FB

FB


Ads

Sabtu, 11 Mei 2019

Suling Emas Jilid 161

Sejenak mereka itu memperlihatkan muka malu, akan tetapi pengemis muda itu, yaitu yang termuda diantara mereka, baru tiga puluh lima tahun, lalu membentak marah.

"Urusan sesama kaum kai-pang (perkumpulan pengemis) tidak ada hina-menghina, pula merupakan urusan dalam, bukan urusanmu. Akan tetapi engkau ini orang luar berani menghina kami? Tidak tahukah bahwa kami adalah bekas orang-orang Sin-kauw-bukoan yang terkenal?"

Bu Song tersenyum. Tentu saja dia tidak pernah mendengar Sin-kauw-bukoan (Perguruan Monyet Sakti). Kalau mereka ini bekas orang-orang perguruan silat ternama, mengapa sekarang menjadi pengemis? Bahkan agaknya golongan pengemis yang paling rendah tingkatnya. Buktinya tadi diperhina oleh pengemis lain yang jelas kepandaiannya tidak berapa tinggi, mereka ini tidak berani melawan.

"Aku bicara sejujurnya. Siapa menghina? Dan kau ini galak amat, mau apa?"

Bu song sengaja memancing kemarahan orang dan cepat sekali pengemis itu menerjangnya dengan pukulan ke arah dada disusul dengan tangan kiri mencengkeram ke arah lambung.

Memang Bu Song hendak menguji kepandaian mereka ini, terutama kepandaian mereka yang menjadi guru dan setingkatnya. Dengan tenang ia menggerakkan kakinya mundur dua langkah, sengaja berlaku lambat untuk memancing lawannya.

Benar saja, lawannya terkena pancingannya karena menyangka bahwa ia tidak begitu lihai sehingga dengan girang lawannya sudah menubruk maju, kedua tangannya mencengkeram ke arah dada dengan keyakinan pasti kena. Bu Song memiringkan tubuhnya, menyampok dari samping dan mengerjakan kakinya, yaitu ujung sepatunya menotok sambungan lutut. Tak dapat dicegah lagi pengemis itu terguling!

Terdengar teriakan keras dan tahu-tahu orang yang disebut adik seperguruan kakek itu tadi menyerbu. Pukulannya jauh lebih cepat dan berat jika dibandingkan dengan murid keponakannya yang kini sudah merangkak bangun sambil memijit-mijit lututnya.

Diam-diam Bu Song makin terheran. Kepandaian murid tadi, apalagi paman guru ini, agaknya sudah lebih dari cukup untuk mengalahkan pengemis baju bersih yang menghina tadi. Apalagi kepandaian Si Kakek yang berjuluk Sin-kauw-jiu itu! Mengapa mereka sama sekali tidak melawan tadi dan kini terhadap seorang luar seperti dia, biarpun kata-katanya sejujurnya dan sama sekali tidak bisa dibilang menghina, mereka sudah turun tangan? Di samping keheranannya ini, hatinya pun tertarik dan suka kepada para pengemis baju kotor ini.

Jelas bahwa jika maju seorang demi seorang, mereka itu bukan tandingannya. Namun mereka tidak mau maju mengeroyok. Hal ini saja membuktikan bahwa mereka ini bukan golongan orang-orang jahat yang mengandalkan kepandaian atau teman banyak untuk berlaku sewenang-wenang dan menghina orang lain. Sikap mereka terhadapnya adalah sikap orang gagah yang hendak memperebutkan kebenaran dan kehormatan dengan ilmu kepandaian secara gagah pula.

Karena tertarik dan ingin berkenalan, Bu Song tidak mau mempermainkan lawannya terlalu lama. Dengan gerakan indah, ia berhasil merobohkan lawannya dengan sebuah dorongan yang disertai tenaga dalam. Biarpun dorongannya tidak menyentuh dada orang, namun pengemis itu tetap saja tanpa dapat ia pertahankan lagi, roboh terjengkang ke belakang dan hanya dengan berjungkir balik saja ia dapat menyelamatkan diri tidak terbanting keras! Namun hal ini sudah cukup membuka matanya bahwa orang muda yang kelihatan lemah ini sama sekali bukan tandingannya.

"Kau hebat, orang muda!"

Orang ketiga yang lebih tua sudah menyambar ke depan. Orang ini adalah kakak seperguruan dari yang tadi roboh, merupakan orang ke dua di Sin-kauw-bukoan. Pukulannya mengandung tenaga Iwee-kang yang ampuh dan kuat sehingga setiap ia menggerakkan tangannya, terdengar suara angin menyambar.

Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba lawannya berkelebat dan lenyap dari depannya! Pengemis yang berwajah muram ini kaget dan bingung, lalu mendengar suara ketawa di belakangnya. Ketika ia membalikkan tubuh, kiranya lawannya sudah berada di situ, enak-enak saja tersenyum dan memandangnya. Ia menjadi penasaran dan cepat menerjang lagi, kini menggunakan kedua tangan yang dibuka jari-jarinya, seperti tangan monyet hendak mencengkeram..

Hebat tubrukannya ini, karena tangan itu tidak segera mencengkeram, melainkan menanti kemana lawan akan mengelak. Gerak tipu Ilmu Silat Monyet Sakti ini amat hebat dan jarang sekali gagal. Namun kembali matanya mejadi kabur karena lawannya yang muda itu berkelebat tanpa dapat ia duga kemana, hanya tahu-tahu sudah melewati atas kepalanya. Ketika ia memutar tubuh, kembali orang muda itu berkelebat menyelinap dari samping, kemudian pada detik selanjutnya, sebelum ia sempat membalikkan tubuh, ia merasa tengkuknya disentuh oleh jari-jari tangan yang hangat. Pengemis ini kaget sekali dan berseru,

"Hebat... aku mengaku kalah...!" Ia melompat ke pinggir dan memandang dengan mata terbelalak keheranan.






Kini kakek tua renta itu berjalan maju. Langkahnya sudah membayangkan usia tua. Matanya memandang Bu Song, berkedip-kedip penuh keheranan.

"Melihat gerakanmu, orang muda, kau mengingatkan aku akan seseorang... ah, seseorang yang tadinya kukagumi, akan tetapi ternyata mengecewakan hatiku..."

Makin tertarik hati Bu Song.
"Siapakah orang itu, Sin-kauw-jiu Liong-kauw-su?

"Ah, jangan sebut-sebut julukanku yang kosong melompong. Dan aku bukan kauwsu lagi melainkan seorang jembel busuk yang tiada harganya. Sebut saja aku Lokai (Pengemis Tua). Nama orang itu selalu kusimpan sebagai rahasia, biarpun dia sudah mengecewakan hatiku, namun tidak akan kusebut-sebut. Akan tetapi karena gerakanmu mirip dia, kalau kau bisa mengalahkan toyaku, biarlah hitung-hitung aku kalah bertaruh dan akan kusebut namanya di depanmu. Kau jagalah, orang muda!"

Kakek itu menerima sebatang toya kuningan yang kedua ujungnya dilapis baja. Begitu toya itu berada di kedua tangannya, benda itu seakan-akan menjadi hidup dan bergerak-gerak amat cepatnya.

"Orang muda, keluarkan senjatamu, mari kita main-main sebentar!"

Sesungguhnya, biarpun kakek ini kelihatannya jauh lebih lihai daripada si murid atau sutenya tadi, ia tidak takut menghadapinya dengan tangan kosong. Akan tetapi mengingat bahwa kakek ini adalah seorang yang dahulunya tentu ternama, ia pun segan untuk memandang rendah. Ia tidak mempunyai permusuhan dengan mereka, apalagi Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu, dan ia bahkan menaruh iba kepada bekas guru silat dan murid-muridnya ini yang telah merosot derajatnya menjadi pengemis-pengemis yang dihina orang. Di samping rasa iba ini, ada pula rasa penasaran mengapa semangat si guru demikian melempem dan tidak layak menjadi sikap seorang gagah.

"Kauwsu, bukan aku yang mengajak berkelahi. Kalau tidak terdesak, untuk apa aku mengeluarkan senjata? Aku tidak mau melukai orang!" jawabnya. "Kalau kau hendak main-main, silakan mulai."

Kakek itu kelihatan marah sekali.
"Sudah terlalu lama dihina orang tanpa berani membalas! Sekarang ada engkau ini orang muda yang datang-datang menghina kami. Orang muda, jangan salahkan aku kalau toyaku tidak mengenal kasihan. Kau sambutlah!"

Tampak gulungan sinar kuning ketika toya itu menyambar dahsyat, menyerang dengan pukulan menyamping ke arah lambung kiri Bu Song disusul gentakan ujung lain yang menyusul dengan hantaman ke arah kepala andaikata pukulan pertama dapat dielakkan.

Akan tetapi, sekali berkelebat tubuh orang muda itu lenyap dari depannya! Liong-kauwsu terkejut, cepat membalikkan tubuh menggerakkan toyanya menerjang ke belakang tubuh. Benar saja dugaannya, orang muda yang dapat bergerak luar biasa cepatnya itu tadi telah berada di belakangnya sehingga serangan susulannya ini tepat sekali.

Dengan tusukan kuat ujung toyanya menyambar ke arah dada, kemudian ketika orang muda itu mengelak ke kiri, toyanya mengejar terus dengan sontekan ke kanan, menghantam leher lalu disontekkan lagi, menggunakan ujung yang lain menyerampang kaki. Semua ini dilakukan oleh kakek itu dengan kecepatan kilat, dan biarpun ia sudah tua, namun kedua ujung toya itu tiap kali digerakkan, menggetar dan dilihat dengan mata biasa, ujungnya berubah menjadi puluhan batang.

"Ilmu toya yang bagus!"

Bu Song memuji akan tetapi kembali tubuhnya lenyap tanpa diketahui kakek itu saking cepatnya. Dari belakangnya, Liong-kauw-su merasa betapa ujung toyanya disentuh lawan. Ia cepat membalikkan tubuh dan melihat lawannya itu tersenyum-senyum berdiri di belakangnya, kini sudah mengeluarkan sebuah benda kuning berkilauan di tangan.

Bukan main kaget dan kagumnya hati kakek itu. Ia tadi maklum bahwa lawannya akan mudah merobohkannya, atau merampas toyanya, karena bukankah tadi lawannya sudah menyentuh ujung toya dari belakang sebelum ia mampu membalikkan tubuh? Akan tetapi orang muda itu tidak melakukan hal ini bahkan mengeluarkan senjata, padahal dengan tangan kosong sekalipun agaknya akan sukar baginya untuk mengalahkan orang muda ini. Ketika ia memperhatikan senjata di tangan orang muda itu, ia berseru kaget, juga sutenya berseru,

"Kim-siaw (Suling Emas)...!"

Bu Song memandang suling emas di tangannya dan pada saat itu, jantungnya berdebar aneh. Nama yang bagus! Kim-siauw! Namanya sendiri sudah lapuk, sudah terlalu banyak mendatangkan hal-hal yang menyedihkan! Namanya sendiri, Bu Song, selalu terkait dengan hal-hal yang mematahkan hati, mengingatkan ia akan ayah bundanya yang cerai-berai, akan hidupnya yang sebatang kara.

Mengingatkan ia akan pengalaman-pengalamannya yang pahit-getir, akan kematian Kwee Eng yang sudah dicalonkan menjadi isterinya, wanita pertama yang merampas hatinya. Kemudian, yang masih membekas dalam sekali di kalbunya, mengingatkan ia akan Suma Ceng, wanita kekasihnya yang tadinya ia anggap sebagai pengganti Kwee Eng yang tewas. Nama Bu Song sungguh diselimuti kegelapan, nama yang sial!

Akan tetapi ia tidak dapat melamun terus karena kembali toya yang berat itu menyambar dibarengi seruan Liong-kauw-su. Tampak sinar emas bergulung-gulung ketika Bu Song menggerakkan sulingnya. Sinar ini seakan-akan merupakan tali emas yang menggulung dan melibat-libat toya, kemudian tanpa dapat dicegah lagi oleh Liong-kauwsu, juga tanpa ia ketahui bagaimana caranya, toyanya terlepas dari tangannya, melayang tinggi ke atas dan ketika turun, disambut oleh suling di tangan Bu Song, diputar-putar sampai berhenti melintang di atas suling yang disodorkan kepada Liong-kauwsu, diikuti kata-kata.

"Terimalah kembali toyamu, Liong-kauwsu!"

"Hebat...! Kau lebih hebat daripada Kim-mo Taisu...!" Kakek itu berkata dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Juga murid-muridnya serta sutenya memandang penuh kekaguman. "Dan suling emas itu...! Orang muda, bolehkah kami mengetahui, siapakah namamu yang mulia?"

Bu Song tersenyum pahit, memandang sulingnya yang ia pegang di tangan kanan, ditegakkan lurus depan muka, kemudian berkata,

"Suling emas... suling emas... inilah namaku... Suling Emas!"

Sin-kauw-jiu Liong-kauwsu adalah seorang kang-ouw yang sudah banyak pengalamannya. Ia maklum bahwa orang muda ini adalah seorang sakti yang tidak mau memperkenalkan namanya. Timbul harapan dalam hatinya bahwa orang muda yang luar biasa ini akan dapat membantunya menebus semua penghinaan dan sakit hati yang selama puluhan tahun ia derita.

Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang yang datang-datang membentak,
"Lagi-lagi ada manusia tak berbudi yang berani menghina kaum jembel mengandalkan kepandaiannya?"

Para kakek pengemis dan juga Suling Emas (karena Bu Song sendiri merubah namanya, mulai sekarang kita mengenalnya sebagai Suling Emas) menoleh dan melihat bahwa yang datang itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tiga puluh tahun, pakaiannya tambal-tambalan dan bahkan kedua lengan bajunya buntung compang-camping, memakai caping (topi petani) lebar yang menutupi sebagian mukanya. Juga capingnya itu butut, compang-camping pinggirnya. Namun tubuh orang itu tampak kuat, matanya bersinar-sinar, mukanya bersih tidak berjenggot. Celananya yang butut juga buntung sebatas lutut. Setelah berkata demikian, serta merta orang yang baru tiba ini menerjang Suling Emas dengan serangan-serangan kilat.

"Eh, sahabat.. jangan salah kira. Dia... Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) tidak..." Liong-kauwsu tidak melanjutkan kata-katanya karena Suling Emas sudah memotong.

"Biarlah, Kauwsu. Orang ini lihai, biarkan kami main-main sebentar!"

Memang Suling Emas kagum menghadapi serbuan orang yang baru datang ini. Baru bergebrak sejurus saja tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada tingkat kakek guru silat itu.

Pukulan kedua tangan dan tendangan kedua kakinya mendatangkan angin halus, seakan-akan tidak mengandung tenaga, namun ternyata penuh dengan tenagan sin-kang yang amat kuat. Juga gerakan-gerakannya aneh dan membingungkan, cepat sekali membuktikan bahwa gin-kang orang ini pun sudah mencapai tingkat tinggi!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar