FB

FB


Ads

Kamis, 16 Mei 2019

Cinta Bernoda Darah Jilid 003

“Cuh! Cuhhhhh!”

Suara orang meludah dan Leng Hi murid ke empat Bu-tong-pai menyumpah-nyumpah karena mukanya terkena ludah kental yang tak diketahui dari mana datangnya.

“Ho-ho-hah, Siang-mou Sin-ni jangan berpesta seorang diri!”

Suara laki-laki seperti tambur bobrok ini terdengar dan orangnya sekaligus tampak seorang berpakaian pengemis, sudah tua dan bongkok, mukanya pucat seperti mayat, rambutnya panjang sampai ke pundak, awut-awutan dan riap-riapan kotor, mata kirinya buta, mata kanannya lebar membelalak. Pakaiannya kotor dan penuh tambalan, hanya sepasang sepatunya masih baru. Ia memegang sebatang tongkat butut, berdiri di situ dengan punggung agak bongkok.

Dilihat sepintas lalu, ia hanya seorang pengemis kotor biasa saja, malah seorang pengemis yang tidak normal, setengah gila. Hal itu tampak pada mukanya yang mengerikan, apalagi mulutnya yang lebar dan selalu sedikit terbuka, memperlihatkan sebuah gigi besar, gigi yang hanya satu-satunya dalam mulut tua.

Kembali ia meludah,
“Cuh-cuh-cuh!” ke kanan kiri, menjijikkan sekali.

Melihat ini, Leng Li Hwesio marah,
“Orang tua jorok (kotor), kaukah yang meludahi pinceng tadi?”

“Ho-ho-hah-hah, aku memang suka meludah, biasa meludahi anjing korengan dan kucing kudisan. Lebih suka lagi meludahi keledai gundul, cuh-cuh!”

Mukanya menghadap ke bawah dan ia meludah ke bawah, akan tetapi anehnya, dua kali meludah, dua kali muka Leng Hi Hwesio yang berada di sebelah kanannya dalam jarak tiga meter itu terkena sambaran ludah kental yang sebagian memasuki lubang hidungnya. Entah bagaimana ludah itu bisa terbang menyeleweng dan miring.

Kakek pengemis itu berjingkrak kegirangan bertepuk-tepuk tangan sambil tertawa.
“Ha-ho-hoh! Bagus sekali. Keledai Bu-tong memang baik menjadi tempolong ludah!”

“Jahanam hina!”

Leng Hi Hwesio mana dapat menahan kesabarannya? Dengan kemarahan meluap-luap ia sudah mencabut pedangnya dan menerjang pengemis itu.

“Ho-ho-ha-hah, untung besar hari ini bisa meludahi mampus keledai Bu-tong!”

Tiba-tiba terdengar suara keras dan pedang di tangan Leng Hi Hwesio sudah terlempar jauh, menimpa batu gunung dan patah menjadi dua. Kemudian kakek pengemis itu meludah terus dan tiap kali meludah, Leng Hi Hwesio berseru kesakitan.

Hujan ludah itu mengenai tubuhnya, akan tetapi tidak hanya membikin kotor seperti tadi, kini terasa seperti pukulan-pukulan keras yang tepat mengenai jalan darah di tubuhnya. Tiap kali kakek itu meludah dan mengenai tubuhnya, ia berteriak mengaduh, kemudian ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan diri.

Namun kakek itu terus meludah, makin keras agaknya karena kini tubuh Leng Hi Hwesio bergulingan seperti seekor cacing terkena abu panas dan dari telinga dan hidungnya keluar darah segar!

“Pengemis keji, lepaskan Sute kami!”

Leng Lo Hwesio dan dua orang adik seperguruannya cepat mencabut pedang dan menerjang pengemis itu.

Akan tetapi pengemis itu mengangkat tongkatnya, sekaligus tiga batang pedang itu tertangkis dan terpental. Sungguhpun tiga orang hwesio kosen itu tidak sampai melepaskan pedang masing-masing, namun mereka merasakan telapak tangan mereka sakit dan panas. Terkejutlah mereka.

Bu-tong-pai terkenal dengan ilmu pedang yang digerakkan dengan tenaga lwee-kang, kuat bukan main. Akan tetapi sekarang sekali tangkis saja kakek ini dapat membuat pedang mereka terpental. Padahal mereka adalah orang-orang yang menduduki tingkat dua, tiga, dan empat di Bu-tong-pai, yang paling lihai di bawah suhu (guru) mereka!






Sementara itu, kakek itu terus meludahi tubuh Leng Hi Hwesio yang kini sudah tak dapat bersambat atau bergerak lagi. Hebatnya, kepala yang gundul itu kini bolong-bolong dan dari situ keluar darah bercampur otak. Hwesio ke empat ini sudah tewas!

“Mana orang Kun-lun! Mana tosu-tosu bau dari Kun-lun?” tiba-tiba terdengar suara dan kali ini suara itu terdengar dari.... bawah!

Terlalu hebat peristiwa yang terjadi berturut-turut itu, dan para tosu Kun-lun-pai masih tercengang dan ngeri menyaksikan kematian seorang anggauta rombongan Hoa-san-pai dan seorang hwesio Bu-tong-pai. Sekarang mendengar bentakan dari bawah tanah ini, mereka seketika menjadi pucat dan cepat memandang ke arah suara. Tentu saja pandang mata mereka tertuju ke bawah, karena dari situlah munculnya suara.

“Hi-hi-hik, It-gan Kai-ong! Dengar itu, Si Tengkorak Hidup Hek-giam-lo juga datang. Bakal ramai sekarang!”

Wanita rambut panjang tadi kini tertawa dan Si Pengemis Mata Satu juga tertawa dan meludah ke kanan kiri.

“Bagus, dan kebetulan orang-orang Kun-lun berada disini. Baik sekali. Hayo, Hek-giam-lo tengkorak busuk, perlihatkan diri, apa kau gentar melihat banyak orang Kun-lun-pai?”

Mendengar disebutnya Hek-giam-lo, muka Ang Kun Tojin makin pucat. Ia belum pernah bertemu dengan Hek-giam-lo, akan tetapi ia mengenal nama ini yang oleh gurunya disebut sebagai seorang tokoh hitam yang amat keji dan jahat, malah ada bibit permusuhan dengan Kun-lun-pai, yaitu musuh dari mendiang kakek guru Ang Kun Tojin.

Terdengar suara menggereng seperti harimau dari dalam tanah dan tiba-tiba tanah berikut batu berhamburan terbang dan tahu-tahu tanah itu sudah berlobang besar. Dari dalam lubang meluncur cahaya seperti kilat yang terbang ke arah lima orang tosu Kun-lun-pai.

Para tosu ini bukanlah orang-orang sembarangan. Tingkat ilmu silat mereka seperti juga orang-orang Hoa-san-pai dan Bu-tong-pai itu, sudah mencapai taraf tinggi sekali. Sekali pandang saja mereka maklum bahwa yang menyambar ini adalah sebuah senjata yang amat tajam dan runcing, yang disusul melesatnya bayangan hitam. Cepat mereka berlima melompat ke belakang, mencabut pedang dan menangkis.

“Trang-trang-trang....!” terdengar bunyi nyaring.

Bunga api berhamburan disusul melayangnya tiga batang pedang, yaitu tiga batang diantara lima pedang yang bertemu dengan senjata berkilauan itu. Kemudian terdengar jerit mengerikan dan Pek Sin Tojin, tosu yang bertahi lalat pada hidungnya, telah roboh mandi darah. Dari leher sampai ke perutnya terdapat luka goresan yang panjang, luka kulit saja akan tetapi amat mengerikan. Apalagi kalau mereka melihat lawan mereka yang kini sudah berdiri di depan mereka, benar-benar mendirikan bulu roma.

Dia seorang yang tubuhnya sedang saja, malah agak kurus. Seluruh badan, kecuali sepasang tangan yang kecil kurus, terbungkus pakaian serba hitam. Mukanya adalah muka tengkorak, tulang putih mengerikan dengan dua lobang mata hitam, kepala tengkorak tertutup topi runcing hitam, kedua kakinya memakai sepatu hitam pula. Di tangannya tampak sebuah senjata sabit yang amat tajam dan runcing, agak melengkung.

Senjata sabit itu kini bergerak-gerak ke arah tubuh Pek Sin Tojin, sekali berkelebat tentu kulit tubuh tosu itu teriris robek. Pek Sin Tojin menggeliat-geliat, bergulingan, darah memenuhi tubuh dan mukanya, namun sabit itu terus bergerak, makin lama makin cepat.

Empat orang tosu Kun-lun-pai menerjang lagi, yang dua orang termasuk Ang Kun Tojin menggunakan pedang, yang dua orang lagi karena pedangnya terlempar, menerjang dengan kepalan. Akan tetapi hebatnya, si tengkorak ini hanya menggerak-gerakkan tangan kirinya dan semua serangan itu tertangkis oleh ujung lengan bajunya. Adapun sabit di tangan kanannya terus bergerak, mengiris-iris kulit tubuh Pek Sin Tojin sampai cobak-cabik.

Kekejaman yang mendirikan bulu roma. Pek Sin Tojin tak dapat mengerang lagi, tubuhnya berkelojotan, lalu diam. Gerakan sabit juga berhenti dan kini sabit itu berkelebatan menghadapi empat orang Kun-lun-pai yang mengeroyoknya.

Sementara itu, orang-orang Bu-tong-pai sudah bergerak mengeroyok si kakek pengemis yang melayani tiga orang kosen Bu-tong-pai ini sambil meludah-ludah dan memaki-maki.

Di lain fihak, empat orang Hoa-san-pai juga mengeroyok si wanita rambut panjang yang melayani mereka sambil terkekeh-kekeh genit. Sungguh pertempuran yang amat seru namun tidak seimbang kekuatannya. Seperti tiga ekor harimau buas dikeroyok serombongan kelinci saja.

Sabit di tangan tengkorak hidup itu menyambar seperti halilintar dan sebentar saja, dua orang tosu Kun-lun-pai sudah menggeletak dengan tubuh terbacok hampir putus menjadi dua potong, sedangkan Ang Kun Tojin dan seorang sutenya sudah luka-luka pula.

Juga wanita mengerikan yang bernama Siang-mou Sin-ni (Dewi Rambut Harum) telah menewaskan dua orang Hoa-san-pai dengan cambukan-cambukan rambutnya. Wanita ini hanya berdiri tegak, kepalanya digerak-gerakkan dan rambutnya melayang-layang di sekitar tubuhnya, menangkis senjata dan menghantam lawan. Jangan dipandang rendah rambut ini, karena ketika menghantam lawan, rambut halus dan berbau harum itu seakan-akan telah berubah menjadi kawat baja yang amat kuat.

It-gan Kai-ong (Raja Pengemis Mata Satu), meludah-ludah dan memaki-maki. Ludahnya membikin buta seorang lawan yang terus ditusuk tongkat kepalanya sehingga mati seketika. Leng Lo Hwesio mengerahkan seluruh Ilmu Pedang Bu-tong Kiam-hoat, namun sama sekali tak berdaya menghadapi sinar tongkat kakek itu.

Mereka semua maklum bahwa kalau dilanjutkan, mereka semua pasti akan tewas. Seperti ada yang memberi komando, Ang Kun Tojin, Kok Bin Cu, dan Leng Lo Hwesio melompat pergi meninggalkan para sutenya yang sudah tewas. Mereka pun menderita luka-luka berat.

“Ha-ha-ho-ho! Siang-mou Sin-ni, Hek-giam-lo, biarkan mereka pergi untuk memberi tahu kepada partai masing-masing!”

“Tak usah kau ngoceh, pengemis picak!” Siang-mou Sin-ni mencibirkan bibirnya yang merah sambil mengebut-ngebutkan rambutnya yang panjang dengan cermat. “Kalau aku mau, apa kau-kira tua bangka Hoa-san itu bisa pergi hidup-hidup?”

“Ho-ho-hah! Bagaimana, Hek-giam-lo, puas kau hari ini dapat membunuh empat orang tokoh Kun-lun?” Pengemis itu berpaling kepada si tengkorak.

“Aku datang ke Thai-san bukan untuk itu,” Hek-giam-lo Si Tengkorak Hidup menjawab pendek.

“Hi-hik, untuk apalagi kalau bukan untuk minta sesuatu dari Bu Kek Siansu? Iihhh, Hek-giam-lo, sejak kapan kau ikut-ikut menjadi pengemis seperti pengemis picak ini?”

Siang-mou Sin-ni mengejek. Akan tetapi Hek-giam-lo tidak menjawab, hanya mendengus marah.

“Ho-hah, setan cilik, lidahmu benar-benar lemas, bibirmu halus mengandung madu, tapi ludahmu seperti butrawali dan mrica! Kau sendiri datang pada permulaan musim semi, apakah akan memberi selamat panjang umur kepada setan gunung? Ho-ho, kau sendiri juga akan mengemis ilmu, bukan?”

“Cih, mulutmu bau busuk, pengemis kotor! Aku mendengar bahwa Bu Kek Siansu akan muncul di dunia. Aku hendak melihat apakah dia dapat menghadapi rambutku, kalau dapat, baru aku mau mengangkatnya sebagai guru, bukan mengemis seperti kau!”

“Ha-ha, silat lidah! Menjadi murid dan mengemis ilmu, apa bedanya? Malu-malu kucing segala, cuh!” It-gan Kai-ong meludah ke dekat kakinya dan batu di dekatnya berlubang oleh ludah itu! “Bukankah begitu, Hek-giam-lo?”

Si tengkorak hidup tidak menjawab, tidak mengangguk atau menggeleng hanya mengeluarkan suara,

“Huhhh!”

“Ihhh, menyebalkan si tengkorak busuk ini. Apa mendadak menjadi bisu? Apakah ingin menyembunyikan suara seperti bertahun-tahun ia menyembunyikann mukanya? Wah, alangkah inginku merenggut lepas kedok tengkorak itu dan melihat apakah dia laki-laki atau wanita, kalau laki-laki tampan atau buruk, muda atau tua!”

“Hemmm....”

Tengkorak hidup itu mundur selangkah, mukanya menghadap Siang-mou Sin-ni dan senjata sabitnya yang mengerikan itu diangkat ke atas, agaknya siap bertempur.

It-gan Kai-ong berjingkrak-jingkrak tertawa dan bertepuk-tepuk tangan.
“Bagus, bagus....! Aku pun mempunyai keinginan yang amat sangat, yaitu melihat kalian bertempur mengadu ilmu. Alangkah akan ramainya, entah siapa yang hanya bernama kosong belaka. Siang-mou Sin-ni ataukah Hek-giam-lo. Hayo, mulailah!”

Sejenak Siang-mou Sin-ni ragu-ragu, kepalanya sudah tegang, agaknya ia hendak menggerakkan rambutnya menerjang. Akan tetapi matanya melirik ke arah pengemis tua itu, lalu tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar