Lin Lin segera menghampiri punggung kakek itu, menotoknya dengan dua jari tangannya. Gerakannya gesit sekali dan kedua jarinya amat kuat sehingga sekali menotok saja ia berhasil.
Kakek itu meringis kesakitan dan napasnya bertambah sengal-sengal. Lin Lin menjadi gugup, cepat ia mengulur tangan hendak meraba leher dan mengurut dada. Tiba-tiba tangan kakek itu yang tadinya menekan-nekan perutnya, bergerak cepat dan tampak sinar berkilat ketika tangan yang telah mencabut pedang pendek ini menusuk ke arah dada Lin Lin!
“Keparat!”
Bok Liong yang sudah waspada cepat menerjang maju dan mengirim tendangan, sedangkan Lin Lin yang menjadi kaget sekali namun tak kehilangan akal segera membuang diri ke belakang sambil berjungkir-balik.
Tendangan Bok Liong keras sekali, membuat tubuh kakek pengemis itu terpental dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya, pedang pendeknya terlempar entah kemana. Akan tetapi kakek pengemis yang sekarang sudah tidak buta lagi itu, mengeluarkan dua buah benda sebesar kepalan tangan.
Pada saat itu, dari barat datang seekor kuda membalap cepat. Penunggangnya seorang pemuda berpakaian hitam, jubah panjang berwarna hitam menutup celana sutera putih. Cepat sekali kudanya datang lewat ketika kakek pengemis yang bukan lain adalah Hek-i Lo-kai itu melontarkan dua buah granatnya ke arah Lin Lin dan Bok Liong.
“Tiarap semua....!”
Nyaring sekali suara ini dan tubuh jangkung di atas kuda itu menyambar ke arah dua buah alat peledak, sekali sambar dua buah benda berbahaya itu telah berhasil ia tangkap! Bukan main hebatnya gerakan ini, terlihat oleh Lin Lin dan Bok Liong yang otomatis sudah rebah di atas tanah. Kuda itu berhenti sebentar dan penunggangnya menoleh ke arah Hek-i Lo-kai yang berdiri dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil.
“Am.... pun.... ampunkan....”
“Hek-i Lo-kai, kali ini tidak ada ampun!”
Tampak sinar hitam dari cambuk di tangan penunggang kuda itu bergerak, terdengar suara “tar-tar-tar” tiga kali dan robohlah Hek-i Lo-kai! Penunggang kuda itu membedal kudanya, tanpa bicara sesuatu kudanya membalap memasuki pintu gerbang. Akan tetapi, setibanya di pintu gerbang, penunggangnya menoleh ke arah Lin Lin.
Lin Lin dan Bok Liong melompat bangun dan menghampiri Hek-i Lo-kai yang merintih-rintih dan mencoba bangun. Alangkah kaget dan ngeri hati Lin Lin dan Bok Liong melihat betapa punggung kakek itu telah melengkung dan di situ tampak tiga garis melintang berwarna hitam, menembus baju, kulit dan daging sampai tampak tulangnya!
“Aduh.... ampun.... Suling Emas....”
Mendengar ini, Lin Lin dan Bok Liong terkejut. Terutama Lin Lin. Jadi penunggang kuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki yang belum tua, tampan dan gagah, dia tadi Suling Emas?
“Jembel tua jahat, kau bilang dia Suling Emas? Betulkah itu?” Lin Lin bertanya.
“Sul.... Suling Emas.... tak kenal.... ampun....”
Kakek ini roboh lagi, muntah darah dan tanpa berkelojotan lagi ia menghembuskan napas terakhir!
Melihat terjadi peristiwa pembunuhan, si pedagang tahu cepat-cepat mengangkat pikulannya dan pergi meninggalkan tempat itu juga mereka yang menyaksikan peristiwa itu segera pergi dari situ setelah mendengar disebutnya nama Suling Emas. Nama ini meyakinkan mereka bahwa kakek jembel yang tadi pura-pura buta dan mengemis, tentulah seorang penjahat besar.
“Berbahaya....” kata Bok Liong. “Dia ini kiranya Hek-i Lo-kai dan tentulah dua buah benda tadi adalah dua senjata peledak yang kalau tadi tidak disambar Suling Emas, tentu menghancurkan tubuh kita berdua. Hebat....!”
Tiba-tiba seorang hwesio muda menghampiri mereka dan memberi hormat. Hwesio muda inilah satu-satunya orang yang tidak pergi dan sejak tadi ia menatap wajah Lin Lin.
“Maaf kalau pinceng (aku) mengganggu. Apakah Lihiap (Pendekar Wanita) yang bernama Kam Lin Lin?”
Lin Lin menengok, tercengang dan Bok Liong sudah mengerutkan kedua alisnya yang tebal, siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam keadaan seperti itu, ia menaruh curiga kepada setiap orang.
“Maaf,” kata hwesio itu lagi, “tentu Lihiap merasa heran, akan tetapi pinceng mencari Lihiap atas suruhan Nona Kam Sian Eng. Menurut gambarannya, Lihiap tentu yang bernama Kam Lin Lin, hanya entah, apakah Sicu ini yang bernama Kam Bu Sin....”
Lenyap kecurigaan kedua orang muda itu. Malah Lin Lin berjingkrak gembira sambil bertanya,
“Di manakah Enci Siang Eng?”
“Silakan Ji-wi ikut pinceng, dia berada di kelenteng kami.”
“Bagaimana dia? Selamatkah? Dan dimana Sin-ko? Bagaimana Enci Sian Eng bisa berada di kelentengmu?”
Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini, hwesio itu hanya tersenyum, lalu menjawab.
“Tidak leluasa kita bicara di tengah jalan. Marilah, nanti di kelenteng tentu Ji-wi akan mendengar sejelasnya dari Nona Sian Eng sendiri.”
Mereka bertiga segera memasuki kota raja dan menuju ke kelenteng. Lin Lin yang sudah tidak sabar itu lari saja memasuki kelenteng hampir menabrak seorang hwesio tua yang menyapu lantai sehingga hwesio itu menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya bersungut-sungut,
“Omitohud.... cantik liar, jangan-jangan siluman musang....!”
Pada saat itu, Sian Eng keluar dari ruangan dalam. Melihat siapa orangnya yang berlari-lari datang dari luar, ia berteriak girang dan lari menyambutnya. Dilain saat enci adik itu sudah saling rangkul dan saling cium sambil tertawa-tawa gembira.
“Lin Lin, bocah nakal kau!” Siang Eng berseru sambil menciumi adiknya.
“Enci Eng, kau tahu siapa yang kutemui di jalan tadi? Sampai mati kau tentu tidak akan dapat menduga,” bisik Lin Lin dengan wajah tegang, “dia bukan lain adalah Suling Emas!”
Akan tetapi Lin Lin keliru dan kecewa. Kiranya encinya sama sekali tidak kelihatan terkejut, hanya menggumam perlahan,
“Hemmm, ya?” kemudian Sian Eng melihat seorang pemuda berdiri termangu-mangu dan canggung menghadapi pertemuan enci adik yang mesra itu. “Lin Lin, kau maksudkan dia itukah Suling Emas?” Tentu saja Sian Eng bertanya dengan suara berbisik agar tidak terdengar pemuda itu.
“Hi-hik, bukan.... bukan dia. Dia itu sahabat baikku, orangnya baik, kepandaiannya lihai, tapi dia bukan Suling Emas, dia Lie Bok Liong koko. Oya Liong-twako, mari sini! Mari kuperkenalkan dengan Enciku yang lihai dan cantik!”
Bok Liong menjadi merah wajahnya, apalagi melihat betapa Sian Eng dan Lin Lin tadi kasak-kusuk dan sekarang enci itu mencubit adiknya yang tersenyum-senyum nakal. Akan tetapi karena Lin Lin melambaikan tangan memanggilnya dan enci adik itu memandang kepadanya, tidak enak kalau ia tidak menghampiri. Dengan jantung berdebar ia menghampiri mereka lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menundukkan muka, tidak berani menatap wajah Siang Eng karena merasa sungkan dan malu.
“Liong-twako, betul tidak kataku? Enciku cantik jelita dan.... aduhhh! Galaknya yang tidak nguati (tak tertahankan)!” Kemudian sambil tertawa ia berkata kepada Sian Eng, “Enci Eng, Liong-twako ini baik sekali, menemaniku sepanjang jalan, mengantarku sampai disini, malah di jalan membantu aku menghadapi pengemis-pengemis jahat. Orangnya jujur, sopan, tidak kurang ajar, dan....”
“Hushhh, terlalu kau, Lin Lin!” Sian Eng membentak adiknya, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan Bok Liong sambil berkata halus, “Harap Lie Bok Liong Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan adikku yang nakal dan suka menggoda orang ini. Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Taihiap terhadap adikku....”
“Wah-wah-wah, apa-apaan ini? Taihiap-taihiapan segala macam! Aduh, bisa mekar hidung Liong-twako kau sebut Taihiap. Sebut saja Twako, mengapa sih? Terhadap sahabat baik masih banyak sungkan dan peraturan, itu palsu namanya!”
“Eh.... oh.... maaf, Nona.... eh, saya....”
“Nah-nah-nah, Taihiap dan Nona, Tuan dan Nyonya, jemu aku mendengarnya! Liong-twako, dia ini Enci Siang Eng, Enciku sendiri, tahu kau? Kalau kau menyebut aku Lin-moi, Moi-moi, kadang-kadang Siauw-moi, mengapa kepada Enciku kau menyebut Nona? Kalau begitu kau pun harus menyebut aku Nona Besar dan aku akan menyebutmu Tuan Besar. Hayo, bagaimana?”
Memang nakal sekali Lin Lin. Ia tidak peduli akan segala perasaan sungkan, bingung dan malu yang dirasakan oleh Bok Liong di saat itu. Sian Eng merasa kasihan terhadap korban kenakalan adiknya ini. Hemmm, pikirnya, pemuda ini agaknya pendiam dan baik, tentu saja bukan lawan Lin Lin. Teringat ia akan Suling Emas yang aneh wataknya dan tidak pedulian itu. Rasakan kau nanti Suling Emas, kalau sampai jumpa dengan adikku Lin Lin, bisa mati berdiri kau dipermainkan! Tiba-tiba ia teringat akan pemberitahuan Lin Lin tentang Suling Emas tadi, wajahnya berubah serius.
“Lin Lin, jangan mengganggu orang. Kita masih harus bicara banyak. Sin-ko sampai sekarang belum juga datang.”
Lin Lin sadar lalu menoleh kepada Bok Liong.
“Liong-twako, jangan marah, ya? Aku juga berterima kasih padamu, lho! Kau memang baik sekali kepadaku. Sekarang aku sudah bertemu dengan Enci Sian Eng, hanya tinggal kakakku Bu Sin yang masih belum kami ketahui berada dimana. Apakah kau suka menolongku mencarinya, Twako?”
“Aku akan girang sekali kalau dapat membantumu mencari kakakmu, Lin-moi. Tentu akan kutanya-tanyakan kepada kenalanku, harap jangan khawatir.”
“Kalau begitu, aku dan Enci Sian Eng akan menanti disini beberapa hari, menanti berita darimu tentang Sin-ko.”
“Lin Lin, Lie Bok Liong Ta....”
“.... Twako....!” Lin Lin memotong.
Siang Eng merah mukanya dan memandang tamunya kebetulan Bok Liong juga memandang. Terpaksa dua orang muda yang menjadi malu dan jengah ini tersenyum dan seketika suasana menjadi lebih wajar, rasa malu menipis.
“Baiklah! Liong-twako masih lelah, baru saja datang masa sudah kau serahi tugas lagi. Jangan keterlaluan, dumeh (mentang-mentang) orang suka menolong kau lalu menekan.”
“Ah, tidak.... sama sekali tidak!” Bok Liong cepat membantah. “Ji-wi Moi-moi (Adik Berdua) tak usah sungkan. Aku sudah mendengar semua dari Lin-moi dan aku pasti akan berusaha sedapat mungkin untuk mencari berita tentang kakak kalian. Harap saja dalam waktu dua pekan ini kalian tidak pergi dari tempat ini, atau andaikata pergi dan pindah juga, memberi tahu kepada para Losuhu disini sehingga kalau aku datang, aku akan dapat tahu kemana harus menjumpai kalian untuk menyampaikan hasil usahaku mencari kakak kalian, sekarang aku pamit dulu.”
Melihat Bok Liong memberi hormat lalu mundur dan hendak pergi, Lin Lin cepat berseru.
“Twako, nanti dulu!”
“Ada apa?”
Terlalu cepat Bok Liong membalikkan tubuh dan sinar yang memancarkan kasih mesra tak terlepas daripada pandang mata yang awas.
“Aku pesan.... kalau kau bertemu dengan jembel-jembel jahat itu....”
“Ya, lalu bagaimana?”
“Aku titip tiga pukulan atau sekali tusukan pedang.”
Bok Liong tertawa dan mengangguk-angguk.
“Dan jangan lupa, kalau kau berjumpa dia di jalan katakan....”
“Dia siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan Suling Emas? Katakan bahwa aku menanti di kelenteng ini dan sampaikan tantanganku kepadanya!”
Kakek itu meringis kesakitan dan napasnya bertambah sengal-sengal. Lin Lin menjadi gugup, cepat ia mengulur tangan hendak meraba leher dan mengurut dada. Tiba-tiba tangan kakek itu yang tadinya menekan-nekan perutnya, bergerak cepat dan tampak sinar berkilat ketika tangan yang telah mencabut pedang pendek ini menusuk ke arah dada Lin Lin!
“Keparat!”
Bok Liong yang sudah waspada cepat menerjang maju dan mengirim tendangan, sedangkan Lin Lin yang menjadi kaget sekali namun tak kehilangan akal segera membuang diri ke belakang sambil berjungkir-balik.
Tendangan Bok Liong keras sekali, membuat tubuh kakek pengemis itu terpental dan bergulingan sampai sepuluh meter jauhnya, pedang pendeknya terlempar entah kemana. Akan tetapi kakek pengemis yang sekarang sudah tidak buta lagi itu, mengeluarkan dua buah benda sebesar kepalan tangan.
Pada saat itu, dari barat datang seekor kuda membalap cepat. Penunggangnya seorang pemuda berpakaian hitam, jubah panjang berwarna hitam menutup celana sutera putih. Cepat sekali kudanya datang lewat ketika kakek pengemis yang bukan lain adalah Hek-i Lo-kai itu melontarkan dua buah granatnya ke arah Lin Lin dan Bok Liong.
“Tiarap semua....!”
Nyaring sekali suara ini dan tubuh jangkung di atas kuda itu menyambar ke arah dua buah alat peledak, sekali sambar dua buah benda berbahaya itu telah berhasil ia tangkap! Bukan main hebatnya gerakan ini, terlihat oleh Lin Lin dan Bok Liong yang otomatis sudah rebah di atas tanah. Kuda itu berhenti sebentar dan penunggangnya menoleh ke arah Hek-i Lo-kai yang berdiri dengan muka pucat dan kedua kaki menggigil.
“Am.... pun.... ampunkan....”
“Hek-i Lo-kai, kali ini tidak ada ampun!”
Tampak sinar hitam dari cambuk di tangan penunggang kuda itu bergerak, terdengar suara “tar-tar-tar” tiga kali dan robohlah Hek-i Lo-kai! Penunggang kuda itu membedal kudanya, tanpa bicara sesuatu kudanya membalap memasuki pintu gerbang. Akan tetapi, setibanya di pintu gerbang, penunggangnya menoleh ke arah Lin Lin.
Lin Lin dan Bok Liong melompat bangun dan menghampiri Hek-i Lo-kai yang merintih-rintih dan mencoba bangun. Alangkah kaget dan ngeri hati Lin Lin dan Bok Liong melihat betapa punggung kakek itu telah melengkung dan di situ tampak tiga garis melintang berwarna hitam, menembus baju, kulit dan daging sampai tampak tulangnya!
“Aduh.... ampun.... Suling Emas....”
Mendengar ini, Lin Lin dan Bok Liong terkejut. Terutama Lin Lin. Jadi penunggang kuda yang gagah perkasa, seorang laki-laki yang belum tua, tampan dan gagah, dia tadi Suling Emas?
“Jembel tua jahat, kau bilang dia Suling Emas? Betulkah itu?” Lin Lin bertanya.
“Sul.... Suling Emas.... tak kenal.... ampun....”
Kakek ini roboh lagi, muntah darah dan tanpa berkelojotan lagi ia menghembuskan napas terakhir!
Melihat terjadi peristiwa pembunuhan, si pedagang tahu cepat-cepat mengangkat pikulannya dan pergi meninggalkan tempat itu juga mereka yang menyaksikan peristiwa itu segera pergi dari situ setelah mendengar disebutnya nama Suling Emas. Nama ini meyakinkan mereka bahwa kakek jembel yang tadi pura-pura buta dan mengemis, tentulah seorang penjahat besar.
“Berbahaya....” kata Bok Liong. “Dia ini kiranya Hek-i Lo-kai dan tentulah dua buah benda tadi adalah dua senjata peledak yang kalau tadi tidak disambar Suling Emas, tentu menghancurkan tubuh kita berdua. Hebat....!”
Tiba-tiba seorang hwesio muda menghampiri mereka dan memberi hormat. Hwesio muda inilah satu-satunya orang yang tidak pergi dan sejak tadi ia menatap wajah Lin Lin.
“Maaf kalau pinceng (aku) mengganggu. Apakah Lihiap (Pendekar Wanita) yang bernama Kam Lin Lin?”
Lin Lin menengok, tercengang dan Bok Liong sudah mengerutkan kedua alisnya yang tebal, siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam keadaan seperti itu, ia menaruh curiga kepada setiap orang.
“Maaf,” kata hwesio itu lagi, “tentu Lihiap merasa heran, akan tetapi pinceng mencari Lihiap atas suruhan Nona Kam Sian Eng. Menurut gambarannya, Lihiap tentu yang bernama Kam Lin Lin, hanya entah, apakah Sicu ini yang bernama Kam Bu Sin....”
Lenyap kecurigaan kedua orang muda itu. Malah Lin Lin berjingkrak gembira sambil bertanya,
“Di manakah Enci Siang Eng?”
“Silakan Ji-wi ikut pinceng, dia berada di kelenteng kami.”
“Bagaimana dia? Selamatkah? Dan dimana Sin-ko? Bagaimana Enci Sian Eng bisa berada di kelentengmu?”
Diberondong pertanyaan-pertanyaan ini, hwesio itu hanya tersenyum, lalu menjawab.
“Tidak leluasa kita bicara di tengah jalan. Marilah, nanti di kelenteng tentu Ji-wi akan mendengar sejelasnya dari Nona Sian Eng sendiri.”
Mereka bertiga segera memasuki kota raja dan menuju ke kelenteng. Lin Lin yang sudah tidak sabar itu lari saja memasuki kelenteng hampir menabrak seorang hwesio tua yang menyapu lantai sehingga hwesio itu menggeleng-geleng kepalanya dan mulutnya bersungut-sungut,
“Omitohud.... cantik liar, jangan-jangan siluman musang....!”
Pada saat itu, Sian Eng keluar dari ruangan dalam. Melihat siapa orangnya yang berlari-lari datang dari luar, ia berteriak girang dan lari menyambutnya. Dilain saat enci adik itu sudah saling rangkul dan saling cium sambil tertawa-tawa gembira.
“Lin Lin, bocah nakal kau!” Siang Eng berseru sambil menciumi adiknya.
“Enci Eng, kau tahu siapa yang kutemui di jalan tadi? Sampai mati kau tentu tidak akan dapat menduga,” bisik Lin Lin dengan wajah tegang, “dia bukan lain adalah Suling Emas!”
Akan tetapi Lin Lin keliru dan kecewa. Kiranya encinya sama sekali tidak kelihatan terkejut, hanya menggumam perlahan,
“Hemmm, ya?” kemudian Sian Eng melihat seorang pemuda berdiri termangu-mangu dan canggung menghadapi pertemuan enci adik yang mesra itu. “Lin Lin, kau maksudkan dia itukah Suling Emas?” Tentu saja Sian Eng bertanya dengan suara berbisik agar tidak terdengar pemuda itu.
“Hi-hik, bukan.... bukan dia. Dia itu sahabat baikku, orangnya baik, kepandaiannya lihai, tapi dia bukan Suling Emas, dia Lie Bok Liong koko. Oya Liong-twako, mari sini! Mari kuperkenalkan dengan Enciku yang lihai dan cantik!”
Bok Liong menjadi merah wajahnya, apalagi melihat betapa Sian Eng dan Lin Lin tadi kasak-kusuk dan sekarang enci itu mencubit adiknya yang tersenyum-senyum nakal. Akan tetapi karena Lin Lin melambaikan tangan memanggilnya dan enci adik itu memandang kepadanya, tidak enak kalau ia tidak menghampiri. Dengan jantung berdebar ia menghampiri mereka lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil menundukkan muka, tidak berani menatap wajah Siang Eng karena merasa sungkan dan malu.
“Liong-twako, betul tidak kataku? Enciku cantik jelita dan.... aduhhh! Galaknya yang tidak nguati (tak tertahankan)!” Kemudian sambil tertawa ia berkata kepada Sian Eng, “Enci Eng, Liong-twako ini baik sekali, menemaniku sepanjang jalan, mengantarku sampai disini, malah di jalan membantu aku menghadapi pengemis-pengemis jahat. Orangnya jujur, sopan, tidak kurang ajar, dan....”
“Hushhh, terlalu kau, Lin Lin!” Sian Eng membentak adiknya, lalu mengangkat kedua tangan di depan dada membalas penghormatan Bok Liong sambil berkata halus, “Harap Lie Bok Liong Taihiap (Pendekar Besar) sudi memaafkan adikku yang nakal dan suka menggoda orang ini. Terima kasih saya haturkan atas kebaikan Taihiap terhadap adikku....”
“Wah-wah-wah, apa-apaan ini? Taihiap-taihiapan segala macam! Aduh, bisa mekar hidung Liong-twako kau sebut Taihiap. Sebut saja Twako, mengapa sih? Terhadap sahabat baik masih banyak sungkan dan peraturan, itu palsu namanya!”
“Eh.... oh.... maaf, Nona.... eh, saya....”
“Nah-nah-nah, Taihiap dan Nona, Tuan dan Nyonya, jemu aku mendengarnya! Liong-twako, dia ini Enci Siang Eng, Enciku sendiri, tahu kau? Kalau kau menyebut aku Lin-moi, Moi-moi, kadang-kadang Siauw-moi, mengapa kepada Enciku kau menyebut Nona? Kalau begitu kau pun harus menyebut aku Nona Besar dan aku akan menyebutmu Tuan Besar. Hayo, bagaimana?”
Memang nakal sekali Lin Lin. Ia tidak peduli akan segala perasaan sungkan, bingung dan malu yang dirasakan oleh Bok Liong di saat itu. Sian Eng merasa kasihan terhadap korban kenakalan adiknya ini. Hemmm, pikirnya, pemuda ini agaknya pendiam dan baik, tentu saja bukan lawan Lin Lin. Teringat ia akan Suling Emas yang aneh wataknya dan tidak pedulian itu. Rasakan kau nanti Suling Emas, kalau sampai jumpa dengan adikku Lin Lin, bisa mati berdiri kau dipermainkan! Tiba-tiba ia teringat akan pemberitahuan Lin Lin tentang Suling Emas tadi, wajahnya berubah serius.
“Lin Lin, jangan mengganggu orang. Kita masih harus bicara banyak. Sin-ko sampai sekarang belum juga datang.”
Lin Lin sadar lalu menoleh kepada Bok Liong.
“Liong-twako, jangan marah, ya? Aku juga berterima kasih padamu, lho! Kau memang baik sekali kepadaku. Sekarang aku sudah bertemu dengan Enci Sian Eng, hanya tinggal kakakku Bu Sin yang masih belum kami ketahui berada dimana. Apakah kau suka menolongku mencarinya, Twako?”
“Aku akan girang sekali kalau dapat membantumu mencari kakakmu, Lin-moi. Tentu akan kutanya-tanyakan kepada kenalanku, harap jangan khawatir.”
“Kalau begitu, aku dan Enci Sian Eng akan menanti disini beberapa hari, menanti berita darimu tentang Sin-ko.”
“Lin Lin, Lie Bok Liong Ta....”
“.... Twako....!” Lin Lin memotong.
Siang Eng merah mukanya dan memandang tamunya kebetulan Bok Liong juga memandang. Terpaksa dua orang muda yang menjadi malu dan jengah ini tersenyum dan seketika suasana menjadi lebih wajar, rasa malu menipis.
“Baiklah! Liong-twako masih lelah, baru saja datang masa sudah kau serahi tugas lagi. Jangan keterlaluan, dumeh (mentang-mentang) orang suka menolong kau lalu menekan.”
“Ah, tidak.... sama sekali tidak!” Bok Liong cepat membantah. “Ji-wi Moi-moi (Adik Berdua) tak usah sungkan. Aku sudah mendengar semua dari Lin-moi dan aku pasti akan berusaha sedapat mungkin untuk mencari berita tentang kakak kalian. Harap saja dalam waktu dua pekan ini kalian tidak pergi dari tempat ini, atau andaikata pergi dan pindah juga, memberi tahu kepada para Losuhu disini sehingga kalau aku datang, aku akan dapat tahu kemana harus menjumpai kalian untuk menyampaikan hasil usahaku mencari kakak kalian, sekarang aku pamit dulu.”
Melihat Bok Liong memberi hormat lalu mundur dan hendak pergi, Lin Lin cepat berseru.
“Twako, nanti dulu!”
“Ada apa?”
Terlalu cepat Bok Liong membalikkan tubuh dan sinar yang memancarkan kasih mesra tak terlepas daripada pandang mata yang awas.
“Aku pesan.... kalau kau bertemu dengan jembel-jembel jahat itu....”
“Ya, lalu bagaimana?”
“Aku titip tiga pukulan atau sekali tusukan pedang.”
Bok Liong tertawa dan mengangguk-angguk.
“Dan jangan lupa, kalau kau berjumpa dia di jalan katakan....”
“Dia siapa?”
“Siapa lagi kalau bukan Suling Emas? Katakan bahwa aku menanti di kelenteng ini dan sampaikan tantanganku kepadanya!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar