Pemuda biasa saja kiranya akan runtuh kalbunya dan bobol pertahanannya kalau menghadapi senyum dan kerling yang memabukkan ini. Memang Siang-mou Sin-ni memiliki kecantikan yang luar biasa, keharuman rambut yang memabukkan, dan ada sesuatu yang mujijat, hawa kekuatan yang tidak sewajarnya, keluar dari tubuhnya.
Suling Emas menjadi merah mukanya ketika ia mengangguk dan membungkuk sebagai tanda hormat.
“Siang-mou Sin-ni, terima kasih. Kulihat diantara mayat-mayat itu terdapat seorang muda yang sudah kau sedot habis isi tulang belakangnya, apakah kau masih juga belum kenyang?”
Siang-mou Sin-ni hanya terkekeh-kekeh mendengar ejekan ini. Adapun It-gan Kai-ong lalu menegur,
“Kim-siauw (Suling Emas), kau yang masih begini muda, bagaimana berani lancang menyebut nama kami? Bagaimana kau bisa megenal bahwa aku It-gan Kai-ong?”
Suling Emas tertawa.
“Banyak raja di dunia ini, akan tetapi yang suka memakai pakaian tambalan, hanyalah raja pengemis. Di antara banyak raja pengemis yang terkenal, memang ada beberapa orang di antaranya yang buta kedua matanya, akan tetapi yang picak sebelah hanyalah It-gan Kai-ong.”
Siang-mou Sin-ni makin keras kekeh tawanya. bahkan Si Muka Tengkorak yang pendiam juga terbatuk-batuk menahan tawa. It-gan Kai-ong mencak-mencak saking marahnya.
“Bocah sombong, berani kau mempermainkan aku? Hayo ke sinilah, boleh kita adu kepandaian.”
“Nanti dulu, Kai-ong. Biarlah dia mencoba kelihaian rambutku. Kalau dia bisa mengatasi rambutku, tak perlu aku mencium dan menggigitnya, hi-hi-hik!” Siang-mou Sin-ni melangkah maju.
Akan tetapi Suling Emas tidak mempedulikan mereka berdua, langsung ia menghampiri Hek-giam-lo, menyerahkan senjata sabit.
“Ini senjatamu, Hek-giam-lo, dan terima kasih.”
Hek-giam-lo mengulur tangan kiri menangkap gagang sabitnya, akan tetapi Suling Emas tidak melepaskannya, dan sambil tersenyum pemuda ini mengulur tangan kiri pula ke arah sulingnya yang masih dipegang oleh Hek-giam-lo, kemudian menyambar suling itu.
Keduanya kini berdiri berhadapan dengan kedua tangan memegang kedua macam senjata, tidak saling dilepas. Sejenak mereka berpandangan, ragu-ragu berada di fihak Hek-giam-lo, akan tetapi kemudian ia mengendorkan pegangannya pada suling. Suling Emas juga melepaskan sabit dan menarik suling sehingga di lain saat kedua orang itu sudah saling bertukar senjata.
Hek-giam-lo yang masih marah dan penasaran sudah mengangkat sabit, siap menyerang. Akan tetapi ia kalah dulu oleh Siang-mou Sin-ni yang sudah melompat ke depan Suling Emas dan sambil terkekeh wanita ini menggerakkan rambutnya yang mengeluarkan bunyi bercuitan seperti seratus cambuk menerjang Suling Emas.
Bau yang harum semerbak memabukkan menusuk hidung. Suling Emas cepat mengerahkan sin-kang dan melompat ke belakang, sulingnya menyampok ke depan dibarengi kipasnya dikebutkan. Terdengar suara nyaring ketika suling emas itu bertemu dengan gumpalan rambut yang paling tebal, sedangkan kipas yang bergerak kuat itu meniup balik rambut panjang yang tadi menerjang maju seperti hidup.
Baik Suling Emas maupun Siang-mou Sin-ni masing-masing melangkah mundur tiga tindak dan saling pandang dengan kagum. Malah Siang-mou Sin-ni kelihatan kaget. Tak disangkanya bahwa pemuda ganteng ini demikian kuat dan lihai. Kulit kepalanya sampai terasa pedas dan panas karena akar rambutnya terguncang keras. Di lain fihak, Suling Emas juga maklum bahwa wanita ini benar-benar luar biasa seperti yang sudah lama ia dengar. Kipas dan sulingnya tergetar hebat dan ia sampai melirik kepada dua senjatanya itu untuk melihat apakah kipas dan suling tidak menjadi rusak.
“Siang-mou Sin-ni, jangan kau lancang. Karena dia tadi menghinaku, akulah yang berhak menantangnya. Eh, Suling Emas bocah sombong, beranikah kau menghadapiku?” Hek-giam-lo sudah melangkah maju lagi, tangan kirinya merogoh saku.
Suling Emas melintangkan suling di depan dada dan kipasnya diangkat ke atas kepala, tersenyum tenang.
“Aku mendaki puncak Thai-san dengan perasaan aman dan damai, dengan pikiran gembira dan bersih daripada permusuhan dengan siapa pun juga. Aku tidak menghendaki permusuhan di tempat yang indah dan sejuk ini, akan tetapi kalau ada yang menantangku, biarpun aku ogah melayani, namun suling dan kipasku harus menjaga nama dan kehormatan.”
“Jadi!”
Hek-giam-lo berseru keras, tangan kirinya keluar dan begitu tangan kiri itu bergerak-gerak, tiga belas batang pedang pendek yang seperti disulap keluar dari jubah hitamnya itu telah menancap di atas tanah, membentuk lingkaran.
Lingkaran itu terdiri dari sepuluh batang pedang yang berdiri berjajar, di tengah-tengah lingkaran tertancap tiga batang pedang yang bentuknya segi tiga. Sambil menggereng keras tubuh Hek-giam-lo melayang ke tengah lingkaran dan tahu-tahu ia sudah berdiri dengan sebelah kaki menginjak gagang pedang.
Pedang itu kecil saja, dapat dibayangkan betapa tinggi gin-kang (ilmu meringankan tubuh) harus dibutuhkan untuk dapat berdiri di atas gagangnya. Pedang bergoyang-goyang, namun tubuh Hek-giam-lo tetap tegak tak bergerak, sabitnya diangkat di atas kepala.
“Bagus, boleh kulayani kau main-main sebentar Hek-giam-lo!”
Seru Suling Emas dan seperti seekor burung garuda melayang, tubuhnya yang tinggi tegap itu meloncat ke tengah lingkaran, kaki kanannya menginjak gagang sebuah pedang lain.
Hek-giam-lo menyambut kedatangan lawannya dengan suara ketawa aneh menyeramkan, sabitnya bergerak dan menyambar seperti kilat putih, memancung ke arah leher Suling Emas. Namun, lawannya bukanlah orang sembarangan. Sedikit berjongkok saja sabit itu sudah lewat di atas kepala dan sekali menggerakkan kedua tangan, kipas di tangan kiri yang terbuka itu mengebut ke arah muka tengkorak sedangkan suling disodokkan ke arah lambung. Sekaligus Suling Emas telah menyerang hebat dengan gerakan yang kelihatan lambat, namun tidak mengeluarkan suara dan sukar diduga ke mana arah dan sasarannya.
“Huhhhhh....!”
Hek-giam-lo mendengus pendek, sabitnya terayun membentuk lingkaran di depan lambung menangkis suling, tubuhnya meloncat ke belakang menginjak gagang pedang lain yang merupakan pagar.
“Hek-giam-lo, aku tahu ilmu silatmu hebat, setiap gerakan mengarah nyawa. Tapi adu ilmu ini hanya untuk saling kenal, bukan? Siapa turun dari pedang berarti sudah mengalah.”
“Cerewet!”
Hek-giam-lo mendengus dan sabitnya menyambar lagi, kini berturut-turut dan bertubi-tubi menyerang dari segala jurusan, diputar-putar sampai lenyap bentuk sabit, berubah menjadi segulung sinar putih menyilaukan mata.
Suling Emas terpaksa melayani desakan yang merupakan cakar-cakar maut mengancam nyawa ini. Dengan lincah tubuhnya bergerak cepat, lenyap berubah menjadi bayangan hitam, sulingnya membalas dengan serangan ke arah kaki, kipasnya mengancam kepala dan menyampok sabit.
Terpaksa Hek-giam-lo kini yang harus berloncatan mengelilingi patok-patok pedang itu, karena agaknya Suling Emas berusaha keras untuk memaksa ia turun dari patok dengan penyerangan yang selalu ditujukan kepada kakinya yang menginjak gagang pedang.
“Tengkorak busuk, serahkan Si Ganteng kepadaku!”
Siang-mou Sin-ni memekik dan wanita inipun sudah meloncat ke atas gagang pedang, dan dari belakang, rambutnya menyambar ke arah leher Suling Emas untuk mencekiknya. Agaknya wanita ini merasa khawatir kalau-kalau jejaka tampan yang hendak dijadikan korbannya itu tewas oleh Hek-giam-lo yang amat lihai.
Namun Suling Emas biarpun masih muda, ternyata memiliki kegesitan yang mengagumkan. Begitu rambut Siang-mou Sin-ni menyambar, tubuhnya sudah melayang ke kiri, kipasnya mengebut muka Hek-giam-lo dan sulingnya dari bawah menotok dada Siang-mou Sin-ni.
“Ihhhh.... kau mau membunuhku?” Wanita itu memekik sambil mengelak cepat. “Kau tidak suka kepadaku? Apa ada wanita yang lebih cantik dari padaku?”
“Kalau perlu, apa salahnya membunuhmu? Kau pun menghendaki nyawaku,”
Jawab Suling Emas sambil menerjang lagi, sekaligus menghadapi dua orang lawan yang sakti itu.
“Wah-wah, sungguh memalukan sekali Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia) sudah terkenal sebagai enam tokoh tak terkalahkan di dunia. Masa dua di antaranya sekarang tak dapat mengalahkan seorang bocah hijau? Kalau aku tidak turun tangan membasminya, bisa tercemar nama besar Thian-te Liok-koai!”
It-gan Kai-ong Si Raja Pengemis Mata Satu melompat dan tongkatnya menyambar. Hebat gerakannya dan pedang yang diinjaknya sama sekali tidak bergerak, menandakan bahwa gin-kang yang dimilikinya amat tinggi tingkatnya.
Suling Emas mengeluh dalam hatinya. Kalau menghadapi mereka di atas tanah yang keras, biarpun tidak berani ia mengharapkan kemenangan, namun ia dapat menjaga diri jauh lebih baik daripada kalau bertempur dikeroyok tiga di atas patok-patok pedang ini. Ia berusaha mainkan suling dan kipasnya sebaik mungkin, menutup diri dengan pertahanan sekokoh benteng baja dan mencari kesempatan merobohkan lawannya seorang demi seorang. Namun ia harus akui kehebatan tiga orang tokoh yang selama hidupnya baru kali ini ia lihat, dan belum dua puluh jurus ia terdesak hebat.
Tiba-tiba terdengar suara keras dan tiga orang sakti itu berjungkir-balik dan berlompatan keluar dari lingkaran patok. Ternyata semua patok pedang, kecuali yang diinjak oleh Suling Emas, telah roboh malang melintang!
Tiga orang sakti itu tadi hanya merasa betapa angin pukulan dahsyat menyambar ke bawah, merobohkan patok-patok pedang tanpa dapat mereka cegah lagi, terpaksa mereka melompat dan berpoksai (bersalto) dan seperti mendengar komando, ketiganya lalu berlari cepat menghilang dari tempat itu.
Suling Emas terheran-heran. Ia melompat turun, dengan tangannya ia meraup tiga belas pedang pendek itu, lalu melontarkannya ke arah menghilangnya Hek-giam-lo sambil berseru.
“Iblis Hitam, bawa pergi pedang-pedangmu!”
Tiga belas batang pedang itu terbang melayang seperti sekelompok burung dan lenyap di balik batu-batu besar yang mengitari puncak. Memang hebat sekali tenaga sambitan Suling Emas ini, dan patutlah kiranya ia menjadi lawan orang-orang sakti seperti tiga tokoh tadi.
Terdengar suara orang menarik napas panjang. Suling Emas cepat membalikkan tubuhnya dan bulu tengkuknya berdiri ketika ia melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depannya. Ia merasa serem karena tak mungkin ada orang, betapapun saktinya, dapat mendekatinya tanpa ia mendengarnya sama sekali.
Helaan napas saja dapat tertangkap oleh pendengarannya, bagaimanakah gerakan kakek ini sama sekali tidak didengarnya dan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya? Apakah kakek ini pandai menghilang? Dengan pandang mata penuh selidik ia menatap kakek itu.
Sukar ditaksir usianya karena sudah terlalu tua. Melihat kakek ini mengingatkan orang akan gambar-gambar para dewa. Rambutnya berwarna dua, tebal dan jarang, panjang sampai ke punggung. Digelung kecil di atas kepala, ujungnya terurai ke pundak dan punggung. Kumis dan jenggotnya juga hitam putih, terurai ke bawah. Sepasang alisnya tebal, dahinya lebar, sepasang mata yang bening dengan sinar mata sayu termenung, mulut yang setengah tertutup cambang itu selalu tersenyum ramah. Jubahnya longgar berwarna kelabu kehitaman, sepatunya dari kain tebal, di bawahnya terbuat daripada anyaman rumput, lengan bajunya lebar sekali. Pada punggung kakek ini tampak sebuah alat musik khim.
Agaknya saking tuanya maka tubuh kakek ini agak bongkok dan kelihatan pendek. Kelihatannya biasa saja, seperti kakek-kakek lain yang sudah amat tua, hanya daun telinganya yang mungkin terlalu besar bagi orang-orang biasa, mengingatkan orang akan daun telinga pada arca-arca Buddha dan para dewa.
Suling Emas menjadi merah mukanya ketika ia mengangguk dan membungkuk sebagai tanda hormat.
“Siang-mou Sin-ni, terima kasih. Kulihat diantara mayat-mayat itu terdapat seorang muda yang sudah kau sedot habis isi tulang belakangnya, apakah kau masih juga belum kenyang?”
Siang-mou Sin-ni hanya terkekeh-kekeh mendengar ejekan ini. Adapun It-gan Kai-ong lalu menegur,
“Kim-siauw (Suling Emas), kau yang masih begini muda, bagaimana berani lancang menyebut nama kami? Bagaimana kau bisa megenal bahwa aku It-gan Kai-ong?”
Suling Emas tertawa.
“Banyak raja di dunia ini, akan tetapi yang suka memakai pakaian tambalan, hanyalah raja pengemis. Di antara banyak raja pengemis yang terkenal, memang ada beberapa orang di antaranya yang buta kedua matanya, akan tetapi yang picak sebelah hanyalah It-gan Kai-ong.”
Siang-mou Sin-ni makin keras kekeh tawanya. bahkan Si Muka Tengkorak yang pendiam juga terbatuk-batuk menahan tawa. It-gan Kai-ong mencak-mencak saking marahnya.
“Bocah sombong, berani kau mempermainkan aku? Hayo ke sinilah, boleh kita adu kepandaian.”
“Nanti dulu, Kai-ong. Biarlah dia mencoba kelihaian rambutku. Kalau dia bisa mengatasi rambutku, tak perlu aku mencium dan menggigitnya, hi-hi-hik!” Siang-mou Sin-ni melangkah maju.
Akan tetapi Suling Emas tidak mempedulikan mereka berdua, langsung ia menghampiri Hek-giam-lo, menyerahkan senjata sabit.
“Ini senjatamu, Hek-giam-lo, dan terima kasih.”
Hek-giam-lo mengulur tangan kiri menangkap gagang sabitnya, akan tetapi Suling Emas tidak melepaskannya, dan sambil tersenyum pemuda ini mengulur tangan kiri pula ke arah sulingnya yang masih dipegang oleh Hek-giam-lo, kemudian menyambar suling itu.
Keduanya kini berdiri berhadapan dengan kedua tangan memegang kedua macam senjata, tidak saling dilepas. Sejenak mereka berpandangan, ragu-ragu berada di fihak Hek-giam-lo, akan tetapi kemudian ia mengendorkan pegangannya pada suling. Suling Emas juga melepaskan sabit dan menarik suling sehingga di lain saat kedua orang itu sudah saling bertukar senjata.
Hek-giam-lo yang masih marah dan penasaran sudah mengangkat sabit, siap menyerang. Akan tetapi ia kalah dulu oleh Siang-mou Sin-ni yang sudah melompat ke depan Suling Emas dan sambil terkekeh wanita ini menggerakkan rambutnya yang mengeluarkan bunyi bercuitan seperti seratus cambuk menerjang Suling Emas.
Bau yang harum semerbak memabukkan menusuk hidung. Suling Emas cepat mengerahkan sin-kang dan melompat ke belakang, sulingnya menyampok ke depan dibarengi kipasnya dikebutkan. Terdengar suara nyaring ketika suling emas itu bertemu dengan gumpalan rambut yang paling tebal, sedangkan kipas yang bergerak kuat itu meniup balik rambut panjang yang tadi menerjang maju seperti hidup.
Baik Suling Emas maupun Siang-mou Sin-ni masing-masing melangkah mundur tiga tindak dan saling pandang dengan kagum. Malah Siang-mou Sin-ni kelihatan kaget. Tak disangkanya bahwa pemuda ganteng ini demikian kuat dan lihai. Kulit kepalanya sampai terasa pedas dan panas karena akar rambutnya terguncang keras. Di lain fihak, Suling Emas juga maklum bahwa wanita ini benar-benar luar biasa seperti yang sudah lama ia dengar. Kipas dan sulingnya tergetar hebat dan ia sampai melirik kepada dua senjatanya itu untuk melihat apakah kipas dan suling tidak menjadi rusak.
“Siang-mou Sin-ni, jangan kau lancang. Karena dia tadi menghinaku, akulah yang berhak menantangnya. Eh, Suling Emas bocah sombong, beranikah kau menghadapiku?” Hek-giam-lo sudah melangkah maju lagi, tangan kirinya merogoh saku.
Suling Emas melintangkan suling di depan dada dan kipasnya diangkat ke atas kepala, tersenyum tenang.
“Aku mendaki puncak Thai-san dengan perasaan aman dan damai, dengan pikiran gembira dan bersih daripada permusuhan dengan siapa pun juga. Aku tidak menghendaki permusuhan di tempat yang indah dan sejuk ini, akan tetapi kalau ada yang menantangku, biarpun aku ogah melayani, namun suling dan kipasku harus menjaga nama dan kehormatan.”
“Jadi!”
Hek-giam-lo berseru keras, tangan kirinya keluar dan begitu tangan kiri itu bergerak-gerak, tiga belas batang pedang pendek yang seperti disulap keluar dari jubah hitamnya itu telah menancap di atas tanah, membentuk lingkaran.
Lingkaran itu terdiri dari sepuluh batang pedang yang berdiri berjajar, di tengah-tengah lingkaran tertancap tiga batang pedang yang bentuknya segi tiga. Sambil menggereng keras tubuh Hek-giam-lo melayang ke tengah lingkaran dan tahu-tahu ia sudah berdiri dengan sebelah kaki menginjak gagang pedang.
Pedang itu kecil saja, dapat dibayangkan betapa tinggi gin-kang (ilmu meringankan tubuh) harus dibutuhkan untuk dapat berdiri di atas gagangnya. Pedang bergoyang-goyang, namun tubuh Hek-giam-lo tetap tegak tak bergerak, sabitnya diangkat di atas kepala.
“Bagus, boleh kulayani kau main-main sebentar Hek-giam-lo!”
Seru Suling Emas dan seperti seekor burung garuda melayang, tubuhnya yang tinggi tegap itu meloncat ke tengah lingkaran, kaki kanannya menginjak gagang sebuah pedang lain.
Hek-giam-lo menyambut kedatangan lawannya dengan suara ketawa aneh menyeramkan, sabitnya bergerak dan menyambar seperti kilat putih, memancung ke arah leher Suling Emas. Namun, lawannya bukanlah orang sembarangan. Sedikit berjongkok saja sabit itu sudah lewat di atas kepala dan sekali menggerakkan kedua tangan, kipas di tangan kiri yang terbuka itu mengebut ke arah muka tengkorak sedangkan suling disodokkan ke arah lambung. Sekaligus Suling Emas telah menyerang hebat dengan gerakan yang kelihatan lambat, namun tidak mengeluarkan suara dan sukar diduga ke mana arah dan sasarannya.
“Huhhhhh....!”
Hek-giam-lo mendengus pendek, sabitnya terayun membentuk lingkaran di depan lambung menangkis suling, tubuhnya meloncat ke belakang menginjak gagang pedang lain yang merupakan pagar.
“Hek-giam-lo, aku tahu ilmu silatmu hebat, setiap gerakan mengarah nyawa. Tapi adu ilmu ini hanya untuk saling kenal, bukan? Siapa turun dari pedang berarti sudah mengalah.”
“Cerewet!”
Hek-giam-lo mendengus dan sabitnya menyambar lagi, kini berturut-turut dan bertubi-tubi menyerang dari segala jurusan, diputar-putar sampai lenyap bentuk sabit, berubah menjadi segulung sinar putih menyilaukan mata.
Suling Emas terpaksa melayani desakan yang merupakan cakar-cakar maut mengancam nyawa ini. Dengan lincah tubuhnya bergerak cepat, lenyap berubah menjadi bayangan hitam, sulingnya membalas dengan serangan ke arah kaki, kipasnya mengancam kepala dan menyampok sabit.
Terpaksa Hek-giam-lo kini yang harus berloncatan mengelilingi patok-patok pedang itu, karena agaknya Suling Emas berusaha keras untuk memaksa ia turun dari patok dengan penyerangan yang selalu ditujukan kepada kakinya yang menginjak gagang pedang.
“Tengkorak busuk, serahkan Si Ganteng kepadaku!”
Siang-mou Sin-ni memekik dan wanita inipun sudah meloncat ke atas gagang pedang, dan dari belakang, rambutnya menyambar ke arah leher Suling Emas untuk mencekiknya. Agaknya wanita ini merasa khawatir kalau-kalau jejaka tampan yang hendak dijadikan korbannya itu tewas oleh Hek-giam-lo yang amat lihai.
Namun Suling Emas biarpun masih muda, ternyata memiliki kegesitan yang mengagumkan. Begitu rambut Siang-mou Sin-ni menyambar, tubuhnya sudah melayang ke kiri, kipasnya mengebut muka Hek-giam-lo dan sulingnya dari bawah menotok dada Siang-mou Sin-ni.
“Ihhhh.... kau mau membunuhku?” Wanita itu memekik sambil mengelak cepat. “Kau tidak suka kepadaku? Apa ada wanita yang lebih cantik dari padaku?”
“Kalau perlu, apa salahnya membunuhmu? Kau pun menghendaki nyawaku,”
Jawab Suling Emas sambil menerjang lagi, sekaligus menghadapi dua orang lawan yang sakti itu.
“Wah-wah, sungguh memalukan sekali Thian-te Liok-koai (Enam Setan Dunia) sudah terkenal sebagai enam tokoh tak terkalahkan di dunia. Masa dua di antaranya sekarang tak dapat mengalahkan seorang bocah hijau? Kalau aku tidak turun tangan membasminya, bisa tercemar nama besar Thian-te Liok-koai!”
It-gan Kai-ong Si Raja Pengemis Mata Satu melompat dan tongkatnya menyambar. Hebat gerakannya dan pedang yang diinjaknya sama sekali tidak bergerak, menandakan bahwa gin-kang yang dimilikinya amat tinggi tingkatnya.
Suling Emas mengeluh dalam hatinya. Kalau menghadapi mereka di atas tanah yang keras, biarpun tidak berani ia mengharapkan kemenangan, namun ia dapat menjaga diri jauh lebih baik daripada kalau bertempur dikeroyok tiga di atas patok-patok pedang ini. Ia berusaha mainkan suling dan kipasnya sebaik mungkin, menutup diri dengan pertahanan sekokoh benteng baja dan mencari kesempatan merobohkan lawannya seorang demi seorang. Namun ia harus akui kehebatan tiga orang tokoh yang selama hidupnya baru kali ini ia lihat, dan belum dua puluh jurus ia terdesak hebat.
Tiba-tiba terdengar suara keras dan tiga orang sakti itu berjungkir-balik dan berlompatan keluar dari lingkaran patok. Ternyata semua patok pedang, kecuali yang diinjak oleh Suling Emas, telah roboh malang melintang!
Tiga orang sakti itu tadi hanya merasa betapa angin pukulan dahsyat menyambar ke bawah, merobohkan patok-patok pedang tanpa dapat mereka cegah lagi, terpaksa mereka melompat dan berpoksai (bersalto) dan seperti mendengar komando, ketiganya lalu berlari cepat menghilang dari tempat itu.
Suling Emas terheran-heran. Ia melompat turun, dengan tangannya ia meraup tiga belas pedang pendek itu, lalu melontarkannya ke arah menghilangnya Hek-giam-lo sambil berseru.
“Iblis Hitam, bawa pergi pedang-pedangmu!”
Tiga belas batang pedang itu terbang melayang seperti sekelompok burung dan lenyap di balik batu-batu besar yang mengitari puncak. Memang hebat sekali tenaga sambitan Suling Emas ini, dan patutlah kiranya ia menjadi lawan orang-orang sakti seperti tiga tokoh tadi.
Terdengar suara orang menarik napas panjang. Suling Emas cepat membalikkan tubuhnya dan bulu tengkuknya berdiri ketika ia melihat seorang kakek tua sudah berdiri di depannya. Ia merasa serem karena tak mungkin ada orang, betapapun saktinya, dapat mendekatinya tanpa ia mendengarnya sama sekali.
Helaan napas saja dapat tertangkap oleh pendengarannya, bagaimanakah gerakan kakek ini sama sekali tidak didengarnya dan tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya? Apakah kakek ini pandai menghilang? Dengan pandang mata penuh selidik ia menatap kakek itu.
Sukar ditaksir usianya karena sudah terlalu tua. Melihat kakek ini mengingatkan orang akan gambar-gambar para dewa. Rambutnya berwarna dua, tebal dan jarang, panjang sampai ke punggung. Digelung kecil di atas kepala, ujungnya terurai ke pundak dan punggung. Kumis dan jenggotnya juga hitam putih, terurai ke bawah. Sepasang alisnya tebal, dahinya lebar, sepasang mata yang bening dengan sinar mata sayu termenung, mulut yang setengah tertutup cambang itu selalu tersenyum ramah. Jubahnya longgar berwarna kelabu kehitaman, sepatunya dari kain tebal, di bawahnya terbuat daripada anyaman rumput, lengan bajunya lebar sekali. Pada punggung kakek ini tampak sebuah alat musik khim.
Agaknya saking tuanya maka tubuh kakek ini agak bongkok dan kelihatan pendek. Kelihatannya biasa saja, seperti kakek-kakek lain yang sudah amat tua, hanya daun telinganya yang mungkin terlalu besar bagi orang-orang biasa, mengingatkan orang akan daun telinga pada arca-arca Buddha dan para dewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar