FB

FB


Ads

Kamis, 23 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 021

Kakek itu menggeleng kepalanya. Alisnya yang amat tebal itu berkerut dan bergerak-gerak. Bibirnya juga bergerak-gerak, lalu terdengar kata-katanya.

“Aneh tapi nyata. Mungkin sekali Suling Emas....”

Jantung Lin Lin berdegupan.
“Apa? Musuh besarku betul Suling Emas itu, Kek? Kau tahu dimana dia? Kalau betul dia, akan kuajak bertanding mengadu nyawa.”

Seketika kakek itu memandang kepadanya seperti terkejut, kemudian ia tertawa terkekeh-kekeh sambil memegangi perutnya, terbungkuk-bungkuk saking kerasnya ia tertawa. Lin Lin marah.

“Apa yang lucu? Jangan mentertawai aku, Kek. Tak enak melihat kau tertawa, gigimu kuning....!”

Seketika kakek itu berhenti tertawa.
“Apa kau bilang? Gigiku putih seperti.... seperti....”

“.... seperti kapur!” kata Lin Lin tersenyum. “Nah, jangan tertawa saja, apa sih yang lucu?”

“Kau hendak bertanding dengan Suling Emas? Aha, biar kau peras dan kuras habis kepandaianmu, belum tentu kau bisa menang.”

“Tidak peduli. Aku akan menemuinya. Bawa aku kepadanya, Kek, dan kau tentu suka membantuku kalau aku kalah. Kan hidung dan gigi kita sama, bukan?”

“Betul, betul! Kita sebangsa, sesuku, aku akan bantu kau. Awas dia kalau berani ganggu kau!”

Senang hati Lin Lin. Ia berhutang budi kepada keluarga Kam, dan jalan satu-satunya untuk membalas budi, hanyalah membalaskan dendam kduarga itu.

“Tapi aku tidak bisa meninggalkan kedua kakakku begitu saja, Kek. Mereka tentu akan gelisah dan mencariku kemana-mana.”

“Kalau Jenderal Kam ayah angkatmu, mereka tentu saudara-saudara angkat pula, bukan? Kenapa repot-repot?”

“Ih, jangan gitu, Kek. Biarpun saudara angkat mereka itu baik sekali kepadaku, seperti kepada adik kandung sendiri.”

“Baiklah, mari kau bonceng di punggungku, kita meninggalkan pesan di kamar mereka.”

Lin Lin maklum bahwa kakek itu adalah seorang yang sakti, aneh, dan sikapnya masih kekanak-kanakan. Tanpa ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi ia lalu melompat ke punggung kakek itu dan disaat berikutnya ia harus memegang pundak kakek itu kuat-kuat karena tubuhnya segera melayang seperti terbang cepatnya!

Setelah menulis sepucuk surat untuk Bu Sin dan Sian Eng, Lin Lin lalu pergi keluar kota An-sui bersama kakek itu. Mereka kini berjalan dan bercakap-cakap. Lin Lin disuruh mengerahkan kepandaiannya, akan tetapi ia melihat betapa kakek pendek itu berjalan seenaknya saja di sebelahnya akan tetapi tak pernah tertinggal.

“Kalau merayap seperti keong begini, kapan bisa sampai disana?” Kakek itu bersungut-sungut.

“Kau maksudkan sampai di tempat Suling Emas, Kek?”

“Dimana lagi? Bukankah kita mencari dia? Tapi kau harus belajar ilmu pukulan lebih dulu untuk menghadapinya. Mari!”

Kakek itu menyambar tangan Lin Lin dan tiba-tiba Lin Lin merasa betapa larinya menjadi cepat bukan main, dua kali lebih cepat daripada biasanya.






Menjelang pagi mereka berhenti di sebelah hutan yang kecil tapi amat indah. Bermacam bunga memenuhi hutan. Musim semi kali ini benar-benar telah merata sampai di hutan-hutan dan membiarkan seribu satu macam bunga berkembang amat indahnya.

“Heh-heh, bagus disini. Kita main-main disini!”

Kakek itu cepat sekali memilin akar-akar pohon menjadi tambang dan beberapa menit kemudian ia sudah berayun-ayun, duduk di atas sepotong kayu yang diikat dan digantung oleh dua helai tambang pada cabang pohon. Persis seperti anak kecil main ayun-ayunan.

Melihat kakek itu main ayunan sambil tertawa-tawa gembira, Lin Lin menegur,
“Kek, katanya hendak mengajar ilmu kepadaku?”

“Aku sedang mengajarmu sekarang. Kau lihat baik-baik!”

Lin Lin mengerutkan alisnya. Celaka sekali, kakek ini main-main selalu. Masa ia akan diajari main ayunan? Kalau saja ia tidak menyaksikan dan membuktikan sendiri betapa kakek itu dapat lari seperti terbang, memiliki gerakan tangan yang luar biasa cepatnya ketika meminjam tusuk kondenya, tentu ia tidak percaya bahwa kakek ini seorang sakti. Jangan-jangan kakek ini hanya mempunyai kepandaian lari cepat saja, dan hendak mempermainkannya? Betulkah dia orang sakti? Kenapa begini? Tidak bersepatu, pakai anting-anting seperti perempuan, dan wataknya seperti anak kecil.

“Kek, kau ini sebenarnya siapakah? Namamu saja aku belum tahu.”

“Heh-heh, aku pun belum tahu namamu. Apa sih artinya nama? Waktu lahir kita tidak membawa nama, kan?”

Lin Lin tidak mau pedulikan lagi filsafat yang aneh-aneh dari kakek itu.
“Kek, namaku Lin, sheku tentu saja....” Lin Lin hendak mengatakan “Kam”, akan tetapi kakek itu sudah mendahuluinya.

“.... tidak ada karena kau bukan she Kam. Aku siapa, ya? Orang-orang menyebutku Kim-lun Seng-jin. Gagah namaku, ya? Heh-heh, Kim-lun adalah roda emas. Nah, ini dia.”

Ketika tangannya bergerak dan tahu-tahu ia telah mengeluarkan sepasang gelang emas. Disebut gelang bukan gelang, karena tengahnya dipasangi ruji-ruji seperti roda. Garis tengahnya satu kaki. Agaknya sepasang roda emas ini tadi disembunyikan di balik baju. Seperti ketika mengeluarkan tadi, sekali bergerak roda itu sudah lenyap lagi. Begitu cepatnya seperti sulapan saja.

“Namaku Roda Emas, memang hidup ini berputaran seperti roda. Cocok sekali, kan? Heh, A-lin, apakah kau sudah memperhatikan pelajaran ini?”

Lin Lin terkejut, juga geli mendengar ia dipanggil “A-lin”. Ketika mengeluarkan sepasang roda atau gelang tadi, amat cepat. Akan tetapi apakah benda-benda itu merupakan senjata? Andaikata dijadikan senjata, tadi pun tidak dimainkan. Kakek itu tiada hentinya berayun, bagaimana bisa bilang memberi pelajaran?

“Pelajaran yang mana, Kek?”

“Hehhh! Hidung dan gigimu bagus, seratus prosen Khitan, tapi otakmu sudah ditulari kebodohan orang kota! Lihat baik-baik!”

Lin Lin melihat baik-baik. Baru sekarang ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu bukanlah berayun sembarang berayun. Tubuhnya sama sekali tidak tampak bergerak, kakinya tidak dipakai mengayun, akan tetapi tambang itu terus berayun seperti ada yang mendorohg. Anehnya, kadang-kadang ayunan itu terhenti di tengah jalan, baik sedang terayun ke belakang maupun sedang terayun ke depan. Dengan duduk di ayunan mampu menghentikan gerakan ayunan, inilah hebat, seperti main sulap saja.

“Nah, kau sudah lihat sekarang? Untuk dapat berayun begini, kau harus memiliki Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Selaksa Kati). Biarpun kosong, namun mengandung tenaga laksaan kati biarpun berat dan kuat, namun kosong. Inti pelajaran ini kelak dapat membuat tubuhmu menjadi ringan atau berat menurut sesukamu, dan lari terbang bukan menjadi lamunan kosong lagi.”

Mulailah Lin Lin menerima gemblengan dari kakek aneh itu. Kim-lun Seng-jin adalah seorang sakti yang jarang muncul di dunia kang-ouw, selalu bersembunyi dan tidak suka mencari perkara. Orangnya aneh, selalu bergerak sendiri tidak mau terikat oleh perkumpulan atau oleh negara.

Munculnya tiba-tiba, akan tetapi selalu meninggalkan kesan mendalam pada para tokoh kang-ouw dan biarpun tidak ada orang yang dapat menduga sampai berapa dalamnya ilmu kakek ini karena ia tidak pernah mau melibatkan diri dalam pertandingan dan permusuhan, namun mereka itu yakin bahwa kakek ini tak boleh dibuat main-main. Bahkan Thian-te-liok-koai, Si Enam Jahat atau Enam Setan Dunia sendiri tidak berani main-main terhadap Kim-lun Seng-jin.

Pada masa itu, dunia kang-ouw hanya mengenal Thian-te-liok-koai dan para ketua partai persilatan besar sebagai tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian. Akhir-akhir ini muncul Suling Emas sebagai tokoh sakti yang termuda. Namun diri Suling Emas ini diliputi penuh rahasia dan jarang sekali Suling Emas keluar memperlihatkan diri. Keadaannya penuh rahasia, dan ia boleh dijajarkan dengan orang-orang aneh lain, yaitu Kim-lun Seng-jin, Bu Kek Siansu, dan seorang aneh lain yang hanya dikenal dengan sebutan Empek Gan! Tentu saja Bu Kek Siansu berada di tingkat paling tinggi, bukan hanya karena usianya, namun juga kerena belum pernah terdengar ada tokoh yang melebihi kesaktiannya daripada kakek ini.

Lin Lin boleh dianggap beruntung dapat menarik hati Kim-lun Seng-jin karena kakek sakti yang aneh ini selamanya tak pernah mau menerima murid. Dengan amat tekun gadis ini menerima latihan ilmu meringankan tubuh yang hebat, yaitu Khong-in-ban-kin yang sekaligus merupakan lwee-kang yang luar biasa.

Di samping ini, juga kakek aneh itu menurunkan ilmu silat yang disebut Khong-in-liu-san (Awan Kosong Mengurung Gunung). Kim-lun Seng-jin agaknya takut bertemu orang, ia membawa Lin Lin merantau ke gunung-gunung dan hutan-hutan, kadang-kadang mereka berlatih di pinggir sungai yang amat sunyi.

Aneh dua orang ini, seorang gadis remaja seorang lagi kakek tua, tiap hari mereka cekcok, tapi Lin Lin selalu membuat kakek itu mengalah karena gadis inilah yang dapat menyenangkan hatinya dengan wataknya yang lincah serta terutama sekali dapat menyenangkan perutnya dengan masak-masakan yang lezat. Lin Lin pandai sekali mengambil hati kakek itu dengan panggang daging binatang hutan yang lezat. Dari kakek ini ia mengenal pula banyak tokoh sakti dalam dunia persilatan.

Ternyata Kim-lun Seng-jin amat luas pengetahuannya dalam dunia kang-ouw. Ia mengenal semua tokoh, malah ia mengenal pula ayah Li Lin. Beberapa kali Lin Lin bertanya tentang ayahnya, dan baru pada saat Lin Lin memanggang daging kelinci yang amat gurih baunya, kakek itu memenuhi jawaban pertanyaan ini.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar