FB

FB


Ads

Senin, 13 Mei 2019

Suling Emas Jilid 168

Kakek gila Bhe Kiu dan Bhe Ciu lalu lari ketakutan dari tempat itu ketika mereka teringat bahwa orang mati bisa menjadi setan. Mereka lari ketakutan mencari kuda tunggangan Kong Lo Sengjin. Seperti biasa, mereka berebut menunggang kuda dan membalapkan kuda itu mengelilingi pulau dengan maksud menjauhkan diri dari dua mayat manusia itu.

Akan tetapi karena pulau itu tidak begitu besar dan kuda itu dapat berlari cepat sekali, setelah lari seputaran kembali mereka melihat dua mayat yang duduk bersandar pohon dan batu. Mereka makin ketakutan dan kembali membalapkan kuda. Pada saat itu, secara kebetulan sekali sebuah perahu dagang yang berlayar dari selatan, terdampar di pantai Pulau Pek-coa-to setelah sehari semalam perahu itu jadi permainan badai dan ombak. Tigapuluh dua orang penumpang lalu melompat turun mendarat untuk mencari makan dan minum karena semua ransum habis disapu air laut.

Tiba-tiba mereka mendengar suara derap kaki kuda dan....dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka ketika melihat dua orang kakek setengah telanjang menunggang kuda itu dengan cara yang luar biasa. Si Kakek Gendut berpunuk duduk di leher kuda sambil memegangi kedua telinga kuda, sedangkan Si Kakek Kurus menggantung pada ekor kuda di sebelah belakang!

Akan tetapi perasaan kaget dan heran ini segera berubah menjadi kacau ketika kuda itu menerjang ke arah mereka dan kedua kakek itu berteriak-teriak tidak karuan. Mereka cepat mencabut senjata masing-masing, ada yang mencabut pedang, ada yang menghunus golok, namun tidak ada gunanya karena Bhe Kiu dan Bhe Ciu sudah mengamuk hebat.

Dari atas kuda, kedua orang manusia iblis ini melayangkan pukulan, tendangan, dan setiap kali kaki atau tangan mereka bergerak, tentu ada seorang yang ditendang, dipukul atau dilempar ke atas seperti orang melempar-lemparkan tikus saja!

Hebatnya, mereka yang terkena tendangan atau pukulan, roboh untuk selamanya karena napasnya putus seketika! Dua orang manusia iblis itu memang wataknya aneh dan tidak normal. Pernah ketika mereka sembuh dari gigitan seekor kelabang berbisa, mereka mengamuk dan membunuh semua kelabang yang ada di pulau itu, baik kelabang kecil maupun besar, ataupun binatang merayap yang mirip kelabang!

Sekali membunuh, mereka seperti mabok dan tidak akan berhenti kalau belum terbunuh semua. Pada saat itu, mereka pun seperti mabok. Sambil berteriak-teriak, tertawa-tawa dan kadang-kadang bertepuk-tepuk tangan, Bhe Kiu dan Bhe Ciu menyerbu, kadang-kadang dari atas kuda, kadang-kadang turun dan meninggalkan kuda. Mereka menghantam, menendang, membanting, mencekik. Belum setengah jam lamanya, tiga puluh dua orang itu sudah menggeletak malang-melintang dalam keadaan tak bernyawa lagi!

Bhe Kiu si kakek yang berpunuk gendut, sudah merobek paha seorang lawan dan menjilati darahnya, hendak makan daging paha itu. Agaknya bagi manusia tidak normal ini, daging paha manusia tiada bedanya dengan daging paha seekor kijang atau kelinci!

Akan tetapi ia melepas korbannya ketika mendengar Bhe Ciu berteriak-teriak. Ia melompat dan lari ke pantai di mana Bhe Ciu sedang mendorong-dorong perahu besar milik para korban tadi. Keduanya menjadi girang, seperti dua orang anak kecil mereka mendorong perahu besar itu ke tengah, kemudian mereka menari-nari di atas perahu ketika angin meniup layar perahu dan membuat perahu melaju ke tengah.

Akan tetapi kegirangan mereka hanya sebentar saja. Karena perahu itu tidak dikemudikan, maka menjadi berputar-putar dan sebentar saja kedua orang aneh itu menjadi mabok laut. Mereka muntah-muntah, terhuyung-huyung dan merusak semua yang terdapat di atas perahu. Bahkan tiang layar pun mereka robohkan, layarnya dirobek-robek dan akhirnya keduanya begitu mabok sehingga jatuh terlentang di atas dek perahu dalam keadaan pingsan!

Namun agaknya setan hendak mempergunakan dua manusia buas ini untuk mengacau dunia. Dua hari kemudian perahu mereka terdampar di darat. Bhe Kiu dan Bhe Ciu telah sembuh dari keadaan mabok. mereka melompat ke darat lalu berlari-lari memasuki sebuah kampung kecil. Geger di kampung itu dan kembali belasan orang menjadi korban keganasan Bhe Kiu dan Bhe Ciu.

Demikianlah, mulai saat itu, di dunia kang-ow muncul dua orang manusia aneh yang amat sakti, buas dan menyeramkan. Lambat-laun mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan dunia ramai, namun watak liar mereka masih saja menempel sehingga mereka kemudian terkenal sebagai dua orang di antara Si Enam Jahat di dunia kang-ouw.

Bhe Kiu yang gemuk pendek berpunuk mendapat julukan Toat-beng Koai-jin (Manusia Aneh Pencabut Nyawa). Adapun Bhe Ciu yang tinggi kurus dan seperti kanak-kanak itu dijuluki orang Tok-sim Lo-tong (Bocah Tua Berhati Racun)!

Agaknya pengalaman mencicipi daging dan darah manusia sebelum meninggalkan Pulau Pek-coa-to, membuat Toat-beng Koai-jin Bhe Kiu suka akan daging manusia. Kadang-kadang ia menangkap anak-anak yang gemuk dan berkulit bersih untuk dimakan dagingnya dan diminum darahnya.






Kebiasaan ini membuat tubuhnya mengeluarkan hawa beracun, menambah racun yang telah dimilikinya ketika ia menjadi korban gigitan-gigitan serangga dan ular berbisa. Ia menjadi makin ganas dan makin lihai. Adapun Tok-sim Lo-tong Bhe Ciu setelah terkenal sebagai manusia iblis di dunia kang-ow, agaknya tidak melupakan kebiasaannya bermain-main dengan segala macam ular berbisa ketika berada di Pek-coa-to sehingga ia mempergunakan ular berbisa pula sebagai senjata.

Kalau saja Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tahu betapa ia telah mendidik dua orang murid yang berubah menjadi iblis mengerikan, kiranya ia akan merasa malu dan kecewa sekali. Biar pun Kong Lo Sengjin sendiri di waktu hidupnya tidak segan-segan berlaku ganas dan licik, namun semua itu ia lakukan dengan tujuan yang dianggapnya baik dan murni, yaitu mendirikan kembali Kerajaan Tang yang sudah runtuh.

Demikianlah keadaan di Pulau Pek-coa-to yang ditemukan dalam keadaan mengerikan oleh tiga orang bekas pembantu Kong Lo Seng-jin. Sam Wha, A-liong dan A-kwi bukanlah orang biasa, melainkan bekas orang-orang besar di jaman jayanya Kong Lo Sengjin. Mereka bukanlah orang jahat. Melihat keadaan di pulau itu, mereka menjadi menyesal dan semua semangat dan cita-cita mereka ikut mati bersama matinya majikan mereka.

Insyaflah mereka betapa selama puluhan tahun mereka itu diperalat oleh Kong Lo Sengjin dan mulailah mereka menyesal. Mereka sudah amat tua dan mereka bertiga mengambil keputusan untuk tinggal di Pulau Pek-coa-to sampai mati, bertapa dan bersembunyi diri, hitung-hitung menebus dosa.

Suling Emas meninggalkan istana Kerajaan Sung dan mulailah ia berkelana seorang diri. Dengan pakaian yang berlukiskan suling, pemberian Kaisar, ditambah perbuatannya yang gagah berani, selalu mengulurkan tangan menolong mereka yang patut ditolong, memberantas perbuatan orang-orang jahat, menegakkan kebenaran dan keadilan, sebentar saja nama Suling Emas dikenal dan dunia kang-ouw gempar dengan munculnya pendekar muda yang sakti ini.

Namun karena Suling Emas membatasi diri, hanya muncul untuk mencegah penindasan dan kejahatan, sama sekali tidak mengganggu orang-orang kang-ouw dan liok-lim, tidak memusuhi dunia hitam, maka ia pun tidak dimusuhi secara langsung oleh dunia penjahat.

Bertahun-tahun ia berkelana seorang diri, mengunjungi tempat-tempat bersejarah, dengan niat hati hendak melupakan segala kepahitan hidup yang telah dialaminya. Namun tak pernah ia berhasil. Hatinya tetap kosong dan perih, wajahnya tetap suram dan pandang matanya sayu. Ia selalu merasa sunyi dan apabila kesunyian sudah tak terkendali lagi, ia hanya menghibur diri dengan sulingnya. Hanya kalau ia meniup suling melagukan nyanyian sajak kitab kecil yang sudah dihafalkan, barulah hatinya yang merana agak terhibur.

Lima tahun berlalu amat cepatnya. Suling Emas telah berusia dua puluh delapan tahun. Pengalamannya sudah cukup banyak. Entah berapa ratus orang jahat ia robohkan dan ia insyafkan. Suling Emas tidak Suka membunuh orang, selalu berusaha menginsyafkan penjahat-penjahat yang telah ia kalahkan. Banyak pula orang-orang yang telah ditolongnya dari pada marabahaya, ingin menariknya sebagai mantu. Banyak pula gadis-gadis jelita yang telah ditolongnya, ingin membalas budi dengan penyerahan jiwa raganya.

Namun semua itu ditolak Suling Emas dengan sikap halus dan tidak menyakitkan perasaan. Suling Emas yang telah dua kali hancur hatinya oleh kegagalan asmara, berjanji di dalam hatinya takkan bermain cinta lagi. Ia telah menjadi penakut, seakan-akan bertobat untuk melibatkan diri dalam asmara, setelah mengalami betapa hebatnya penderitaan batin karena kegagalan asmara.

Perjalananya menuju ke Nan-cao untuk menemui kakeknya, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan Ketua Beng-kauw, dilakukan dengan jalan memutar karena memang ia ingin menjelajah seluruh propinsi. Kadang-kadang ia tinggal di tempat-tempat indah, seperti telaga-telaga, atau puncak-puncak gunung sampai sebulan dua bulan. Oleh karena inilah, selama lima tahun, baru kakinya menginjak perbatasan Negara Nan-cao.

Kerajaan Nan-cao, adalah kerajaan yang kecil saja di selatan. Namun melihat keadaan dusun dan kotanya yang ramai, rakyatnya yang hidup makmur, tidak tampaknya orang-orang berpakaian jembel dan pengemis, menunjukkan bahwa penguasa Nan-cao adalah orang-orang pandai.

Apalagi setelah Suling Emas bermalam di sebuah dusun, ia mendapat kenyataan bahwa rumah-rumah di seluruh Nan-cao di waktu malam atau kalau sedang ditinggal pergi penghuninya, pintu dan jendelanya tak pernah dikunci. Hal ini hanya membuktikan bahwa penduduk hidup dalam suasana aman tenteram, tidak takut barang-barangnya dicuri karena memang tidak pernah ada pencuri!

Penuh kekaguman hati Suling Emas menyaksikan ini semua. Rakyat hidup tidak mewah, namun cukup dan pada wajah mereka terbayang kepuasan. Ia kagum dan juga girang karena bukankah kakeknya yang menjadi guru negara dan orang terpenting di situ?

Sama sekali Suling Emas tidak tahu bahwa selain merupakan negara kecil yang makmur, juga Nan-cao penuh dengan petugas-petugas yang setia, rajin dan pandai. Begitu ia menginjakkan kaki di perbatasan Nan-cao, dirinya selalu menjadi incaran dan diam-diam gerak-geriknya selalu ada yang mengawasi!

Bahkan kedatangan Suling Emas di Nan-cao sudah diketahui oleh pusat Beng-kauw di kota raja karena mata-mata yang berjaga di sekitar perbatasan sudah memberi laporan lebih dulu. Nama Suling Emas sudah terdengar sampai di negara kecil ini, dan sekali melihat baju bersulamkan suling itu, para petugas segera dapat mengenalinya.

Pagi hari itu Suling Emas memasuki pintu gerbang kota raja Nan-cao yang daun pintunya berwarna merah. Ia berjalan perlahan, melirik ke arah para penjaga yang berdiri tegak di kanan kiri pintu! Namun para penjaga ini tidak menghiraukannya. Dari keadaan para penjaga ini saja Suling Emas sudah dapat melihat perbedaan.

Di kerajaan-kerajaan lain di utara dan tengah, para penjaga pintu gerbang kota raja selalu melewatkan waktu dengan main kartu, main catur, bergurau atau menggoda wanita-wanita yang lewat. Akan tetapi para penjaga disini berdiri tegak, mata menyapu setiap orang yang lewat. Pendeknya sikapnya berdisiplin. Di tengah pintu gerbang terdapat tulisan digantung, berbunyi: Dilarang membawa senjata tajam ke dalam kota raja.

Suling Emas merasa puas. Agaknya pemerintah Nan-cao sudah hampir berhasil menghilangkan kejahatan di negaranya. Akan tetapi, belum jauh ia memasuki kota raja, dari sebelah depan datang serombongan pasukan terdiri dari dua belas orang berpakaian seragam, dikepalai oleh seorang gadis muda yang cantik sekali! Seorang gadis yang selain cantik jelita, juga berpakaian aneh.

Pakaiannya dari sutera yang indah, hampir hitam seluruhnya kecuali lengan kanan dan kaki kiri! Lengan baju dan kaki celana ini berwarna putih. Benar-benar lucu. Lengan kiri hitam lengan kanan putih, dan sebaliknya kaki kiri putih kaki kanan hitam. Selama hidupnya belum pernah ia melihat pakaian begini aneh, maka ia memandang dengan mata terbelalak. Baru ia sadar ketika melihat pasukan ini berhenti tepat di depannya, dan mata gadis yang bening tajam itu memandangnya dengan pandangan mata menyelidik. Demikian pula pandangan mata dua belas orang anak buahnya!

Karena kagum melihat sikap gadis berpakaian hitam putih yang jelas membayangkan kegagahan itu, Suling Emas berhenti berjalan dan memandang penuh perhatian. Setelah beradu pandang sesaat, gadis itu segera menegur dengan suara nyaring, kata-katanya penuh kewibawaan seperti suara orang yang biasa memerintah,

"Bukankah engkau yang bernama Suling Emas?"

Suling Emas tersenyum. Dalam pandangan matanya, lucu juga gadis yang amat muda ini bersikap seperti orang tua. Ia dapat menduga bahwa gadis seperti ini tentulah mempunyai kedudukan yang penting di kota raja itu, maka ia tidak berani bersikap sembrono dan ia menjura dengan hormat, mengangkat kedua tangannya ke depan dada.

"Memang benar dugaan Nona. Orang-orang menyebutku Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)."

"Dari kerajaan Sung?" potong nona itu dengan suara galak.

"Memang benar aku datang dari kota raja Kerajaan Sung," jawab Suling Emas sejujurnya.

Para anak buah gadis itu mengeluarkan suara mendengus tak puas, dan pandang mata mereka semua penuh curiga.

"Mau apa kau memasuki negara kami? Apakah kau hendak memata-matai kerajaan kami?" Gadis itu kini melangkah maju, sikapnya mengancam.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar