FB

FB


Ads

Minggu, 02 Juni 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 042

Ia sudah mendengar tentang pengemis ini yang merupakan kepala atau pimpinan dari serombongan pengemis yang suka mengumpulkan racun ular dan menjualnya pada toko-toko obat. Sebagai ahli menangkap ular berbisa, tentu saja pengemis ini amat lihai, malah julukannya juga Pengemis Ular Sakti! Akan tetapi, ia pun sudah mendengar akan praktek-praktek jahat yang dilakukan pengemis ini dan rombongannya, yaitu menjual racun-racun ular pada penjahat-penjahat untuk maksud-maksud keji. Maka ia memandang rendah dan mengejek.

Pengemis buntung itu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, orang muda bermata tajam, kiranya mengenal pula Sin-coa-kai! Ha-ha, kalau sudah mengenal nama dan mengetahui kelihaianku, lebih baik menyerah agar kuserahkan kalian kepada Suma-kongcu. Heh, pantas saja Suma-kongcu berusaha keras untuk menangkap kalian, kiranya ada bidadari ini yang begini danok dan can....”

“Swinggggg....!”

Pengemis itu berteriak kaget dan menjatuhkan diri bergulingan ke atas tanah ketika tiba-tiba pedang di tangan Lin Lin menyambar, merupakan sinar kuning yang secepat kilat menerima leher pengemis itu.

“Lin-moi, awas belakang....!”

Bok Liong memperingatkan, khawatir kalau gadis itu terlalu bernafsu dan marah mengejar Si Pengemis Buntung.

Betul saja dugaannya, Si Buntung itu tidak datang sendiri, melainkan bersama tujuh orang pembantunya. Pada saat itu, dari tempat-tempat gelap melompat bayangan orang dan terdengar suara mendesis-desis dari semua penjuru.

Lin Lin kaget dan terpaksa menunda pengejarannya kepada Sin-coa-kai. Sepasang matanya yang tajam itu terbelalak ketika melihat puluhan ekor ular api merayap datang dari depan dan belakang, digiring oleh Sin-coa-kai dan teman-temannya.

“Lin-moi, serbu....!” Bok Liong sambil memutar pedangnya dan menerjang maju.

Lin Lin mengikuti sepak terjang Bok Liong dan dua orang muda itu dengan gagah menghadapi ular-ular yang telah menjadi nekat karena telah diberi obat perangsang oleh Sin-coa-kai. Dalam beberapa detik saja bangkai ular bergelimpangan diterjang pedang Lin Lin dan Bok Liong.

Akan tetapi kini Sin-coa-kai dan teman-temannya mulai menyerang dari lain jurusan, menggunakan tongkat-tongkat ular yang panjang seperti toya. Lin Lin dan Bok Liong tentu saja tidak gentar, melawan dengan hebat. Akan tetapi mereka menjadi sibuk juga karena ular-ular itu kini menjadi makin banyak, merayap-rayap mengerikan.

“Lin-moi, ikuti aku, ke atas pohon!” kembali Bok Liong memberi tahu temannya.

Sambil memutar pedang untuk menjaga diri dari sambaran tongkat lawan, mereka mengerahkan gin-kang dan melayang ke atas pohon. Akan tetapi terdengar suara ketawa Sin-coa-kai disusul teriakan kaget kedua orang muda itu yang cepat-cepat melayang turun kembali karena pohon itu pun penuh dengan ular hijau yaitu ular daun yang biarpun tidak beracun namun cukup menjijikkan dan galak!

“Ha-ha-ha-ha, apakah kalian tidak menyerah saja?”

“Menyerah kakimu!” bentak Lin Lin sambil menerjang penuh amarah.

Terjangannya hebat sekali, biarpun Si Buntung berhasil menghindarkan bahaya dengan jalan menggulingkan diri, namun seorang pembantunya terbabat pedang sehingga putus lengan kirinya!

Sin-coa-kai memaki marah, lalu bersuit keras. Hebat akibatnya. Ular-ular itu seperti menjadi gila mendengar suitan ini dan menyerbu lebih ganas daripada tadi. Kewalahan juga Lin Lin dan Bok Liong menghadapi ular-ular kalap itu, apalagi tongkat-tongkat para pengemis masih selalu mengancam dan mencari kesempatan baik.

Pada saat itu, tampak asap tipis dan tercium bau yang pedas. Seketika kedua mata Lin Lin dan Bok Liong mengeluarkan air mata! Inilah semacam asap beracun yang dilepas oleh Sin-coa-kai! Terbuat daripada daun-daun dicampur racun ular lalu dibakar. Asap daripada ramuan ini merupakan asap beracun yang akan membuat setiap orang lawan mengeluarkan air mata, semacam “gas air mata” model kuno! Para pengemis sendiri tentu saja sudah memakai obat pemunah sehingga mereka tidak terpengaruh.






“Celaka....!” teriak Bok Liong. “Lin-moi, kita membuka jalan mata!”

Mereka berusaha sedapat mungkin untuk membuka kedua mata yang terus bercucuran air mata, pedang di tangan mereka gerakkan otomatis menjaga tubuh. Akan tetapi, teringat akan ular-ular yang menyerang kaki mereka, kedua orang muda itu menjadi bingung, tidak berani melangkah keluar dari tempat itu.

Tiba-tiba terdengar pekik Sin-coa-kai marah,
“Heeeiiiii, bedebah! Siapa berani main-main dengan ular-ularku?”

Akan tetapi bentakan ini disusul rintihan Si Buntung itu. Asap yang memerihkan mata juga tidak menyerang lagi.

Lin Lin dan Bok Liong masih terus memutar pedang menjaga diri. Setelah mata mereka tidak pedas lagi dan dapat dibuka, barulah mereka mendapat kenyataan bahwa keadaan mereka itu amat lucu. Di depan tidak ada musuh, bangkai ular bertumpuk-tumpuk di sana-sini, dan mereka tadi masih terus bersilat memutar pedang!

Muka Bok Liong menjadi merah sekali.
“Wah, alangkah tolol kita. Sudah ada orang sakti menolong, ular-ular mati dan semua pengemis diusir pergi, dan kita masih terus main pedang seperti wayang tanpa penonton!”

Lin Lin membanting-banting kakinya.
“Lagi-lagi penolong tak diundang! Kalau memang sudah menolong, kenapa tidak mau memberi tahu sehingga kita menjadi tontonan yang mentertawakan? Benar-benar dia memandang rendah!”

“Eh, Lin-moi. Berkali-kali dia menyelamatkan nyawa kita, kenapa kau malah marah-marah? Mana bisa kita menjadi tontonan kalau disini tidak ada siapa-siapa yang akan menonton kita? Sebaliknya kita harus berterima kasih kepada pendekar sakti dan menol....”

“Siapa bilang tidak ada penonton? Apa kau kira dia itu tidak sedang terkekeh-kekeh mentertawakan kita yang bersilat sendiri melawan angin? Benar-benar kau tolol dan dapat dipermainkan orang, Twako!”

Bok Liong tersenyum. Baru berkenalan sebentar saja, sikap gadis ini sudah amat intim, tidak ragu-ragu mengecapnya tolol segala!

“Jadi kau tidak berterima kasih kepadanya, Moi-moi?”

“Tidak! Aku tidak minta dia tolong, perlu apa berterima kasih?”

“Habis, andaikata dia muncul di depanmu, kau mau apa terhadapnya?”

“Mau apa? Menebus penghinaan ini di ujung pedang, apa lagi?”

“Penghinaan?”

“Dia menolong tanpa diundang, bergerak secara sembunyi, ini berarti mempermainkan kita dan amat memandang rendah, apakah yang begini masih belum patut dikatakan penghinaan?”

Tiba-tiba Bok Liong meloncat ke kiri, menyingkap alang-alang sambil berseru,
“Harap Locianpwe (Orang Tua Gagah) sudi menjumpai kami....!” Akan tetapi ia kecewa karena di belakang alang-alang itu tidak ada siapa-siapa.

“Eh, apa kau masih terus bermain sandiwara setelah bertanding pedang angin tadi, Twako? Siapa yang kau ajak bicara?”

Bok Liong menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Jelas benar tadi kulihat bayangan orang disini! Malah ketika aku melompat sampai disini, masih kudengar elahan napasnya! Heran benar....”

“Sudahlah, Twako. Kau lagi-lagi melihat serta mendengar setan.”

“Benar, Lin-moi. Kalau dia tidak mau menemui kita, dicari juga sia-sia. Mari kita lanjutkan perjalanan, siapa tahu Suma-kongcu masih mempunyai banyak kaki tangan yang hanya akan mengganggu kita. Lebih cepat sampai di kota raja lebih baik. Kota raja sudah dekat dan sekarang pagi.”

Keduanya lalu berlari meninggalkah tempat itu. Lin Lin bergidik melihat bangkai banyak ular menggeletak di sana-sini, anehnya, sebagaian besar bangkai-bangkai itu pecah kepalanya. Padahal ia tahu benar bahwa pedangnya dan pedang Bok Liong tak mungkin bisa membikin kepala ular remuk, paling-paling membuntungi leher. Diam-diam ia kagum juga akan kepandaian orang yang telah menolong mereka, akan tetapi hatinya tetap tidak puas. Orang itu sombong, pikirnya.

Dugaan Bok Liong memang benar. Yang memenuhi permintaan Suma Boan untuk mencoba menangkap dua orang muda itu ada tiga rombongan. Pertama adalah rombongan Hui-houw-kai-pang, rombongan ke dua adalah rombongan Sin-coa-kai-pang. Adapun ke tiga hanya terdiri dari seorang saja.

Orang ini adalah seorang tokoh perkumpulan pengemis dari daerah barat yang bemama Hek-i Lo-kai (Pengemis Tua Baju Hitam). Kepandaian ilmu silatnya tidaklah terlalu tinggi biarpun ia cukup lihai dibandingkan dengan tokoh-tokoh lain, akan tetapi yang membuat ia amat terkenal adalah kelicikan dan kecurangannya. Ia pandai bicara, pandai bersandiwara dan selain ini ia pun memiliki kepandaian membuat obat peledak yang sukar dapat dilawan oleh seorang ahli silat tinggi sekali pun. Obat peledak itu mengandung racun dan pecahan-pecahan besi berkarat yang amat berbahaya. Semacam granat model kuno!

Mengandalkan kecerdikannya, Hek-i Lo-kai ini beroperasi sendirian saja, tidak suka ramai-ramai main keroyokan. Ketika mendengar perintah Suma Boan, ia tergesa-gesa melakukan pengejaran. Karena mendengar bahwa dua orang muda itu lihai dan sedang menuju ke kota raja, ia tidak mau berlaku sembrono seperti dua rombongan yang telah gagal itu, melainkan mendahului pergi ke kota raja dan menanti di luar tembok kota raja.

Demikianlah, ketika Lin Lin dan Bok Liong tiba di luar kota raja, hari telah menjelang siang. Diluar pintu gerbang mereka melihat seorang kakek pengemis duduk bersila di alas tanah di dekat jalan raya, matanya yang meram terus itu agaknya buta, kedua tangannya ditelentangkan di depan dada dan mulutnya tiada hentinya minta-minta kepada orang yang lewat di jalan itu. Beberapa potong uang tembaga telah diperolehnya, bertebaran di depannya.

Melihat seorang pengemis, Bok Liong curiga. Ia menyentuh tangan Lin Lin dan memberi isyarat dengan matanya. Lin Lin menoleh dan tersenyum.

“Twako, kau benar-benar seperti seekor burung yang hampir terkena anak panah, menjadi ketakutan pada bayangan sendiri. Masa setelah gangguan para pengemis itu, sekarang kalau melihat setiap orang pengemis kau lalu mencurigainya? Hi-hik, lucu! Dia itu benar-benar seorang jembel. Lihat, dia betul-betul minta-minta, wajahnya pucat matanya buta. Eh.... lihat.... dia sakit, Twako....!”

Benar kata-kata Lin Lin itu. Pengemis tua berbaju hitam kotor itu merintih-rintih, memegangi perutnya, mukanya menjadi pucat sekali, matanya yang buta mendelik tampak putihnya saja.

“Ahhh.... auuuhhhhh.... aduh, mati aku....” keluhnya perlahan, keringat besar-besar memenuhi mukanya.

Seorang pedagang tahu yang memikul tahang (keranjang kayu) yang sedang kosong dan sedang menuju pulang ke desanya di luar kota, berhenti di depan pengemis itu, memandang penuh iba.

“Lopek, kau kenapakah?”

Pengemis itu mengeluh dan meringis kesakitan, ternyata amat sukar ia mengeluarkan suara menjawab.

“Aduhhh.... napasku.... sesak.... terpukul.... kumat lagi.... sesak.... auuughhh!” Kakek pengemis itu muntahkan darah segar! Si penjual tahu kaget dan makin iba.

“Wah, kau sakit berat, Lopek. Ah, bagaimana baiknya?”

Beberapa orang yang kebetulan lewat, hanya menengok lalu melanjutkan perjalanan mereka. Siapa mau peduli akan nasib seorang jembel tua? Pedagang tahu itu merasa kasihan karena ia sendiri pun seorang miskin, tentu saja ia dapat merasai penderitaan jembel ini.

Sebagai ahli-ahli silat kelas tinggi, tentu saja Lin Lin dan Bok Liong maklum apa artinya keadaan kakek itu. Kakek itu menderita luka dalam dan keadaan amat berbahaya. Lukanya mengeluarkan darah dan tentu akan menutup pernapasannya kalau tidak dihentikan. Cara menghentikannya tentu dengan menotok jalan darah di punggung dan mengurut urat di dada dan leher.

Lin Lin adalah seorang gadis remaja yang wataknya polos dan juga aneh. Ia mudah tersinggung, perasaannya halus, mudah marah mudah gembira, mudah kasihan mudah membenci. Dengan langkah lebar ia menghampiri kakek itu, tidak peduli lagi akan pencegahan Bok Liong.

“Kakek, kau terluka di dalam, biar kutolong kau....” kata Lin Lin.

“Auhhhhh.... oohhh.... terima kasih....”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar