Perjalanan mendaki puncak itu makan waktu tiga jam, padahal tiga orang muda itu sudah mempergunakan ilmu lari cepat. Biarpun cekatan gerakan mereka, karena hanya diterangi oleh obor di tangan, perjalanan itu agak lambat juga.
Kui Lan Nikouw yang sudah berusia enam puluh tahun lebih masih segar mukanya dan masih gesit gerakan-gerakannya itu menjadi kaget melihat kedatangan tiga orang murid keponakannya di waktu malam gelap itu.
“Eh, apa yang terjadi? Mengapa malam-malam datangnya?”
Tegurnya, namun hatinya sudah lega melihat wajah tiga orang murid keponakan itu tidak membayangkan sesuatu yang hebat.
Setelah mereka berlutut memberi hormat, Bu Sin berkata,
“Ayah yang menyuruh teecu (murid) bertiga, Sukouw, pertama-tama Ayah menyuruh kami menyampaikan hormat. Kedua kalinya, Ayah mohon kepada Sukouw agar sudi bersama kami turun gunung menuju ke pondok kami sambil membawa peti hitam yang sepuluh tahun lalu Ayah titipkan kepada Sukouw.”
“Hemmm, hemmm.... Ayahmu memang aneh. Urusan begini saja menyuruh kalian malam-malam bersusah payah kesini. Kenapa tidak siang-siang tadi, atau besok saja kalau sudah terang? Masuklah, kalian tentu lelah dan belum makan, bukan? Untung banyak sayur-sayuran segar, tinggal masak saja. Sian Eng, Lin Lin, kalian bantu Sukouwmu, hayo ke dapur!”
Memang nenek pendeta itu orangnya ramah sekali amat disayang oleh tiga orang murid keponakan ini.
Akan tetapi nikouw itu tertegun melihat tiga orang keponakannya tinggal diam saja, dan jelas mereka ingin menyatakan sesuatu. Ia mulai merasa tidak enak lagi.
“Eh, kalian ini bocah-bocah ada urusan apakah? Kalau ada kepentingan, hayo bilang jangan ragu-ragu!”
“Sukouw, sebetulnya.... kami sendiri merasa tidak enak dan hanya karena dipaksa oleh Ayah, maka kami pergi kesini, maka teecu bertiga mohon petunjuk dan nasihat Sukouw.”
“Ada apa? Hayo lekas bicara.” Makin tak enak hati Kui Lan Nikouw.
Bu Sin lalu menceritakan kepada bibi gurunya tentang kunjungan laki-laki tinggi besar muka hitam yang mencurigakan tadi, menceritakan pula percakapan antara tamu itu dan ayahnya.
“Hemmm, laki-laki tinggi besar muka hitam? Kau tahu siapa namanya?”
“Ayah menyebut namanya, Giam Sui Lok namanya, Sukouw,” kata Lin Lin. “Orangnya kurang ajar, mukanya buruk, ingin aku bacok hidungnya dengan pedangku!”
Biasanya, kelincahan dan kejenakaan Lin Lin menggembirakan hati nikouw itu, akan tetapi kali ini ia tampak termenung.
“Giam Sui Lok....? Ah, akhirnya dia datang juga....?”
“Sukouw kenal dia? Siapakah dia dan mengapa dia datang mencari Ayah dengan sikap begitu kurang ajar?” Bu Sin mendesak.
“Berbahaya, tentu terjadi pertumpahan darah.... wah, anak-anak, hayo kita turun puncak sekarang juga. Siapkan obor, biar kuambil peti hitam Ayahmu. Nanti di jalan kuceritakan siapa adanya orang she Giam itu.”
Lega hati tiga orang anak muda itu. Cepat mereka mempersiapkan obor empat buah banyaknya dan ketika nikouw itu keluar membawa sebuah peti hitam yang panjangnya tiga kaki lebar dan tingginya satu kaki, mereka segera ingin membantu. Akan tetapi nikouw itu tidak memperkenankan mereka.
“Jalan turun agak sulit, biar aku yang bawa peti ini dan kalian yang menerangi jalan. Hayo berangkat!”
Di tengah perjalanan, nikouw itu tidak bercerita banyak, akan tetapi cukup membuat tiga orang muda itu termenung dan berdebar-debar jantungnya.
“Orang she Giam itu memang musuh lama Ayahmu, dan memang Ayahmu betul menyuruh kalian pergi agar tidak mencampuri urusan itu. Urusan itu adalah urusan pribadi yang hanya dapat diselesaikan antara Ayahmu, orang she Giam itu, dan Ibumu.”
“Permusuhan apa, Sukouw?” Bu Sin bertanya penasaran.
“Urusan.... eh, urusan.... percintaan. Sebelum Ibumu menikah dengan Ayahmu, orang she Giam itu adalah.... eh, ia dan Ibumu agaknya saling mencinta, lalu datang Ayahmu terjadi persaingan, Ayahmu menang dan orang she Giam itu pergi dengan hati patah dan penuh dendam. Selama belasan tahun ini entah sudah berapa kali ia datang menantang Ayahmu, akan tetapi ia selalu kalah oleh Ayahmu. Sekarang ia datang lagi, tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Dasar orang-orang lelaki memang aneh dan tolol.... eh, mengapa aku bicara begini? Hemmm, urusan ini benar-benar membuat hati dan pikiran pinni (aku) kacau-balau....”
Sudah cukup jelas bagi mereka bertiga. Juga cerita itu membuat mereka menjadi malu dan tidak enak, maka mereka membungkam tidak berani bertanya lagi. Bahkan kebencian mereka terhadap orang she Giam itu agak berkurang setelah mereka mendengar bahwa dia itu dahulunya saling mencinta dengan ibu mereka. Bahkan dalam hati kecil Lin Lin timbul rasa kasihan. Perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan terhadap seorang laki-laki.
Karena merasa tegang dan khawatir setelah mendengar keterangan Kui Lan Nikouw, perjalanan dilakukan cepat sekali dan hanya memakan waktu dua jam. Betapapun juga, tengah malam hampir tiba ketika mereka memasuki pekarangan yang lebar di rumah gedung keluarga Kam.
Dapat dibayangkan betapa gelisah hati orang-orang muda itu ketika melihat rumah mereka gelap sama sekali. Setelah meloncat mereka berlari ke arah pintu depan dengan obor di tangan.
“Ayah....!”
Bu Sin berseru keras dan segera diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin yang berteriak-teriak memanggil ayah ibu mereka.
“Tenang, anak-anak. Mencurigakan sekali ini, mengapa begini sunyi? Biar aku yang masuk lebih dulu,” kala Kui Lan Nikouw yang selalu berhati-hati dan yang sudah banyak pengalamannya.
Nikouw itu sambil memondong peti hitam di tangan kiri dan tangan kanannya siap di depan dada, diterangi dari belakang oleh tiga orang keponakannya, berjalan masuk ke dalam rumah.
Ruangan depan sunyi dan kosong, dan pada saat mereka memasuki ruangan tengah yang lebar, tiga orang anak muda itu menjerit dan lari menubruk ke depan. Ayah mereka menggeletak mandi darah di sudut, tak jauh dari situ menggeletak pula ibu mereka, juga bermandi darah, dan di sudut lain mereka melihat laki-laki tinggi besar muka hitam itu rebah terlentang dengan mata mendelik, juga mandi darah!
Tiga orang anak muda itu menangis, sebentar memeluk ayah, sebentar menubruk ibu, mengguncang-guncang dan memanggil-manggil. Tiba-tiba Lin Lin bangkit berdiri, matanya menyinarkan api.
“Sratt!” Pedang sudah ia cabut dan sekali loncat ia sudah mendekati mayat orang she Giam itu.
“Kau yang membunuh Ayah Ibu!” Pedangnya bergerak menyambar hendak memenggal leher mayat itu.
Gerakannya tertahan ketika tekanan pada pundak kanannya membuat tangan yang memegang pedang menjadi lemas. Kiranya bibi gurunya sudah berdiri di belakangnya. Ketika Lin Lin menoleh dan melihat bibi gurunya, ia menangis dan memprotes,
“Dia membunuh Ayah Ibu, Sukouw, dia harus kucincang hancur!”
“Ssttt, anak bodoh. Simpan pedangmu. Kalau dia membunuh ayah bundamu, bagaimana dia sendiri mati disini?”
“Dia berhasil membunuh Ibu, lalu berhasil membunuh Ayah, akan tetapi tentu Ayah juga dapat melukainya sehingga ia pun mampus!” Lin Lin membantah lagi, penasaran.
“Tenanglah, dan tengok. Bu Sin, Sian Eng, kalian juga periksa baik-baik. Kumpulkan obor-obor itu ke ini. Nah, lihat. Mereka bertiga tewas dengan luka-luka pada perut dan dada, luka-luka oleh senjata tajam. Dan kalian lihat itu, pedang itu tentu pedang Ayahmu, terpental disana dan sedikit pun tidak ada tanda darah. Dan orang she Giam itu tentu bersenjata golok, nah, dimana goloknya, juga terpental dan tidak ada tanda darah. Memang dia ahli golok sejak dulu. Terang bahwa baik pedang Ayahmu maupun golok dia itu tidak menjadi sebab kematian mereka semua ini. Eh.... nanti dulu! Ibumu belum mati.... biar kutolong dia....”
Nikouw itu lalu meletakkan peti hitam di atas meja dan cepat ia berlutut memeriksa Nyonya Kam. Benar saja dugaannya, nyonya ini biarpun terluka hebat, masih belum tewas, setelah ditotok dan diurut beberapa kali oleh jari-jari tangan Kui Lan Nikouw yang ahli, ia mengeluh perlahan.
“Siapa membunuhmu? Katakan, pinni Kui Lan Nikouw disini, kenal aku? Nah, katakan, siapa melakukan semua ini?”
Kata-kata yang nyaring dari nikouw itu, yang mengandung desakan, membuat hati tiga orang anak muda itu seperti diremas-remas. Desakan yang tak sabar ini cukup jelas bagi mereka bahwa ibu mereka tak dapat ditolong lagi, hanya dapat diharapkan memberi keterangan tentang pembunuhan itu.
“Iihhh.... takut.... takut.... setan....!” Nyonya itu berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin yang semenjak kecil digembleng ilmu silat dan sifat-sifat kegagahan, mau tidak mau merasa ngeri dan meremang bulu tengkuk mereka mendengar jerit ibu mereka ini.
“Tenang, adikku, pinni berada disini. Setan apa yang kau takuti?” kembali nikouw itu membujuk dan mendesak.
Nyonya itu menangis, terengah-engah, lalu berkata, lirih tapi masih ketakutan,
“Setan.... dalam peti mati.... suaranya.... suling.... suling maut....”
Nikouw itu berdiri. Nyonya yang ketakutan itu sudah tak bergerak lagi. Tiga orang muda itu menubruk dan menangisi ibunya. Kui Lan Nikouw berbisik-bisik, membaca mantera dan doa-doa, mendoakan roh-roh ketiga orang itu. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi dapat menduga bahwa tiga orang itu menjadi korban seorang penjahat yang luar biasa sekali.
Mungkin ucapan terakhir dari ibu Bu Sin dan Sian Eng tadi hanyalah kata-kata igauan yang tiada artinya. Akan tetapi bahwa pembunuh itu sakti, tak dapat disangsikan lagi karena tingkat kepandaian Kam Si Ek bukanlah rendah, apalagi orang she Giam itu juga menjadi korban, terbunuh secara mengerikan.
Setelah selesai mengurus pemakaman tiga jenazah itu, Kui Lan Nikouw membuka sampul surat yang ia temukan dalam kamar adik seperguruannya. Sampul surat yang memang ditujukan kepadanya. Ia membaca isi surat itu, menggeleng-geleng kepala memanggil Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin berkumpul. Di depan mereka ia baca lagi surat itu dengan suara keras. Surat itu singkat saja, seperti berikut:
Kui Lan suci yang mulia.
Surat ini kubuat lebih dulu, menjaga kalau-kalau aku tewas dalam menghadapi Giam Sui Lok. Kau tahu urusanku dengan dia, tak seorang pun boleh mencampuri, dia berhak menuntut seorang diantara kami harus mati untuk membiarkan yang lain hidup di samping Bwee Hwa. Sengaja kusuruh anak-anak pergi menjemput Suci.
Kalau aku tewas, kiranya Bwee Hwa tentu akan membunuh diri seperti yang berkali-kali ia nyatakan dalam hubungan kami dengan orang she Giam itu. Kalau terjadi kami berdua tewas, harap Suci atur anak-anak.
Peti hitam itu selain berisi harta pusaka yang sengaja kusimpan, juga terdapat sebuah gelang emas dengan huruf BU SONG. Kau tahu, itu adalah gelang emas milik BU SONG. Harta pusaka itu diberikan kepada empat orang anak, bagi rata, jangan bedakan sedikit juga antara Bu Song dan Lin Lin serta yang dua orang.
Akan tetapi suruh tiga orang anak itu pergi mencari Bu Song sampai dapat. Aku tidak tahu dimana ia berada, pengetahuanku tentang dia sama dengan pengetahuanmu, Suci, maka kau ceritakan kepada mereka.
Kalau aku tewas di tangan Giam Sui Lok, pesan semua anak-anak jangan mencari dan membalas dendam kepadanya. Sudah terlalu banyak orang she Giam itu menderita karena aku.
Hormat Sutemu,
KAM SI EK
Kui Lan Nikouw yang sudah berusia enam puluh tahun lebih masih segar mukanya dan masih gesit gerakan-gerakannya itu menjadi kaget melihat kedatangan tiga orang murid keponakannya di waktu malam gelap itu.
“Eh, apa yang terjadi? Mengapa malam-malam datangnya?”
Tegurnya, namun hatinya sudah lega melihat wajah tiga orang murid keponakan itu tidak membayangkan sesuatu yang hebat.
Setelah mereka berlutut memberi hormat, Bu Sin berkata,
“Ayah yang menyuruh teecu (murid) bertiga, Sukouw, pertama-tama Ayah menyuruh kami menyampaikan hormat. Kedua kalinya, Ayah mohon kepada Sukouw agar sudi bersama kami turun gunung menuju ke pondok kami sambil membawa peti hitam yang sepuluh tahun lalu Ayah titipkan kepada Sukouw.”
“Hemmm, hemmm.... Ayahmu memang aneh. Urusan begini saja menyuruh kalian malam-malam bersusah payah kesini. Kenapa tidak siang-siang tadi, atau besok saja kalau sudah terang? Masuklah, kalian tentu lelah dan belum makan, bukan? Untung banyak sayur-sayuran segar, tinggal masak saja. Sian Eng, Lin Lin, kalian bantu Sukouwmu, hayo ke dapur!”
Memang nenek pendeta itu orangnya ramah sekali amat disayang oleh tiga orang murid keponakan ini.
Akan tetapi nikouw itu tertegun melihat tiga orang keponakannya tinggal diam saja, dan jelas mereka ingin menyatakan sesuatu. Ia mulai merasa tidak enak lagi.
“Eh, kalian ini bocah-bocah ada urusan apakah? Kalau ada kepentingan, hayo bilang jangan ragu-ragu!”
“Sukouw, sebetulnya.... kami sendiri merasa tidak enak dan hanya karena dipaksa oleh Ayah, maka kami pergi kesini, maka teecu bertiga mohon petunjuk dan nasihat Sukouw.”
“Ada apa? Hayo lekas bicara.” Makin tak enak hati Kui Lan Nikouw.
Bu Sin lalu menceritakan kepada bibi gurunya tentang kunjungan laki-laki tinggi besar muka hitam yang mencurigakan tadi, menceritakan pula percakapan antara tamu itu dan ayahnya.
“Hemmm, laki-laki tinggi besar muka hitam? Kau tahu siapa namanya?”
“Ayah menyebut namanya, Giam Sui Lok namanya, Sukouw,” kata Lin Lin. “Orangnya kurang ajar, mukanya buruk, ingin aku bacok hidungnya dengan pedangku!”
Biasanya, kelincahan dan kejenakaan Lin Lin menggembirakan hati nikouw itu, akan tetapi kali ini ia tampak termenung.
“Giam Sui Lok....? Ah, akhirnya dia datang juga....?”
“Sukouw kenal dia? Siapakah dia dan mengapa dia datang mencari Ayah dengan sikap begitu kurang ajar?” Bu Sin mendesak.
“Berbahaya, tentu terjadi pertumpahan darah.... wah, anak-anak, hayo kita turun puncak sekarang juga. Siapkan obor, biar kuambil peti hitam Ayahmu. Nanti di jalan kuceritakan siapa adanya orang she Giam itu.”
Lega hati tiga orang anak muda itu. Cepat mereka mempersiapkan obor empat buah banyaknya dan ketika nikouw itu keluar membawa sebuah peti hitam yang panjangnya tiga kaki lebar dan tingginya satu kaki, mereka segera ingin membantu. Akan tetapi nikouw itu tidak memperkenankan mereka.
“Jalan turun agak sulit, biar aku yang bawa peti ini dan kalian yang menerangi jalan. Hayo berangkat!”
Di tengah perjalanan, nikouw itu tidak bercerita banyak, akan tetapi cukup membuat tiga orang muda itu termenung dan berdebar-debar jantungnya.
“Orang she Giam itu memang musuh lama Ayahmu, dan memang Ayahmu betul menyuruh kalian pergi agar tidak mencampuri urusan itu. Urusan itu adalah urusan pribadi yang hanya dapat diselesaikan antara Ayahmu, orang she Giam itu, dan Ibumu.”
“Permusuhan apa, Sukouw?” Bu Sin bertanya penasaran.
“Urusan.... eh, urusan.... percintaan. Sebelum Ibumu menikah dengan Ayahmu, orang she Giam itu adalah.... eh, ia dan Ibumu agaknya saling mencinta, lalu datang Ayahmu terjadi persaingan, Ayahmu menang dan orang she Giam itu pergi dengan hati patah dan penuh dendam. Selama belasan tahun ini entah sudah berapa kali ia datang menantang Ayahmu, akan tetapi ia selalu kalah oleh Ayahmu. Sekarang ia datang lagi, tentu akan terjadi perkelahian mati-matian. Dasar orang-orang lelaki memang aneh dan tolol.... eh, mengapa aku bicara begini? Hemmm, urusan ini benar-benar membuat hati dan pikiran pinni (aku) kacau-balau....”
Sudah cukup jelas bagi mereka bertiga. Juga cerita itu membuat mereka menjadi malu dan tidak enak, maka mereka membungkam tidak berani bertanya lagi. Bahkan kebencian mereka terhadap orang she Giam itu agak berkurang setelah mereka mendengar bahwa dia itu dahulunya saling mencinta dengan ibu mereka. Bahkan dalam hati kecil Lin Lin timbul rasa kasihan. Perasaan aneh yang belum pernah ia rasakan terhadap seorang laki-laki.
Karena merasa tegang dan khawatir setelah mendengar keterangan Kui Lan Nikouw, perjalanan dilakukan cepat sekali dan hanya memakan waktu dua jam. Betapapun juga, tengah malam hampir tiba ketika mereka memasuki pekarangan yang lebar di rumah gedung keluarga Kam.
Dapat dibayangkan betapa gelisah hati orang-orang muda itu ketika melihat rumah mereka gelap sama sekali. Setelah meloncat mereka berlari ke arah pintu depan dengan obor di tangan.
“Ayah....!”
Bu Sin berseru keras dan segera diturut oleh Sian Eng dan Lin Lin yang berteriak-teriak memanggil ayah ibu mereka.
“Tenang, anak-anak. Mencurigakan sekali ini, mengapa begini sunyi? Biar aku yang masuk lebih dulu,” kala Kui Lan Nikouw yang selalu berhati-hati dan yang sudah banyak pengalamannya.
Nikouw itu sambil memondong peti hitam di tangan kiri dan tangan kanannya siap di depan dada, diterangi dari belakang oleh tiga orang keponakannya, berjalan masuk ke dalam rumah.
Ruangan depan sunyi dan kosong, dan pada saat mereka memasuki ruangan tengah yang lebar, tiga orang anak muda itu menjerit dan lari menubruk ke depan. Ayah mereka menggeletak mandi darah di sudut, tak jauh dari situ menggeletak pula ibu mereka, juga bermandi darah, dan di sudut lain mereka melihat laki-laki tinggi besar muka hitam itu rebah terlentang dengan mata mendelik, juga mandi darah!
Tiga orang anak muda itu menangis, sebentar memeluk ayah, sebentar menubruk ibu, mengguncang-guncang dan memanggil-manggil. Tiba-tiba Lin Lin bangkit berdiri, matanya menyinarkan api.
“Sratt!” Pedang sudah ia cabut dan sekali loncat ia sudah mendekati mayat orang she Giam itu.
“Kau yang membunuh Ayah Ibu!” Pedangnya bergerak menyambar hendak memenggal leher mayat itu.
Gerakannya tertahan ketika tekanan pada pundak kanannya membuat tangan yang memegang pedang menjadi lemas. Kiranya bibi gurunya sudah berdiri di belakangnya. Ketika Lin Lin menoleh dan melihat bibi gurunya, ia menangis dan memprotes,
“Dia membunuh Ayah Ibu, Sukouw, dia harus kucincang hancur!”
“Ssttt, anak bodoh. Simpan pedangmu. Kalau dia membunuh ayah bundamu, bagaimana dia sendiri mati disini?”
“Dia berhasil membunuh Ibu, lalu berhasil membunuh Ayah, akan tetapi tentu Ayah juga dapat melukainya sehingga ia pun mampus!” Lin Lin membantah lagi, penasaran.
“Tenanglah, dan tengok. Bu Sin, Sian Eng, kalian juga periksa baik-baik. Kumpulkan obor-obor itu ke ini. Nah, lihat. Mereka bertiga tewas dengan luka-luka pada perut dan dada, luka-luka oleh senjata tajam. Dan kalian lihat itu, pedang itu tentu pedang Ayahmu, terpental disana dan sedikit pun tidak ada tanda darah. Dan orang she Giam itu tentu bersenjata golok, nah, dimana goloknya, juga terpental dan tidak ada tanda darah. Memang dia ahli golok sejak dulu. Terang bahwa baik pedang Ayahmu maupun golok dia itu tidak menjadi sebab kematian mereka semua ini. Eh.... nanti dulu! Ibumu belum mati.... biar kutolong dia....”
Nikouw itu lalu meletakkan peti hitam di atas meja dan cepat ia berlutut memeriksa Nyonya Kam. Benar saja dugaannya, nyonya ini biarpun terluka hebat, masih belum tewas, setelah ditotok dan diurut beberapa kali oleh jari-jari tangan Kui Lan Nikouw yang ahli, ia mengeluh perlahan.
“Siapa membunuhmu? Katakan, pinni Kui Lan Nikouw disini, kenal aku? Nah, katakan, siapa melakukan semua ini?”
Kata-kata yang nyaring dari nikouw itu, yang mengandung desakan, membuat hati tiga orang anak muda itu seperti diremas-remas. Desakan yang tak sabar ini cukup jelas bagi mereka bahwa ibu mereka tak dapat ditolong lagi, hanya dapat diharapkan memberi keterangan tentang pembunuhan itu.
“Iihhh.... takut.... takut.... setan....!” Nyonya itu berteriak-teriak ketakutan.
Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin yang semenjak kecil digembleng ilmu silat dan sifat-sifat kegagahan, mau tidak mau merasa ngeri dan meremang bulu tengkuk mereka mendengar jerit ibu mereka ini.
“Tenang, adikku, pinni berada disini. Setan apa yang kau takuti?” kembali nikouw itu membujuk dan mendesak.
Nyonya itu menangis, terengah-engah, lalu berkata, lirih tapi masih ketakutan,
“Setan.... dalam peti mati.... suaranya.... suling.... suling maut....”
Nikouw itu berdiri. Nyonya yang ketakutan itu sudah tak bergerak lagi. Tiga orang muda itu menubruk dan menangisi ibunya. Kui Lan Nikouw berbisik-bisik, membaca mantera dan doa-doa, mendoakan roh-roh ketiga orang itu. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi, akan tetapi dapat menduga bahwa tiga orang itu menjadi korban seorang penjahat yang luar biasa sekali.
Mungkin ucapan terakhir dari ibu Bu Sin dan Sian Eng tadi hanyalah kata-kata igauan yang tiada artinya. Akan tetapi bahwa pembunuh itu sakti, tak dapat disangsikan lagi karena tingkat kepandaian Kam Si Ek bukanlah rendah, apalagi orang she Giam itu juga menjadi korban, terbunuh secara mengerikan.
Setelah selesai mengurus pemakaman tiga jenazah itu, Kui Lan Nikouw membuka sampul surat yang ia temukan dalam kamar adik seperguruannya. Sampul surat yang memang ditujukan kepadanya. Ia membaca isi surat itu, menggeleng-geleng kepala memanggil Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin berkumpul. Di depan mereka ia baca lagi surat itu dengan suara keras. Surat itu singkat saja, seperti berikut:
Kui Lan suci yang mulia.
Surat ini kubuat lebih dulu, menjaga kalau-kalau aku tewas dalam menghadapi Giam Sui Lok. Kau tahu urusanku dengan dia, tak seorang pun boleh mencampuri, dia berhak menuntut seorang diantara kami harus mati untuk membiarkan yang lain hidup di samping Bwee Hwa. Sengaja kusuruh anak-anak pergi menjemput Suci.
Kalau aku tewas, kiranya Bwee Hwa tentu akan membunuh diri seperti yang berkali-kali ia nyatakan dalam hubungan kami dengan orang she Giam itu. Kalau terjadi kami berdua tewas, harap Suci atur anak-anak.
Peti hitam itu selain berisi harta pusaka yang sengaja kusimpan, juga terdapat sebuah gelang emas dengan huruf BU SONG. Kau tahu, itu adalah gelang emas milik BU SONG. Harta pusaka itu diberikan kepada empat orang anak, bagi rata, jangan bedakan sedikit juga antara Bu Song dan Lin Lin serta yang dua orang.
Akan tetapi suruh tiga orang anak itu pergi mencari Bu Song sampai dapat. Aku tidak tahu dimana ia berada, pengetahuanku tentang dia sama dengan pengetahuanmu, Suci, maka kau ceritakan kepada mereka.
Kalau aku tewas di tangan Giam Sui Lok, pesan semua anak-anak jangan mencari dan membalas dendam kepadanya. Sudah terlalu banyak orang she Giam itu menderita karena aku.
Hormat Sutemu,
KAM SI EK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar