FB

FB


Ads

Minggu, 19 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 013

“Kalian ini bocah-bocah sembrono sekali. Tidak lihatkah tadi betapa kakek pengemis itu memperlihatkan ilmu gin-kang yang amat luar biasa? Dan uang perak itu, diludahi saja menjadi bengkok dan rusak! Tidak salah lagi, dia tentu seorang sakti dan melihat pakaiannya, agaknya dia seorang diantara pimpinan perkumpulan pengemis. Lupakah kalian akan kata-katanya tadi bahwa uang perak membatalkan niatnya membunuh tiga ekor nyamuk? Tentu yang ia maksudkan tiga ekor nyamuk adalah kita bertiga. Agaknya dia tadinya bermaksud membunuh kita bertiga, akan tetapi karena Lin Lin memberinya sepotong uang perak, ia membatalkan niatnya. Sungguh berbahaya!”

Lin Lin membanting kaki.
“Kakek keparat! Kita menaruh kasihan dan memberi sedekah, dia malah menghina, menyebut kita nyamuk dan memandang rendah sekali. Sin-ko, kenapa kau tadi tidak bilang kepadaku? Sedikitnya aku dapat mencoba kepandaiannya, sampai dimana sih tingginya maka dia begitu sombong!”

“Lin-moi, jangan bicara sembarangan. Dia orang sakti!” bentak Bu Sin.

“Aku tidak takut!” Lin Lin mengedikkan kepala membusungkan dada.

Bu Sin hendak marah, akan tetapi segera ditekannya perasaanya. Ia tidak bisa marah kepada Lin Lin, pertama karena memang ia amat sayang kepada adik angkatnya ini, ke dua, karena ia merasa tidak enak kalau harus marah kepada adik angkat, khawatir kalau-kalau Lin Lin merasa dibedakan. Memang, biarpun masih muda, Bu Sin mempunyai watak yang baik sekali.

“Lin-moi, lain kali kau harus mentaati kata-kata Koko jangan banyak membantah. Kau membikin Sin-ko menjadi bingung dan marah saja!” Sian Eng menegur Lin Lin.

Setelah ditegur, barulah Lin Lin insyaf. Sambil tertawa ia menyambar tangan Bu Sin.
“Sin-ko, apakah kau marah kepadaku? Apakah aku banyak rewel? Ampunkan saja aku, ya kakak yang baik?”

Mau tak mau Bu Sin tertawa juga.
“Kau memang nakal.”

“Memang aku nakal, tapi tidak galak seperti Enci Sian Eng!” Lin Lin mengerling ke arah cicinya.

Kini Sian Eng yang cemberut dan tangannya menyambar hendak mencubit lengan adiknya. Lin Lin meloncat, lari memutari tubuh Bu Sin dan menjerit-jerit,

“Sin-ko, tolong.... Enci galak mau bunuh aku....!”

“Hushhh, gila kau, Lin-moi! Masa bunuh, siapa yang bunuh? Memangnya kau ini seekor semut, gampang saja dibunuh.” Terpaksa Sian Eng menghentikan kejarannya. Tak berdaya ia terhadap adik yang nakal ini.

Tanpa terasa karena di sepanjang jalan mereka bersendau-gurau, tiga orang muda ini sudah keluar dari kota Wu-han, melalui pintu kota sebelah timur. Malam telah larut dan keadaan amat gelap karena langit hanya diterangi bintang-bintang. Amat sukar melakukan perjalanan di malam gelap, apalagi kalau orang tidak mengenal jalan. Tiga orang muda itu selamanya belum pernah melewati jalan itu.

“Sin-ko, kita tidak tahu mana jurusan ke kota raja, dan aku amat lelah,” Sian Eng mengomel.

“Sebaiknya kita menunda perjalanan malam ini dan melanjutkannya esok pagi-pagi.”

“Kita sudah keluar dari Wu-han sekarang, boleh saja berhenti. Akan tetapi dimana harus beristirahat? Tidak ada sebuah rumah pun, sejak tadi tidak terlihat api rumah penduduk. Agaknya daerah ini jauh daripada dusun.” kata Bu Sin.

“He, kalian lihat. Bukankah disana itu rumah? Tapi gelap amat....!” Lin Lin tiba-tiba berkata.

Mereka melihat dan benar saja. Diantara kegelapan malam yang disinari bintang-bintang di langit itu tampak bayangan sebuah bangunan rumah di sebelah kiri. Seperti diberi komando ketiganya menghampiri rumah itu dan setelah mereka berada di pekarangan depan, kiranya itu adalah sebuah kelenteng yang sudah tua dan tidak terpakai lagi.






“Kita istirahat disini melewatkan malam,” kata Bu Sin dengan hati lega.

Biarpun hanya sebuah kelenteng tua dan rusak, namun cukup lumayan dan jauh lebih baik daripada bermalam di tengah jalan, di udara terbuka. Baru saja mereka membersihkan lantai yang berdebu dan duduk, tiba-tiba tampak sinar api dan di depan kelenteng tua itu telah berdiri belasan orang yang memegang obor! Tiga orang muda itu memandang dan terkejutlah mereka ketika melihat bahwa empat belas orang itu berpakaian seperti pengemis!

“Kalian mau apa?” bentak Lin Lin yang sudah meloncat berdiri bersama dua orang saudaranya.

Seorang kakek pengemis bertubuh pendek gemuk, agaknya pemimpin rombongan itu karena dia seorang yang tidak memegang obor, tersenyum lebar dan berkata.

“Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah merobohkan empat orang anak buah kami, sekarang pangcu (ketua) kami memanggil Sam-wi menghadap.”

Bu Sin tidak heran menghadapi rombongan ini karena memang ia sudah mengkhawatirkan akibat daripada sepak terjang mereka di tepi sungai sore tadi. Ia seorang pemuda yang waspada dan hati-hati, akan tetapi mendengar ucapan yang amat memandang rendah itu, ia menjadi mendongkol juga. Biarpun pemimpin mereka seorang pangcu, akan tetapi hanya ketua pengemis saja, bagaimana berani memanggil mereka menghadap seperti sikap pembesar saja?

“Lopek (Paman Tua), peristiwa sore tadi adalah karena kesalahan teman-temanmu sendiri yang hendak melakukan perampokan sehingga terpaksa kami orang-orang muda turun tangan. Kami tidak mempunyai urusan dengan perkumpulan kalian, juga tidak mengenal ketua kalian. Kalau dia mempunyai urusan dengan kami, persilahkan dia datang kesini bicara,” jawabnya dengan suara angkuh dan sikap tenang.

Kakek pengemis gemuk pendek itu tiba-tiba tertawa.
“Ha-ha-ha-ha, baru bisa merobohkan empat orang anak buah kami yang tiada guna saja kalian sudah besar kepala. Ah, kalian seperti anak burung yang baru belajar terbang, tidak mengenal tingginya langit luasnya lautan. Orang muda, pangcu kami memanggil kalian menghadap dengan baik-baik, harap kalian mengerti dan dapat menghargai kesabaran ini. Jangan sampai aku orang tua turun tangan terhadap bocah-bocah nakal, aku malu untuk berbuat demikian.”

Seakan meledak rasa dada Lin Lin mendengar ucapan yang amat memandang rendah ini. Ia meloncat maju dan membentak,

“Pengemis tua bangka sombong, kau kira kami takut kepadamu? Biar pangcumu datang sendiri, kami tidak akan takut. Kami tidak mau datang, kalian mau apa?”

“Ho-ho, benar-benar seperti katak dalam tempurung! Orang-orang muda, apakah kalian datang dari wilayah Kerajaan Hou-han di Shan-si?”

“Memang kami datang dari wilayah Hou-han, dan kami adalah sebangsa ho-han (orang-orang gagah), apakah kalian baru tahu sekarang?” Lin Lin yang pandai bicara itu menjawab, mendahului kakaknya yang masih diam saja.

Pemuda ini maklum bahwa kalau ia membiarkan terus adiknya ini tampil ke depan dan beraksi keadaan tidak akan menjadi lebih baik, malah akan menjadi lebih kacau lagi! Maka ia cepat maju menghadapi kakek pendek itu.

“Lopek, ketahuilah bahwa kami orang-orang muda melakukan perjalanan hanya lewat saja disini, sama sekali tidak mencari perkara dengan siapa pun juga. Kebetulan saja sore tadi kami bentrok dengan orang-orangmu karena mereka itulah yang mencari perkara. Kami hanya berhenti disini untuk melewatkan malam, besok kami sudah pergi meninggalkan daerah ini. Harap kau orang tua menghabiskan perkara itu.”

“Kalian hendak kemana?”

“Ke Ibukota Kerajaan Sung.”

“Bagus! Kalian datang dari wilayah Hou-han hendak ke Ibukota Kerajaan Sung? Orang muda, mari ikut dengan kami menghadapi pangcu kami.”

Marah juga Bu Sin. Kakek pengemis ini terlalu memandang rendah. Biarpun disitu ada belasan orang pengemis, apakah dikira mereka bertiga takut?

“Kami tidak akan ikut denganmu!” jawabnya sambil mencabut pedang, diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin.

Tiga orang muda ini seperti tiga ekor harimau memperlihatkan taring, dengan pedang di tangan mereka siap menghadapi pengeroyokan. Sedikit pun mereka tidak merasa takut!

“Wah-wah, benar gagah!” Kakek itu berkata lalu memberi isyarat kepada teman-temannya. “Tangkap mereka!”

Bu Sin memutar pedangnya, mengancam,
“Mundur kalian! Lihat pedang!”

Namun kakek itu sudah menerjangnya dengan tongkat, juga beberapa orang pengemis dengan tongkat mereka menyerbu Sian Eng dan Lin Lin yang sudah menyambut mereka dengan pedang.

Pertempuran hebat terjadi di bawah sinar obor. Tiga batang pedang orang-orang muda she Kam itu berkelebatan cepat bagaikan sinar halilintar menyambar-nyambar dan dalam beberapa jurus saja tiga orang pengeroyok sudah roboh sambil memekik kesakitan.

Pengemis pendek gemuk memberi aba-aba. Bu Sin yang bermata awas melihat betapa para pengemis itu mengeluarkan gendewa dan anak panah! Berbahaya, pikirnya.

“Eng-moi, Lin-moi, padamkan obor dengan am-gi (senjata gelap)!”

Teriaknya dan tangan kirinya sudah merogoh saku, mengeluarkan senjata rahasianya, yaitu piauw (pisau terbang). Tangan kirinya bergerak cepat, dua batang piauw menyambar dan terdengar pekik dua orang pemegang obor, tangan mereka terhujam piauw dan obor yang mereka pegang jatuh, padam.

Lin Lin dan Sian Eng juga sudah mempergunakan kelihaian mereka dengan senjata rahasia mereka, yaitu jarum-jarum halus. Dalam waktu singkat obor-obor itu runtuh dan padam. Bu Sin mempergunakan kesempatan selagi keadaan gelap ini, memberi isyarat kepada kedua orang adiknya.

Mereka maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan dan mereka dikeroyok dengan anak panah, tentu mereka akan celaka. Maka dengan cepat mereka mempergunakan gin-kang mereka, memutar pedang untuk menghalau setiap penghalang dan beberapa menit kemudian mereka sudah pergi dari tempat itu, lari di dalam gelap tanpa mengenal arah. Dua jam lebih mereka melarikan diri ke dalam sebuah hutan dan keadaan makin gelap karena daun-daun pohon yang amat rimbun menutupi langit di atas mereka.

“Wah, memalukan benar!” Lin Lin terengah-engah. “Kita lari-lari seperti tiga ekor kelinci dikejar-kejar harimau!”

Suaranya jelas menyatakan bahwa ia tak senang melarikan diri ini, merasa sebal dan penasaran.

Bu Sin dan Sian Eng juga berhenti, menyusut keringat dengan ujung lengan baju.
“Wah, berbahaya benar,” kata Bu Sin. “Lin-moi, kau benar-benar seperti yang dikatakan oleh kakek pengemis tadi, seperti katak dalam tempurung, tak tahu tingginya langit! Kalau kita tadi tidak cepat-cepat memadamkan obor dan mereka menghujankan anak panah, apa kau kira masih akan dapat bernapas saat ini?”

“Belum tentu, Sin-ko!” bantah Lin Lin. “Kita masih belum kalah, dan andaikata akhirnya kita mati dikeroyok, sedikitnya pedangku akan dapat membunuh beberapa orang lawan. Sedikitnya ada beberapa nyawa musuh yang akan menjadi pengantar nyawaku, mati pun tidak penasaran. Kalau lari-lari seperti ini, benar-benar baru disebut penasaran besar!”

Bu Sin hanya tersenyum. Ia mengenal watak Lin Lin yang nakal dan amat berani itu dan diam-diam ia merasa khawatir kalau-kalau adik angkat ini akan menimbulkan gara-gara kelak.

Karena keadaan amat gelap dan mereka tidak dapat mengenal jalan, tiga orang muda itu lalu naik ke atas pohon yang terpaksa bermalam disitu seperti tiga ekor kera kedinginan! Lin Lin tiada hentinya mengomel. Akan tetapi karena mereka amat lelah, mereka dapat tertidur juga di atas pohon dan baru mereka bangun setelah disitu ramai oleh suara burung berkicau menyambut datangnya pagi.

Ketika Lin Lin dan Sian Eng membuka mata, mereka melihat Bu Sin sudah duduk dan memberi tanda dengan telunjuk di depan mulut, menyuruh mereka tidak membuat suara lalu menuding ke bawah.

Mereka memandang dan wajah mereka berubah. Jauh di bawah, kira-kira seratus meter dari pohon tempat mereka bersembunyi, tampak seorang kakek jembel berdiri bersandar tongkat-nya. Kakek yang bongkok, rambutnya riap-riapan dan matanya buta sebelah. Kakek pengemis yang pernah mereka lihat di depan rumah penginapan, yang diberi uang perak oleh Lin Lin dan kemudian meludahi uang itu sampai penyok!

Dan di depan kakek itu berlutut puluhan orang pengemis, termasuk para pengemis yang mengeroyok mereka semalam, mereka berlutut tanpa berani berkutik sedikit pun juga! Kakek pengemis bongkok itu terdengar marah-marah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar