Sambil terisak-isak mendengarkan bunyi surat pesan terakhir dari ayah mereka itu, tiga orang anak inipun terheran-heran dan banyak hal yang mereka tidak mengerti.
“Kalian tentu tidak tahu siapa itu Bu Song. Baiklah pinni ceritakan secara singkat. Dahulu, sebelum Ayahmu menikah dengan Ibumu setelah menang berebutan dengan Giam Sui Lok, Ayahmu adalah seorang duda yang mempunyai seorang anak laki-laki tunggal diberi nama Bu Song, Kam Bu Song. Pada waktu itu Bu Song sudah berusia sembilan tahun kurang lebih. Ayahmu menjadi duda bukan karena kematian isterinya, melainkan karena perceraian. Ibu Bu Song seorang ahli silat yang kepandaiannya jauh melebihi Ayahmu, sayangnya.... hemmm, hal ini terpaksa kuberitahukan, dia itu dahulunya adalah seorang gadis dari golongan hitam. Wataknya keras dan mungkin karena inilah ia berpisah dari Ayahmu yang lalu menikah lagi dengan Ibumu.”
“Dan kemana perginya.... eh, Kakak Bu Song itu, Sukouw? Bukankah dia itu terhitung kakakku, karena dia pun putera Ayah?”
Tanya Bu Sin, berdebar hatinya mendengar bahwa dia bukanlah anak sulung, melainkan yang ke dua dan disana masih ada kakaknya yang hampir sepuluh tahun lebih tua dari padanya.
“Itulah yang selalu mengganggu hati mendiang Ayahmu. Ketika mendengar bahwa Ayahmu akan menikah dengan Ibumu, Bu Song, anak yang keras hati seperti ibunya itu, diam-diam minggat pada malam hari dan sampai saat ini tidak diketahui dimana tempat tinggalnya.”
Hening sejenak. Tiga orang anak itu merasa terharu.
“Apakah Ayah tidak mencarinya, Sukouw?” tanya Sian Eng.
“Tentu saja. Malah tujuh tahun kemudian Ayahmu mendengar bahwa puteranya itu berada di kota raja sebagai seorang pelajar yang menempuh ujian. Nama yang dipakainya tetap Bu Song, akan tetapi shenya she Liu, agaknya ia menggunakan she ibunya.”
“Liu Bu Song....”
Kata Lin Lin, agaknya hendak mengingat-ingat nama itu di hatinya. Entah mengapa, ia merasa tertarik dan ada perasaan simpati di hatinya terhadap Liu Bu Song. Mungkin hal ini karena ia teringat akan nasibnya sendiri sebagai seorang anak pungut yang sudah tidak beribu bapak lagi.
“Akan tetapi ketika Ayahmu mencarinya kesana, Bu Song sudah menghilang lagi dan sampai sekarang Ayahmu tidak tahu dimana dia berada. Sekarang, Ayah kalian menghendaki supaya kalian pergi mencarinya. Bagaimana pendirian kalian akan hal ini?”
“Sukouw, teecu merasa lebih perlu untuk pergi mencari setan dalam peti mati yang membawa suling itu. Teecu takkan mau pulang sebelum dapat membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibu!”
“Teecu juga!” kata Sian Eng.
“Tentu saja teecu juga,” sambung Lin Lin. “Akan tetapi juga akan teecu cari sampai dapat dia itu.... eh, Kakak Bu Song.”
Kui Lan Nikouw mengangguk-angguk.
“Pinni tidak dapat menyalahkan kalian untuk dendam ini, apalagi kalian hanya orang-orang muda yang berdarah panas. Akan tetapi janganlah kalian terlalu sembrono dan mengira akan mudah saja mencari orang yang hanya dikenal sebagai setan dalam peti yang membawa suling. Hemmm, apalagi melihat kepandaian orang itu, andaikata kalian dapat menemukannya, agaknya belum tentu kalian akan dapat menang. Oleh karena itu, pinni perkenankan kalian pergi merantau mencari kakak kalian dan juga sekalian mencari musuh besar itu. Akan tetapi, apabila kalian sudah bisa bertemu dengan musuh besar itu, kalian tidak boleh bertindak sembrono, lebih baik kalian memberi tahu kepada pinni. Kalau pinni mampu, tentu pinni akan membantu kalian. Andaikata tidak mampu, pinni masih dapat minta bantuan orang-orang pandai yang pinni kenal. Berjanjilah bahwa kalian tidak akan bertindak sembrono, baru pinni memperkenankan kalian pergi.”
Tiga orang muda itu berjanji akan mentaati pesan ini. Sebulan kemudian, berangkatlah tiga orang kakak beradik itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka menumpang perahu mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke timur mendengarkan cerita tukang perahu yang gemar berceloteh.
Berhari-hari tiga orang muda she Kam itu melakukan perjalanan dengan perahu, menikmati pemandangan yang amat indah di kanan kiri sungai. Tukang perahu bercerita banyak tentang keadaan kota-kota besar dan perubahan-perubahannya semenjak Wangsa Sung berdiri.
“Kita sudah dekat dengan kota Wu-han,” tukang perahu itu berkata dan wajahnya sekarang berubah menjadi gelisah. “Seperti telah saya nyatakan ketika Sam-wi (Anda Bertiga) menyewa perahu ini, saya hanya dapat mengantar sampai di Wu-han saja dan selanjutnya untuk menuju ke kota raja, Sam-wi dapat melakukan perjalanan melalui darat.”
Mendengar ini, Lin Lin bertepuk tangan dan berjingkrak girang.
“Bagus sekali! Aku sudah bosan duduk dan tidur di perahu berhari-hari, kedua kakiku pegal-pegal karena tidak dipakai berjalan. Empek tukang perahu, masih berapa lama lagikah kita sampai di Wu-han?”
“Tidak lama lagi, Nona, sore nanti juga sampai. Akan tetapi menyesal sekali, saya tidak akan dapat mengantar sampai ke kota, terpaksa harus berhenti di luar kota.”
“Eh, kenapa begitu, Lopek?” Bu Sin menegur. “Bukankah kita sudah janji akan turun di Wu-han dan membayar sewanya kepadamu disana?”
“Maaf, Tuan Muda. Tentu saja saya akan merasa senang sekali mengantar Sam-wi sampai ke kota, akan tetapi saya tidak berani melakukannya.”
“Tidak berani? Kenapa?” Sian Eng ikut bicara.
“Karena hal itu berarti bahwa uang sewa yang akan saya terima dari Sam-wi, takkan dapat kubawa pulang, paling banyak hanya setengahnya yang akan dapat saya miliki. Wah, jembel-jembel busuk itu benar-benar membuat hidup kami para nelayan tidak tenteram lagi, Nona.”
“Apa maksudmu? Siapa itu jembel-jembel busuk? Harap ceritakan kepada kami,” Bu Sin mendesak, penasaran.
“Mereka merajalela sekarang, Tuan Muda, jembel-jembel busuk itu. Semenjak Kerajaan Sung berdiri, mereka itu kini mempunyai pengaruh yang amat besar. Di mana-mana, terutama di kota-kota besar, pengemis-pengemis itu berkelompok dan bergabung. Mereka menggunakan praktek pemungutan pajak liar. Apalagi di Wu-han. Saya mendengar bahwa Wu-han merupakan pusat, maka disana berkeliaran banyak sekali pengemis dan setiap orang harus tunduk terhadap mereka. Para nelayan harus membayar pajak kepada mereka setiap kali mendarat, baik berupa hasil penangkapan ikan maupun hasil menyewakan perahu.” Tukang perahu itu kelihatan berduka dan penasaran.
“Aiiihhh, mana ada aturan begitu?” Lin Lin membanting kaki dengan marah.
“Lopek, apakah yang berwajib tidak melarang mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang?” Bu Sin bertanya penasaran.
Tukang perahu menggelengkan kepalanya.
“Mereka tidak berdaya. Pengemis-pengemis itu lihai, semua pandai ilmu silat. Selain itu, mereka itu mengaku sebagai bekas-bekas pejuang yang membantu pendirian Kerajaan Sung. Oleh karena itu, Tuan Muda, kalau Sam-wi kasihan kepada saya, harap Sam-wi sudi turun di luar kota saja, karena kalau diteruskan sampai ke Wu-han, tidak urung uang sewa itu akan mereka minta sebagian atau kalau saya sedang sial, mungkin mereka akan merampasnya semua.”
Merah wajah Bu Sin dan kedua adiknya.
“Tidak, Lopek! Kita terus ke Wu-han dan kami yang tanggung bahwa jembel-jembel busuk yang jahat itu tidak akan mengganggumu!”
“Tapi....”
“Kalau perlu pedang kami ikut bicara!” Lin Lin berseru sambil meraba gagang pedangnya.
Tukang perahu tidak berani membantah lagi dan dengan muka berkerut-merut penuh kekhawatiran, tukang perahu melanjutkan perahunya. Benar seperti yang dikatakannya tadi, menjelang sore, perahu sudah tiba di luar tembok kota Wu-han. Di kota Wu-han inilah Sungai Han memuntahkan airnya ke dalam Sungai Yang-ce dan di tempat ini merupakan pelabuhan sungai yang ramai. Mendekati tempat ini, tukang perahu pucat mukanya dan tubuhnya gemetar ketakutan.
“Celaka, Tuan Muda, lihat disana, mereka benar-benar sudah siap merampok saya....” bisik tukang perahu.
Bu Sin dan dua orang adiknya memandang, akan tetapi tidak ada yang aneh di pelabuhan itu. Karena hari telah sore, pelabuhan itu nampak agak sunyi, hanya beberapa orang nelayan yang sibuk, ada yang menambal perahu, ada yang menjemur jala dan menambal layar. Empat orang pengemis duduk di atas tanah bermalas-malasan. Apakah pengemis-pengemis kurus kering itu yang ditakuti tukang perahu? Hampir saja Lin Lin terkekeh memikirkan hal ini, namun tak dapat ia menahan hatinya bertanya.
“Lopek, kau maksudkan empat ekor cacing tanah itu yang akan mengganggumu?”
“Sssttttt, Nona jangan bicara terlalu keras....” tukang perahu makin pucat.
“Dan Tuan Muda harap suka memberikan uang sewa sekarang juga kepada saya, jangan di depan mereka itu....”
“Tidak, Lopek. Kami malah hendak melihat apa yang mereka akan lakukan terhadapmu. Jangan khawatir, kalau mereka berani merampokmu, kami akan memberi hajaran kepada mereka,” kata Bu Sin.
Dengan terpaksa tukang perahu minggirkan perahunya. Empat orang pengemis itu menoleh ke arah perahu. Seorang diantara mereka yang hidungnya bengkok, menguap lalu berkata keras tanpa berdiri dari tempat duduknya di atas tanah.
“Heee, tukang perahu, dari manakah kau?”
Mengherankan sekali melihat seorang pengemis menegur secara begini dan si tukang perahu menjawab dengan sikap hormat,
“Kami datang dari daerah Propinsi Shen-si, dusun La-kee-bun dekat Sungai Han.”
Empat orang pengemis itu sekarang berdiri mengulet dan menguap. Si Hidung bengkok melangkah lebar menghampiri, tanpa pedulikan Bu Sin dan dua orang adik perempuannya yang sudah meloncat turun dan berdiri memandang dengan mata tajam.
“Ho-ho-ho-ho, perjalanan yang jauh sekali. Tentu biayanya banyak. Berapa kau terima?”
“....hanya.... hanya dua puluh tail.... itupun belum saya terima....” jawab si tukang perahu ketakutan.
“Goblok benar! Sejauh itu hanya dua puluh tail? Kau ditipu! Atau kau yang bohong. Setidaknya harus lima puluh tail!”
Si tukang perahu makin takut.
“Betul, sahabat. Hanya dua puluh tail, akan tetapi Tuan Muda dan kedua Nona ini membagi makan dengan saya dan....”
Lin Lin sudah tidak sabar lagi mendengarkan percakapan ini. Ia melangkah maju dan telunjuk kanannya yang runcing menuding muka pengemis itu.
“Hih, kau ini pengemis tukang minta-minta ataukah perampok? Ada sangkut-paut apa denganmu tentang urusan kami dengan tukang perahu?”
Pengemis itu memandang heran, lalu terbahak.
“Ha-ha-ha, Loheng (Kakak), kau lihat anak ayam ini. Nona cantik, kau belum mengenal kami, ya? Kalau kau tahu siapa aku, hemmm, kau akan lari terkencing-kencing!” Empat orang pengemis itu tertawa mendengar ucapan terakhir ini.
“Jembel busuk! Siapa sudi mengenal macammu? Aku hanya tahu bahwa kau seorang jembel kotor yang berhidung bengkok. Minggat dari sini kalau kau tidak ingin aku membikin hancur hidungmu yang bengkok dan menjijikkan itu!” Lin Lin membentak dan melangkah maju.
Bu Sin dan Sian Eng yang sudah mengenal watak Lin Lin, tidak mau mencegah, apalagi mereka memang mendongkol menyaksikan sikap para pengemis itu. Mereka siap menghadapi pertempuran dan membantu Lin Lin.
Pengemis berhidung bengkok marah sekali. Dengan sikap memandang rendah ia mendekati Lin Lin.
“Bocah liar, kau perlu dihajar!”
Lengannya yang panjang itu diulur maju dengan jari-jari tangan terbuka, agaknya hendak menangkap Lin Lin. Gadis ini tentu saja tidak sudi membiarkan pengemis itu menyentuhnya. Tubuhnya berkelebat cepat sekali, kaki kirinya melayang ke atas dan “prakkk!” ujung sepatunya telah mencium muka pengemis itu dengan keras.
“Kalian tentu tidak tahu siapa itu Bu Song. Baiklah pinni ceritakan secara singkat. Dahulu, sebelum Ayahmu menikah dengan Ibumu setelah menang berebutan dengan Giam Sui Lok, Ayahmu adalah seorang duda yang mempunyai seorang anak laki-laki tunggal diberi nama Bu Song, Kam Bu Song. Pada waktu itu Bu Song sudah berusia sembilan tahun kurang lebih. Ayahmu menjadi duda bukan karena kematian isterinya, melainkan karena perceraian. Ibu Bu Song seorang ahli silat yang kepandaiannya jauh melebihi Ayahmu, sayangnya.... hemmm, hal ini terpaksa kuberitahukan, dia itu dahulunya adalah seorang gadis dari golongan hitam. Wataknya keras dan mungkin karena inilah ia berpisah dari Ayahmu yang lalu menikah lagi dengan Ibumu.”
“Dan kemana perginya.... eh, Kakak Bu Song itu, Sukouw? Bukankah dia itu terhitung kakakku, karena dia pun putera Ayah?”
Tanya Bu Sin, berdebar hatinya mendengar bahwa dia bukanlah anak sulung, melainkan yang ke dua dan disana masih ada kakaknya yang hampir sepuluh tahun lebih tua dari padanya.
“Itulah yang selalu mengganggu hati mendiang Ayahmu. Ketika mendengar bahwa Ayahmu akan menikah dengan Ibumu, Bu Song, anak yang keras hati seperti ibunya itu, diam-diam minggat pada malam hari dan sampai saat ini tidak diketahui dimana tempat tinggalnya.”
Hening sejenak. Tiga orang anak itu merasa terharu.
“Apakah Ayah tidak mencarinya, Sukouw?” tanya Sian Eng.
“Tentu saja. Malah tujuh tahun kemudian Ayahmu mendengar bahwa puteranya itu berada di kota raja sebagai seorang pelajar yang menempuh ujian. Nama yang dipakainya tetap Bu Song, akan tetapi shenya she Liu, agaknya ia menggunakan she ibunya.”
“Liu Bu Song....”
Kata Lin Lin, agaknya hendak mengingat-ingat nama itu di hatinya. Entah mengapa, ia merasa tertarik dan ada perasaan simpati di hatinya terhadap Liu Bu Song. Mungkin hal ini karena ia teringat akan nasibnya sendiri sebagai seorang anak pungut yang sudah tidak beribu bapak lagi.
“Akan tetapi ketika Ayahmu mencarinya kesana, Bu Song sudah menghilang lagi dan sampai sekarang Ayahmu tidak tahu dimana dia berada. Sekarang, Ayah kalian menghendaki supaya kalian pergi mencarinya. Bagaimana pendirian kalian akan hal ini?”
“Sukouw, teecu merasa lebih perlu untuk pergi mencari setan dalam peti mati yang membawa suling itu. Teecu takkan mau pulang sebelum dapat membalas dendam atas kematian Ayah dan Ibu!”
“Teecu juga!” kata Sian Eng.
“Tentu saja teecu juga,” sambung Lin Lin. “Akan tetapi juga akan teecu cari sampai dapat dia itu.... eh, Kakak Bu Song.”
Kui Lan Nikouw mengangguk-angguk.
“Pinni tidak dapat menyalahkan kalian untuk dendam ini, apalagi kalian hanya orang-orang muda yang berdarah panas. Akan tetapi janganlah kalian terlalu sembrono dan mengira akan mudah saja mencari orang yang hanya dikenal sebagai setan dalam peti yang membawa suling. Hemmm, apalagi melihat kepandaian orang itu, andaikata kalian dapat menemukannya, agaknya belum tentu kalian akan dapat menang. Oleh karena itu, pinni perkenankan kalian pergi merantau mencari kakak kalian dan juga sekalian mencari musuh besar itu. Akan tetapi, apabila kalian sudah bisa bertemu dengan musuh besar itu, kalian tidak boleh bertindak sembrono, lebih baik kalian memberi tahu kepada pinni. Kalau pinni mampu, tentu pinni akan membantu kalian. Andaikata tidak mampu, pinni masih dapat minta bantuan orang-orang pandai yang pinni kenal. Berjanjilah bahwa kalian tidak akan bertindak sembrono, baru pinni memperkenankan kalian pergi.”
Tiga orang muda itu berjanji akan mentaati pesan ini. Sebulan kemudian, berangkatlah tiga orang kakak beradik itu dan seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka menumpang perahu mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke timur mendengarkan cerita tukang perahu yang gemar berceloteh.
Berhari-hari tiga orang muda she Kam itu melakukan perjalanan dengan perahu, menikmati pemandangan yang amat indah di kanan kiri sungai. Tukang perahu bercerita banyak tentang keadaan kota-kota besar dan perubahan-perubahannya semenjak Wangsa Sung berdiri.
“Kita sudah dekat dengan kota Wu-han,” tukang perahu itu berkata dan wajahnya sekarang berubah menjadi gelisah. “Seperti telah saya nyatakan ketika Sam-wi (Anda Bertiga) menyewa perahu ini, saya hanya dapat mengantar sampai di Wu-han saja dan selanjutnya untuk menuju ke kota raja, Sam-wi dapat melakukan perjalanan melalui darat.”
Mendengar ini, Lin Lin bertepuk tangan dan berjingkrak girang.
“Bagus sekali! Aku sudah bosan duduk dan tidur di perahu berhari-hari, kedua kakiku pegal-pegal karena tidak dipakai berjalan. Empek tukang perahu, masih berapa lama lagikah kita sampai di Wu-han?”
“Tidak lama lagi, Nona, sore nanti juga sampai. Akan tetapi menyesal sekali, saya tidak akan dapat mengantar sampai ke kota, terpaksa harus berhenti di luar kota.”
“Eh, kenapa begitu, Lopek?” Bu Sin menegur. “Bukankah kita sudah janji akan turun di Wu-han dan membayar sewanya kepadamu disana?”
“Maaf, Tuan Muda. Tentu saja saya akan merasa senang sekali mengantar Sam-wi sampai ke kota, akan tetapi saya tidak berani melakukannya.”
“Tidak berani? Kenapa?” Sian Eng ikut bicara.
“Karena hal itu berarti bahwa uang sewa yang akan saya terima dari Sam-wi, takkan dapat kubawa pulang, paling banyak hanya setengahnya yang akan dapat saya miliki. Wah, jembel-jembel busuk itu benar-benar membuat hidup kami para nelayan tidak tenteram lagi, Nona.”
“Apa maksudmu? Siapa itu jembel-jembel busuk? Harap ceritakan kepada kami,” Bu Sin mendesak, penasaran.
“Mereka merajalela sekarang, Tuan Muda, jembel-jembel busuk itu. Semenjak Kerajaan Sung berdiri, mereka itu kini mempunyai pengaruh yang amat besar. Di mana-mana, terutama di kota-kota besar, pengemis-pengemis itu berkelompok dan bergabung. Mereka menggunakan praktek pemungutan pajak liar. Apalagi di Wu-han. Saya mendengar bahwa Wu-han merupakan pusat, maka disana berkeliaran banyak sekali pengemis dan setiap orang harus tunduk terhadap mereka. Para nelayan harus membayar pajak kepada mereka setiap kali mendarat, baik berupa hasil penangkapan ikan maupun hasil menyewakan perahu.” Tukang perahu itu kelihatan berduka dan penasaran.
“Aiiihhh, mana ada aturan begitu?” Lin Lin membanting kaki dengan marah.
“Lopek, apakah yang berwajib tidak melarang mereka melakukan perbuatan sewenang-wenang?” Bu Sin bertanya penasaran.
Tukang perahu menggelengkan kepalanya.
“Mereka tidak berdaya. Pengemis-pengemis itu lihai, semua pandai ilmu silat. Selain itu, mereka itu mengaku sebagai bekas-bekas pejuang yang membantu pendirian Kerajaan Sung. Oleh karena itu, Tuan Muda, kalau Sam-wi kasihan kepada saya, harap Sam-wi sudi turun di luar kota saja, karena kalau diteruskan sampai ke Wu-han, tidak urung uang sewa itu akan mereka minta sebagian atau kalau saya sedang sial, mungkin mereka akan merampasnya semua.”
Merah wajah Bu Sin dan kedua adiknya.
“Tidak, Lopek! Kita terus ke Wu-han dan kami yang tanggung bahwa jembel-jembel busuk yang jahat itu tidak akan mengganggumu!”
“Tapi....”
“Kalau perlu pedang kami ikut bicara!” Lin Lin berseru sambil meraba gagang pedangnya.
Tukang perahu tidak berani membantah lagi dan dengan muka berkerut-merut penuh kekhawatiran, tukang perahu melanjutkan perahunya. Benar seperti yang dikatakannya tadi, menjelang sore, perahu sudah tiba di luar tembok kota Wu-han. Di kota Wu-han inilah Sungai Han memuntahkan airnya ke dalam Sungai Yang-ce dan di tempat ini merupakan pelabuhan sungai yang ramai. Mendekati tempat ini, tukang perahu pucat mukanya dan tubuhnya gemetar ketakutan.
“Celaka, Tuan Muda, lihat disana, mereka benar-benar sudah siap merampok saya....” bisik tukang perahu.
Bu Sin dan dua orang adiknya memandang, akan tetapi tidak ada yang aneh di pelabuhan itu. Karena hari telah sore, pelabuhan itu nampak agak sunyi, hanya beberapa orang nelayan yang sibuk, ada yang menambal perahu, ada yang menjemur jala dan menambal layar. Empat orang pengemis duduk di atas tanah bermalas-malasan. Apakah pengemis-pengemis kurus kering itu yang ditakuti tukang perahu? Hampir saja Lin Lin terkekeh memikirkan hal ini, namun tak dapat ia menahan hatinya bertanya.
“Lopek, kau maksudkan empat ekor cacing tanah itu yang akan mengganggumu?”
“Sssttttt, Nona jangan bicara terlalu keras....” tukang perahu makin pucat.
“Dan Tuan Muda harap suka memberikan uang sewa sekarang juga kepada saya, jangan di depan mereka itu....”
“Tidak, Lopek. Kami malah hendak melihat apa yang mereka akan lakukan terhadapmu. Jangan khawatir, kalau mereka berani merampokmu, kami akan memberi hajaran kepada mereka,” kata Bu Sin.
Dengan terpaksa tukang perahu minggirkan perahunya. Empat orang pengemis itu menoleh ke arah perahu. Seorang diantara mereka yang hidungnya bengkok, menguap lalu berkata keras tanpa berdiri dari tempat duduknya di atas tanah.
“Heee, tukang perahu, dari manakah kau?”
Mengherankan sekali melihat seorang pengemis menegur secara begini dan si tukang perahu menjawab dengan sikap hormat,
“Kami datang dari daerah Propinsi Shen-si, dusun La-kee-bun dekat Sungai Han.”
Empat orang pengemis itu sekarang berdiri mengulet dan menguap. Si Hidung bengkok melangkah lebar menghampiri, tanpa pedulikan Bu Sin dan dua orang adik perempuannya yang sudah meloncat turun dan berdiri memandang dengan mata tajam.
“Ho-ho-ho-ho, perjalanan yang jauh sekali. Tentu biayanya banyak. Berapa kau terima?”
“....hanya.... hanya dua puluh tail.... itupun belum saya terima....” jawab si tukang perahu ketakutan.
“Goblok benar! Sejauh itu hanya dua puluh tail? Kau ditipu! Atau kau yang bohong. Setidaknya harus lima puluh tail!”
Si tukang perahu makin takut.
“Betul, sahabat. Hanya dua puluh tail, akan tetapi Tuan Muda dan kedua Nona ini membagi makan dengan saya dan....”
Lin Lin sudah tidak sabar lagi mendengarkan percakapan ini. Ia melangkah maju dan telunjuk kanannya yang runcing menuding muka pengemis itu.
“Hih, kau ini pengemis tukang minta-minta ataukah perampok? Ada sangkut-paut apa denganmu tentang urusan kami dengan tukang perahu?”
Pengemis itu memandang heran, lalu terbahak.
“Ha-ha-ha, Loheng (Kakak), kau lihat anak ayam ini. Nona cantik, kau belum mengenal kami, ya? Kalau kau tahu siapa aku, hemmm, kau akan lari terkencing-kencing!” Empat orang pengemis itu tertawa mendengar ucapan terakhir ini.
“Jembel busuk! Siapa sudi mengenal macammu? Aku hanya tahu bahwa kau seorang jembel kotor yang berhidung bengkok. Minggat dari sini kalau kau tidak ingin aku membikin hancur hidungmu yang bengkok dan menjijikkan itu!” Lin Lin membentak dan melangkah maju.
Bu Sin dan Sian Eng yang sudah mengenal watak Lin Lin, tidak mau mencegah, apalagi mereka memang mendongkol menyaksikan sikap para pengemis itu. Mereka siap menghadapi pertempuran dan membantu Lin Lin.
Pengemis berhidung bengkok marah sekali. Dengan sikap memandang rendah ia mendekati Lin Lin.
“Bocah liar, kau perlu dihajar!”
Lengannya yang panjang itu diulur maju dengan jari-jari tangan terbuka, agaknya hendak menangkap Lin Lin. Gadis ini tentu saja tidak sudi membiarkan pengemis itu menyentuhnya. Tubuhnya berkelebat cepat sekali, kaki kirinya melayang ke atas dan “prakkk!” ujung sepatunya telah mencium muka pengemis itu dengan keras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar