agaknya merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan. Suaranya yang disertai tenaga khikang tadi saja sudah membuktikan kelihaiannya.
“Harap Cu-wi sekalian dengarkan jawaban orang muda ini sebagai saksi! Nah, bocah, bagimana jawabanmu?”
Dengan suara nyaring Suma Boan menjawab,
“Empek Gan, empat huruf yang kau ajukan itu amatlah sederhana dan dari empat huruf itu aku dapat merangkai menjadi dua puluh empat macam kalimat.”
Semua orang yang hadir mengangguk-anggukkan kepala karena banyak diantara mereka yang berpikir demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di utara ini akan menang, pikir mereka.
“Akan tetapi, diantara yang dua puluh empat macam kalimat, hanya ada dua yang berarti, maka jawaban pertanyaanmu itu tentulah salah satu diantara yang dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI KUDA!”
Hening di ruangan itu karena semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, maka kini suara ketawa Empek Gan terdengar lantang memenuhi ruangan.
“Ha-ha-ha, kau benar-benar lucu. Yang ke dua bagaimana?”
“Yang ke dua adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU!”
Kini Empek Gak terpingkal-pingkal tertawa sambil memegangi perutnya.
“Hoah-hah-hah, siapa pernah mendengar ada harimau makan tahi kuda? Dan ada kuda makan tahi harimau? Hoah-hah-hah, Suma Boan! Agaknya yang suka makan tahi harimau adalah kudamu itu!” Ia menudingkan telunjuknya ke arah gambar kuda sumbangan Suma Boan tadi. “Dan yang dimakan adalah tahi harimauku, kalau bukan kudamu mana suka makan tahi harimau? Hoa-ha-ha!”
“Empek Gan tidak perlu semua lelucon ini!” teriak Suma Boan. “Sudah jelas jawabanku betul, dan kau kalah. Semua yang hadir menjadi saksi!”
Empek Gan menyusut air matanya. Begitu keras ia tertawa sampai keluar air matanya.
“Apa kau bilang? Betul? Eh, bocah, kau benar-benar melanggar aturan. Tadi sudah kukatakan bahwa empat buah huruf itu harus dirangkai merupakan kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG KEBENARAN! Rangkaian kalimatmu itu biarpun kedua-keduanya ada artinya akan tetapi semua bohong, tidak benar sama sekali karena di dunia ini tidak ada kuda makan tahi harimau atau harimau makan tahi kuda. Hayo, diantara yang hadir siapa bisa bilang bahwa dua kalimat itu mengandung kebenaran?”
Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali terdengar suara berisik karena para tamu itu saling bicara untuk mempersoalkan benar salahnya jawaban Suma Boan itu.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring,
“Jawaban itu bohong!”
Demikian nyaring tapi merdu suara ini sehingga semua orang berhenti bicara dan memandang. Kiranya Lin Lin yang berdiri dan menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas minta perhatian. Sekali lagi ia berkata, suaranya merdu tapi nyaring sekali.
“Jawaban Suma Boan itu bohong semua! Kuda makanannya rumput, bukan tahi harimau, sedangkan harimau makanannya daging mentah, bukan tahi kuda! Siapa yang setuju, harap angkat telunjuk ke atas seperti saya ini!”
Dengan wajah berseri dan bibir tersenyum manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke atas.
Serentak semua tamu, sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah ada orang-orang muda yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriak-teriak gembira,
“Betul....! Ucapan Nona betul!”
Memang sesungguhnya, siapa tidak tertarik melihat dara remaja yang jelita itu dengan jenaka bicara seperti itu dan mengajak mereka mendukung pernyataannya bahwa Suma Boan tidak benar dalam jawabannya? Apa pula kalau dipikir bahwa memang sesungguhnya, dua kalimat itu biarpun ada artinya, namun memang tidak benar.
Empek Gan berkata lagi setelah semua orang diam,
“Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena jawabanmu tidak betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu saja kalau aku mau menerimamu. Kita lihat saja nanti!”
Suma Boan melotot ke arah Lin Ling kemudian ia merengut dan menjawab.
“Empek Gan, kau orang tua penuh tipu muslihat! Kau kira aku mudah kau tipu begitu saja? Terus terang saja kukatakan bahwa dari empat hurufmu itu, tak mungkin merangkai kalimat yang mengandung arti dan juga mengandung kebenaran! Aku tidak mau menerima kalah kalau kau sendiri belum memberi jawabannya. Tentu saja kau bisa mengemukakan pertanyaan yang tak dapat dijawab. Aku bisa! Misalnya, berapa banyaknya ikan di laut?”
“Hoah! Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya! Aku bisa menjawab! Ada lima juta kurang satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau apa kau? Tidak percaya? Boleh kau menyelam dan hitung sendiri!”
Meledak suara orang tertawa mendengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan makin merah.
“Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kau rangkai kalimat dari empat hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa melakukannya, baru aku mengaku kalah, tidak saja aku mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau menyerahkan kepalaku kepadamu!”
Saking marahnya, Suma Boan mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi bukan semata-mata karena marahnya, melainkan karena ia yakin bahwa kakek itu pun takkan mungkin merangkai kalimat yang berarti dan benar.
Kembali keadaan hening. Semua orang memasang telinga baik-baik, ingin mendengarkan jawaban Empek Gan. Tak seorang pun di situ merasa sanggup untuk menjawab, bahkan Suling Emas sendiri tampak berbisik-bisik kepada Beng-kauwcu yang mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao juga menggeleng-geleng kepala sambil mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri sebagai seorang jagoan sastra tidak sanggup pula.
“Betulkah? Dengar baik-baik kau, bocah ingusan! Juga para hadirin harap sudi mendengarkan penuh perhatian. Dari empat buah huruf itu aku dapat merangkai sebuah kalimat yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran seribu prosen. Kalimat itu berbunyi begini....”
Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata memandang ke arah bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang itu tidak berani bernapas terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.
“HARIMAU MAKAN KUDA!” Akhirnya Empek Gan berkata lantang, “Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda bocah ini, ha-ha-ha!” Ia berpaling kepada Suma Boan. “Nah, apanya yang salah dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN KUDA, artinya sudah betul, juga kenyataannya begitu, harimau memang suka makan binatang-binatang lemah, termasuk kuda!”
“Tidak betul!” Suma Boan berteriak-teriak marah sampai suaranya serak. “Belum lengkap itu! Huruf TAHI belum dimasukkan!”
“Sudah betul,” kata Empek Gan. “HARIMAU MAKAN KUDA! Nah, tidak betulkah itu?”
“TAHI-nya bagaimana? TAHI-nya kau tinggalkan!”
Orang-orang berteriak-teriak,
“Ya, TAHI-nya bagaimana?”
Suma Boan mendengar banyak orang mendukungnya, tertawa-tawa dan berteriak-teriak mengejek,
“Empek Gan orang tua tolol! HARIMAU MAKAN KUDA memang berarti dan benar, akan tetapi TAHI-nya kau lupakan. TAHI-nya bagaimana?”
Empek Gan tertawa,
“Cu-wi sekalian dengarlah! Dia bertanya tentang TAHI. Wah, dia ini, Suma Boan, disini untuk apa? Harimauku makan kudanya, adapun TAHI-nya.... kuberikan kepadamu. Suma Boan. Kau makanlah, itu bagianmu!”
Sejenak hening, banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat komando, meledaklah suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkal-pingkal sampai jatuh terguling dari bangku, memegangi perutnya dan terus tertawa.
Juga Suling Emas, sebagai seorang ahli dalam hal bu dan bun (silat dan sastra), memandang penuh perhatian. Lin Lin merasa geli menyaksikan tingkah-polah dan sepak terjang Gan-lopek, akan tetapi juga agak khawatir karena ia pun merasa sangsi apakah kakek ini betul-betul akan dapat menandingi Suma Boan dalam hal ilmu sastra.
Karena keadaan yang hening itu, suara Gan-lopek terdengar lantang ketika ia berkata,
“Bocah she Suma, enak saja kau mau menipu orang tua! Aku sudah mempertaruhkan kepalaku kau bisa memenuhi syaratku tadi, akan tetapi apa taruhanmu kalau kau kalah?”
Suma Boan tersenyurn mengejek.
“Kakek she Gan! Semua orang terhormat yang hadir disini mendengar belaka bahwa kau sendirilah yang menjanjikan kepalamu, bukan aku yang minta. Akan tetapi, kalau sampai aku tidak bisa merangkai empat buah kata-katamu menjadi kalimat yang berarti dan benar, biarlah aku mengangkat kau sebagai guru!”
“Ho-hah, boleh.... boleh.... akan tetapi aku sangsi apakah aku akan cukup sabar mempunyai murid sastra yang tolol seperti engkau. Nah, buka telingamu baik-baik, Suma Boan, dan juga hadirin yang menjadi saksi. Huruf pertama yang kupilih adalah huruf TAHI!”
Pecah suara ketawa di sana-sini, bahkan ada yang terkekeh-kekeh. Akan tetapi banyak pula, terutama mereka yang mengerti tentang ilmu sastra, mengerutkan kening. Kakek she Gan ini benar-benar berani mati, di depan begitu banyaknya tokoh kang-ouw yang terhormat dan terhitung tokoh kelas atasan, berani main-main sampai begitu hebat. Semua ahli sastra itu tahu belaka bahwa huruf yang artinya kotor ini tak mungkin dirangkai menjadi sajak. Orang gila saja yang dapat memasukkan kata-kata “tahi” ke dalam sebuah sajak, tentu menjadi sajak orang gila!
Akan tetapi Suma Boan tidak tampak khawatir. Dia cerdik dan dia sudah berjaga-jaga terhadap segala kemungkinan, maklum bahwa kakek ini mempunyai banyak tipu muslihat dan akal. Biarpun ia sendiri takkan mampu merangkai huruf yang kotor ini ke dalam sajak, namun masih tidak sukar untuk menggunakan huruf ini untuk melengkapi sebuah kalimat.
Setelah suara ketawa mereda, Gan-lopek mengangkat tangan kanan, memperlihatkan dua buah jari tangan.
“Sekarang huruf nomor dua, yaitu huruf MAKAN!”
Kembali orang-orang pada tertawa. Gila benar kakek ini. Masa merangkai huruf tahi dengan huruf makan? Satu-satunya rangkaian yang berarti hanya “makan tahi”! Benar-benar orang sinting dia! Juga Raja Nan-cao tersenyum-senyum tapi keningnya berkerut, seperti halnya Beng-kauwcu dan yang lain-lain, karena mereka sendiri merasakan keanehan Empek Gan ini. Hanya Suma Boan yang nampak tenang-tenang saja, akan tetapi diam-diam otaknya dikerjakan.
Setelah menanti sebentar, Empek Gan lalu berkata lantang,
“Huruf nomor tiga adalah KUDA dan huruf nomor empat adalah HARIMAU. Nah, bocah she Suma, sekarang kau putar-putarlah otakmu, kau rangkai empat huruf itu menjadi sajak atau kalimat yang berarti dan mengandung kebenaran. Aku tunggu sampai kau menyatakan tidak sanggup, lalu berlutut di depan kakiku, mengangkat aku sebagai gurumu. Itu pun kalau aku mau menerimamu, hoh-hoh!”
Suma Boan tidak mempedulikan kelakar ini karena ia sudah memutar otak dan memikir-mikir. Ujian atau teka-teki yang gila, pikirnya. Keempat huruf itu adalah TAHI MAKAN KUDA HARIMAU yang harus dirangkai menjadi kalimat, biarpun dapat dibolak-balik sampai dua puluh empat macam kalimat, namun agaknya hanya ada dua macam kalimat yang berarti, yaitu pertama adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU atau HARIMAU MAKAN TAHI KUDA. Selain dua ini, kalimat-kalimat lain tidak ada artinya. Alangkah mudahnya! Benar-benar kakek goblok yang miring otaknya. Belum sampai lima menit ia berpikir, ia sudah membolak-bolik empat huruf itu menjadi dua puluh empat kalimat dan hanya dua itulah yang ada artinya.
“Ha-ha, Empek Gan, kau benar-benar mencari mampus. Nah, siaplah untuk menyerahkan kepalamu karena aku sudah dapat menjawabnya!”
Seru Suma Boan dan para tamu menjadi berisik karena mereka itu pun masing-masing ikut pula mencari jawabannya.
Empek Gan mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru.
“Harap hadirin jangan berisik!”
Suaranya perlahan saja, akan tetapi gemanya berdengung di ruangan itu, membuat semua orang kaget dan diam. Para locianpwe (orang tua jagoan) yang hadir disitu diam-diam mengangguk-angguk. Betapapun gila dan tololnya Empek Gan datam ilmu sastra, akan tetapi dalam ilmu silat agaknya merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan. Suaranya yang disertai tenaga khikang tadi saja sudah membuktikan kelihaiannya.
“Harap Cu-wi sekalian dengarkan jawaban orang muda ini sebagai saksi! Nah, bocah, bagimana jawabanmu?”
Dengan suara nyaring Suma Boan menjawab,
“Empek Gan, empat huruf yang kau ajukan itu amatlah sederhana dan dari empat huruf itu aku dapat merangkai menjadi dua puluh empat macam kalimat.”
Semua orang yang hadir mengangguk-anggukkan kepala karena banyak diantara mereka yang berpikir demikian pula. Agaknya pemuda pangeran di utara ini akan menang, pikir mereka.
“Akan tetapi, diantara yang dua puluh empat macam kalimat, hanya ada dua yang berarti, maka jawaban pertanyaanmu itu tentulah salah satu diantara yang dua ini. Pertama adalah HARIMAU MAKAN TAHI KUDA!”
Hening di ruangan itu karena semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, maka kini suara ketawa Empek Gan terdengar lantang memenuhi ruangan.
“Ha-ha-ha, kau benar-benar lucu. Yang ke dua bagaimana?”
“Yang ke dua adalah KUDA MAKAN TAHI HARIMAU!”
Kini Empek Gak terpingkal-pingkal tertawa sambil memegangi perutnya.
“Hoah-hah-hah, siapa pernah mendengar ada harimau makan tahi kuda? Dan ada kuda makan tahi harimau? Hoah-hah-hah, Suma Boan! Agaknya yang suka makan tahi harimau adalah kudamu itu!” Ia menudingkan telunjuknya ke arah gambar kuda sumbangan Suma Boan tadi. “Dan yang dimakan adalah tahi harimauku, kalau bukan kudamu mana suka makan tahi harimau? Hoa-ha-ha!”
“Empek Gan tidak perlu semua lelucon ini!” teriak Suma Boan. “Sudah jelas jawabanku betul, dan kau kalah. Semua yang hadir menjadi saksi!”
Empek Gan menyusut air matanya. Begitu keras ia tertawa sampai keluar air matanya.
“Apa kau bilang? Betul? Eh, bocah, kau benar-benar melanggar aturan. Tadi sudah kukatakan bahwa empat buah huruf itu harus dirangkai merupakan kalimat yang berarti DAN MENGANDUNG KEBENARAN! Rangkaian kalimatmu itu biarpun kedua-keduanya ada artinya akan tetapi semua bohong, tidak benar sama sekali karena di dunia ini tidak ada kuda makan tahi harimau atau harimau makan tahi kuda. Hayo, diantara yang hadir siapa bisa bilang bahwa dua kalimat itu mengandung kebenaran?”
Empek Gan menoleh ke arah para hadirin dan kembali terdengar suara berisik karena para tamu itu saling bicara untuk mempersoalkan benar salahnya jawaban Suma Boan itu.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring,
“Jawaban itu bohong!”
Demikian nyaring tapi merdu suara ini sehingga semua orang berhenti bicara dan memandang. Kiranya Lin Lin yang berdiri dan menggerak-gerakkan tangan kanan ke atas minta perhatian. Sekali lagi ia berkata, suaranya merdu tapi nyaring sekali.
“Jawaban Suma Boan itu bohong semua! Kuda makanannya rumput, bukan tahi harimau, sedangkan harimau makanannya daging mentah, bukan tahi kuda! Siapa yang setuju, harap angkat telunjuk ke atas seperti saya ini!”
Dengan wajah berseri dan bibir tersenyum manis Lin Lin mengangkat telunjuk kanannya ke atas.
Serentak semua tamu, sebagian besar, mengangkat tangan ke atas, malah ada orang-orang muda yang mengangkat kedua tangan ke atas sambil berteriak-teriak gembira,
“Betul....! Ucapan Nona betul!”
Memang sesungguhnya, siapa tidak tertarik melihat dara remaja yang jelita itu dengan jenaka bicara seperti itu dan mengajak mereka mendukung pernyataannya bahwa Suma Boan tidak benar dalam jawabannya? Apa pula kalau dipikir bahwa memang sesungguhnya, dua kalimat itu biarpun ada artinya, namun memang tidak benar.
Empek Gan berkata lagi setelah semua orang diam,
“Nah, Suma Boan. Jelas bahwa kau yang kalah, karena jawabanmu tidak betul. Hayo kau berlutut dan mengangkat aku sebagai guru, tentu saja kalau aku mau menerimamu. Kita lihat saja nanti!”
Suma Boan melotot ke arah Lin Ling kemudian ia merengut dan menjawab.
“Empek Gan, kau orang tua penuh tipu muslihat! Kau kira aku mudah kau tipu begitu saja? Terus terang saja kukatakan bahwa dari empat hurufmu itu, tak mungkin merangkai kalimat yang mengandung arti dan juga mengandung kebenaran! Aku tidak mau menerima kalah kalau kau sendiri belum memberi jawabannya. Tentu saja kau bisa mengemukakan pertanyaan yang tak dapat dijawab. Aku bisa! Misalnya, berapa banyaknya ikan di laut?”
“Hoah! Pertanyaan begitu saja, apa sukarnya! Aku bisa menjawab! Ada lima juta kurang satu banyaknya ikan di laut. Hayo, mau apa kau? Tidak percaya? Boleh kau menyelam dan hitung sendiri!”
Meledak suara orang tertawa mendengar ucapan ini, dan wajah Suma Boan makin merah.
“Empek Gan, kau belum menjawab. Hayo kau rangkai kalimat dari empat hurufmu itu sendiri, kalau kau bisa melakukannya, baru aku mengaku kalah, tidak saja aku mengangkatmu sebagai guru, malah aku mau menyerahkan kepalaku kepadamu!”
Saking marahnya, Suma Boan mengeluarkan ucapan ini. Akan tetapi bukan semata-mata karena marahnya, melainkan karena ia yakin bahwa kakek itu pun takkan mungkin merangkai kalimat yang berarti dan benar.
Kembali keadaan hening. Semua orang memasang telinga baik-baik, ingin mendengarkan jawaban Empek Gan. Tak seorang pun di situ merasa sanggup untuk menjawab, bahkan Suling Emas sendiri tampak berbisik-bisik kepada Beng-kauwcu yang mengerutkan kening dan menggeleng-geleng kepala. Raja Nan-cao juga menggeleng-geleng kepala sambil mengangkat pundak, tanda bahwa dia sendiri sebagai seorang jagoan sastra tidak sanggup pula.
“Betulkah? Dengar baik-baik kau, bocah ingusan! Juga para hadirin harap sudi mendengarkan penuh perhatian. Dari empat buah huruf itu aku dapat merangkai sebuah kalimat yang berarti dan juga yang mengandung kebenaran seribu prosen. Kalimat itu berbunyi begini....”
Ia sengaja berhenti sebentar sehingga semua mata memandang ke arah bibirnya dan semua telinga memasang baik-baik, bahkan orang-orang itu tidak berani bernapas terlalu keras, takut mengganggu pendengaran.
“HARIMAU MAKAN KUDA!” Akhirnya Empek Gan berkata lantang, “Tentu saja harimauku itu dan yang dimakan kuda bocah ini, ha-ha-ha!” Ia berpaling kepada Suma Boan. “Nah, apanya yang salah dengan kalimat itu? HARIMAU MAKAN KUDA, artinya sudah betul, juga kenyataannya begitu, harimau memang suka makan binatang-binatang lemah, termasuk kuda!”
“Tidak betul!” Suma Boan berteriak-teriak marah sampai suaranya serak. “Belum lengkap itu! Huruf TAHI belum dimasukkan!”
“Sudah betul,” kata Empek Gan. “HARIMAU MAKAN KUDA! Nah, tidak betulkah itu?”
“TAHI-nya bagaimana? TAHI-nya kau tinggalkan!”
Orang-orang berteriak-teriak,
“Ya, TAHI-nya bagaimana?”
Suma Boan mendengar banyak orang mendukungnya, tertawa-tawa dan berteriak-teriak mengejek,
“Empek Gan orang tua tolol! HARIMAU MAKAN KUDA memang berarti dan benar, akan tetapi TAHI-nya kau lupakan. TAHI-nya bagaimana?”
Empek Gan tertawa,
“Cu-wi sekalian dengarlah! Dia bertanya tentang TAHI. Wah, dia ini, Suma Boan, disini untuk apa? Harimauku makan kudanya, adapun TAHI-nya.... kuberikan kepadamu. Suma Boan. Kau makanlah, itu bagianmu!”
Sejenak hening, banyak mata terbelalak. Kemudian bagaikan mendapat komando, meledaklah suara ketawa memenuhi ruangan itu. Lin Lin terpingkal-pingkal sampai jatuh terguling dari bangku, memegangi perutnya dan terus tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar