FB

FB


Ads

Jumat, 17 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 008

Akan tetapi, seperti dikatakan oleh Bu Kek Siansu tadi, watak mereka tidak cocok dengan watak ilmu itu, pula ilmu ini tersembunyi di dalam lagu dan seni suara. Suling Emas dapat mewarisi inti sarinya karena orang muda itu menghadapi Kim-kong Sin-im dengan suara sulingnya sehingga seakan-akan ia “bertempur” dengan ilmu ini dan karenanya ia lebih mudah untuk mengenal sifat-sifatnya menyerang dan bertahan dari Kim-kong Sin-im. Seperti sebuah nyanyian, orang akan lebih mengenal keindahannya kalau ia turut menyanyikannya, yang tentu jauh bedanya dengan kalau hanya mendengar saja.

Bu Kek Siansu memang tidak hendak membeda-bedakan. Ia mainkan khim seperti ketika ia bermain di depan Suling Emas tadi. Setelah ia berhenti, tiga orang itu masih duduk bersila dengan kedua mata meram. Bu Kek Siansu hanya tersenyum dan dengan tenang menyimpan kembali alat musik khim itu di atas punggungnya, kemudian ia bangkit berdiri, menanti sambil membaca kitab kecil.

Tiga orang sakti itu tidak berani segera bangkit karena suara khim tadi masih terus terngiang di dalam telinga, malah seakan-akan meresap ke dalam otak dan dada. Setelah kurang lebih sepuluh menit, baru mereka membuka mata dan meloncat bangun. Jelas mereka itu kecewa, akan tetapi karena masing-masing merasa bahwa mereka dapat memetik inti sari ilmu aneh tadi, mereka diam saja, hanya memandang kepada Bu Kek Siansu dengan mata marah.

Bu Kek Siansu menyimpan kitab kecilnya lalu berkata,
“Kim-kong Sin-im sudah kalian dengar. Apakah kalian juga menghendaki supaya aku mainkan Hong-in Bun-hoat seperti yang kulakukan di depan Suling Emas tadi?”

“Kakek, kau tadi bersilat di depan Suling Emas, nah, ilmu silat itulah yang harus kau turunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong.

“Kai-ong, itulah tadi yang disebut Hong-in Bun-hoat. Kalau kalian menghendaki, akan kumainkan. Bagaimana dengan kalian, Hek-giam-lo dan Sin-ni?”

Karena tidak tahu harus memilih ilmu silat apa, kedua orang ini hanya mengangguk. Betapapun juga, mereka masih ragu-ragu dan memandang rendah kakek ini. Apakah gunanya Ilmu Kim-kong Sin-im tadi? Masa menghadapi lawan harus bermain musik! Gila!

Maka, mendengar bahwa Hong-in Bun-hoat yang akan diturunkan kali ini adalah gerakan-gerakan silat seperti yang mereka lihat dari tempat persembunyian mereka tadi ketika kakek ini berhadapan dengan Suling Emas, tentu saja mereka setuju dan agak lega, mengharapkan akan menerima warisan ilmu silat yang tinggi dan sakti.

Seperti juga tadi ketika mengajar Suling Emas, Bu Kek Siansu mulai menggerakkan tubuhnya lambat-lambat, kedua lengan dan kakinya bergeser dan membentuk goresan dan lingkaran. Bukan lain yang ia mainkan itu adalah gerakan menurut huruf-huruf pertama sajak dalam kitab Tiong Yong. Seperti diketahui, kitab Tiong Yong mengandung tiga puluh tiga pelajaran, merupakan ilmu batin yang amat tinggi dan luhur.

Bu Kek Siansu mulai mencoret-coret huruf-huruf pelajaran pertama ayat pertama yang lengkapnya berbunyi demikian : THIAN BENG CI WI SENG-SUT SENG CI WI TO-SIU TO CE WI KAUW. Tiga baris huruf yang merupakan ayat pertama dari pelajaran pertama, mempunyai arti yang amat dalam, kalau diterjemahkan secara bebas kira-kira begini : Anugerah Tuhan adalah watak asli-Selaras dengan watak asli adalah To-Melaksanakan To adalah pelajaran kebatinan (agama).

Jelas bahwa huruf-huruf itu merupakan ayat-ayat suci dalam kitab Tiong Yong, yang mengajar manusia menuju kembali ke watak asli anugerah Tuhan, berarti menuntun manusia kembali mendekati dan mentaati kehendak Tuhan. Tiga orang tokoh sakti seperti It-gan Kai-ong, Siang-mou Sin-ni, dan Hek-giam-lo yang merupakan manusia-manusia yang ingkar terhadap Tuhan mana ada minat untuk mempelajari segala macam kitab yang mengemukakan pelajaran tentang kebajikan?






Sebagai orang-orang yang berpengetahuan luas, tentu saja mereka dapat membaca dan dapat mengikuti gerakan-gerakan Bu Kek Siansu. Akan tetapi mereka hanya dapat menangkap kulitnya atau luarnya belaka, tak mampu menyelami isinya. Harus diketahui bahwa ilmu Silat Sakti Hong-in Bun-hoat ini rahasianya tidak terletak pada macam huruf yang ditulis dengan gerakan saja, melainkan lebih mendalam, yaitu lebih mendekati arti daripada ayat-ayatnya.

Karena itulah Bun-hoat (Ilmu Sastra) ini disebut Hong-in (Angin dan Awan), karena sifatnya seperti ilmu sastra dan begitu dalam rahasianya seperti juga angin yang dapat terasa tak dapat terpegang dan awan yang dapat terlihat tak dapat terpegang pula!

Tidak mengherankan apabila tiga orang itu menjadi kecewa dan bosan melihat kakek itu terus menggerakkan kaki tangan membentuk goresan dan lingkaran huruf-huruf itu. Apa artinya itu semua? Apa gunanya? Mereka menganggap kakek itu main-main dan menipu mereka.

Agar jangan dianggap berat sebelah Bu Kek Siansu bersilat terus dan baru berhenti di bagian yang sama ketika ia bersilat di depan Suling Emas tadi. Ia tersenyum memandang ketiga orang itu yang sebaliknya memandangnya dengan mata marah.

“Nah, puaskah kalian?”

“Puas apa? Kau main-main dengan kami! Bu Kek Siansu, kalau kau ada kepandaian, jangan kikir, turunkan kepada kami,” kata It-gan Kai-ong dengan suara marah.

“Jangan-jangan kakek ini hanya menyombong saja, padahal tidak becus apa-apa. Kai-ong, alangkah akan memalukan kalau orang melihat kita bertiga diingusi kakek tua bangka ini,” kata Siang-mou Sin-ni, tersenyum masam.

Adapun Hek-giam-lo hanya mendengus saja, marah dan mengangkat sabitnya. Tiga orang tokoh ini saling pandang. Dalam pertemuan pandang ini ketiganya sudah bermufakat. Tanpa mengeluarkan peringatan lagi, secara tiba-tiba tiga orang sakti itu menerjang maju, menyerang Bu Kek Siansu yang masih tersenyum-senyum sambil menundukkan mukanya.

Entah pukulan siapa yang datang lebih dulu saking cepatnya gerakan mereka. Tongkat It-gan Kai-ong menotok pusar, rambut Siang-mou Sin-ni menghantam sembilan jalan darah di leher, dada, dan pundak, sedangkan sabit di tangan Hek-giam-lo membacok kepala! Semua merupakan serangan-serangan maut dan semua penyerangan itu dengan tepat mengenai sasaran. Sambil mengeluh panjang Bu Kek Siansu roboh!

Serentak tiga orang itu menubruk, Siang-mou Sin-ni berhasil merampas alat musik khim, sedangkan It-gan Kai-ong dan Hek-giam-lo yang berniat merampas kitab kecil yang dibaca kakek itu tadi, mendapat bagian masing-masing separuh karena kitab kecil itu telah terobek menjadi dua bagian ketika mereka berebut.

Sambil tertawa-tawa mereka memandang tubuh kakek itu dan mata mereka terbelalak, bulu tengkuk mereka meremang. Kakek itu sama sekali tidak kelihatan luka, bahkan kepala yang dihantam sabit tajam itupun sama sekali tidak mengeluarkan darah, sama sekali tidak terluka. Namun, jelas bahwa kakek itu tidak bernapas lagi, dan ketika It-gan Kai-ong memeriksa denyut nadinya, darahnya juga sudah berhenti, nadinya tidak berdenyut lagi.

“Ha-ha-ha, Bu Kek Siansu yang disohorkan orang setengah dewa, kiranya hanya seorang yang lemah,” kata It-gan Kai-ong.

“Seorang penipu!” sambung Siang-mou Sin-ni.

Hek-giam-lo bergidik, berkali-kali memandang ke arah kepala kakek itu dan ke arah sabitnya.

“Aku benci ilmu sihirnya ini, kita buang dia ke jurang saja,” ia menggumam, lalu menggunakan kakinya menendang.

Tubuh kakek itu terlempar ke arah jurang dan menggelinding turun, diikuti suara ketawa It-gan Kai-ong dan Siang-mou Sin-ni.

Akan tetapi tiba-tiba suara ketawa mereka terhenti dan pada saat itu, mereka bertiga terhuyung-huyung dan hampir roboh. Ada angin dorongan yang luar biasa dahsyatnya datang menyerang mereka dari arah jurang tadi.

“Celaka...., rohnya mengamuk....!”

It-gan Kai-ong berseru dengan muka pucat dan ia segera melompat jauh dan melarikan diri.

Dua orang temannya juga kaget dan ketakutan, cepat kabur meninggalkan puncak Thai-san. Tak lama kemudian, tampak Bu Kek Siansu melayang keluar dari dalam jurang, berdiri di tempat yang tadi sambil termenung dan menarik napas panjang berkali-kali.

“Tuhan menghendaki demikian. Akan geger di dunia persilatan.... harapanku ada pada Suling Emas.” Lalu ia berjalan perlahan meninggalkan puncak.

**** 008 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar