FB

FB


Ads

Senin, 13 Mei 2019

Suling Emas Jilid 167

Suling Emas tidak berani membantah. Dalam keadaan berlutut, ia menengadah. Sejenak Kaisar menatap wajah yang tampan itu, kemudian menarik napas panjang dan bersabda,

"Semuda ini sudah mengalami hal sehingga benci akan kenangan-kenangan lalu dan membuang nama. Cukup, Suling Emas, sekarang berdirilah agar enak kami bicara."

Dengan gerakan amat hormat Suling Emas bangkit berdiri. Kembali Kaisar memandang tajam dan mengagumi bentuk tubuh tinggi tegap itu. Timbul rasa suka kepada orang muda ini dan ia berkata,

"Suling Emas, kami telah berhutang budi kepadamu. Setelah kau berhasil menyelamatkan putera kami, jasamu besar sekali dan hadiah apakah yang dapat kami berikan kepadamu?"

"Ampun, Tuanku. Hamba hanya melakukan apa yang wajib dilakukan oleh setiap orang. Hamba tidak mengaharapkan hadiah apa-apa."

Makin suka hati Kaisar mendengarkan jawaban ini. Ia tertawa,
"Kau seorang muda yang gagah perkasa dan berhati bersih. Kami percaya bahwa engkau tidak mengaharapkan hadiah, Suling Emas. Akan tetapi saking gembira dan berterima kasih hati kami, kami ingin memberikan hadiah yang patut bagimu. Bagaimanakah kalau engkau kami angkat menjadi kepala pengawal dalam istana? kami sekeluarga akan merasa tentram dan aman apabila engakau menjadi kepala pengawal disini."

"Mohon Paduka sudi memberi ampun. Hamba seorang perantau yang lebih senang hidup bebas di alam terbuka, tidak berani hamba menerima kurnia yang amat besar ini."

Kaisar diam sejenak, berpikir-pikir. Kemudian berkata lagi,
"Memang manusia segolonganmu amat aneh. Pernah kami bertemu dengan Kim-mo Taisu yang juga amat aneh wataknya."

Kaisar tidak tahu betapa di dalam hatinya, Suling Emas berdebar-debar mendengar nama mendiang suhunya disebut-sebut.

"Maka kami serahkan kepadamu sendiri Suling Emas, jangan bikin kecewa hati kami. Pilihlah, apa yang dapat kami lakukan untukmu sekedar untuk membuktikan bahwa kami amat berterima kasih kepadamu. Kalau kau selalu menolak, hati kami akan merasa tidak enak dan tidak senang."

Suling Emas sudah banyak mempelajari filsafat, sudah tahu pula akan sifat manusia. Seorang Kaisar pun hanya seorang manusia biasa, tidak akan jauh bedanya dengan manusia umum. Tentu ingin membalas rasa syukur dan hutang budi, baru lega hatinya.

"Baiklah, Tuanku Kaisar. Hamba akan merasa berterimakasih dan girang sekali apabila Paduka sudi mengijinkan hamba untuk dapat masuk keluar dengan bebas, terutama sekali di perpustakaan istana. Hamba... adalah seorang kutu buku, dan... hamba mendengar betapa perpustakaan istana amatlah lengkap. Hamba ingin membaca kitab sebanyak-banyaknya."

"Ha-ha-ha!"

Kaisar tertawa bergelak, dan semua pembesar yang hadir ikut pula tetawa. Tidak hanya karena latah, melainkan juga karena memang geli mendengar orang muda itu memilih hadiah seperti itu.

"Boleh! Boleh! He, pengawal, sampaikan kepada semua petugas dalam istana dan kepada penjaga perpustakaan, mulai saat ini Suling Emas boleh masuk keluar dan membaca kitab mana saja ia sukai. Ha-ha-ha! Selain itu, Suling Emas. Apa lagi? Kami memberi kesempatan satu lagi. Pilihlah!"

Suling Emas merasa bingung. Tadinya ia terpaksa minta ijin itu karena tidak mau mengecewakan hati Kaisar dan memang ia paling suka membaca kitab. Akan tetapi kini harus memilih satu lagi! Apakah yang menarik hatinya dan ingin ia dapatkan dari dalam istana ini? Ia tidak menginginkan apa-apa.

Tiba-tiba ia teringat kepada Suma Ceng! Suma Ceng sudah menjadi istri seorang pangeran dan tinggal di lingkungan istana pula! kalau saja Suma Ceng masih gadis , belum menjadi istri orang lain, sudah dapat ia pastikan ia akan "berani mati" minta dijodohkan dengan Suma Ceng! Akan tetapi, bagaimana ia bisa berpikir seperti itu? Melihat wajah pemuda itu termenung dan agak pucat, Kaisar bertanya lagi,

"Jangan ragu-ragu dan takut-takut, Suling Emas. Katakanlah apa yang kau kehendaki, yang kau pilih. Kami akan mengabulkannya!"






Dalam gugupnya dan dalam kemarahan pada diri sendiri yang berpikir bukan-bukan mengenai Suma Ceng, Suling Emas menjawab sedapatnya,

"Hamba... hamba mohon supaya diberi kebebasan pergi ke... dapur istana dan minta masakan apa saja dari petugas dapur!"

Kini para hadirin yang tertawa bukanlah latah, bahkan mendahului Kaisar. Ramailah ruangan itu. Suara ketawa baru berhenti ketika Kaisar mengangkat kedua lengannya ke atas.

"Ha-ha-ha, jangan berkecil hati, Suling Emas. Kami dan semua yang hadir tertawa karena lucu dan terharu akan kesederhanaan hatimu. Baiklah, setiap saat kau boleh masuk dapur dan makan sekenyangmu. Juga kalau engkau memerlukan pakaian atau apa saja, tidak usah ragu-ragu, beritahukan kepada kepala pengawal, pasti akan kami beri. Selain dua hadiah itu, kamipun hendak memberi beberapa pasang pakaian yang sekiranya pantas dan cocok dipakai Suling Emas, pendekar perkasa yang menjadi sahabat seisi istana Kerajaan Sung yang jaya!"

Suling Emas tidak berani menolak, juga ia menerima undangan Kaisar untuk tinggal di istana selama ia suka, menikmati isi perpustakaan yang amat lengkap. Beberapa hari kemudian ia menerima lima pasang pakaian dari sutra hitam yang amat halus dan indah. Bajunya dari sutra hitam, celananya ada yang putih ada yang kuning dan pada setiap baju, di bagian dada, tersulam benang emas sebentuk bulan dengan sebatang suling menyilang.

Kaisar memegang teguh janjinya. Suling Emas dapat bergerak leluasa di dalam istana, dan setiap saat, biar malam sekalipun, ia berani masuk perpustakaan istana. Apabila pintunya sudah tertutup rapat di waktu malam dan penjaganya duduk mengantuk di depan pintu, Suling Emas memasuki gedung perpustakaan dari atas genteng.

Semua petugas istana tidak pernah mengganggunya dan semenjak itu, nama Suling Emas amatlah dikenal. Apalagi setelah ia mengenakan pakaian anugerah Kaisar. Tidak seorang pun tahu bahwa pendekar besar ini hanya beberapa tahun yang lalu adalah seorang juru tulis Pangeran Suma Kong dan menderita hukum siksa oleh Suma-Kongcu karena berani bermain cinta dengan puteri Pangeran Suma Kong yang kini menjadi isteri Pangeran Kiang.

Hanya beberapa pekan lamanya Suling Emas menikmati kemewahan istana. Pada suatu hari, orang tidak melihat bayangannya lagi karena Suling Emas telah pergi meninggalkan istana tanpa pamit. Kamarnya kosong dan di situ hanya terdapat tulisan huruf indah di atas tembok kamar:

Di bawah bimbingan Kaisar bijaksana rakyat makmur negara aman sentausa

Kaisar diberi laporan akan kepergian Suling Emas, hanya mengangguk dan selanjutnya memberi perintah agar kamar itu selalu dipersiapkan untuk Suling Emas. Tulisan dalam kamar itu amat menyenangkan hati Kaisar yang diam-diam merasa kecewa bahwa Suling Emas tidak mau menjadi pengawal pribadinya.

Sesungguhnya bukan hanya karena gagal menculik putera Kaisar saja yang memaksa A-liong, A-kwi dan Sam Hwa tergesa-gesa kembali ke Pek-coa-to, tidak mau berusaha lagi menculik pangeran kecil seperti yang ditugaskan kepada mereka oleh Kong Lo Sengjin. Terutama sekali karena melihat Suling Emas di tangan orang muda itulah yang membuat mereka khawatir sekali akan keadaan majikan mereka.

Mereka tahu benar bahwa suling emas pusaka keramat itu tadinya berada di tangan sastrawan Ciu Bun yang berada di Pulau Pek-coa-to. Pulau yang sukar didatangi orang, dan pula, selain Kong Lo Sengjin sendiri yang sering kali berada di pulau, juga disana terdapat dua orang murid majikan mereka yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, yaitu Bhe Ciu dan Bhe Kiu. Bagaimana sekarang tahu-tahu suling emas itu terjatuh di tangan murid Kim-mo Taisu?

Ketika tiga orang tua ini mendarat di Pulau Pek-coa-to, mereka menjadi kaget sekali. Majikan mereka, Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Cow Pa Ong, bekas pangeran Tang yang dengan gigih selama hidupnya berjuang untuk menegakkan kembali kerajaan yang sudah roboh itu, telah menjadi mayat! Kakek lumpuh itu telah mati dalam keadaan duduk bersila bersandar pohon dan sebuah kitab kecil berada di kedua tangannya. Berhadapan dengan Kong Lo Sengjin, juga duduk bersila bersandar batu besar dan sudah menjadi mayat, adalah sastrawan Ciu Bun!

Sam Hwa, A-liong dan A-kwi cepat memeriksa. Ternyata kedua orang itu sama sekali tidak terluka. Agaknya mereka mati wajar, dan sebelum mati mereka itu agaknya bercakap-cakap membicarakan kitab kecil yang berada di kedua tangan Kong Lo Sengjin.

Dengan hati-hati mereka mangambil kitab kecil dari tangan Kong Lo Sengjin, lalu mengurus penguburan kedua orang itu. Penguburan yang sederhana dan sunyi tanpa upacara apa-apa karena di dalam pulau kosong itu memang tidak ada apa-apa.

Mereka bertiga merasa heran mengapa tidak tampak bayangan Bhe Kiu dan Bhe Ciu. mereka mencari-cari di dalam pulau dan memanggil-manggil, namun tidak terdengar jawaban. Ketika mereka tiba di tepi laut, di pantai sebelah selatan Pulau Pek-coa-to, mereka terkejut bukan main melihat mayat tergeletak malang melintang di sekitar pantai dan mereka semua mati dalam keadaan terluka oleh pukulan-pukulan dahsyat.

Kuda Liong-ma milik Kong Lo Sengjin, yaitu kuda bekas tunggangan Sang Pangeran, seekor kuda yang mahal, juga telah menjadi bangkai, tubuhnya penuh luka bacokan senjata tajam. Tiga orang tua itu saling memandang, terheran-heran menyaksikan keadaan yang mengerikan itu. Akhirnya, mereka tidak dapat berbuat lain kecuali mengubur semua mayat yang sudah hampir busuk itu.

Apakah yang sesunggunya terjadi dan kemana perginya Bhe Kiu dan Bhe Ciu dua orang manusia aneh murid dan pelayan Kong Lo Sengjin? Beberapa hari yang lalu, seorang diri Kong Lo Sengjin mendarat di pulau Pek-coa-to dalam keadaan terluka hebat. Ia terluka di sebelah dalam tubuhnya akibat adu tenaga dengan Kim-mo Taisu.

Sebagai seorang ahli silat tinggi yang sakti, kakek ini maklum bahwa lukanya amat parah, tak mungkin lagi dapat disembuhkan lagi. Akan tetapi dia tidak peduli. Ia sudah terlalu tua, pula ia selalu gagal dalam perjuangannya. Ia malah ingin cepat-cepat menemui maut.

Begitu memasuki pulau, serta merta ia mencari Ciu Bun, bekas sahabatnya yang ia jadikan tawanan di pulau itu. Ingin ia tahu apa yang telah terjadi sehingga suling emas dapat berada di tangan murid Kim-mo Taisu. Ketika ia menemui Ciu Bun, ternyata kakek sastrawan itu tengah duduk bersila bersandar batu dan membaca kitab kuno dengan asyiknya. Melihat kitab itu Kong Lo Sengjin berteriak girang.

"Ah, kau telah mendapatkan kitabnya?" Ia segera duduk pula di depan Ciu Bun.

Ciu Bun bergerak lemah dan wajahnya pucat seperti mayat, namun membayangkan kepuasan dan kebahagiaan.

"Ya, kutukar dengan sulingnya. Kau sudah bosan akan suara suling itu, sekarang dengarlah sajak-sajak dalam kitab ini, Sengjin."

"Bacakanlah."

Ci Bun lalu mulai membaca sajak. Suaranya masih keras dan diantara angin yang bertiup dari laut menyapu permukaan pulau itu, terdengarlah nyanyian sajak yang aneh dan menggetarkan kalbu.

Kong Lo Sengjin duduk bersila, tak bergerak gerak. Ketika matahari condong ke barat, suara Ciu Bun masih terdengar membacakan sajak terakhir. Begitu habis sajak terakhir itu ia menyanyikan, terdengar keluhan panjang dan tubuh Kong Lo Sengjin menjadi lemas, bersandar pada batang pohon dan nyawanya melayang diantara gema suara nyanyian sajak terakhir.

"....akhirnya semua itu kosong hampa, sesungguhnya tidak ada apa-apa!"

Pada keesokan harinya, terdengar suara ribut-ribut di tempat itu. Kiranya dua orang kakek yang seperti kanak-kanak, juga seperti iblis, Bhe Kiu dan Bhe Ciu, telah berada disitu. Melihat betapa majikan dan guru mereka telah tak bernapas lagi, juga kakek tukang suling seperti yang mereka sebut kepada Ciu Bun, sudah mati, mereka berteriak-teriak menantang orang yang tak tampak yang dianggapnya membunuh Kong Lo Sengjin, lalu menangis menggerung-gerung bergulingan di atas tanah, merobohkan pohon-pohon dan batu-batu besar, memaki-maki kemudian tertawa-tawa karena geli menyaksikan tingkah laku masing-masing.

Memang Ciu Bun juga menghembuskan napas terakhir setelah ia mendekati dan menemukan kenyataan bahwa sahabatnya itu telah meninggal dunia. Sambil menarik nafas panjang Ciu Bun mengerahkan tenaganya merangkak dan menaruh kitab kecil di dalam kedua tangan mayat sahabatnya, kemudian ia kembali duduk bersandar batu. Sudah berhari-hari dia duduk di situ, tanpa makan dan minum menanti datangnya maut karena ia merasa bahwa tubuhnya sudah tidak kuat lagi. Akhirnya ia menghembuskan napas terakhir lewat tengah malam.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar