FB

FB


Ads

Jumat, 17 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 009

Pada masa itu, keadaan di seluruh negara masih kacau-balau. Hal ini biasa terjadi setiap kali ada peralihan kekuasaan. Wangsa Sung baru setahun berdiri, didirikan oleh Cao Kwan Yin yang tadi-nya merupakan panglima tertinggi daripada wangsa ke lima. Sebelum itu, Tiongkok dikuasai oleh Lima Wangsa yang memecah-mecah negara sesudah Wangsa Tang roboh (tahun 907), sampai lahirnya Wangsa Sung atas jasa Cao Kwan Yin yang kemudian menjadi kaisar pertama yang berjuluk Sung Thai Cu.

Daerah-daerah yang tadinya semasa Kerajaan Tang telah melepaskan diri dan berdiri sendiri, dapat ditundukkan kembali dan dimasukkan ke dalam wilayah Kerajaan Sung. Namun, hal ini bukan berarti bahwa kejayaan seperti di masa gemilangnya Kerajaan Tang sudah kembali, sama sekali bukan.

Kerajaan Sung yang baru ini tidak mampu menundukkan kerajaan-kerajaan kecil yang masih tetap berdiri di pelbagai daerah. Yang besar-besar di antaranya adalah daerah timur laut sampai ke Mancuria Selatan berada di dalam kekuasaan suku bangsa Khitan. Di daerah tenggara sepanjang pantai terdapat Kerajaan Wu-yue, dan di daerah Yu-nan ada Kerajaan Nan-cao. Masih banyak lagi daerah lain yang merupakan kerajaan kecil dan tidak mengakui kedaulatan Kerajaan Sung.

Tentu saja seringkali terjadi bentrokan-bentrokan kecil, namun tidak sampai meluas. Kerajaan Sung sudah merasa cukup puas dengan daerah dan wilayahnya, dan perlu membangun negara setelah persatuan dapat dibina. Sebaliknya, kerajaan-kerajaan kecil itupun tidak ingin mencari gara-gara dengan kerajaan baru yang cukup kuat itu.

Pada suatu pagi yang cerah, sebuah perahu meluncur perlahan dan tenang, mengikuti aliran Sungai Han yang mengalir ke timur, dari daerah Shan-si terus ke timur sampai tiba di Laut Kuning. Air sungai ini agaknya tidak mengenal diskriminasi, tidak seperti manusia. Buktinya ia terus mengalir ke tiga daerah yang dikuasai oleh tiga kerajaan, mengalir tenang dan biasa, tanpa perbedaan!

Sunyi di sepanjang sungai itu. Di atas perahu tampak empat orang penumpang. Seorang di antara mereka jelas adalah tukang perahu, laki-laki setengah tua yang gemar berceloteh, berkumis panjang berpakaian sederhana dengan tambalan di sana-sini. Kedua lengannya yang memegang dayung tampak kuat berotot yang timbul oleh tugasnya sehari-hari. Kulitnya coklat kehitaman, terbakar matahari.

Tiga orang yang menumpang perahunya masih muda-muda. Yang pertama adalah seorang pemuda, kurang lebih dua puluh tiga tahun usianya. Tampan dan keren wajahnya, matanya tajam bersungguh-sungguh, mulutnya membayangkan kekerasan hati, dahinya lebar, pakaiannya sederhana tapi bersih, di punggungnya tergantung sebatang pedang.

Orang ke dua adalah seorang gadis berusia dua puluh tahun, juga berpakaian sederhana ringkas, sebagian rambutnya dikuncir dua di kanan kiri. Gadis ini cukup cantik, sepasang matanya bersorot terang, wajahnya yang berkulit putih itu membayangkan kehalusan budi, bibirnya tersenyum selalu membayangkan keramahan. Juga gadis ini membawa pedang yang dipegang di tangan kiri.

Orang ke tiga juga seorang gadis, masih remaja, paling banyak tujuh belas tahun usianya. Kalau gadis pertama sama betul wajahnya dengan si pemuda, adalah gadis ini lain sekali. Wajahnya cantik jelita, rambutnya hitam tebal digelung di kedua sisi kepalanya. Ia juga berpedang, tergantung di pinggang kanan.

Siapakah mereka ini? Mereka adalah kakak beradik, bukan orang-orang sembarangan, melainkan putera-puteri dari seorang tokoh besar yang amat terkenal di jaman Lima Wangsa. Kam-goanswe (Jenderal Kam) adalah seorang tokoh besar yang terkenal karena berani menentang kekuasaan Li Ko Yung, Gubernur Propinsi Shan-si yang dahulu memberontak terhadap Kaisar Wangsa Tang.

Kam-goanswe yang namanya adalah Kam Si Ek, seratus prosen berjiwa pahlawan dan memiliki kesetiaan lahir batin. Karena inilah maka ia dimusuhi oleh Li Ko Yung yang mengangkat diri sendiri menjadi raja kecil. Sama sekali jasa Kam-goanswe dilupakan, padahal ketika daerah ini di-serang oleh suku bangsa Khitan, Jenderal Kam inilah yang paling berjasa menyelamatkan daerah Shan-si.

Semenjak bentrokan itu, Kam-goanswe melepaskan jabatannya dan mengundurkan diri ke desa Ting-chun, sebuah desa di kaki Gunung Cin-ling-san, di lembah Sungai Han yang bermata air di gunung itu. Ia hidup bertani dengan anak isterinya.

Tiga orang muda itu adalah putera-puteri Kam Si Ek. Yang pertama adalah pemuda tampan itu yang bernama Kam Bun Sin. Anak ke dua adalah Kam Sian Eng, gadis cantik jelita dan gagah. Adapun gadis yang termuda, gadis lincah jenaka, bernama Kam Lin, atau biasa disebut Lin Lin. Gadis ini sebetulnya bukanlah puteri Kam Si Ek, melainkan anak pungut.

Belasan tahun yang lalu, dalam sebuah peperangan melawan suku bangsa Khitan, Jenderal Kam menemukan seorang anak perempuan berusia dua tiga tahun dalam gendongan seorang wanita yang tewas dalam pertempuran. Wanita Khitan ini mati dengan pedang di tangan, bukan main gagah sikapnya. Jenderal Kam amat kagum menyaksikan ini dan dia lalu membawa pulang anak perempuan itu, mengambilnya sebagai anak sendiri dan memberi nama Kam Lin. Nama ini adalah nama anak itu sendiri, karena ketika ditanya, ia hanya bisa menunjuk dada sendiri sambil menyebut “Lin Lin”.






Lin Lin tahu bahwa dia adalah seorang anak angkat, namun ia tidak merasa sebagai anak angkat. Selama hampir lima belas tahun hidup di dalam rumah gedung keluarga Kam, ia diperlakukan sama dengan anak-anak lain, ayah ibu angkatnya amat cinta kepadanya, demikian pula Bun Sin dan Sian Eng.

Oleh karena inilah maka Lin Lin merasa bahwa dia memang seratus prosen anggauta keluarga Kam, tidak mau ingat lagi akan asal-usulnya yang oleh ayah angkatnya dikatakan bahwa ayah ibunya sendiri telah tewas menjadi korban perang. Ayah angkatnya tidak tahu siapa ayah bundanya, juga tidak dapat memberi tahu dimana tempat tinggal mereka, karena menurut jenderal itu, ia ditemukan diantara para pengungsi!

Sebagai seorang jenderal perang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi, tentu saja Kam Si Ek menggembleng tiga orang anaknya ini dengan ilmu silat keluarga Kam. Ternyata tiga orang anak itu mempunyai bakat yang baik dan memiliki keistimewaan yang menonjol. Bu Sin maju dalam penggunaan ilmu lwee-kang (tenaga dalam), Sian Eng mahir bermain pedang, sedangkan Lin Lin mengagumkan sekali keringanan tubuhnya dan karenanya ia amat maju dalam ilmu gin-kang.

Keluarga Kam hidup tenteram dan bahagia di dusun Ting-chun sampai lebih dari sepuluh tahun lamanya. Mereka hidup sederhana sebagai petani dan kesederhanaan dusun dan pekerjaan di sawah ladang membuat mereka selalu sehat dan gembira.

Akan tetapi, seperti sudah menjadi sifat dunia dan segala isinya, tiada sesuatu yang langgeng, alam dan isinya selalu berubah. Demikian pula kehidupan manusia, selama manusia masih terikat oleh kehidupan, ia akan selalu mengalami perubahan-perubahan seperti samudera yang selalu mengalami pasang surut, selalu bergelombang. Ada kalanya pasang ada kalanya surut, ada kalanya tenang, ada kalanya diamuk taufan. Hanya manusia pandir sajalah yang tidak mau ingat akan hal ini dan menjadi mabuk dan sombong di waktu jaya sebaliknya putus asa dan mata gelap di waktu sengsara.

Kalau orang selalu ingat bahwa kalah dan menang, sengsara dan jaya, susah dan senang, semua itu adalah saudara-saudara sepupu yang silih berganti menguasai kehidupan, ia akan selalu bersikap waspada, tidak mabuk oleh kemenangan, tidak putus asa oleh kekalahan, waspada akan tindakan pribadi agar tidak menyeleweng daripada kebenaran. Ingat selalu bahwasannya TUHAN yang berkuasa mengatur kesemuanya itu, bahwa manusia tiada bedanya dengan titik-titik air di samudera, tak kuasa melepaskan diri daripada gelombang kalau belum KELUAR dari dalam samudera.

Hari itu menjelang senja, Kam Si Ek bersama tiga orang anaknya tengah berlatih silat di pekarangan belakang rumah yang tertutup pagar tembok. Tingkat kepandaian Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin sudah cukup tinggi, malah boleh dibilang sudah hampir setingkat dengan ayah mereka sendiri.

Mereka bertiga kini sedang mainkan pedang dengan gaya masing-masing, ditonton oleh Kam Si Ek yang berdiri sambil bertolak pinggang dan mengangguk-angguk puas. Ketika ia melihat betapa tubuh Lin Lin yang berpakaian merah itu berubah menjadi bayangan merah digulung sinar putih dari pedang yang dimainkannya, diam-diam Kam Si Ek kagum.

“Hebat bocah ini.... kiranya kelak ia yang paling menonjol. Heran benar, apakah orang tuanya dahulu keturunan orang gagah bangsa Khitan?” demikian ia berkata seorang diri.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak yang amat nyaring. Kam Si Ek dan tiga orang anaknya yang mendengar suara ini segera menghentikan permainan silat dan menoleh ke arah suara. Kiranya di atas tembok sebelah kanan telah jongkok seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Melihat orang ini, Kam Si Ek terkejut sekali dan wajahnya berubah.

“Giam Sui Lok, mau apa kau datang kesini?”

Orang tinggi besar muka hitam itu tertawa lagi, tetap masih berjongkok di atas tembok, matanya yang besar itu melirik ke arah Siang Eng dan Lin Lin dengan pandang mata kurang ajar.

“Kam-goanswe....”

“Aku bukan jenderal lagi, tak usah kau berpura-pura tak tahu.”

“Ha-ha-ha, orang she Kam. Kau juga pura-pura tidak tahu mengapa aku datang ke sini?”

Kam Si Ek menoleh ke arah tiga orang anaknya dan wajahnya makin gelisah.

“Orang she Giam, aku sedang sibuk melatih anak-anakku. Urusan antara kita orang-orang tua boleh kita bicarakan nanti.”

“Kapan?”

“Malam nanti kunanti kunjunganmu.”

Laki-laki tinggi besar muka hitam itu tertawa bergelak.
“Boleh, boleh...., aku tidak khawatir kau akan dapat lari, ha-ha!” Tubuhnya berkelebat dan lenyap di balik pagar tembok.

“Ayah, siapa dia?” tanya Bu Sin tak enak.

“Dia kurang ajar sekali,” cela Sian Eng.

Akan tetapi dengan gerakan seperti seekor burung walet terbang tahu-tahu Lin Lin sudah melayang ke atas pagar tembok dengan pedang terhunus di tangan kanan. Wajah gadis yang cantik jelita itu kini tampak marah.

“Lin Lin, kembali kau....!” Kam Si Ek berseru cemas.

Lin Lin berdiri di atas tembok, memandang ke sana ke mari, lalu meloncat turun kembali, berlari mendekati ayahnya.

“Heran, kemana ia sembunyi? Mulutnya kotor sikapnya kasar, orang macam itu mengapa tidak dihajar saja, Ayah?”

Kam Si Ek tersenyum, girang melihat bahwa anak-anaknya mempunyai nyali besar, akan tetapi juga amat khawatir karena ia maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan kepandaian orang-orang sakti di dunia kang-ouw. Sedangkan di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang jahat dan berbahaya, di antaranya adalah Giam Sui Lok yang datang tadi. Ia maklum bahwa antara dia dan Giam Sui Lok harus diakhiri dengan pertempuran mati-matian dan ia tidak ingin kalau anak-anaknya terlibat dalam urusan permusuhan lama ini.

“Dia itu bekas teman lama, ada urusan penting di antara kami yang tak perlu kalian ketahui. Bu Sin, kau ajak kedua orang adikmu pergi ke Kuil Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san sekarang juga. Kau sampaikan hormatku kepada Kui Lan suci (kakak seperguruan Kui Lan), dan katakan bahwa besok dia bersama kalian bertiga kuharapkan sudi turun puncak datang kesini membawa peti hitam yang kutitipkan kepadanya sepuluh tahun yang lalu.”

“Tapi, Ayah, orang tadi....”

Bu Sin yang cerdik membantah, khawatir kalau-kalau orang tadi akan datang membikin ribut. Ingin ia berada di samping ayahnya untuk membantu jika sewaktu-waktu ayahnya terancam bahaya.

Kam Si Ek tertawa.
“Dia memang ada urusan denganku, tapi ini urusan orang-orang tua, kau tahu apa? Sudahlah cepat berangkat sebelum gelap, dan besok kembali bersama Sukouw (Bibi Guru) kalian.”

Biarpun hati mereka tidak rela, namun tiga orang muda itu tidak berani membantah kehendak ayahnya, apalagi mereka dapat menduga bahwa memang ayahnya sengaja menyuruh mereka malam itu pergi dari rumah. Setelah berpamit kepada ibu mereka, tiga orang muda ini lalu bergegas mendaki puncak Gunung Cin-ling-san yang tinggi itu, sambil membawa obor yang akan dinyalakan kalau malam tiba dan mereka belum tiba di puncak.

Yang dimaksudkan Kwan-im-bio di puncak Cin-ling-san adalah sebuah kelenteng pendeta-pendeta wanita yang memuja Dewi Kwan Im. Pemimpin atau kepala para nikouw (pendeta wanita) di kelenteng itu adalah Kui Lan Nikouw yang terhitung kakak seperguruan Kam Si Ek. Tiga orang kakak beradik itu sudah sering kali bermain-main ke puncak, malah pendeta wanita itu amat sayang kepada mereka dan berkenan pula memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar