FB

FB


Ads

Minggu, 19 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 014

“Kalian anjing-anjing tiada guna!” terdengar ia memaki sambil membanting-banting tongkat ke atas tanah. “Huh, lebih baik kubunuh kalian semua dan lebih baik aku bekerja seorang diri. Apa artinya punya banyak anak buah melebihi anjing gobloknya?”

Semua pengemis itu menggigil ketakutan dan terdengar mereka minta-minta ampun dan menyebut kakek itu dengan sebutan ong-ya (raja)! Bu Sin dan kedua orang adiknya saling pandang. Muka mereka pucat. Kiranya kakek pengemis bongkok itu adalah semacam raja pengemis yang amat berpengaruh!

“Mana anggauta Pek-ho-kai-pang yang membikin ribut itu?”

Bagaikan empat ekor anjing, tampak empat orang pengemis merangkak maju dan berlutut di depan kakek itu. Bu Sin dan dua orang adiknya melihat bahwa orang-orang itu adalah empat orang pengemis yang mereka hajar di tepi sungai kota Wu-han!

“Cih, yang begini mengaku anggauta pengemis? Membiarkan diri dihina orang-orang muda. Cuh-cuh-cuh-cuh!”

Empat kali kakek itu meludah dan empat orang pengemis itu terjengkang roboh, tak bergerak lagi setelah tubuh mereka berkelojotan sejenak. Mereka telah mati oleh ludah kakek itu!

“Biar ini sebagai pelajaran. Sekali lagi terjadi hal yang memalukan aku akan membunuh semua anggauta Pek-ho-kai-pang. Mana ketua-ketua Hui-houw-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Harimau Terbang), Hek-liong-kai-pang (Naga Hitam), dan Ang-hwa-kai-pang (Kembang Merah)? Hayo maju sini!”

Tiga orang kakek pengemis tampak merangkak maju dan berlutut di depan kakek bongkok itu.

“Perhatikan sekarang. Kalian harus dapat memperlihatkan jasa dan bakti bahwa kalian membantuku. Aku membutuhkan tempat sembunyi Hek-giam-lo. Cari sampai dapat dan kabarkan padaku. Kalau mungkin, selidiki dimana ia menyimpan robekan setengah bagian kitab kecil.”

“Baik, Ong-ya. Hamba akan mengerahkan seluruh kawan di kai-pang (perkumpulan pengemis),” jawab mereka berbareng dengan suara amat merendah.

“Sudah, pergi sekarang. Muak perutku melihat kalian!”

Kakek bongkok itu mengomel dan bagaikan anjing-anjing diusir, puluhan orang pengemis itu pergi sambil menyeret mayat empat orang pengemis anggauta Pek-ho-kai-pang itu.

Bu Sin dan dua orang adiknya bergidik. Bahkan Lin Lin yang biasanya amat tabah, kini tampak pucat. Namun, di samping kengerian ini, Lin Lin merasa marah sekali kepada kakek itu yang dianggapnya sombong dan kejam sekali.

“Orang macam dia harus dibasmi Sin-ko,” ia berbisik.

“Ssttt....!” Bu Sin mencegah, namun terlambat.

Kakek itu tiba-tiba membalikkan tubuh dan berjalan menghampiri pohon besar dimana mereka bertiga berada. Kakek itu sama sekali tidak mendongak, akan tetapi sambil terkekeh ia berkata,

“Nyawa tiga orang muda pernah kuhargai seperak akan tetapi sekarang tiada harganya sama sekali.” Tiba-tiba kedua tangannya mendorong dan....

“kraaakkk!” batang pohon itu remuk dan tumbanglah pohon yang besar tadi.

Bu Sin dan dua orang adiknya bukanlah orang sembarangan, namun menyaksikan hal ini mereka terkejut bukan main. Cepat mereka mengerahkan gin-kang dan melompat turun sebelum mereka ikut roboh bersama pohon dan tertimpa cabang dan ranting. Begitu kaki mereka menyentuh tanah, ketiganya sudah mencabut pedang dan siap menghadapi kakek sakti itu. Mereka maklum bahwa mereka takkan diberi ampun, namun mereka bertekad untuk melawan mati-matian.






“Ho-ho-ha-hah, tak tahu diri.... tak tahu diri....!”

Tiba-tiba tongkat di tangan kakek itu melayang, bagaikan seekor ular bergerak-gerak di udara dan menyambar mereka. Bu Sin, Sian Eng dan Lin Lin cepat mengangkat pedang membacok.

“Tranggggg!”

Tiga batang pedang di tangan mereka terlepas dari tangan, runtuh di atas tanah depan mereka, sedangkan tongkat itu terpental kembali, melayang ke tangan si kakek bongkok yang tertawa berkakakan.

“Ha-ha-ha-ha-hah!”

Bu Sin dan dua orang gadis itu terlalu kaget dan heran akan kesaktian lawan, sehingga mereka diam tak bergerak, berdiri seperti patung dan agaknya hanya menanti datangnya pukulan maut.

Pada saat itu, terdengar suara suling, nyaring melengking bergema di seluruh hutan, makin lama makin dekat. Bu Sin dan dua orang gadis itu tak kuasa mendengar lebih lama lagi, jantung mereka terguncang dan tubuh mereka menggigil, terpaksa mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi telinga. Biarpun demikian, masih saja suara lengking tinggi itu menembus dan membuat telinga terasa sakit sekali.

Kakek itu kelihatan terkejut pula, lalu tersaruk-saruk pergi meninggalkan tempat itu, sama sekali tidak menengok ke arah Bu Sin bertiga seakan-akan ia telah lupa akan adanya tiga orang muda itu. Suara suling berhenti dan tiga orang muda itu melepaskan tangan. Terdengar suara orang yang penuh wibawa.

“It-gan Kai-ong! Kau bersama Hek-giam-lo dan Siang-mou Sin-ni secara pengecut menyerang Bu Kek Siansu dan merampas kitab dan alat khim. Biarpun Bu Kek Siansu tidak peduli dan mengampuni kalian, namun aku tidak bisa membiarkan begitu saja. Berikan kitab dan nyawamu!”

Tak lama kemudian, tampaklah oleh Bu Sin bertiga orang yang bicara ini, akan tetapi hanya punggungnya saja. Dia itu seorang laki-laki yang tinggi besar, membawa suling, berjalan perlahan.

“Dia bersuling....” Bu Sin teringat akan musuh besar, pembunuh ayahnya.

Di lain saat Bu Sin dan Sian Eng sudah menyerang laki-laki itu dengan piauw dan jarum. Orang itu berjalan seenaknya, seakan-akan tidak tahu bahwa dari belakangnya menyambar senjata-senjata rahasia. Dan tiga orang muda itu melihat dengan jelas betapa tiga batang piauw dan tujuh batang jarum itu mengenai tepat tubuh bagian belakang, namun orang itu tetap saja enak-enak berjalan tanpa menghiraukan sesuatu, seakan-akan semua senjata rahasia itu hanya daun-daun yang gugur. Sebentar kemudian ia lenyap di balik pepohonan.

“Mari kejar....!” Bu Sin berkata.

“Tiada gunanya, Sin-ko. Tak mungkin dapat dikejar,” bantah Lin Lin yang sejak tadi berdiri seperti patung.

Bu Sin maklum akan hal ini, akan tetapi melihat sikap Lin Lin ia mengerutkan kening.
“Lin-moi, kenapa kau tadi tidak ikut menyerangnya? Dia pembunuh Ayah!”

“Belum tentu, Sin-ko. Apa buktinya? Lagi pula, aku tidak mau menyerang orang secara menggelap tanpa memberi peringatan. Mendiang Ayah takkan senang melihatnya.”

Merah wajah Bu Sin dan Sian Eng membentak,
“Lin-moi, omongan apa ini? Kau tidak membantu, malah mencela. Kalau dia benar musuh besar Ayah, kenapa kita mesti banyak memakai aturan? Jelas bahwa dia berilmu tinggi, lebih tinggi daripada tingkat kita, perlu apa kita memakai sungkan-sungkan segala? Yang perlu, kita harus dapat membalas dendam!”

Lin Lin menarik napas panjang.
“Kalian tahu bahwa aku tidak akan ragu-ragu mempertaruhkan nyawaku untuk membalas sakit hati Ayah. Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa dia itu pembunuh Ayah. Dengar saja kata-katanya terhadap kakek iblis tadi. Terang dia itu orang baik, maka memusuhi kakek pengemis iblis yang bernama It-gan Kai-ong tadi. Kalau kita bertindak sembrono dan salah sangka, menjatuhkan fitnah terhadap orang baik-baik, bukankah lebih celaka lagi?”

“Dia bersuling, dia lihai, tidak salah lagi.” kata Sian Eng.

“Kalau memang dia musuh kita kelak pasti dapat bertemu lagi. Sekarang lebih baik kita lekas pergi dari tempat ini!”

Kata Bu Sin yang masih ngeri kalau teringat akan pengalamannya dengan kakek iblis tadi. Dengan cepat tiga orang muda ini melanjutkan perjalanan, ke arah jurusan munculnya matahari pagi.

**** 014 ****






Tidak ada komentar:

Posting Komentar