Akan tetapi tiba-tiba ia terjengkang di atas genteng dan bayangan muka tengkorak itu berkelebat lenyap dari situ. Sebuah bayangan lain yang gerakannya seperti setan menyambar dari bawah, disusul bentakan It-gan Kai-ong.
“Hek-giam-lo mayat busuk, jangan lari kau!”
Suma Boan tidak terluka hebat. Dia merangkak bangun dan berdiri lagi di atas genteng, meraba bajunya dan dengan suara marah ia berseru.
“Celaka....! Hek-giam-lo keparat, surat itu diambilnya....!”
“Bagaimana, Kongcu? Apa yang terjadi....?” Bayangan si jenggot panjang yang naik ke atas genteng.
“Celaka, kita tertipu!” kata Suma Boan. “Tadinya dua orang bocah itu menuduh kita menangkap adiknya, ketika mereka dijatuhkan Suhu, eh, tahu-tahu muncul Hek-giam-lo. Ia tidak berkata apa-apa aku didorong roboh dan ketika Suhu muncul ia melarikan diri, kini dikejar Suhu. Akan tetapi surat itu tidak ada lagi di dalam saku bajuku. Lihat, bajuku robek, siapa lagi yang mampu merampasnya secara begini kalau bukan Hek-giam-lo?”
“Wah, sial betul. Tapi, tak usah khawatir, Kongcu. Kalau Ong-ya sudah mengejarnya, masa tidak akan dapat merampasnya kembali?”
“Belum tentu.... belum tentu....!” Suma Boan menggeleng kepalanya, “dia lihai sekali. Heran aku, siapakah dua orang bocah tadi? Apakah kaki tangan orang Khitan?”
Sambil bersunggut-sunggut dan menyumpah-nyumpah Suma Boan melompat turun diikuti oleh si jenggot panjang, Ciok Kam, masuk ke dalam gedung. Sebentar saja para pelayan menyambutnya, keadaan menjadi ribut karena orang-orang mendengar tentang penyerbuan musuh di atas genteng. Akan tetapi, Suma Boan membentak,
“Tidak ada apa-apa, mundur semua!”
Pelayan-pelayan itu, kecuali selirnya yang melayani minum, mundur ketakutan, kembali ke tempat masing-masing.
Suami isteri bersama Bu Sin dan Sian Eng yang bersembunyi melihat semua itu. Bu Sin dan adiknya amat bingung memikirkan Lin Lin, akan tetapi laki-laki itu berkata.
“Adikmu tidak berada di dalam gedung. Tadi kami melihat dia dibawa lari Seng-jin. Lebih baik kalian lekas pergi dari sini, amat berbahaya disini. Kami berterima kasih bahwa kalian sudah menaruh perhatian akan urusan kami. Biarpun kalian anak-anak keluarga Kam, tidak percuma kalian menjadi orang-orang dari wilayah Hou-han. Nah, kita berpisah disini.”
“Nanti dulu....!” Bu Sin mencegah. “Siapakah Seng-jin yang membawa adik kami? Dan siapa kalian ini? Urusan apakah yang menimbulkan semua keributan ini?”
Wanita itu yang menjawab kini, tersenyum duka,
“Dituturkan tidak ada gunanya, juga tidak ada waktu. Kau takkan mengerti, orang muda. Tentang adikmu, dia tadi dibawa Kim-lun Seng-jin, seorang sakti yang aneh. Percuma kau mencarinya, tak mungkin mengikuti jejak seorang seperti Kim-lun Seng-jin. Tentang kami.... hemmm, cukup kau ketahui bahwa kami adalah orang-orang Hou-han dan bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Selamat tinggal, jangan lama-lama berada disini, pergi cepat. Berbahaya!”
Setelah berkata demikian, suami isteri itu berkelebat dan menghilang di dalam gelap. Bu Sin dan Sian Eng saling pandang, mereka bingung sekali memikirkan tentang diri Lin Lin. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa kepandaian mereka masih jauh daripada cukup untuk dapat mencari Lin Lin yang katanya dibawa lari Kim-lun Seng-jin. Sedangkan menghadapi si jenggot panjang dan orang muda jangkung di dalam gedung ini saja sudah terlalu berat bagi mereka, apalagi It-gan Kai-ong ada disitu! Tidak ada jalan lain bagi Bu Sin dan adiknya kecuali segera menyelinap pergi dari tempat itu, lari keluar menyelinap-nyelinap di dalam kegelapan malam.
Dengan hati pepat dan gelisah mereka kembali ke kamar rumah penginapan dan alangkah heran akan tetapi juga lega hati mereka ketika mereka melihat tulisan Lin Lin di atas meja, tulisan dalam sebuah kertas berlipat yang singkat saja.
Sin-ko dan Eng-cici,
Terpaksa aku pergi dulu berpisah dengan kalian. Kakek gundul yang menolongku memaksa aku ikut dia sendiri saja. Akan tetapi dia baik dan bilang bahwa dia dapat membawaku ke tempat pembunuh orang tua kita.
Sampai jumpa pula,
Lin Lin
Bu Sin menarik napas panjang, lega hatinya. Tentu yang dimaksudkan di dalam surat, yang disebut oleh Lin Lin “kakek gundul” itu adalah Kim-lun Seng-jin yang tadi diceritakan oleh suami isteri dari Hou-han. Ia tersenyum geli. Kakek gundul yang bernama Kim-lun Seng-jin boleh saja disebut aneh, akan tetapi kakek itu akan “ketemu batunya” kalau melakukan perjalanan bersama Lin Lin. Adik angkatnya ini kadang-kadang mempunyai perangai yang luar biasa sekali, sukar dikendalikan, aneh dan tentu kakek gundul itu akan menjadi banyak pusing olehnya.
“Dia diberi petunjuk orang sakti akan jejak musuh besar kita, baik sekali. Mudah-mudahan dia berhasil dan selamat,” katanya sambil merobek-robek surat itu.
“Kita sendiri bagaimana, Sin-ko? Kemana kita harus mencari atau mengikuti Lin Lin?”
“Dia sendiri saja kalau sudah minggat mana kita mampu mengejarnya, apalagi sekarang bersama seorang sakti. Kita tidak perlu mencarinya, kita melanjutkan perjalanan ke kota raja. Agaknya akan lebih baik kalau kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, karena sebagai seorang yang lama tinggal di kota raja, tentu dia mempunyai banyak pengalaman dan akan dapat memberi petunjuk kepada kita.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Sin dan Sian Eng sudah meninggalkan kota An-sui, menuju ke kota raja.
“Hek-giam-lo mayat busuk, jangan lari kau!”
Suma Boan tidak terluka hebat. Dia merangkak bangun dan berdiri lagi di atas genteng, meraba bajunya dan dengan suara marah ia berseru.
“Celaka....! Hek-giam-lo keparat, surat itu diambilnya....!”
“Bagaimana, Kongcu? Apa yang terjadi....?” Bayangan si jenggot panjang yang naik ke atas genteng.
“Celaka, kita tertipu!” kata Suma Boan. “Tadinya dua orang bocah itu menuduh kita menangkap adiknya, ketika mereka dijatuhkan Suhu, eh, tahu-tahu muncul Hek-giam-lo. Ia tidak berkata apa-apa aku didorong roboh dan ketika Suhu muncul ia melarikan diri, kini dikejar Suhu. Akan tetapi surat itu tidak ada lagi di dalam saku bajuku. Lihat, bajuku robek, siapa lagi yang mampu merampasnya secara begini kalau bukan Hek-giam-lo?”
“Wah, sial betul. Tapi, tak usah khawatir, Kongcu. Kalau Ong-ya sudah mengejarnya, masa tidak akan dapat merampasnya kembali?”
“Belum tentu.... belum tentu....!” Suma Boan menggeleng kepalanya, “dia lihai sekali. Heran aku, siapakah dua orang bocah tadi? Apakah kaki tangan orang Khitan?”
Sambil bersunggut-sunggut dan menyumpah-nyumpah Suma Boan melompat turun diikuti oleh si jenggot panjang, Ciok Kam, masuk ke dalam gedung. Sebentar saja para pelayan menyambutnya, keadaan menjadi ribut karena orang-orang mendengar tentang penyerbuan musuh di atas genteng. Akan tetapi, Suma Boan membentak,
“Tidak ada apa-apa, mundur semua!”
Pelayan-pelayan itu, kecuali selirnya yang melayani minum, mundur ketakutan, kembali ke tempat masing-masing.
Suami isteri bersama Bu Sin dan Sian Eng yang bersembunyi melihat semua itu. Bu Sin dan adiknya amat bingung memikirkan Lin Lin, akan tetapi laki-laki itu berkata.
“Adikmu tidak berada di dalam gedung. Tadi kami melihat dia dibawa lari Seng-jin. Lebih baik kalian lekas pergi dari sini, amat berbahaya disini. Kami berterima kasih bahwa kalian sudah menaruh perhatian akan urusan kami. Biarpun kalian anak-anak keluarga Kam, tidak percuma kalian menjadi orang-orang dari wilayah Hou-han. Nah, kita berpisah disini.”
“Nanti dulu....!” Bu Sin mencegah. “Siapakah Seng-jin yang membawa adik kami? Dan siapa kalian ini? Urusan apakah yang menimbulkan semua keributan ini?”
Wanita itu yang menjawab kini, tersenyum duka,
“Dituturkan tidak ada gunanya, juga tidak ada waktu. Kau takkan mengerti, orang muda. Tentang adikmu, dia tadi dibawa Kim-lun Seng-jin, seorang sakti yang aneh. Percuma kau mencarinya, tak mungkin mengikuti jejak seorang seperti Kim-lun Seng-jin. Tentang kami.... hemmm, cukup kau ketahui bahwa kami adalah orang-orang Hou-han dan bekerja untuk Kerajaan Hou-han. Selamat tinggal, jangan lama-lama berada disini, pergi cepat. Berbahaya!”
Setelah berkata demikian, suami isteri itu berkelebat dan menghilang di dalam gelap. Bu Sin dan Sian Eng saling pandang, mereka bingung sekali memikirkan tentang diri Lin Lin. Akan tetapi mereka pun tahu bahwa kepandaian mereka masih jauh daripada cukup untuk dapat mencari Lin Lin yang katanya dibawa lari Kim-lun Seng-jin. Sedangkan menghadapi si jenggot panjang dan orang muda jangkung di dalam gedung ini saja sudah terlalu berat bagi mereka, apalagi It-gan Kai-ong ada disitu! Tidak ada jalan lain bagi Bu Sin dan adiknya kecuali segera menyelinap pergi dari tempat itu, lari keluar menyelinap-nyelinap di dalam kegelapan malam.
Dengan hati pepat dan gelisah mereka kembali ke kamar rumah penginapan dan alangkah heran akan tetapi juga lega hati mereka ketika mereka melihat tulisan Lin Lin di atas meja, tulisan dalam sebuah kertas berlipat yang singkat saja.
Sin-ko dan Eng-cici,
Terpaksa aku pergi dulu berpisah dengan kalian. Kakek gundul yang menolongku memaksa aku ikut dia sendiri saja. Akan tetapi dia baik dan bilang bahwa dia dapat membawaku ke tempat pembunuh orang tua kita.
Sampai jumpa pula,
Lin Lin
Bu Sin menarik napas panjang, lega hatinya. Tentu yang dimaksudkan di dalam surat, yang disebut oleh Lin Lin “kakek gundul” itu adalah Kim-lun Seng-jin yang tadi diceritakan oleh suami isteri dari Hou-han. Ia tersenyum geli. Kakek gundul yang bernama Kim-lun Seng-jin boleh saja disebut aneh, akan tetapi kakek itu akan “ketemu batunya” kalau melakukan perjalanan bersama Lin Lin. Adik angkatnya ini kadang-kadang mempunyai perangai yang luar biasa sekali, sukar dikendalikan, aneh dan tentu kakek gundul itu akan menjadi banyak pusing olehnya.
“Dia diberi petunjuk orang sakti akan jejak musuh besar kita, baik sekali. Mudah-mudahan dia berhasil dan selamat,” katanya sambil merobek-robek surat itu.
“Kita sendiri bagaimana, Sin-ko? Kemana kita harus mencari atau mengikuti Lin Lin?”
“Dia sendiri saja kalau sudah minggat mana kita mampu mengejarnya, apalagi sekarang bersama seorang sakti. Kita tidak perlu mencarinya, kita melanjutkan perjalanan ke kota raja. Agaknya akan lebih baik kalau kita mencari Kakak Bu Song lebih dulu, karena sebagai seorang yang lama tinggal di kota raja, tentu dia mempunyai banyak pengalaman dan akan dapat memberi petunjuk kepada kita.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bu Sin dan Sian Eng sudah meninggalkan kota An-sui, menuju ke kota raja.
**** 019 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar