“Hi-hi-hik, pengemis tua busuk, kau hendak akali kami berdua, ya? Kau mengadu kami, biar keduanya mampus atau payah, baru kau turun tangan dan dapat memonopoli atas ilmu-ilmu dari Bu Kek Siansu. Begitukah? Akal bulus!”
“Kalian mau saling gempur atau saling cinta, apa sangkut-pautnya dengan aku? Habis, kau mau apa?” Kakek itu merengut, kesal.
“Kita bertiga harus menentukan siapa paling unggul, dia berhak menemui Bu Kek Siansu. Yang kalah dinyatakan tidak berharga dan harus minggat.”
“Setuju!” jawab It-gan Kai-ong.
“Kau bagaimana?” tanyanya kepada Hek-giam-lo.
Yang ditanya hanya mengangguk, tetap berdiri memasang kuda-kuda, sikapnya amat bercuriga dan tidak percaya kepada dua orang di depannya itu.
Tiga orang sakti itu berdiri memasang kuda-kuda, saling pandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka seakan-akan tiga ekor harimau yang siap menanti datangnya terjangan lawan, tegang sampai ke bulu-bulunya, akan tetapi terlalu hati-hati untuk bergerak lebih dahulu karena maklum bahwa lawan amatlah hebat, siapa terlena dia akan sirna.
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melengking tinggi dan rambutnya bergerak seperti sinar hitam menyambar ke arah Hek-giam-lo. Hanya satu atau dua detik selisihnya dengan gerakan It-gan Kai-ong yang menggunakan tongkat menyerang wanita ini, dan gerakan Hek-giam-lo yang menggunakan sabit menerjang It-gan Kai-ong.
Sekaligus tiga orang itu telah menyerang dan diserang. Sekaligus pula mereka mendengus nyaring dan mengelak dengan lompatan kilat ke samping. Kini mereka berdiri lagi membentuk segi tiga, memasang kuda-kuda dan tidak bergerak. Suara desingan senjata mereka yang menyambar tadi masih terdengar gemanya, mengaung dari dalam jurang di dekat situ.
Amat tegang seluruh urat syaraf, ketiga orang itu sudah siap untuk melakukan terjangan atau menghadapi serangan lagi. Akan tetapi tiba-tiba wajah mereka bergerak dan perhatian mereka tertarik oleh bunyi suling yang amat luar biasa. Sesaat bunyi suling itu semerdu kicau burung di waktu pagi hari menyongsong munculnya sang matahari, akan tetapi pada saat lain terdengar seakan-akan halilintar menyambar-nyambar membelah gunung, pada detik ini terdengar gembira seperti suara bidadari tertawa merdu, pada lain detik seperti tangis wanita yang ditinggal mati suaminya.
“Tunda dulu urusan kita,” kata It-gan Kai-ong.
“Kita lihat siapa yang datang,” sambung Siang-mou Sin-ni mengangguk.
Hek-giam-lo hanya mengangguk dan menurunkan sabitnya. Makin lama suara suling terdengar makin nyaring, seolah-olah penyulingnya berjalan perlahan mendekati tempat itu.
Tiga orang sakti ini menjadi tegang hatinya, mereka menduga-duga. Nama besar Bu Kek Siansu yang dipuja-puja seluruh tokoh kang-ouw, sudah banyak kali mereka dengar, namun selama hidup mereka belum pernah melihat orangnya. Apakah kakek sakti itu yang muncul sekarang sambil meniup suling?
Tak lama kemudian muncullah si peniup suling dari balik batu besar, berjalan dengan tenang perlahan menuju ke puncak sambil meniup suling yang dipegang dengan kedua tangannya.
Suling itu berkilauan tertimpa matahari dan mudah diduga babwa benda ini terbuat daripada emas murni. Peniupnya seorang laki-laki tinggi tegap, tampan dan gagah, berusia antara tiga puluh tahun. Pakaiannya seperti pakaian seorang pelajar, dengan ikat pinggang sutera dan tali penutup kepala melambai panjang.
Pakaian orang ini hanya bentuknya saja seperti pakaian pelajar, juga topinya, akan tetapi warna sepatu, pakaian, dan topinya hitam, kecuali ikat pinggang dan pinggiran jubah, berwarna kuning. Di bagian dada bajunya yang hitam itu tampak lukisan sebuah suling emas di atas dasar bulatan merah muda seperti bulan purnama.
“Iihhh.... gantengnya....!”
Siang-mou Sin-ni memuji, matanya memandang penuh gairah kepada wajah yang tampan itu.
“Inikah orangnya yang memakai nama Suling Emas....?”
It-gan Kai-ong berkata perlahan seperti pada diri sendiri. Adapun Hek-giam-lo hanya mengeluarkan suara mendengus marah.
Sementara itu, laki-laki muda bersuling itu sudah melihat adanya tiga orang aneh di puncak, juga adanya mayat-mayat berserakan di sekitar tempat itu. Suara sulingnya berhenti, benda itu ia selipkan pada ikat pinggang dan kedua kakinya melangkah lebar dan cepat ke tempat itu. Keningnya berkerut, sepasang alis yang tebal hitam itu seakan-akan bersambung menjadi satu.
“Keji sekali....!” Ia bersungut-sungut tanpa mempedulikan tiga orang itu.
“Kami yang membunuh mereka. Kau mau membela?” ejek It-gan Kai-ong menantang.
Dia tersenyum, menoleh kepada pengemis mata satu dan berkata dengan suara tenang berwibawa,
“Kalian membunuh orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, aku tidak peduli, bukan urusanku. Akan tetapi andaikata tadi aku berada disini, jangan harap kalian mengumbar kekejaman sesuka hati.”
Setelah berkata demikian, orang ini lalu menghampiri Hek-giam-lo, memandang sejenak dan berkata.
“Kau Hek-giam-lo, bukan? Beri pinjam senjatamu sebentar, aku hendak mengubur mayat-mayat itu.”
Hek-giam-lo mendengus dan melangkah mundur, sabitnya ia angkat ke atas kepala, siap menerjang. Orang muda itu tertawa mengejek.
“Kau takut aku melarikan senjatamu itu? Ha-ha, aku sering kali mendengar bahwa manusia iblis Hek-giam-lo memiliki kepandaian yang amat tinggi, kiranya ia hanya mengandalkan nyawanya kepada sebatang sabit, maka takut kehilangan senjatanya. Hek-giam-lo, sulingku ini dari emas, jauh lebih berharga daripada sabitmu, baik harganya maupun kegunaannya. Kalau kau takut aku melarikan sabitmu, biar kau bawa dulu sulingku ini.”
Sebagai seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, mana Hek-giam-lo mau menyerahkan senjatanya? Senjata yang diandalkan sama harganya dengan nyawa. Ia mendengus kembali, menggelengkan muka tengkoraknya.
Pemuda tinggi ganteng itu tersenyum lebar, tapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam.
“Terimalah ini!”
Serunya dan suling di tangan kanannya itu tiba-tiba meluncur seperti halilintar menyambar ke arah leher kiri Hek-giam-lo. Serangan ini cepat bukan main, juga tidak terduga karena gerakan suling itu dilihat dari depan seperti memutar, ujungnya membentuk lingkaran yang tidak dapat diterka kemana akan mencari sasaran. Tiba-tiba, Hek-giam-lo melihat ujung suling sudah hampir menempel ulu hatinya.
Namun ia memang lihai sekali. Sambil mengeluarkan suara gerengan seperti setan, tangan kirinya menyambar dari samping menangkap suling itu dan mendorong ke kanan agar meleset daripada ulu hatinya, bagian yang berbahaya itu.
Alangkah herannya ketika ia merasa betapa suling itu dengan mudah dapat ia renggut, malah agaknya dilepaskan oleh pemiliknya. Ia menduga akan adanya tipuan, akan tetapi terlambat karena pada saat itu, tenaga yang amat keras merampas sabitnya. Ia masih berusaha mempertahankan dengan tangan kanan, namun tiba-tiba suling di tangan kirinya itu bergerak hendak menusuk dadanya kembali. Terpaksa ia mengalihkan perhatian dan tenaganya ke tangan kiri yang mencengkcram suling, berusaha merampas suling untuk menyelamatkan diri. Lebih penting menyelamatkan diri daripada ancaman suling, baru kemudian berusaha merampas kembali senjatanya.
Pemuda itu tertawa sambil melompat mundur, sabit panjang sudah berada di tangannya.
“Hek-giam-lo, terima kasih atas kebaikanmu. Hanya sebentar aku pinjam sabitmu, kalau sudah selesai akan kukembalikan.”
Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu melirik ke kanan kiri beberapa lama, kemudian tiba-tiba ia meloncat ke kiri, sekali loncatan tubuhnya melayang lebih sepuluh meter jauhnya. Kiranya ia memilih tanah yang lunak di balik sebuah batu besar. Sabit di tangannya bergerak dan tampak sinar berkilauan ketika dengan cepatnya ia menggali tanah dengan sabit itu.
“Heh, kau tentu si muda sombong yang memakai nama Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)!” terdengar suara serak Si Muka Tengkorak. “Kembalikan senjataku.”
Suling Emas tidak menjawab, melainkan menggali terus dengan cepat sekali sehingga sebentar saja di depannya telah tergali sebuah lubang besar. Namun ia masih menggali terus dengan cepat.
Sinar hitam yang lembut bergulung meluncur ke arah punggungnya. Sinar hitam ini datang dari Hek-giam-lo yang melepas senjata rahasianya yang disebut Hek-in-tok-ciam (Jarum Beracun Awan Hitam). Begitu hebat racun jarum-jarum yang jumlahnya tujuh batang ini sehingga mengeluarkan uap hitam seakan-akan awan yang membungkusnya ketika benda-benda kecil ini meluncur mencari korban.
Melihat Hek-giam-lo mempergunakan ilmunya melepas jarum, Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong terkejut. Mereka berdua sudah mengenal baik hebatnya jarum-jarum itu. Sekarang Suling Emas yang ternyata hanya seorang pemuda masih hijau diserang dari belakang dan pemuda itu asyik bekerja menggali tanah, mana dapat ia menyelamatkan diri?
Suling Emas menggali dengan gerakan cepat dan aneh. Bukan hanya tangan kanan yang memegang sabit saja yang bergerak, malah semua tubuhnya ikut bergerak. Seorang petani akan mentertawakannya karena cara ia mencangkul tanah menggunakan sabit amatlah lucu, meloncat ke sana ke mari, bergoyang-goyang dan terhuyung-huyung.
Akan tetapi kalau melihat hasil galian di depannya, orang akan bengong terlongong. Sepuluh orang tukang cangkul bekerja sama dengan cangkul yang baik sekalipun belum tentu akan dapat menggali lubang sedemikian besar dalam waktu demikian cepatnya.
Sekarang, tiga orang sakti itu yang menjadi kagum. Tanpa menoleh, Suling Emas masih tetap bekerja dan ketika gulungan awan hitam yang membungkus jarum-jarum beracun itu menghampirinya dan berpencar mengarah tujuh bagian jalan darah terpenting, ia masih saja bergerak-gerak menggali lobang.
Namun kini di antara berkelebatnya sinar sabit yang putih, tampak bergulung-gulung sinar kebiruan yang mengeluarkan angin keras. Mendadak awan hitam itu membalik sampai tiga kaki jauhnya, Hek-giam-lo mengeluarkan suara geraman hebat dan awan hitam itu mendesak maju lagi, Si Muka Tengkorak berdiri setengah berjongkok, kedua tangannya dilonjorkan ke depan dan ia mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk memberi dorongan kepada senjata rahasianya.
Suling Emas menunda gerakannya menggali. Ia pun membalik dan kiranya di tangan kirinya terdapat sebuah kipas biru yang terdapat lukisan indah. Ia mengipaskan benda itu ke depan sambil berseru.
“Hek-giam-lo, aku terima tantanganmu, akan tetapi tunggulah sebentar sampai selesai pekerjaanku.”
Ia mengebutkan lagi kipasnya dan sekali lagi awan hitam yang sudah mendesak maju itu terpental mundur sampai lima kaki jauhnya.
Tanpa mempedulikan Hek-giam-lo yang terpaksa menerima kembali jarum-jarumnya itu, Suling Emas berloncatan ke sana ke mari dan tampaklah mayat-mayat yang berserakan itu satu demi satu melayang masuk ke dalam lobang besar yang digalinya tadi.
Pemandangan yang amat mengerikan. Mayat-mayat itu seakan-akan hidup kembali dan terbang seperti setan-setan penasaran. Padahal Suling Emas hanya menggunakan ujung sabit untuk mencongkel mayat-mayat itu. Dalam waktu pendek saja sebelas buah mayat itu sudah terbang semua ke dalam lubang. Suling Emas lalu menguruk lubang dengan tanah galian. Begitu cepat ia melakukan pekerjaan ini sehingga waktu untuk menggali dan “mengubur” ini tidak lebih daripada sepuluh menit saja!
“Ho-ho-hah-hah, Suling Emas namanya menyundul langit. Kiranya hanya seorang bocah ingusan yang tak tahan melihat mayat-mayat berserakan. Ha-ha-ha.” It-gan Kai-ong tertawa mengejek.
“It-gan Kai-ong, terimalah salamku. Tak kusangka di puncak Thai-san ini akan bertemu dengan seorang raja, sungguh menyenangkan,” jawab Suling Emas.
“Tampan sekali! Ganteng.... dan jejaka tulen. Hebat! Suling Emas, mari pergi bersama saya....”
Suara Siang-mou Sin-ni amat manis dan merdu, senyumnya memikat dan kerling matanya menyambar.
“Kalian mau saling gempur atau saling cinta, apa sangkut-pautnya dengan aku? Habis, kau mau apa?” Kakek itu merengut, kesal.
“Kita bertiga harus menentukan siapa paling unggul, dia berhak menemui Bu Kek Siansu. Yang kalah dinyatakan tidak berharga dan harus minggat.”
“Setuju!” jawab It-gan Kai-ong.
“Kau bagaimana?” tanyanya kepada Hek-giam-lo.
Yang ditanya hanya mengangguk, tetap berdiri memasang kuda-kuda, sikapnya amat bercuriga dan tidak percaya kepada dua orang di depannya itu.
Tiga orang sakti itu berdiri memasang kuda-kuda, saling pandang dengan sinar mata penuh kebencian. Mereka seakan-akan tiga ekor harimau yang siap menanti datangnya terjangan lawan, tegang sampai ke bulu-bulunya, akan tetapi terlalu hati-hati untuk bergerak lebih dahulu karena maklum bahwa lawan amatlah hebat, siapa terlena dia akan sirna.
Tiba-tiba Siang-mou Sin-ni melengking tinggi dan rambutnya bergerak seperti sinar hitam menyambar ke arah Hek-giam-lo. Hanya satu atau dua detik selisihnya dengan gerakan It-gan Kai-ong yang menggunakan tongkat menyerang wanita ini, dan gerakan Hek-giam-lo yang menggunakan sabit menerjang It-gan Kai-ong.
Sekaligus tiga orang itu telah menyerang dan diserang. Sekaligus pula mereka mendengus nyaring dan mengelak dengan lompatan kilat ke samping. Kini mereka berdiri lagi membentuk segi tiga, memasang kuda-kuda dan tidak bergerak. Suara desingan senjata mereka yang menyambar tadi masih terdengar gemanya, mengaung dari dalam jurang di dekat situ.
Amat tegang seluruh urat syaraf, ketiga orang itu sudah siap untuk melakukan terjangan atau menghadapi serangan lagi. Akan tetapi tiba-tiba wajah mereka bergerak dan perhatian mereka tertarik oleh bunyi suling yang amat luar biasa. Sesaat bunyi suling itu semerdu kicau burung di waktu pagi hari menyongsong munculnya sang matahari, akan tetapi pada saat lain terdengar seakan-akan halilintar menyambar-nyambar membelah gunung, pada detik ini terdengar gembira seperti suara bidadari tertawa merdu, pada lain detik seperti tangis wanita yang ditinggal mati suaminya.
“Tunda dulu urusan kita,” kata It-gan Kai-ong.
“Kita lihat siapa yang datang,” sambung Siang-mou Sin-ni mengangguk.
Hek-giam-lo hanya mengangguk dan menurunkan sabitnya. Makin lama suara suling terdengar makin nyaring, seolah-olah penyulingnya berjalan perlahan mendekati tempat itu.
Tiga orang sakti ini menjadi tegang hatinya, mereka menduga-duga. Nama besar Bu Kek Siansu yang dipuja-puja seluruh tokoh kang-ouw, sudah banyak kali mereka dengar, namun selama hidup mereka belum pernah melihat orangnya. Apakah kakek sakti itu yang muncul sekarang sambil meniup suling?
Tak lama kemudian muncullah si peniup suling dari balik batu besar, berjalan dengan tenang perlahan menuju ke puncak sambil meniup suling yang dipegang dengan kedua tangannya.
Suling itu berkilauan tertimpa matahari dan mudah diduga babwa benda ini terbuat daripada emas murni. Peniupnya seorang laki-laki tinggi tegap, tampan dan gagah, berusia antara tiga puluh tahun. Pakaiannya seperti pakaian seorang pelajar, dengan ikat pinggang sutera dan tali penutup kepala melambai panjang.
Pakaian orang ini hanya bentuknya saja seperti pakaian pelajar, juga topinya, akan tetapi warna sepatu, pakaian, dan topinya hitam, kecuali ikat pinggang dan pinggiran jubah, berwarna kuning. Di bagian dada bajunya yang hitam itu tampak lukisan sebuah suling emas di atas dasar bulatan merah muda seperti bulan purnama.
“Iihhh.... gantengnya....!”
Siang-mou Sin-ni memuji, matanya memandang penuh gairah kepada wajah yang tampan itu.
“Inikah orangnya yang memakai nama Suling Emas....?”
It-gan Kai-ong berkata perlahan seperti pada diri sendiri. Adapun Hek-giam-lo hanya mengeluarkan suara mendengus marah.
Sementara itu, laki-laki muda bersuling itu sudah melihat adanya tiga orang aneh di puncak, juga adanya mayat-mayat berserakan di sekitar tempat itu. Suara sulingnya berhenti, benda itu ia selipkan pada ikat pinggang dan kedua kakinya melangkah lebar dan cepat ke tempat itu. Keningnya berkerut, sepasang alis yang tebal hitam itu seakan-akan bersambung menjadi satu.
“Keji sekali....!” Ia bersungut-sungut tanpa mempedulikan tiga orang itu.
“Kami yang membunuh mereka. Kau mau membela?” ejek It-gan Kai-ong menantang.
Dia tersenyum, menoleh kepada pengemis mata satu dan berkata dengan suara tenang berwibawa,
“Kalian membunuh orang, tidak ada sangkut-pautnya dengan aku, aku tidak peduli, bukan urusanku. Akan tetapi andaikata tadi aku berada disini, jangan harap kalian mengumbar kekejaman sesuka hati.”
Setelah berkata demikian, orang ini lalu menghampiri Hek-giam-lo, memandang sejenak dan berkata.
“Kau Hek-giam-lo, bukan? Beri pinjam senjatamu sebentar, aku hendak mengubur mayat-mayat itu.”
Hek-giam-lo mendengus dan melangkah mundur, sabitnya ia angkat ke atas kepala, siap menerjang. Orang muda itu tertawa mengejek.
“Kau takut aku melarikan senjatamu itu? Ha-ha, aku sering kali mendengar bahwa manusia iblis Hek-giam-lo memiliki kepandaian yang amat tinggi, kiranya ia hanya mengandalkan nyawanya kepada sebatang sabit, maka takut kehilangan senjatanya. Hek-giam-lo, sulingku ini dari emas, jauh lebih berharga daripada sabitmu, baik harganya maupun kegunaannya. Kalau kau takut aku melarikan sabitmu, biar kau bawa dulu sulingku ini.”
Sebagai seorang tokoh besar dalam dunia persilatan, mana Hek-giam-lo mau menyerahkan senjatanya? Senjata yang diandalkan sama harganya dengan nyawa. Ia mendengus kembali, menggelengkan muka tengkoraknya.
Pemuda tinggi ganteng itu tersenyum lebar, tapi sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam.
“Terimalah ini!”
Serunya dan suling di tangan kanannya itu tiba-tiba meluncur seperti halilintar menyambar ke arah leher kiri Hek-giam-lo. Serangan ini cepat bukan main, juga tidak terduga karena gerakan suling itu dilihat dari depan seperti memutar, ujungnya membentuk lingkaran yang tidak dapat diterka kemana akan mencari sasaran. Tiba-tiba, Hek-giam-lo melihat ujung suling sudah hampir menempel ulu hatinya.
Namun ia memang lihai sekali. Sambil mengeluarkan suara gerengan seperti setan, tangan kirinya menyambar dari samping menangkap suling itu dan mendorong ke kanan agar meleset daripada ulu hatinya, bagian yang berbahaya itu.
Alangkah herannya ketika ia merasa betapa suling itu dengan mudah dapat ia renggut, malah agaknya dilepaskan oleh pemiliknya. Ia menduga akan adanya tipuan, akan tetapi terlambat karena pada saat itu, tenaga yang amat keras merampas sabitnya. Ia masih berusaha mempertahankan dengan tangan kanan, namun tiba-tiba suling di tangan kirinya itu bergerak hendak menusuk dadanya kembali. Terpaksa ia mengalihkan perhatian dan tenaganya ke tangan kiri yang mencengkcram suling, berusaha merampas suling untuk menyelamatkan diri. Lebih penting menyelamatkan diri daripada ancaman suling, baru kemudian berusaha merampas kembali senjatanya.
Pemuda itu tertawa sambil melompat mundur, sabit panjang sudah berada di tangannya.
“Hek-giam-lo, terima kasih atas kebaikanmu. Hanya sebentar aku pinjam sabitmu, kalau sudah selesai akan kukembalikan.”
Setelah berkata demikian, pemuda aneh ini lalu melirik ke kanan kiri beberapa lama, kemudian tiba-tiba ia meloncat ke kiri, sekali loncatan tubuhnya melayang lebih sepuluh meter jauhnya. Kiranya ia memilih tanah yang lunak di balik sebuah batu besar. Sabit di tangannya bergerak dan tampak sinar berkilauan ketika dengan cepatnya ia menggali tanah dengan sabit itu.
“Heh, kau tentu si muda sombong yang memakai nama Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas)!” terdengar suara serak Si Muka Tengkorak. “Kembalikan senjataku.”
Suling Emas tidak menjawab, melainkan menggali terus dengan cepat sekali sehingga sebentar saja di depannya telah tergali sebuah lubang besar. Namun ia masih menggali terus dengan cepat.
Sinar hitam yang lembut bergulung meluncur ke arah punggungnya. Sinar hitam ini datang dari Hek-giam-lo yang melepas senjata rahasianya yang disebut Hek-in-tok-ciam (Jarum Beracun Awan Hitam). Begitu hebat racun jarum-jarum yang jumlahnya tujuh batang ini sehingga mengeluarkan uap hitam seakan-akan awan yang membungkusnya ketika benda-benda kecil ini meluncur mencari korban.
Melihat Hek-giam-lo mempergunakan ilmunya melepas jarum, Siang-mou Sin-ni dan It-gan Kai-ong terkejut. Mereka berdua sudah mengenal baik hebatnya jarum-jarum itu. Sekarang Suling Emas yang ternyata hanya seorang pemuda masih hijau diserang dari belakang dan pemuda itu asyik bekerja menggali tanah, mana dapat ia menyelamatkan diri?
Suling Emas menggali dengan gerakan cepat dan aneh. Bukan hanya tangan kanan yang memegang sabit saja yang bergerak, malah semua tubuhnya ikut bergerak. Seorang petani akan mentertawakannya karena cara ia mencangkul tanah menggunakan sabit amatlah lucu, meloncat ke sana ke mari, bergoyang-goyang dan terhuyung-huyung.
Akan tetapi kalau melihat hasil galian di depannya, orang akan bengong terlongong. Sepuluh orang tukang cangkul bekerja sama dengan cangkul yang baik sekalipun belum tentu akan dapat menggali lubang sedemikian besar dalam waktu demikian cepatnya.
Sekarang, tiga orang sakti itu yang menjadi kagum. Tanpa menoleh, Suling Emas masih tetap bekerja dan ketika gulungan awan hitam yang membungkus jarum-jarum beracun itu menghampirinya dan berpencar mengarah tujuh bagian jalan darah terpenting, ia masih saja bergerak-gerak menggali lobang.
Namun kini di antara berkelebatnya sinar sabit yang putih, tampak bergulung-gulung sinar kebiruan yang mengeluarkan angin keras. Mendadak awan hitam itu membalik sampai tiga kaki jauhnya, Hek-giam-lo mengeluarkan suara geraman hebat dan awan hitam itu mendesak maju lagi, Si Muka Tengkorak berdiri setengah berjongkok, kedua tangannya dilonjorkan ke depan dan ia mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk memberi dorongan kepada senjata rahasianya.
Suling Emas menunda gerakannya menggali. Ia pun membalik dan kiranya di tangan kirinya terdapat sebuah kipas biru yang terdapat lukisan indah. Ia mengipaskan benda itu ke depan sambil berseru.
“Hek-giam-lo, aku terima tantanganmu, akan tetapi tunggulah sebentar sampai selesai pekerjaanku.”
Ia mengebutkan lagi kipasnya dan sekali lagi awan hitam yang sudah mendesak maju itu terpental mundur sampai lima kaki jauhnya.
Tanpa mempedulikan Hek-giam-lo yang terpaksa menerima kembali jarum-jarumnya itu, Suling Emas berloncatan ke sana ke mari dan tampaklah mayat-mayat yang berserakan itu satu demi satu melayang masuk ke dalam lobang besar yang digalinya tadi.
Pemandangan yang amat mengerikan. Mayat-mayat itu seakan-akan hidup kembali dan terbang seperti setan-setan penasaran. Padahal Suling Emas hanya menggunakan ujung sabit untuk mencongkel mayat-mayat itu. Dalam waktu pendek saja sebelas buah mayat itu sudah terbang semua ke dalam lubang. Suling Emas lalu menguruk lubang dengan tanah galian. Begitu cepat ia melakukan pekerjaan ini sehingga waktu untuk menggali dan “mengubur” ini tidak lebih daripada sepuluh menit saja!
“Ho-ho-hah-hah, Suling Emas namanya menyundul langit. Kiranya hanya seorang bocah ingusan yang tak tahan melihat mayat-mayat berserakan. Ha-ha-ha.” It-gan Kai-ong tertawa mengejek.
“It-gan Kai-ong, terimalah salamku. Tak kusangka di puncak Thai-san ini akan bertemu dengan seorang raja, sungguh menyenangkan,” jawab Suling Emas.
“Tampan sekali! Ganteng.... dan jejaka tulen. Hebat! Suling Emas, mari pergi bersama saya....”
Suara Siang-mou Sin-ni amat manis dan merdu, senyumnya memikat dan kerling matanya menyambar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar