Apakah yang terjadi dengan Lin Lin? Gadis remaja ini mengalami hal yang amat luar biasa. Seperti kita ketahui, ketika Bu Sin dan Sian Eng mengintai ke dalam ruangan gedung itu dengan cara menggantungkan kaki dengan kepala di bawah, Lin Lin berjongkok di atas genteng sambil melihat kedua saudaranya itu. Kaget ia ketika melihat Bu Sin dan Sian Eng berloncatan ke atas kemudian kedua orang itu roboh ke bawah genteng.
Akan tetapi, selagi ia kebingungan dan khawatir, tiba-tiba serangkum angin pukulan yang dilontarkan oleh It-gan Kai-ong menyerangnya, membuat dia terlempar dan tentu ia pun akan terguling roboh ke bawah kalau saja tidak terjadi hal yang amat aneh. Ia tidak tahu mengapa dan bagaimana, akan tetapi tubuhnya yang sudah terjengkang itu tiba-tiba dapat terapung ke atas, lalu tubuhnya itu seperti dibawa angin terbang melalui genteng, cepat bukan main.
Tentu saja ia takut sekali dan berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya agar kalau jatuh ke bawah tidak terbanting, namun ia sama sekali tak dapat menggerakkan kaki tangannya dan ia “terbang” dengan tubuh telentang. Kalau ia tidak mengalami sendiri, tentu ia tidak akan mau percaya bahkan pada saat itu ia mengira bahwa ia sedang mimpi. Entah berapa lama ia berada dalam keadaan melayang ini, namun ia merasa bahwa ia diterbangkan tubuhnya dan ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia telah berada di luar kota An-sui!
“Heh-heh-heh, untung kau tidak menjadi korban It-gan Kai-ong,” terdengar suara terkekeh bicara.
Lin Lin membalikkan tubuh ke kanan kiri, memutar tubuh melihat ke sekelilingnya. Akan tetapi tidak tampak seorang pun manusia. Bulu tengkuknya mulai berdiri dan kedua lututnya gemetar. Ia seorang gadis yang tabah dan menghadapi siapa pun juga ia takkan mundur, takkan mengenal takut. Namun kejadian kali ini membuat ia yakin bahwa ia sedang diganggu iblis dan dongeng-dongeng tentang iblis yang pernah ia dengar membuat ia ketakutan.
“Siapa kau?”
“Siapa aku? Aku siapa? Heh-heh, aku sendiri tidak kenal siapa aku ini dan dari mana asalku, apalagi kau bocah ingusan. Heh-heh-heh! Aku dan kau sama saja!”
Suara itu tepat di belakangnya, maka secepat kilat Lin Lin memutar tubuh dengan gerakan Hek-yan-tiauw-wi (Burung Walet Sabet Buntut), gerakannya cepat bukan main dan ia sengaja mengerahkan gin-kangnya. Akan tetapi, kembali ia hanya melihat tempat kosong, tidak ada bayangan, apalagi orangnya!
Suara itu masih terkekeh-kekeh,
“Heh-heh-heh, siapa aku? Siapa aku? Hayo cari dan tebak, dimana dan siapa aku, heh-heh-heh!” Suara itu tertawa-tawa geli seperti seorang kanak-kanak bermain kucing-kucingan.
Panas juga dada Lin Lin. Ia yakin sekarang bahwa yang bicara itu tentu seorang manusia biasa, biarpun seorang manusia yang memiliki kepandaian yang luar biasa. Masa aku tidak dapat mencarimu? Demikian pikirnya dengan gemas.
Cepat ia melompat lagi, berputaran dan mengeluarkan kepandaiannya untuk membalik sana berputar sini, lari berputaran seperti kitiran cepatnya. Namun tak pernah ia dapat melihat bayangan di sekeliling dirinya, padahal suara itu terus-menerus berbunyi, tertawa-tawa di belakang, kanan dan kirinya!
“Heh-heh-heh! Kau seperti seekor anjing hendak menggigit buntut sendiri berputaran. Heh-heh.... lucu.... lucu.... lagi, Nona. Sekali lagi, lucu benar....!”
Tentu saja Lin Lin tidak sudi berputar lagi, malah ia cepat berhenti dan membanting kakinya. Hampir ia menangis.
“Kau ini setan apa manusia? Kalau manusia perlihatkan dirimu. Kalau setan minggat dari sini, aku tidak butuh setan!” bentaknya sambil bertolak pinggang.
“Heh-heh, lebih baik jadi setan, biarpun selalu melakukan kejahatan akan tetapi memang itu kewajibannya, kalau tidak melakukan yang jahat-jahat mana disebut setan? Setidaknya setan mengakui kejahatannya, sebaliknya manusia banyak yang pura-pura suci dan bersih, padahal lebih jahat dan kotor daripada setan sendiri. Heh-heh, Nona, aku di belakangmu, masa kau tidak dapat melihat?” Lin Lin membalikkan tubuhnya dan.... tidak melihat apa-apa.
“Kau main kucing-kucingan? Aku tidak sudi main-main denganmu.”
“Lho, aku disini, lihat baik-baik.”
Lin Lin menurunkan pandang matanya dan benar saja. Di depannya berdiri seorang kakek yang.... tubuhnya pendek, hanya setinggi dadanya dan karena kakek itu tadi jongkok tentu saja tidak kelihatan. Sekarang kakek ini berdiri, kedua kakinya yang pendek itu tidak bersepatu, lucu sekali tampaknya. Badannya agak gemuk, kepalanya bundar seperti bola karet, licin tidak berambut sehelai pun juga. Tapi alisnya tebal sekali, dan rambut alisnya itu berdiri menjulang ke atas. Kumis dan jenggotnya panjang melambai sampai ke dada. Kedua daun telinganya lebar seperti telinga area Ji-lai-hud dihiasi sepasang anting-anting perak. Melihat orang seperti itu anehnya, Lin Lin tak dapat menahan ketawanya.
“Hi-hi-hik, kau ini golongan apa? Apakah pemain wayang?” Lin Lin tertawa dan menutupi mulutnya.
“Memang dunia ini panggung wayang dan kita anak wayangnya. Bagaimana lakonnya dan apa peran apa yang harus kita pegang terserah Sang Sutradara. Heh-heh-heh, dan agaknya Sang Sutradara menghendaki supaya aku menjalankan peran menolong kau dari ancaman It-gan Kai-ong si pengemis busuk.”
“Kakek pendek, bagaimana kau tadi bisa membawa aku terbang? Dan bagaimana kau tadi bisa menghilang? Aku sudah belajar ilmu gin-kang bertahun-tahun akan tetapi belum ada sekuku hitam dibandingkan dengan gerakanmu. Apakah kau tadi menggunakan ilmu sihir?”
“Heh-heh, bocah nakal seperti kau ini, baru belajar jalan sudah berani mendaki gunung menyeberangi lautan! Aku tanggung, dengan kepandaianmu yang baru kelas nol itu, kau akan selalu bertemu bahaya dan akhirnya kau akan roboh! Gerakanmu masih begitu kaku dan lambat, kau namakan itu ilmu gin-kang? Ho-heh-hoh, lucu amat!”
Panas perut Lin Lin, bibirnya cemberut, matanya bersinar marah. Akan tetapi kakek itu malah tertawa-tawa, memegangi perut dan berjingkrakan seperti tak dapat menahan lagi kegelian hatinya.
“Dan pedang itu.... heh-heh-heh, bawa-bawa pedang macam itu untuk apa? Apakah untuk mengiris bawang ataukah untuk menyembelih ayam? Heh-heh, untuk itupun kurang tajam, baiknya untuk menakut-nakuti tikus. Heh-heh, kau takut tikus, kan?”
Lin Lin membanting kakinya.
“Kakek pendek, cebol, gundul pacul! Sudah tua ompong masih sombong....!”
Kakek itu tiba-tiba meringis, memperlihatkan isi mulutnya. Hebat giginya berderet rapi seperti gigi Lin Lin sendiri.
“Kau lihat, siapa ompong? Gigiku tidak kalah dengan gigimu? Hayo kau meringis, kita lihat gigi siapa lebih putih, lebih mengkilap!”
Geli juga hati Lin Lin. Memang gadis inipun wataknya aneh, mudah marah, mudah gembira. Mudah menangis mudah tertawa. Melihat betapa kakek itu meringis memamerkan giginya, mau tidak mau ia tertawa juga.
“Ihhh, jijik ah! Gigimu kuning-kuning begitu!”
Kakek itu kelabakan.
“Masa? Ah, mana bisa? Sedikitnya dua kali sehari kugosok dengan bata. Kau bohong....!”
Tampak oleh Lin Lin kakek itu mengulur tangan kepadanya. Ia cepat melangkah mundur, akan tetapi tahu-tahu gelung rambutnya sebelah kiri yang terbungkus sutera itu terlepas karena tusuk kondenya dari perak telah berada di tangan kakek itu. Untuk apa kakek itu merampas tusuk kondenya? Untuk bercermin! Bunga perak pada tusuk konde itu sebesar kuku jari dan kakek itu berusaha untuk bercermin memeriksa giginya dari pantulan sinar bintang yang menimpa bunga perak. Tentu saja hasilnya sia-sia.
Diam-diam Lin Lin terkejut bukan main. Bagaimana kakek itu dapat merampas tusuk kondenya sedemikian cepatnya sehingga sama sekali tidak terasa olehnya? Terang bahwa kakek ini memiliki kesaktian yang hebat. Kalau saja mau menurunkan kepandaian itu kepadanya!
“Kek, mengapa kau menolong aku dari tangan It-gan Kai-ong? Mau apa kau membawa aku kesini?” akhirnya dia bertanya.
Kakek itu mengomel,
“Gigiku putih.... tidak kuning....!”
“Mengapa kau menolong aku?”
“Siapa bilang gigiku kuning, memalukan!” Kakek itu bersungut-sungut.
Lin Lin hendak marah, akan tetapi melihat sikap kakek itu seperti seorang anak kecil merajuk, ia tertawa lagi.
“Memang gigimu putih, siapa bilang kuning?”
“Kau tadi yang bilang!”
“Dan kau percaya? Ih, bodohmu sendiri mengapa percaya. Gigimu putih seperti.... seperti kapur.”
Kakek itu nampak girang. Kapur memang putih sekali, maka ia girang mendengar ucapan ini. Tangannya bergerak dan sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Lin Lin. Gadis ini tak sempat mengelak, ketika ia meraba gelungnya, tusuk konde itu sudah berada di tempatnya lagi dan ia sama sekali tidak merasakannya! Makin kagum hatinya.
“Kek, kenapa kau menolongku dan mau apa kau membawa aku kesini?”
“Karena kau cantik, seperti anakku dahulu.”
Rasa haru sejenak menyelinap di hati Lin Lin.
“Dimana anakmu, Kek?”
“Di mana? Di.... mana, ya? Sang Sutradara sudah lama membebaskannya daripada tugas di panggung wayang. Dia tidak MAIN lagi.”
Makin terharu hati Lin Lin.
“Anakmu sudah mati?”
Kakek itu tidak menjawab, melainkan tertawa lagi.
“Kau gadis bangsaku heh-heh, tak salah lagi, karena itu aku suka kepadamu, aku menolongmu dan kalau kau mau, biar kuberi bekal padamu agar kelak tidak ada orang berani menghinamu.”
“Aku bangsamu? Bangsa apa Kek?”
“Lihat hidungmu, coba kan sama dengan hidungku? Juga gigimu, sama dengan gigiku. Kau bangsa Khitan, tidak salah lagi.”
Otomatis, terpengaruh oleh ucapan itu, Lin Lin memandang ujung hidungnya. Tentu saja, biarpun kedua matanya sampai juling ke tengah semua, tetap saja ia tidak berhasil memandang hidungnya sendiri. Apalagi memandang giginya! Betapapun juga, ucapan ini menusuk perasaannya, membuat jantungnya berdebar tegang. Dia terang bukan anak keluarga Kam karena ia hanya anak pungut. Ayahnya atau siapa pun juga tidak pernah memberi tahu kepadanya, siapa gerangan ayah ibunya yang sejati.
Karena ini pula ia amat ingin bertemu dengan Bu Song, anak sulung ayah angkatnya itu karena ia menduga bahwa Bu Song tentu tahu akan hal dirinya. Sekarang mendengar kakek ini menyatakan bahwa dia bangsa Khitan, biarpun ia tidak bisa percaya dan tidak percaya, hatinya berdebar juga. Akan tetapi, yang paling menggirangkan hatinya adalah pernyataan kakek itu hendak memberinya bekal kepandaian.
“Kau betul-betul hendak mengajarku ilmu kepandaian, Kek? Wah, terima kasih sebelumnya. Aku amat membutuhkan itu, untuk mengalahkan musuh besarku.”
“Heh-heh, tiada musuh besar di dunia ini yang lebih besar daripada nafsu sendiri. Siapa musuh besarmu?”
“Sayang, aku sendiri tidak tahu Kek,” Lin Lin menggeleng kepalanya. “Ayah angkat dan sekeluarganya dibunuh orang yang tidak dikenal. Ibu angkatku hanya meninggalkan ucapan terakhir bahwa musuh besar itu bersuling.”
Tiba-tiba kakek itu melompat tinggi sekali, lenyap dari depan Lin Lin. Ketika Lin Lin mendongak dan hendak memanggil, tubuh pendek itu melayang turun dari atas dan sudah berdiri di depannya lagi.
“Suling Emas? Suling Emas membunuh orang tuamu? Siapa orang tuamu?”
“Orang tua angkat, Kek. Ayah angkatku namanya Kam Si Ek....”
“Ha-ha-ha-ha, Kam Si Ek Jenderal Hou-han?”
“Kau kenal Ayah angkatku, Kek?”
Akan tetapi, selagi ia kebingungan dan khawatir, tiba-tiba serangkum angin pukulan yang dilontarkan oleh It-gan Kai-ong menyerangnya, membuat dia terlempar dan tentu ia pun akan terguling roboh ke bawah kalau saja tidak terjadi hal yang amat aneh. Ia tidak tahu mengapa dan bagaimana, akan tetapi tubuhnya yang sudah terjengkang itu tiba-tiba dapat terapung ke atas, lalu tubuhnya itu seperti dibawa angin terbang melalui genteng, cepat bukan main.
Tentu saja ia takut sekali dan berusaha memulihkan keseimbangan tubuhnya agar kalau jatuh ke bawah tidak terbanting, namun ia sama sekali tak dapat menggerakkan kaki tangannya dan ia “terbang” dengan tubuh telentang. Kalau ia tidak mengalami sendiri, tentu ia tidak akan mau percaya bahkan pada saat itu ia mengira bahwa ia sedang mimpi. Entah berapa lama ia berada dalam keadaan melayang ini, namun ia merasa bahwa ia diterbangkan tubuhnya dan ketika kedua kakinya menginjak tanah, ia telah berada di luar kota An-sui!
“Heh-heh-heh, untung kau tidak menjadi korban It-gan Kai-ong,” terdengar suara terkekeh bicara.
Lin Lin membalikkan tubuh ke kanan kiri, memutar tubuh melihat ke sekelilingnya. Akan tetapi tidak tampak seorang pun manusia. Bulu tengkuknya mulai berdiri dan kedua lututnya gemetar. Ia seorang gadis yang tabah dan menghadapi siapa pun juga ia takkan mundur, takkan mengenal takut. Namun kejadian kali ini membuat ia yakin bahwa ia sedang diganggu iblis dan dongeng-dongeng tentang iblis yang pernah ia dengar membuat ia ketakutan.
“Siapa kau?”
“Siapa aku? Aku siapa? Heh-heh, aku sendiri tidak kenal siapa aku ini dan dari mana asalku, apalagi kau bocah ingusan. Heh-heh-heh! Aku dan kau sama saja!”
Suara itu tepat di belakangnya, maka secepat kilat Lin Lin memutar tubuh dengan gerakan Hek-yan-tiauw-wi (Burung Walet Sabet Buntut), gerakannya cepat bukan main dan ia sengaja mengerahkan gin-kangnya. Akan tetapi, kembali ia hanya melihat tempat kosong, tidak ada bayangan, apalagi orangnya!
Suara itu masih terkekeh-kekeh,
“Heh-heh-heh, siapa aku? Siapa aku? Hayo cari dan tebak, dimana dan siapa aku, heh-heh-heh!” Suara itu tertawa-tawa geli seperti seorang kanak-kanak bermain kucing-kucingan.
Panas juga dada Lin Lin. Ia yakin sekarang bahwa yang bicara itu tentu seorang manusia biasa, biarpun seorang manusia yang memiliki kepandaian yang luar biasa. Masa aku tidak dapat mencarimu? Demikian pikirnya dengan gemas.
Cepat ia melompat lagi, berputaran dan mengeluarkan kepandaiannya untuk membalik sana berputar sini, lari berputaran seperti kitiran cepatnya. Namun tak pernah ia dapat melihat bayangan di sekeliling dirinya, padahal suara itu terus-menerus berbunyi, tertawa-tawa di belakang, kanan dan kirinya!
“Heh-heh-heh! Kau seperti seekor anjing hendak menggigit buntut sendiri berputaran. Heh-heh.... lucu.... lucu.... lagi, Nona. Sekali lagi, lucu benar....!”
Tentu saja Lin Lin tidak sudi berputar lagi, malah ia cepat berhenti dan membanting kakinya. Hampir ia menangis.
“Kau ini setan apa manusia? Kalau manusia perlihatkan dirimu. Kalau setan minggat dari sini, aku tidak butuh setan!” bentaknya sambil bertolak pinggang.
“Heh-heh, lebih baik jadi setan, biarpun selalu melakukan kejahatan akan tetapi memang itu kewajibannya, kalau tidak melakukan yang jahat-jahat mana disebut setan? Setidaknya setan mengakui kejahatannya, sebaliknya manusia banyak yang pura-pura suci dan bersih, padahal lebih jahat dan kotor daripada setan sendiri. Heh-heh, Nona, aku di belakangmu, masa kau tidak dapat melihat?” Lin Lin membalikkan tubuhnya dan.... tidak melihat apa-apa.
“Kau main kucing-kucingan? Aku tidak sudi main-main denganmu.”
“Lho, aku disini, lihat baik-baik.”
Lin Lin menurunkan pandang matanya dan benar saja. Di depannya berdiri seorang kakek yang.... tubuhnya pendek, hanya setinggi dadanya dan karena kakek itu tadi jongkok tentu saja tidak kelihatan. Sekarang kakek ini berdiri, kedua kakinya yang pendek itu tidak bersepatu, lucu sekali tampaknya. Badannya agak gemuk, kepalanya bundar seperti bola karet, licin tidak berambut sehelai pun juga. Tapi alisnya tebal sekali, dan rambut alisnya itu berdiri menjulang ke atas. Kumis dan jenggotnya panjang melambai sampai ke dada. Kedua daun telinganya lebar seperti telinga area Ji-lai-hud dihiasi sepasang anting-anting perak. Melihat orang seperti itu anehnya, Lin Lin tak dapat menahan ketawanya.
“Hi-hi-hik, kau ini golongan apa? Apakah pemain wayang?” Lin Lin tertawa dan menutupi mulutnya.
“Memang dunia ini panggung wayang dan kita anak wayangnya. Bagaimana lakonnya dan apa peran apa yang harus kita pegang terserah Sang Sutradara. Heh-heh-heh, dan agaknya Sang Sutradara menghendaki supaya aku menjalankan peran menolong kau dari ancaman It-gan Kai-ong si pengemis busuk.”
“Kakek pendek, bagaimana kau tadi bisa membawa aku terbang? Dan bagaimana kau tadi bisa menghilang? Aku sudah belajar ilmu gin-kang bertahun-tahun akan tetapi belum ada sekuku hitam dibandingkan dengan gerakanmu. Apakah kau tadi menggunakan ilmu sihir?”
“Heh-heh, bocah nakal seperti kau ini, baru belajar jalan sudah berani mendaki gunung menyeberangi lautan! Aku tanggung, dengan kepandaianmu yang baru kelas nol itu, kau akan selalu bertemu bahaya dan akhirnya kau akan roboh! Gerakanmu masih begitu kaku dan lambat, kau namakan itu ilmu gin-kang? Ho-heh-hoh, lucu amat!”
Panas perut Lin Lin, bibirnya cemberut, matanya bersinar marah. Akan tetapi kakek itu malah tertawa-tawa, memegangi perut dan berjingkrakan seperti tak dapat menahan lagi kegelian hatinya.
“Dan pedang itu.... heh-heh-heh, bawa-bawa pedang macam itu untuk apa? Apakah untuk mengiris bawang ataukah untuk menyembelih ayam? Heh-heh, untuk itupun kurang tajam, baiknya untuk menakut-nakuti tikus. Heh-heh, kau takut tikus, kan?”
Lin Lin membanting kakinya.
“Kakek pendek, cebol, gundul pacul! Sudah tua ompong masih sombong....!”
Kakek itu tiba-tiba meringis, memperlihatkan isi mulutnya. Hebat giginya berderet rapi seperti gigi Lin Lin sendiri.
“Kau lihat, siapa ompong? Gigiku tidak kalah dengan gigimu? Hayo kau meringis, kita lihat gigi siapa lebih putih, lebih mengkilap!”
Geli juga hati Lin Lin. Memang gadis inipun wataknya aneh, mudah marah, mudah gembira. Mudah menangis mudah tertawa. Melihat betapa kakek itu meringis memamerkan giginya, mau tidak mau ia tertawa juga.
“Ihhh, jijik ah! Gigimu kuning-kuning begitu!”
Kakek itu kelabakan.
“Masa? Ah, mana bisa? Sedikitnya dua kali sehari kugosok dengan bata. Kau bohong....!”
Tampak oleh Lin Lin kakek itu mengulur tangan kepadanya. Ia cepat melangkah mundur, akan tetapi tahu-tahu gelung rambutnya sebelah kiri yang terbungkus sutera itu terlepas karena tusuk kondenya dari perak telah berada di tangan kakek itu. Untuk apa kakek itu merampas tusuk kondenya? Untuk bercermin! Bunga perak pada tusuk konde itu sebesar kuku jari dan kakek itu berusaha untuk bercermin memeriksa giginya dari pantulan sinar bintang yang menimpa bunga perak. Tentu saja hasilnya sia-sia.
Diam-diam Lin Lin terkejut bukan main. Bagaimana kakek itu dapat merampas tusuk kondenya sedemikian cepatnya sehingga sama sekali tidak terasa olehnya? Terang bahwa kakek ini memiliki kesaktian yang hebat. Kalau saja mau menurunkan kepandaian itu kepadanya!
“Kek, mengapa kau menolong aku dari tangan It-gan Kai-ong? Mau apa kau membawa aku kesini?” akhirnya dia bertanya.
Kakek itu mengomel,
“Gigiku putih.... tidak kuning....!”
“Mengapa kau menolong aku?”
“Siapa bilang gigiku kuning, memalukan!” Kakek itu bersungut-sungut.
Lin Lin hendak marah, akan tetapi melihat sikap kakek itu seperti seorang anak kecil merajuk, ia tertawa lagi.
“Memang gigimu putih, siapa bilang kuning?”
“Kau tadi yang bilang!”
“Dan kau percaya? Ih, bodohmu sendiri mengapa percaya. Gigimu putih seperti.... seperti kapur.”
Kakek itu nampak girang. Kapur memang putih sekali, maka ia girang mendengar ucapan ini. Tangannya bergerak dan sinar putih berkelebat menyambar ke arah kepala Lin Lin. Gadis ini tak sempat mengelak, ketika ia meraba gelungnya, tusuk konde itu sudah berada di tempatnya lagi dan ia sama sekali tidak merasakannya! Makin kagum hatinya.
“Kek, kenapa kau menolongku dan mau apa kau membawa aku kesini?”
“Karena kau cantik, seperti anakku dahulu.”
Rasa haru sejenak menyelinap di hati Lin Lin.
“Dimana anakmu, Kek?”
“Di mana? Di.... mana, ya? Sang Sutradara sudah lama membebaskannya daripada tugas di panggung wayang. Dia tidak MAIN lagi.”
Makin terharu hati Lin Lin.
“Anakmu sudah mati?”
Kakek itu tidak menjawab, melainkan tertawa lagi.
“Kau gadis bangsaku heh-heh, tak salah lagi, karena itu aku suka kepadamu, aku menolongmu dan kalau kau mau, biar kuberi bekal padamu agar kelak tidak ada orang berani menghinamu.”
“Aku bangsamu? Bangsa apa Kek?”
“Lihat hidungmu, coba kan sama dengan hidungku? Juga gigimu, sama dengan gigiku. Kau bangsa Khitan, tidak salah lagi.”
Otomatis, terpengaruh oleh ucapan itu, Lin Lin memandang ujung hidungnya. Tentu saja, biarpun kedua matanya sampai juling ke tengah semua, tetap saja ia tidak berhasil memandang hidungnya sendiri. Apalagi memandang giginya! Betapapun juga, ucapan ini menusuk perasaannya, membuat jantungnya berdebar tegang. Dia terang bukan anak keluarga Kam karena ia hanya anak pungut. Ayahnya atau siapa pun juga tidak pernah memberi tahu kepadanya, siapa gerangan ayah ibunya yang sejati.
Karena ini pula ia amat ingin bertemu dengan Bu Song, anak sulung ayah angkatnya itu karena ia menduga bahwa Bu Song tentu tahu akan hal dirinya. Sekarang mendengar kakek ini menyatakan bahwa dia bangsa Khitan, biarpun ia tidak bisa percaya dan tidak percaya, hatinya berdebar juga. Akan tetapi, yang paling menggirangkan hatinya adalah pernyataan kakek itu hendak memberinya bekal kepandaian.
“Kau betul-betul hendak mengajarku ilmu kepandaian, Kek? Wah, terima kasih sebelumnya. Aku amat membutuhkan itu, untuk mengalahkan musuh besarku.”
“Heh-heh, tiada musuh besar di dunia ini yang lebih besar daripada nafsu sendiri. Siapa musuh besarmu?”
“Sayang, aku sendiri tidak tahu Kek,” Lin Lin menggeleng kepalanya. “Ayah angkat dan sekeluarganya dibunuh orang yang tidak dikenal. Ibu angkatku hanya meninggalkan ucapan terakhir bahwa musuh besar itu bersuling.”
Tiba-tiba kakek itu melompat tinggi sekali, lenyap dari depan Lin Lin. Ketika Lin Lin mendongak dan hendak memanggil, tubuh pendek itu melayang turun dari atas dan sudah berdiri di depannya lagi.
“Suling Emas? Suling Emas membunuh orang tuamu? Siapa orang tuamu?”
“Orang tua angkat, Kek. Ayah angkatku namanya Kam Si Ek....”
“Ha-ha-ha-ha, Kam Si Ek Jenderal Hou-han?”
“Kau kenal Ayah angkatku, Kek?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar