Suling Emas kembali mengelak.
“Aku salah mengenal orang.... tentu saja kau jauh lebih muda. Kau masih kanak-kanak, tapi... tapi.... wah hebat. Dari mana kau mendapatkan jurus-jurus sehebat ini?”
Makin cepat Lin Lin menyerang, makin cepat pula Suling Emas mengelak, sambil memuji-muji jurus yang dimainkan Lin Lin. Dara ini sendiri merasa terheran-heran akan perasaan hatinya. Ia merasa bangga sekali akan pujian-pujian itu, akan tetapi di samping kebanggaan ini, ia juga gemas dan mendongkol. Jurus-jurusnya dipuji lihai, akan tetapi tidak sekalipun mengenai sasaran!
“Huh, kalau pedangku berada di tangan, jangan harap kau bisa enak-enakan menyelamatkan diri, sayang terampas pengawal curang!” katanya sambil menyerang lagi.
“Inikah pedangmu?”
Suling Emas tiba-tiba mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya, dipegang dengan terbalik sehingga gagangnya disodorkan kepada Lin Lin. Dara ini memandang dan terkejut bukan kepalang. Memang pedang itu adalah pedangnya yang tadi terampas pengawal kurus!
“Eh, betul bagaimana bisa berada padamu?”
Suling Emas berkilat pandang matanya.
“Bukan soal, coba pergunakan pedangmu!”
Kata-kata ini merupakan perintah sehingga kalau menuruti wataknya, Lin Lin tentu tak sudi menurut. Akan tetapi ia sudah terlalu mendongkol dan ingin ia memperlihatkan kelihaiannya. Cepat tangannya merenggut, karena ia mengira bahwa Suling Emas akan mempermainkannya dan pura-pura saja mengembalikan pedang. Hampir ia terjengkang ke belakang, karena kiranya pedang itu sama sekali tidak dipertahankan oleh Suling Emas sehingga ketika ia mencabut sekuat tenaga, ia terdorong oleh tenaga tarikannya sendiri.
“Lihat pedang!”
Teriaknya, lebih mendongkol dan marah lagi karena hampir terjengkang. Sinar kuning berkelebat dan bergulung-gulung merupakan gelombang lingkaran yang menerjang diri Suling Emas.
“Bagus!”
Suling Emas berkelebat lenyap dan berubah menjadi bayangan yang selalu luput daripada bacokan maupun tusukan pedang.
“Wah, jadi kau yang mencuri Pedang Besi Kuning? Hemmm, tentu dengan Kim-lun Seng-jin. Heiiiii, ilmu pedang ini, apakah kau bukan murid Kim-lun Seng-jin?”
Makin marahlah Lin Lin, karena biarpun ia sudah berpedang, mana mungkin ia dapat merobohkan bayangan? Manusia ini tulenkah atau setan?
“Aku bukan murid Si Gundul Pacul! Hayo kau keluarkan kepandaianmu, hayo kau pergunakan pedangmu, kita bertanding selaksa jurus sampai salah seorang menggeletak mandi darahnya sendiri!” tantangnya.
Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas menarik napas panjang dan seketika wajahnya berubah, muram dan tak acuh. Tadi ia bersikap gembira dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri. Agaknya sekarang ia teringat akan keadaannya yang “tidak wajar” itu, dan kembalilah ia pada sikapnya seperti yang sudah-sudah, murung dan dingin. Ia membalikkan tubuh, menghampiri meja dan duduk menghadapi kitab yang sudah sejak tadi terbuka di atas meja itu. Sama sekali ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Lin Lin.
“Heeiiiii, hayo bangkit. Kita bertanding!” Lin Lin membentak.
Akan tetapi Suling Emas seakan-akan tidak mendengar bentakannya dan terus saja membaca kitab. Bibirnya umak-umik (komat-kamit) dan tampaknya asyik benar.
“Tak sempat dan tiada nafsu bertanding....” tiba-tiba Suling Emas berkata lirih dan mulutnya komat-kamit lagi membaca kitabnya.
“Monyet, celeng, kadal, bunglon, tikus....!” Lin Lin menyebut semua binatang yang dianggapnya paling menjijikkan, dilontarkannya semua nama binatang itu kepada Suling Emas untuk memancing perhatian dan kemarahannya. “Kau bunuh Ayahku, hayo kita bikin perhitungan sampai lunas!”
Tanpa menoleh Suling Emas berkata lagi,
“Sialan, semua orang bilang aku membunuh Ayahnya. Kalau benar begitu, tentu Ayahmu patut dibunuh.”
“Apa kau bilang? Berani kau memaki Ayahku? Hayo bangun, lawan aku!”
Lin Lin mengayun-ayun pedangnya di belakang leher Suling Emas. Akan tetapi yang diancam tak bergerak dan Lin Lin bukanlah seorang yang sudi menyerang orang yang tak melawan.
“Kau bocah kecil, banyak bertingkah, pergilah jangan ganggu orang baca!”
Biarpun kata-katanya mulai ketus, tapi Suling Emas tetap duduk menghadapi kitab dan sama sekali tidak mau menoleh.
“Iblis, setan, siluman....!” Lin Lin memaki-maki, kini menyebut nama semua golongan setan dan jin, “Hadapi aku! Aku mau bicara denganmu!”
Akan tetapi Suling Emas tetap diam saja, melirik pun tidak, Lin Lin makin marah dan jengkel mencak-mencak dan membanting-banting kaki dengan pengerahan tenaga Khong-in-ban-kin sehingga lantai menjadi bolong-bolong dihantam kakinya yang kecil seperti digali dengan linggis saja. Kemudian ia melompat ke depan Suling Emas di seberang meja. Namun laki-laki itu tetap duduk menunduk, membenamkan matanya pada kitab. Lin Lin menggebrak meja, namun sia-sia.
“Betul kata Enci Sian Eng, kau seperti patung, kau aneh dan tidak pedulian. Akan tetapi aku tidak mau kau perlakukan seperti Enci Sian Eng. Kau harus bangkit dan melawanku!”
Sambil berkata demikian, Lin Lin melompat naik ke atas meja itu dan membanting-banting kaki sehingga meja itu berloncatan. Tentu saja kitab di depan Suling Emas juga ikut berloncatan sehingga tak mungkin lagi membaca! Akan tetapi, bukan ini yang menyebabkan Suling Emas kini bangkit dan memandang heran, melainkan kata-kata Lin Lin.
“Apa kau bilang? Enci Sian Eng? Kau adiknya? Jadi kau.... kau ini.... ah, ingat aku sekarang. Kau yang berada di pintu gerbang, kau bersama murid Gan-lopek. Ah, kau Lin Lin!”
Lin Lin merenggut dan melompat turun dari meja, pedangnya masih dipegang erat-erat.
“Enaknya menyebut nama orang. Lan Lan Lin Lin, memangnya aku ini apamu? Huh, laki-laki kurang ajar, penghina kaum wanita. Memangnya aku ini apamu.... berani.... berani mencium....” Muka Lin Lin menjadi merah sekali dan ia tidak berani mengangkat muka!
“Hemmm, maafkan, aku tidak sengaja. Tapi.... ah, hal itu tidak apa, tak usah kau sebut-sebut lagi. Percayalah, aku menyesal sekali....”
Tiba-tiba Lin Lin mengangkat muka, mereka berpandangan dan.... Lin Lin menangis. Aneh memang! Tak biasa gadis ini menangis. Dia bukan tergolong cengeng, tapi kali ini mengapa air matanya terus saja membanjir tak dapat dibendung?
“Lin.... eh, Nona Lin Lin, tentu kau sudah mendengar dari encimu bahwa aku bukanlah pembunuh Ayahmu. Mengapa kau datang kesini? Memasuki istana bukanlah hal mudah dan bagaimana kau bisa tahu bahwa aku berada di gedung perpustakaan?”
“Aku.... aku tahu kau bukan pembunuh Ayah. Aku mendengar percakapan Suma Boan bahwa biasanya kau disini. Aku.... aku mencarimu hanya untuk bertanya dimana adanya Kakak Kam Bu Song. Kau tentu tahu karena kau bisa bilang kepada Enci Sian Eng bahwa Kakak Bu Song sudah meninggal dunia. Bagaimana matinya dan dimana kuburnya? Akan tetapi.... sekarang aku tidak perlu tanya-tanya lagi dan persoalan sekarang hanya bahwa kau harus melawan aku sampai mati untuk menebus dosamu.”
“Dosa....?”
“Tadi itu....!”
“Eh....? Oh, itu....? Dengar, Lin.... eh, Nona Cilik. Kau masih kanak-kanak, dan aku sudah tua. Ciuman tadi tidak kusengaja, dan aku sudah amat menyesal. Maafkanlah dan anggap saja ciuman itu dari seorang paman atau kakak terhadap adiknya. Bagaimana?”
Seperti seorang anak kecil manja Lin Lin membanting kaki dan menggeleng-geleng kepalanya dengan keras.
“Tidak bisa! Mana ada aturan begitu? Masa seorang paman atau kakak mencium.... di sini....?” Ia menuding bibirnya.
Suling Emas menjadi merah mukanya dan ia kewalahan betul menghadapi dara yang keras hati, keras kepala dan keras kemauan, pendeknya keras segala-galanya dan serba nekat ini,
“Habis, bagaimana? Tak mungkin kutarik kembali....?”
“Tarik kembali hidungmu!” Lin Lin memaki-maki.
Suling Emas memandang dengan mata terbelalak dan otomatis ia meraba-raba hidungnya yang disinggung-singgung oleh dara nakal itu.
“Satu-satunya cara menebus dosa hanya mencabut pedang dan mari lawan aku sampai mampus seorang diantara kita! Penghinaan yang memalukan ini harus ditebus dengan nyawa!”
Suling Emas merasa bohwat (kehabisan akal) benar-benar.
“Masa begitu saja dianggap penghinaan yang memalukan? Mana bisa menghina karena tidak sengaja? Dan bagaimana bisa disebut memalukan, kan tidak ada yang lihat? Nona Cilik, sekali lagi aku minta maaf dan untuk menebus dosa, aku sanggup melakukan apa saja asal jangan.... bertanding sampai mati.”
Lin Lin menahan senyumnya. Gembira benar dia, serasa kepalanya menjadi melar (membesar) saking bangga dan besar hati. Kulit hidungnya yang tipis otomatis mekar. Bukankah ucapan Suling Emas itu otomatis mengakui kelihaian dan kehebatannya? Bukankah itu berarti Suling Emas, pendekar besar yang ditakuti semua orang, yang dicap seorang pendekar aneh dan tiada taranya di kolong langit, yang dipuji-puji setinggi langit oleh Lie Bok Liong, Kim-lun Seng-jin, dan Sian Eng, juga yang amat ditakuti oleh Suma Boan dan kaki tangannya termasuk It-gan Kai-ong. Sekarang memperlihatkan enggan dan takut bertanding mati-matian melawannya? Kalau tidak takut, sedikitnya tentu kagum menyaksikan ilmu kepandaiannya! Tentu saja ia sama sekali tidak sadar bahwa satu-satunya yang membuat laki-laki luar biasa itu “ngeri” terhadapnya adalah wataknya yang liar dan sukar dilawan itu.
“Suling Emas, apakah kau seorang laki-laki sejati?”
Pertanyaan yang diajukan dengan sinar mata menusuk-nusuk langsung ke jantung ini membuat pendekar aneh itu terbelalak dan alisnya yang hitam tebal itu bergerak-gerak. Baru sekarang selama hidupnya ia merasa bingung dan tak dapat menebak apa gerangan maksud di balik kata-kata pertanyaan besar itu. Akan tetapi, melihat wajah dan sikap dara remaja itu terang tidak bermaksud menghina.
“Apa maksudmu?” Ia toh bertanya karena benar-benar tidak mengerti.
“Apakah kau tergolong laki-laki yang suka menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?”
Sepasang mata Suling Emas berkilat seperti mengeluarkan cahaya berapi sehingga Lin Lin menjadi terkejut sekali dan agak takut juga. Seperti mata harimau marah, pikirnya.
“Nona kecil, apakah kau main-main ataukah hendak menghina aku? Awas kau....!”
Lin Lin cemberut.
“Siapa main-main? Awas.... awas.... tentu saja aku awas, kalau tidak mana aku bisa melihat? Main ancam, apa dikira aku takut? Hayo, mau apa?”
“Kalau kau tidak main-main, apa maksudnya pertanyaanmu yang bukan-bukan itu? Tentu saja aku laki-laki sejati. Suling Emas lebih menghargai nama baik daripada selembar nyawanya!”
“Dan sekali keluarkan sepatah kata, empat ekor kuda takkan mampu menarik kembali?”
“Jangankan empat ekor kuda, nyawa terancam maut sekalipun takkan dapat menarik kembali kata-kata yang sudah kukeluarkan dari mulutku!”
Panas perut Suling Emas dan ia terheran-heran karena belum pernah ia bisa di“bakar” orang selama ini.
“Bagus, kalau begitu nyata kau seorang Eng-hiong (Pendekar) sejati, seorang satria tulen tidak campuran. Aku percaya omonganmu. Nah, dengarkan sekarang penebusan dosamu. Aku pun tidak suka bertanding sampai mati denganmu, karena aku juga maklum bahwa kau lihai sekali. Akan tetapi karena kau yang menolak bertanding sampai mati dan kau pula yang berjanji akan melakukan apa saja asal jangan bertanding, aku mengajukan tiga buah permintaan kepadamu.”
“Aku salah mengenal orang.... tentu saja kau jauh lebih muda. Kau masih kanak-kanak, tapi... tapi.... wah hebat. Dari mana kau mendapatkan jurus-jurus sehebat ini?”
Makin cepat Lin Lin menyerang, makin cepat pula Suling Emas mengelak, sambil memuji-muji jurus yang dimainkan Lin Lin. Dara ini sendiri merasa terheran-heran akan perasaan hatinya. Ia merasa bangga sekali akan pujian-pujian itu, akan tetapi di samping kebanggaan ini, ia juga gemas dan mendongkol. Jurus-jurusnya dipuji lihai, akan tetapi tidak sekalipun mengenai sasaran!
“Huh, kalau pedangku berada di tangan, jangan harap kau bisa enak-enakan menyelamatkan diri, sayang terampas pengawal curang!” katanya sambil menyerang lagi.
“Inikah pedangmu?”
Suling Emas tiba-tiba mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya, dipegang dengan terbalik sehingga gagangnya disodorkan kepada Lin Lin. Dara ini memandang dan terkejut bukan kepalang. Memang pedang itu adalah pedangnya yang tadi terampas pengawal kurus!
“Eh, betul bagaimana bisa berada padamu?”
Suling Emas berkilat pandang matanya.
“Bukan soal, coba pergunakan pedangmu!”
Kata-kata ini merupakan perintah sehingga kalau menuruti wataknya, Lin Lin tentu tak sudi menurut. Akan tetapi ia sudah terlalu mendongkol dan ingin ia memperlihatkan kelihaiannya. Cepat tangannya merenggut, karena ia mengira bahwa Suling Emas akan mempermainkannya dan pura-pura saja mengembalikan pedang. Hampir ia terjengkang ke belakang, karena kiranya pedang itu sama sekali tidak dipertahankan oleh Suling Emas sehingga ketika ia mencabut sekuat tenaga, ia terdorong oleh tenaga tarikannya sendiri.
“Lihat pedang!”
Teriaknya, lebih mendongkol dan marah lagi karena hampir terjengkang. Sinar kuning berkelebat dan bergulung-gulung merupakan gelombang lingkaran yang menerjang diri Suling Emas.
“Bagus!”
Suling Emas berkelebat lenyap dan berubah menjadi bayangan yang selalu luput daripada bacokan maupun tusukan pedang.
“Wah, jadi kau yang mencuri Pedang Besi Kuning? Hemmm, tentu dengan Kim-lun Seng-jin. Heiiiii, ilmu pedang ini, apakah kau bukan murid Kim-lun Seng-jin?”
Makin marahlah Lin Lin, karena biarpun ia sudah berpedang, mana mungkin ia dapat merobohkan bayangan? Manusia ini tulenkah atau setan?
“Aku bukan murid Si Gundul Pacul! Hayo kau keluarkan kepandaianmu, hayo kau pergunakan pedangmu, kita bertanding selaksa jurus sampai salah seorang menggeletak mandi darahnya sendiri!” tantangnya.
Akan tetapi tiba-tiba Suling Emas menarik napas panjang dan seketika wajahnya berubah, muram dan tak acuh. Tadi ia bersikap gembira dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri. Agaknya sekarang ia teringat akan keadaannya yang “tidak wajar” itu, dan kembalilah ia pada sikapnya seperti yang sudah-sudah, murung dan dingin. Ia membalikkan tubuh, menghampiri meja dan duduk menghadapi kitab yang sudah sejak tadi terbuka di atas meja itu. Sama sekali ia tidak mau mempedulikan lagi kepada Lin Lin.
“Heeiiiii, hayo bangkit. Kita bertanding!” Lin Lin membentak.
Akan tetapi Suling Emas seakan-akan tidak mendengar bentakannya dan terus saja membaca kitab. Bibirnya umak-umik (komat-kamit) dan tampaknya asyik benar.
“Tak sempat dan tiada nafsu bertanding....” tiba-tiba Suling Emas berkata lirih dan mulutnya komat-kamit lagi membaca kitabnya.
“Monyet, celeng, kadal, bunglon, tikus....!” Lin Lin menyebut semua binatang yang dianggapnya paling menjijikkan, dilontarkannya semua nama binatang itu kepada Suling Emas untuk memancing perhatian dan kemarahannya. “Kau bunuh Ayahku, hayo kita bikin perhitungan sampai lunas!”
Tanpa menoleh Suling Emas berkata lagi,
“Sialan, semua orang bilang aku membunuh Ayahnya. Kalau benar begitu, tentu Ayahmu patut dibunuh.”
“Apa kau bilang? Berani kau memaki Ayahku? Hayo bangun, lawan aku!”
Lin Lin mengayun-ayun pedangnya di belakang leher Suling Emas. Akan tetapi yang diancam tak bergerak dan Lin Lin bukanlah seorang yang sudi menyerang orang yang tak melawan.
“Kau bocah kecil, banyak bertingkah, pergilah jangan ganggu orang baca!”
Biarpun kata-katanya mulai ketus, tapi Suling Emas tetap duduk menghadapi kitab dan sama sekali tidak mau menoleh.
“Iblis, setan, siluman....!” Lin Lin memaki-maki, kini menyebut nama semua golongan setan dan jin, “Hadapi aku! Aku mau bicara denganmu!”
Akan tetapi Suling Emas tetap diam saja, melirik pun tidak, Lin Lin makin marah dan jengkel mencak-mencak dan membanting-banting kaki dengan pengerahan tenaga Khong-in-ban-kin sehingga lantai menjadi bolong-bolong dihantam kakinya yang kecil seperti digali dengan linggis saja. Kemudian ia melompat ke depan Suling Emas di seberang meja. Namun laki-laki itu tetap duduk menunduk, membenamkan matanya pada kitab. Lin Lin menggebrak meja, namun sia-sia.
“Betul kata Enci Sian Eng, kau seperti patung, kau aneh dan tidak pedulian. Akan tetapi aku tidak mau kau perlakukan seperti Enci Sian Eng. Kau harus bangkit dan melawanku!”
Sambil berkata demikian, Lin Lin melompat naik ke atas meja itu dan membanting-banting kaki sehingga meja itu berloncatan. Tentu saja kitab di depan Suling Emas juga ikut berloncatan sehingga tak mungkin lagi membaca! Akan tetapi, bukan ini yang menyebabkan Suling Emas kini bangkit dan memandang heran, melainkan kata-kata Lin Lin.
“Apa kau bilang? Enci Sian Eng? Kau adiknya? Jadi kau.... kau ini.... ah, ingat aku sekarang. Kau yang berada di pintu gerbang, kau bersama murid Gan-lopek. Ah, kau Lin Lin!”
Lin Lin merenggut dan melompat turun dari meja, pedangnya masih dipegang erat-erat.
“Enaknya menyebut nama orang. Lan Lan Lin Lin, memangnya aku ini apamu? Huh, laki-laki kurang ajar, penghina kaum wanita. Memangnya aku ini apamu.... berani.... berani mencium....” Muka Lin Lin menjadi merah sekali dan ia tidak berani mengangkat muka!
“Hemmm, maafkan, aku tidak sengaja. Tapi.... ah, hal itu tidak apa, tak usah kau sebut-sebut lagi. Percayalah, aku menyesal sekali....”
Tiba-tiba Lin Lin mengangkat muka, mereka berpandangan dan.... Lin Lin menangis. Aneh memang! Tak biasa gadis ini menangis. Dia bukan tergolong cengeng, tapi kali ini mengapa air matanya terus saja membanjir tak dapat dibendung?
“Lin.... eh, Nona Lin Lin, tentu kau sudah mendengar dari encimu bahwa aku bukanlah pembunuh Ayahmu. Mengapa kau datang kesini? Memasuki istana bukanlah hal mudah dan bagaimana kau bisa tahu bahwa aku berada di gedung perpustakaan?”
“Aku.... aku tahu kau bukan pembunuh Ayah. Aku mendengar percakapan Suma Boan bahwa biasanya kau disini. Aku.... aku mencarimu hanya untuk bertanya dimana adanya Kakak Kam Bu Song. Kau tentu tahu karena kau bisa bilang kepada Enci Sian Eng bahwa Kakak Bu Song sudah meninggal dunia. Bagaimana matinya dan dimana kuburnya? Akan tetapi.... sekarang aku tidak perlu tanya-tanya lagi dan persoalan sekarang hanya bahwa kau harus melawan aku sampai mati untuk menebus dosamu.”
“Dosa....?”
“Tadi itu....!”
“Eh....? Oh, itu....? Dengar, Lin.... eh, Nona Cilik. Kau masih kanak-kanak, dan aku sudah tua. Ciuman tadi tidak kusengaja, dan aku sudah amat menyesal. Maafkanlah dan anggap saja ciuman itu dari seorang paman atau kakak terhadap adiknya. Bagaimana?”
Seperti seorang anak kecil manja Lin Lin membanting kaki dan menggeleng-geleng kepalanya dengan keras.
“Tidak bisa! Mana ada aturan begitu? Masa seorang paman atau kakak mencium.... di sini....?” Ia menuding bibirnya.
Suling Emas menjadi merah mukanya dan ia kewalahan betul menghadapi dara yang keras hati, keras kepala dan keras kemauan, pendeknya keras segala-galanya dan serba nekat ini,
“Habis, bagaimana? Tak mungkin kutarik kembali....?”
“Tarik kembali hidungmu!” Lin Lin memaki-maki.
Suling Emas memandang dengan mata terbelalak dan otomatis ia meraba-raba hidungnya yang disinggung-singgung oleh dara nakal itu.
“Satu-satunya cara menebus dosa hanya mencabut pedang dan mari lawan aku sampai mampus seorang diantara kita! Penghinaan yang memalukan ini harus ditebus dengan nyawa!”
Suling Emas merasa bohwat (kehabisan akal) benar-benar.
“Masa begitu saja dianggap penghinaan yang memalukan? Mana bisa menghina karena tidak sengaja? Dan bagaimana bisa disebut memalukan, kan tidak ada yang lihat? Nona Cilik, sekali lagi aku minta maaf dan untuk menebus dosa, aku sanggup melakukan apa saja asal jangan.... bertanding sampai mati.”
Lin Lin menahan senyumnya. Gembira benar dia, serasa kepalanya menjadi melar (membesar) saking bangga dan besar hati. Kulit hidungnya yang tipis otomatis mekar. Bukankah ucapan Suling Emas itu otomatis mengakui kelihaian dan kehebatannya? Bukankah itu berarti Suling Emas, pendekar besar yang ditakuti semua orang, yang dicap seorang pendekar aneh dan tiada taranya di kolong langit, yang dipuji-puji setinggi langit oleh Lie Bok Liong, Kim-lun Seng-jin, dan Sian Eng, juga yang amat ditakuti oleh Suma Boan dan kaki tangannya termasuk It-gan Kai-ong. Sekarang memperlihatkan enggan dan takut bertanding mati-matian melawannya? Kalau tidak takut, sedikitnya tentu kagum menyaksikan ilmu kepandaiannya! Tentu saja ia sama sekali tidak sadar bahwa satu-satunya yang membuat laki-laki luar biasa itu “ngeri” terhadapnya adalah wataknya yang liar dan sukar dilawan itu.
“Suling Emas, apakah kau seorang laki-laki sejati?”
Pertanyaan yang diajukan dengan sinar mata menusuk-nusuk langsung ke jantung ini membuat pendekar aneh itu terbelalak dan alisnya yang hitam tebal itu bergerak-gerak. Baru sekarang selama hidupnya ia merasa bingung dan tak dapat menebak apa gerangan maksud di balik kata-kata pertanyaan besar itu. Akan tetapi, melihat wajah dan sikap dara remaja itu terang tidak bermaksud menghina.
“Apa maksudmu?” Ia toh bertanya karena benar-benar tidak mengerti.
“Apakah kau tergolong laki-laki yang suka menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkan?”
Sepasang mata Suling Emas berkilat seperti mengeluarkan cahaya berapi sehingga Lin Lin menjadi terkejut sekali dan agak takut juga. Seperti mata harimau marah, pikirnya.
“Nona kecil, apakah kau main-main ataukah hendak menghina aku? Awas kau....!”
Lin Lin cemberut.
“Siapa main-main? Awas.... awas.... tentu saja aku awas, kalau tidak mana aku bisa melihat? Main ancam, apa dikira aku takut? Hayo, mau apa?”
“Kalau kau tidak main-main, apa maksudnya pertanyaanmu yang bukan-bukan itu? Tentu saja aku laki-laki sejati. Suling Emas lebih menghargai nama baik daripada selembar nyawanya!”
“Dan sekali keluarkan sepatah kata, empat ekor kuda takkan mampu menarik kembali?”
“Jangankan empat ekor kuda, nyawa terancam maut sekalipun takkan dapat menarik kembali kata-kata yang sudah kukeluarkan dari mulutku!”
Panas perut Suling Emas dan ia terheran-heran karena belum pernah ia bisa di“bakar” orang selama ini.
“Bagus, kalau begitu nyata kau seorang Eng-hiong (Pendekar) sejati, seorang satria tulen tidak campuran. Aku percaya omonganmu. Nah, dengarkan sekarang penebusan dosamu. Aku pun tidak suka bertanding sampai mati denganmu, karena aku juga maklum bahwa kau lihai sekali. Akan tetapi karena kau yang menolak bertanding sampai mati dan kau pula yang berjanji akan melakukan apa saja asal jangan bertanding, aku mengajukan tiga buah permintaan kepadamu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar