FB

FB


Ads

Kamis, 25 April 2019

Suling Emas Jilid 135

"Locianpwe, apakah kau terluka? Sungguh tak tahu malu kedua hwesio itu, mengeroyok seorang tua yang lumpuh dengan golok terbang!"

Kong Lo Sengjin tertawa.
"Aku hanya kehilangan kedua tongkatku, akan tetapi tidak mengapa, ada engkau disini yang menggantikannya. Hayo, anak tolol, kau Bantu kakekmu mengantar mereka ke neraka!"

Bu Song kaget sekali.
"Apa... apa maksud Locianpwe...?"

Akan tetapi tiba-tiba tubuh kakek itu bergerak, mencelat ke atas dan sebelum Bu Song tahu apa yang hendak dilakukan kakek itu, tubuh itu telah menyambar dan tahu-tahu telah berada di atas punggungnya! Kedua kaki yang lumpuh itu bergantungan dari atas kedua pundaknya dan ternyata kakek itu sudah menduduki tengkuknya!

"Hayo bawa aku mendekati mereka!" teriak Kong Lo Sengjin.

Tahulah kini Bu Song maksud kakek itu. Ia hendak dijadikan semacam kuda tunggang karena kakek itu lumpuh dan tidak dapat berjalan! Tentu saja ia merasa tidak suka, apalagi kalau disuruh bertempur, akan tetapi tiba-tiba ia merasa tubuhnya terdorong ke depan dan tanpa dapat ia tahan lagi kedua kakinya sudah melangkah cepat ke depan. Kiranya kakek sakti itu menggunakan tenaga saktinya untuk memaksa dan mendorongnya.

Kedua orang hwesio Hui-to-pang itu pun marah melihat hui-to-pang mereka tidak berhasil merobohkan Kong Lo Sengjin, hanya merusak sepasang tongkatnya. Akan tetapi mengingat bahwa kakek lumpuh itu kehilangan senjatanya, mereka menjadi besar hati dan segera menerjang maju, menyerang Kong Lo Sengjin dan tentu saja karena Bu Song tidak terluput pula dari serangan-serangan!

Dapat dibayangkan betapa kecut hati Bu Song. Ia merasa angin menyambar-nyambar dari depan dengan dahsyatnya. Akan tetapi Kong Lo Sengjin juga sudah bergerak, kedua tangannya menyambar-nyambar ke depan dan bukan main hebat dan dahsyatnya angin pukulan yang keluar dari tangan dan lengan bajunya. Begitu kakek lumpuh ini memutar kedua tangannya, lawan-lawannya terdesak mundur dan mengeluarkan seruan kaget.

"Ha-ha-ha, kalian hendak lari kemana?"

Kong Lo Sengjin berseru dan tubuhnya sampai hampir tergantung dari leher Bu Song saking besarnya nafsu menjatuhkan kedua lawannya yang selalu melompat menjauhkan diri. Beberapa kali kakek itu menepuk kepala Bu Song sambil menghardik,

"Hayo cepat kejar mereka, tolol!"

Akan tetapi Bu Song yang tidak mempunyai nafsu untuk berkelahi, hanya bergerak seenaknya saja, hanya menurutkan dorongan yang memaksa tubuhnya mendoyong ke depan atau ke kanan kiri dan melakukan langkah kalau terpaksa saja.

Ternyata bahwa kedua orang hwesio itu hanya istimewa dalam penggunaan hui-to saja. Dalam pertandingan tangan kosong, mereka bukanlah lawan Kong Lo Sengjin yang memiliki sin-kang jauh lebih kuat daripada mereka. Semua serangan mereka, baik yang ditujukan kepada tubuh kakek itu maupun yang mereka arahkan kepada Bu Song membalik oleh dahsyatnya angin gerakan kedua lengan kakek lumpuh. Mereka menyadari hal ini, maka setelah melawan dengan susah payah selama puluhan jurus, keduanya lalu melompat dan melarikan diri.

"Tolol, kejar mereka!" Kong Lo Sengjin menjambak-jambak rambut Bu Song.

Akan tetapi Bu Song tidak mau, bahkan berdiri tegak.
"Saya tidak bisa lari secepat mereka, pula apa gunanya saya mengejar mereka, Locianpwe?"

"Hayo kejar mereka, kalau tidak kuhancurkan kepalamu!" Kong Lo Sengjin membentak lagi.

Akan tetapi Bu Song tidak menjawab, melainkan memandang ke kiri dan berseru.
"Celaka, Kakek itu menggantung diri!"

Amat cepat gerakan Kong Lo Sengjin. Tubuhnya sudah mencelat dari atas pundak Bu Song dan dalam keadaan melayang ini ia sekali sambar sudah memutuskan tali gantungan dan melempar tubuh Ciu Gwan Liong ke atas tanah, sedangkan dia sendiri pun sudah bersila di dekatnya.

"Tua bangka sialan!"






Kong Lo Sengjin mengomel, akan tetapi ia tidak pedulikan kakek sastrawan yang sudah megap-megap itu, melainkan cepat ia memeriksa semua pakaian Ciu Gwan Liong dan mengeluarkan isi sakunya.

Akan tetapi benda yang dicari-cari, kitab itu, tidak ada. Kong Lo Sengjin menjadi marah, ia mencengkeram kedua pundak kakek yang sudah sekarat itu, mengguncang-guncang dan mengangkat tubuhnya sambil berseru,

"Dimana kitab itu? Hayo katakan, dimana kitab itu?" Suaranya amat menakutkan dan penuh ancaman.

"Locianpwe, jangan siksa dia. Lihat dia sudah payah..."

"Tidak peduli! Heii, Ciu Gwan Liong, hayo bilang, dimana kitab itu kau sembunyikan? Demi iblis, kalau tidak mengaku, kusiksa kau biar mati perlahan-lahan!"

"Locianpwe..."

Bu Song sudah hampir saja mengaku dan menyerahkan kitab itu karena ia tidak tahan menyaksikan kakek yang lemah itu tersiksa, akan tetapi pada saat itu Si Sastrawan tua sudah membuka mata dan berkata lemah.

"Kitab itu kuberikan... kepada... Kim-mo Taisu..."

Setelah berkata demikian, kakek itu menjadi lemas dan ketika Kong Lo Sengjin melepaskannya, ia telah tewas! Bu Song menundukkan mukanya dan menarik napas panjang.

"Biarkan aku mengubur jenazahnya..." katanya perlahan, lalu ia memungut sebatang golok besar dari pinggang mayat seorang di antara tujuh penunggang kuda tadi. "Dan mayat mereka juga..." tambahnya.

"Huh, bocah kurang pekerjaan engkau ini. Eh, mana Gurumu? Dan mengapa engkau berada disini?"

"Saya diutus oleh Suhu untuk menempuh ujian di kota raja, Locianpwe. Adapun Suhu sendiri sudah meninggalkan gunung untuk membalas dendam kematian Subo."

Kong Lo Sengjin termenung sejenak.
"Kau buatkan sepasang tongkat untukku. Hayo lekas! Aku harus segera pergi dari sini!"

Bagi Bu Song, lebih lekas kakek itu pergi lebih baik, maka tanpa membantah ia lalu naik ke atas pohon, memilih dua batang cabang pohon dan menebangnya dengan golok. Setelah membuangi ranting dan daunnya, ia menyerahkan sepasang tongkat itu kepada Kong Lo Sengjin. Kakek ini menerima sepasang tongkat dan sekali menggerakkan tubuhnya, ia sudah "berdiri" di atas kedua tongkat itu.

"Kau dengar baik-baik! Menurut Kakek sastrawan ini, kitabnya diserahkan kepada Suhumu. Hal ini berarti Suhumu akan dimusuhi dan dicari orang seluruh kang-ouw. Maka kau harus tutup mulut, jangan bicarakan hal itu kepada siapapun juga. Awas kalau kau membongkar rahasia ini, aku akan datang dan menghancurkan kepalamu, mengerti?"

"Mengerti, Locianpwe."

Kong Lo Sengjin tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian ia melesat pergi dengan kecepatan yang membuat Bu Song kagum dan bengong. Tapi ia lalu tak memperhatikan lagi kakek itu dan segera mulai dengan tugasnya mengubur mayat Ciu Gwan Liong dan mayat ke tujuh orang penunggang kuda tadi.

Matahari telah terbenam ke langit barat ketika ia menyelesaikan tugasnya, kemudian sambil menggendong bungkusan pakaiannya, ia melanjutkan perjalanannya, melangkahkan kaki menuju ke tembok kota raja.

Untung pintu gerbang belum tertutup dan tergesa-gesa ia memasuki kota raja yang amat asing baginya. Kagum ia melihat gedung-gedung besar akan tetapi juga hatinya kecut ketika ia menyaksikan para pengawal dan orang-orang berpakaian seperti tujuh orang penunggang kuda yang mayatnya ia kubur tadi menjaga di tiap pintu gerbang gedung-gedung besar itu.

Dengan bertanya-tanya, mudah saja ia mencari rumah penginapan Liok-an yang berada di ujung kiri jalan raya, dekat pintu gerbang kotaraja sebelah barat. Rumah penginapan Liok-an ini tidak besar, dan huruf Liok-an yang terpancang di atas papan depan rumah itu sudah tua.

Karena hari sudah menjelang gelap, Bu Song merasa tidak sopan mencari tempat sahabat atau kenalan gurunya, maka ia lalu memasuki rumah penginapan itu dan minta kamar kepada seorang pelayan tua yang menyambutnya. Losmen ini kecil dan miskin, maka tidak banyak tamunya dan dengan mudah Bu Song mendapatkan sebuah kamar. Kemudian kepada pelayan tua ia bertanya tentang seorang pengurus rumah gadai bernama Ciu Tang yang katanya tinggal di sebelah kiri losmen itu.

"Ciu Tang? Memang ada, dan sore hari begini rumah gadai sudah tutup. Rumahnya di sebelah belakang losmen ini. Apakah Kongcu hendak menemuinya?"

"Benar, Lopek. Akan tetapi besok pagi-pagi saja. Saya harap kau suka mengantar saya kesana."

Pelayan itu senang dengan sikap dan kata-kata pemuda yang sopan ini, maka ia segera menyatakan kesanggupannya. Dan pada keesokan harinya, pagi-pagi ia sudah diantar pelayan itu ke sebuah rumah dalam lorong kecil dekat losmen. Setelah bertemu dengan orang yang dicarinya, pelayan itu meninggalkannya.

Ciu Tang seorang setengah tua yang tinggi kurus, berjenggot panjang akan tetapi terpelihara dan pakaiannya biarpun tidak mewah cukup rapi. Bu Song cepat memberi hormat dan berkata,

"Maafkan kalau kedatangan saya mengganggu Paman. Saya Liu Bu Song dan kedatangan saya adalah atas kehendak Suhu yang membawakan sebuah surat untuk Paman." Ia mengeluarkan surat Kim-mo Taisu dan menyerahkannya kepada laki-laki berjenggot itu.

Begitu menerima surat dan membaca nama pengirimnya, Ciu Tang cepat-cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan wajahnya berubah penuh hormat.

"Ah, kiranya hiante ini murid tuan penolong kami Kim-mo Taisu? Silahkan duduk, silahkan..."

Bu Song menghaturkan terima kasih dan mereka duduk di atas bangku menghadapi sebuah meja bundar bentuknya. Ciu Tang membuka sampul surat dan membaca sambil meraba-raba jenggot dan mengangguk-angguk. Kemudian ia melipat surat dan menyimpannya dalam saku baju.

"In-kong (Tuan Penolong) sudah mengatakan halmu hendak mengikuti ujian dan mengingat akan budi yang dilimpahkan in-kong kepada kami, maka saya akan berusaha sedapat mugkin menolongmu, Hiante."

Bu Song cepat-cepat memberi hormat dan berkata,
"Terima kasih atas kesanggupan Paman, dan saya mohon petunjuk."

Orang yang bernama Ciu Tang itu menarik napas panjang.
"Aahhh, dengan adanya perang terus-menerus, perebutan kekuasaan dan penggantian pemerintahan, nasib kita kaum terpelajar sungguh celaka! Karena keadaan tidak pernah aman, maka para pembesar jarang ada yang jujur, bertindak menindas dan korup. Dalam hal ujian juga sama saja. Setiap tahun banyak yang mengikuti ujian, namun yang berhasil dan lulus hanyalah mereka yang dapat menyuap dengan banyak emas! Namun, saya mengenal kepala bagian ujian, yaitu Pangeran Suma Kong. Biarpun belum tentu beliau sudi memandang muka saya, namun setidaknya tentu Hiante akan mendapat perhatiannya dan tidak akan dilewatkan begitu saja."

"Banyak terima kasih, Paman. Sungguh budi Paman amat besar."

"Ah, jangan bicara tentang budi, Hiante. Kalau mau bicara tentang budi, maka gurumulah yang telah melimpahkan budi kepada kami sekeluarga. Kalau tidak ada Gurumu, tidak hanya perusahaanku bangkrut, akan tetapi mungkin kami serumah tangga sudah binasa semua!"

Lalu tuan rumah itu bercerita betapa dahulu ketika ia diganggu gerombolan penjahat di kota raja dan anak perempuannya hendak dirampas, ia telah ditolong oleh Kim-mo Taisu yang membasmi gerombolan itu sehingga keluarganya selamat dan perusahaannya biarpun kecil masih dapat berjalan sampai sekarang.

Bu Song lalu diperkenalkan dengan nyonya rumah yang amat ramah dan tiga orang anak laki-laki belasan tahun yang semua merupakan anak-anak terpelajar pula. Puteri sulung keluarga itu sudah menikah dan tinggal di kota An-sui. Selanjutnya Bu Song diminta tinggal di rumah keluarga Ciu Tang sambil menanti pembukaan waktu ujian.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar