FB

FB


Ads

Minggu, 19 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 012

Si pengemis terhuyung ke belakang, mengaduh kesakitan sambil menutupi mukanya. Darah bercucuran keluar dari hidungnya yang kini menjadi makin miring dan bengkok ke kiri! Matanya yang kanan menjadi hitam dan tak dapat dibuka lagi.

“Setan cilik, kalian berani mencari perkara dengan kami orang-orang dari Pek-ho-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Bangau Putih)?”

Tiga orang pengemis yang lain lalu bergerak menerjang Lin Lin. Gadis ini tertawa mengejek dan menghadapi mereka tanpa gentar sedikitpun juga. Bu Sin dan Sian Eng tentu saja tidak mau berpeluk tangan melihat Lin Lin hendak dikeroyok.

“Jembel-jembel jahat, jangan kurang ajar!” Sian Eng berseru dan tubuhnya berkelebat menghadapi seorang pengemis.

Bu Sin tanpa mengeluarkan suara juga menerjang maju menghadapi pengemis ke dua. Adapun pengemis yang memaki tadi, sudah bertanding melawan Lin Lin. Tiga orang muda ini tidak mau mempergunakan pedang ketika melihat bahwa lawan mereka hanyalah orang biasa saja yang mengandalkan ilmu silat pasaran dan hanya pandai main gertak saja. Lin Lin menghadapi lawannya sambil tertawa-tawa, mempermainkannya dengan kelincahan tubuhnya sehingga semua serangan lawan itu hanya mengenal angin kosong belaka.

Tempat yang tadinya sunyi itu kini penuh orang karena mereka ingin menonton pertempuran itu. Kejadian yang amat mengherankan mereka, akan tetapi diam-diam mereka mengkhawatirkan keselamatan tiga orang muda itu.

Hampir setahun lamanya para pengemis Pek-ho-kai-pang itu merajalela, tak seorang pun berani menentang mereka. Sekarang ada tiga orang muda asing yang datang-datang bertempur melawan pengemis-pengemis itu, tentu saja mereka amat tertarik dan berbondong-bondong datang menonton. Bahkan orang-orang dalam kota Wu-han yang mendengar berita ini, bergegas datang untuk menonton. Akan tetapi banyak diantara mereka terlambat karena ketika mereka datang ke pinggir sungai, pertempuran itu sudah selesai.

Bu Sin yang wataknya pendiam dan tidak mau main-main, segera dapat merobohkan lawannya dengan sebuah tendangan kilat. Pengemis itu terlempar, bergulingan dan tak dapat tertahan lagi tubuhnya menggelinding ke dalam sungai!

Sian Eng juga merobohkan lawannya semenit kemudian. Pukulannya dengan tangan miring yang “memasuki” lambung lawan membuat pengemis lawannya itu roboh menekan-nekan perut dan meringis kesakitan, duduk berjongkok tak tentu geraknya, tapi tidak mampu bangun kembali.

“Stoppp!”

Lin Lin membentak dengan mengulur lengannya ke depan, menyetop pengemis yang menjadi lawannya. Pengemis itu kaget, mengira gadis itu benar-benar hanya menyetopnya saja. Ia pun berdiri dengan memasang kuda-kuda dan memandang heran.

“Stop dulu sebentar, ya?”

Lin Lin melangkah mendekati pengemis bekas lawan cicinya yang kini mendekam di atas tanah itu. kakinya bergerak dan.... tubuh pengemis itu terlempar ke dalam sungai menyusul kawannya! Setelah melakukan hal ini, Lin Lin menghampiri lawannya kembali yang masih berdiri memasang kuda-kuda, lalu berkata manis.

“Nah, sekarang boleh teruskan!”

Sikap gadis yang lincah jenaka ini memancing ledakan ketawa daripada para penonton. Memang sudah terlalu lama mereka tertekan oleh para pengemis, merasa penasaran dan marah yang di-tahan-tahan. Sekarang ada tiga orang muda memberi hajaran, hati mereka lega dan puas. Biarpun biasanya mereka takut terhadap para pengemis Pek-ho-kai-pang, sekarang menyaksikan sikap gadis remaja yang cantik jelita dan jenaka itu, mereka tak dapat menahan kegembiraan mereka.

Lawan Lin Lin marah bukan main, sedangkan pengemis hidung bengkok yang menjadi orang pertama mendapatkan hajaran, siang-siang sudah meninggalkan tempat itu sambil mendekap hidungnya yang remuk. Kemarahan lawan Lin Lin membuat Lin Lin makin gembira. Ia tidak peduli betapa pengemis itu sudah mengeluarkan sebatang tongkat dan menyerang dengan tongkat di tangan.

“Wah, baunya yang tidak tahan!”

Lin Lin menggunakan tangan kiri memijat hidungnya dan kini hanya menghadapi tongkat pengemis itu dengan tangan kanan saja.






Memang lincah sekali gerakan Lin Lin. Tongkat itu biarpun diputar dan dipukul-pukulkan bertubi-tubi, tak pernah dapat menyentuh ujung bajunya. Malah beberapa kali, dengan gerakan kilat, gadis ini sudah berhasil memutar ke belakang lawannya dan mengirim tendangan ke arah pantatnya sampai mengeluarkan suara “plokkk!” dan debu mengebul dari celana yang kotor itu. Para penonton terkekeh-kekeh geli dan ada yang memegangi perut saking menahan tawa.

“Lin-moi, lekas bereskan dia!” Bu Sin mengerutkan kening, membentak adiknya.

“Sudah beres, Sin-ko!”

Jawab Lin Lin dan entah bagaimana lawannya tidak mengerti, tahu-tahu tongkatnya sudah terampas di tangan kanan gadis itu dan kini ia terpaksa terhuyung-huyung mundur dan miring ke kanan kiri karena digebuki dengan tongkatnya sendiri. Lin Lin terus menggebuk pundak, mendorong dada dan akhirnya pengemis yang mundur-mundur itu terjengkang masuk ke dalam sungai!

Karena takut dipermainkan terus oleh Lin Lin, tiga orang pengemis itu membiarkan tubuh mereka hanyut oleh air sungai dan baru berenang mendarat setelah agak jauh dari tempat. Adapun Bu Sin segera membayar tukang perahu yang ketakutan dan menyuruhnya cepat-cepat pergi dari situ. Tanpa diperintah dua kali, si tukang perahu lalu mendayung perahunya sepanjang pinggir sungai melawan arus yang tidak begitu kuat.

Bu Sin maklum bahwa mereka telah membuat ribut di tempat ini, maka ia segera mengajak kedua orang adiknya untuk memasuki kota Wu-han, tidak mempedulikan orang-orang yang tadinya menonton dan kini memandang kepada mereka penuh kekaguman dan kekhawatiran sambil membicarakan peristiwa tadi.

Karena malam telah tiba dan mereka merasa lelah sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan di waktu malam, Bu Sin mengajak dua orang adiknya bermalam pada sebuah rumah penginapan yang berada di sebelah timur pusat kota.

Sebuah rumah penginapan yang sederhana, namun cukup bersih. Di sepanjang perjalanan menuju ke rumah penginapan, mereka tidak pernah melihat adanya pengemis. Lega hati Bu Sin, karena ia sudah merasa khawatir kalau-kalau urusan itu berkepanjangan dan mereka akan menemui kesulitan dari kawan-kawan empat orang pengemis tadi.

“Wah, cerita empek tukang perahu tadi dilebih-lebihkan.” kata Lin Lin. “Katanya disini berkeliaran banyak pengemis jahat, mana buktinya? Hanya empat ekor cacing tanah tadi yang tiada gunanya sama sekali.”

“Eh, Lin-moi, kenapa sih kau agaknya ingin sekali melihat pengemis-pengemis lagi? Mau apa?” tegur Sian Eng setengah menggoda.

“Ingin memberi hajaran lagi kalau mereka benar-benar jahat, biar kapok!” jawab Lin Lin.

“Lin-moi, jangan sembrono kau. Apakah kau kira setelah melihat empat orang pengemis jahat tadi kau lalu menganggap bahwa semua pengemis jahat belaka? Yang tidak jahat patut dikasihani, seperti dia itu, bukankah patut dikasihani?”

Bu Sin menunjuk ke arah seorang pengemis tua yang duduk kedinginan di bawah pohon, yang berada di depan rumah penginapan.

Lin Lin dan Sian Eng memandang. Memang patut dikasihani pengemis tua ini. Ia duduk bersila melengut bersandarkan tongkat bututnya, pakaiannya penuh tambalan, tubuhnya menggigil kedinginan, rambutnya riap-riapan seperti rambut orang gila. Kakek ini sudah tua sekali, kedua matanya meram dan dari pinggir matanya keluar kotoran bertumpuk, bibirnya agak terbuka dan air liurnya bertetesan keluar. Menjijikkan, namun juga menimbulkan kasihan.

Dasar Lin Lin berwatak aneh dan mudah sekali berubah. Gadis ini semenjak kecilnya memang sudah aneh. Mudah marah, mudah menangis, mudah tertawa. Kalau marah hanya sebentar, kalau menangis pun hanya sebentar dan sebagian besar waktunya tentu diisi dengan tawa dan berjenaka.

Kini melihat keadaan kakek ini, tiba-tiba saja kemarahannya terhadap para pengemis tadi lenyap. Ia merogoh saku bajunya, mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke pangkuan kakek itu. Akan tetapi kakek pengemis itu masih saja tidur.

Bu Sin dan Sian Eng terkejut, akan tetapi karena mereka sudah tahu akan watak Lin Lin yang memang aneh, mereka tidak berkata apa-apa, hanya di dalam hati mengeluh bahwa kalau Lin Lin bersikap seroyal ini terhadap semua pengemis, sebentar saja mereka akan kehabisan bekal di jalan!

Masa memberi sedekah kepada seorang pengemis sampai sepotong uang perak? Namun, karena hal itu telah terjadi, mereka tidak mencegah dan ketiganya segera memasuki rumah penginapan, minta sewa dua buah kamar. Sebuah untuk Lin Lin dan Sian Eng, sebuah lagi untuk Bu Sin.

Karena merasa lelah, tiga orang muda itu tidak pergi keluar untuk makan, melainkan menyuruh seorang pelayan rumah penginapan memesan makanan. Selagi mereka makan, terdengar ribut-ribut di luar. Ketiganya keluar dan apa yang terjadi di luar? Ternyata pengemis tua itulah yang menimbulkan keributan.

Tadinya orang-orang di dalam ruangan depan rumah penginapan itu, yakni para tamu yang kebetulan duduk di ruangan depan, mendengar suara orang berteriak-teriak marah. Seorang pelayan wanita membawa lampu keluar dari ruangan untuk melihat apa gerangan yang terjadi. Kiranya pengemis tua itulah yang berteriak-teriak,

“Nyamuk keparat! Nyamuk gila!”

Kakek pengemis itu masih duduk, akan tetapi sekarang tubuhnya yang masih duduk itu terpental-pental ke atas dalam keadaan masih bersila. Debu mengebul di bawahnya ketika tubuhnya itu terbanting-banting, tangan kanannya mengusir nyamuk yang merubungnya, tangan kiri memegangi tongkat.

Wanita pelayan itu kaget sekali. Siapa yang takkan menjadi kaget dan heran melihat orang duduk bersila dapat berloncatan seperti itu? Beberapa orang tamu berlari keluar dan sebentar saja banyak orang melihat kakek itu.

Bu Sin dan dua orang adiknya juga bergegas keluar, meninggalkan meja makan. Mereka bengong dan terkejut. Itulah pertunjukan gin-kang yang hebat. Makin lama tubuh kakek itu meloncat makin tinggi seperti terbang, sedangkan keadaannya masih duduk bersila. Yang lebih hebat lagi, uang perak yang tadinya berada di pangkuan kakek itu sekarang berada di bawahnya, juga uang ini ikut berloncatan di bawah pantat si kakek jembel!

“Nyamuk keparat!”

Kakek itu masih bersunggut-sunggut, tapi kata-kata sambungannya yang tak dimengerti orang lain itu mengejutkan Bu Sin dan adik-adiknya,

“Keparat, uang perak membatalkan niatku membunuh tiga ekor nyamuk!”

Setelah berkata demikian, kakek itu melirik ke arah Bu Sin dan adik-adiknya. Sekarang tampak oleh mereka bahwa kakek itu matanya buta sebelah. Kakek itu bangkit berdiri, meludah sekali, lalu berjalan pergi, terbongkok-bongkok dibantu tongkatnya.

Orang-orang tertawa.
“Kakek itu gila, rupanya....”

Akan tetapi Bu Sin dan adik-adiknya lebih mengerti. Sama sekali bukan kakek gila, melainkan seorang sakti yang luar biasa. Apalagi ketika mereka memandang lebih jelas, kiranya uang perak yang tadi masih ditinggalkan di situ dan uang itulah yang tadi diludahi si kakek. Ketika Bu Sin membungkuk untuk melihat lebih jelas, uang itu ternyata telah melesak dan melengkung oleh ludah.

Pucat wajah Bu Sin.
“Celaka....!” pikirnya, “tentu yang dimaksudkan dengan tiga ekor nyamuk tadi adalah kita bertiga!”

Tanpa banyak cakap lagi ia lalu mengajak dua orang adiknya masuk ke dalam kamar, membereskan bekal pakaian dan malam itu juga ia mengajak adik-adiknya meninggalkan kota Wu-han!

“Eh, kenapa kau seperti orang ketakutan?” tanya Lin Lin.

“Lin-moi, karena perbuatanmu memberi sedekah tadi, nyawa kita sampai detik ini masih selamat,” jawab Bu Sin sambil mengajak dua orang adiknya berjalan cepat.

“Eh, apa maksudmu, Koko?” Sian Eng kaget sekali, juga Lin Lin memandang kakaknya dengan mata terbelalak.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar