"Mana ada aturan begini?" Bu Song melangkah maju menegur Si Muka Hitam. "Dengan alasan apakah kalian menangkap orang secara sewenang-wenang?"
"Hushh! Kau pemuda tolol jangan ikut campur! Tidak tahu bahwa kami adalah alat negara?" bentak Si Muka Hitam marah sekali.
Bu Song sama sekali tidak takut, ia malah melangkah maju dan berkata dengan suara keras,
"Justeru karena kalian alat negara seharusnya menggunakan peraturan dan hukum kesopanan! Bukankah negara itu diatur dengan hukum dan alat-alat negara adalah penegak hukum? Hanya perampok saja yang menindas dan menangkap orang tanpa kesalahan dan kalian sebagai alat negara seharusnya malah memberantas tindakan seperti itu. Hayo bebaskan kakek yang tidak bersalah itu, kalau tidak, aku akan melaporkan kalian kepada pembesar negeri di kota raja, tentu kalian akan dipecat dan dihukum!"
Sesaat Si Muka Hitam tercengang sampai melongo. Benar-benar belum pernah selama hidupnya ia melihat orang berani berkata-kata seperti itu terhadapnya. Kemudian ia tertawa bergelak dan sekali kakinya bergerak perut Bu Song sudah tersambar tendangan keras yang membuat tubuh Bu Song terpelanting dan bergulingan.
"Ha-ha-ha, kau boleh melapor, ha-ha! Justeru yang menyuruh tangkap sastrawan ini adalah pembesar negeri, tolol!"
Bu Song masih penasaran dan tendangan itu biarpun membuatnya jatuh terguling akan tetapi tidaklah amat nyeri, maka ia sudah cepat bangun kembali.
"Kalau begitu pembesar negeri yang menyuruhmu itu sewenang-wenang!" bentaknya pula.
Si Muka Hitam tertawa dan juga penasaran. Tendangannya amat keras dan ia terkenal sebagai seorang yang kuat. Bagaimana orang muda ini masih sanggup bangun dan malah kini membuka mulut menegur pembesar negeri?
"Kau menentang?"
Bentaknya dan kini tangan kanannya bergerak memukul, menyambar ke arah muka Bu Song.
Pemuda ini melihat jelas pukulan menyambar. Ia kaget dan berusaha mengelak, akan tetapi mukanya bertemu dengan pukulan kiri yang menyusul.
"Dessss!"
Pukulan ini keras sekali dan membuat matanya berkunang dan pada saat itu sebuah tinju yang amat keras telah menghantam dadanya, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras.
Tujuh orang itu tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam Si Muka Hitam heran dan kaget sekali melihat betapa pemuda itu sudah bangun lagi dengan cepat, seakan-akan tidak merasakan pukulan-pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga itu! Diam-diam ia menaruh curiga dan memandang pemuda yang luar biasa kuat menahan pukulan itu yang sudah berdiri tegak lagi, kemudian ia memerintahkan anak buahnya untuk naik kuda dan membawa pergi tawanan mereka. Diam-diam ia merasa jerih juga terhadap pemuda aneh itu.
Akan tetapi baru saja ketujuh orang itu meloncat ke atas kuda sambil tertawa-tawa, suara ketawa mereka berubah menjadi jerit-jerit mengerikan dan mereka semua termasuk Si Muka Hitam terlempar dari atas punggung kuda dan ketika Bu Song memandang, ternyata mereka bertujuh sudah putus nyawanya.
Darah mengucur dari leher mereka seperti sekawanan lembu dipotong lehernya. Dua bayangan melompat keluar dari balik pohon dan mereka ini langsung menghampiri kakek sastrawan dan menolongnya turun dari atas punggung kuda.
Dua orang laki-laki ini berkepala gundul, berpakaian ringkas dengan lengan pendek, usia mereka empat puluh tahun lebih dan agaknya mereka adalah sebangsa hwesio.
"Saudara Ciu Gwan Liong harap jangan khawatir. Mari kami kawal Saudara menghadap ketua kami. Biar ada seratus anjing-anjing macam mereka tentu akan kami basmi semua."
Ciu Gwan Liong mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Kehormatan besar! Akan tetapi siapakah Ji-wi Suhu ini dan siapa pula ketua kalian? Aku tidak ada urusan dengan ketua kalian."
"Kami dari Hui-to-pang, dan ketua kami mengundang Saudara untuk diajak berunding."
"Ha-ha-ha, berunding?" Sastrawan tua itu tertawa bergelak. "Kalian orang-orang kang-ouw di mana-mana sama saja! Orang lemah macam aku ini mana dibutuhkan kalau tidak karena sebuah kitab kuno? Ji-wi Losuhu ketahuilah bahwa kitab yang dicari-cari itu tidak ada padaku. Aku bersumpah, kitab itu tidak ada padaku!"
Dua orang gundul itu saling pandang, kemudian seorang diantara mereka berkata sambil tertawa dingin,
"Kami hanya melakukan perintah membawa Saudara menghadap Pangcu (Ketua) kami."
"Ji-wi (Tuan Berdua) adalah pendeta-pendeta yang mengutamakan kebajikan, mengapa kini menggunakan kekerasan memaksa orang untuk ikut?" Tiba-tiba Bu Song mendekati dan membela kakek itu. "Bukankah dalam kitab sucimu terdapat ujar-ujar Nabi Buddha bahwa seorang bhikku (pendeta) biarpun masih muda asal ia mentaati ajaran Sang Buddha, ia akan menerima penerangan dunia seperti bulan purnama terbebas awan? Kalau dua orang pendeta seperti Ji-wi sudah menggunakan kekerasan, membunuh orang dan memaksa kakek ini untuk ikut, bukankah itu sudah melanggar segala hukum agama kalian sendiri dan berarti memupuk dosa?"
Dua orang hwesio itu saling pandang, muka mereka berubah merah dan sinar mata mereka menjadi bengis. Melihat pemuda yang telah diserahi kitab ini kembali mencampuri urusan secara berani mati untuk membelanya, sastrawan tua itu cepat-cepat berkata,
"He sastrawan muda yang gila! Kau mau mengikuti ujian, pergilah dan jangan usil mencampuri urusan orang lain! Terhadap Ji-wi Losuhu ini, aku sanggup mengatasi, tidak membutuhkan bantuanmu. Hayo pergi, sikapmu memualkan perutku!"
Bu Song terkejut dan heran. Masa kakek ini begini tak kenal budi, dibela malah balas memaki? Akan tetapi kemudian ia ingat bahwa kakek ini telah menyerahkan kitab kepadanya dan agaknya kitab itu yang kini diperebutkan, maka ia lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,
"Orang tua, kalau begitu biarlah kita berpisah. Harap kau orang tua suka menjaga diri baik-baik."
Kemudian ia melempar pandang penuh teguran kepada dua orang hwesio itu dan membalikkan tubuhnya, melangkah hendak pergi dari situ.
Akan tetapi tiba-tiba Bu Song roboh terguling ketika sebuah tangan seorang hwesio bergerak ke depan dan menyentuh pundaknya. Bukan main kuat tangan itu sehingga tanpa dapat dicegah lagi Bu Song terpelanting.
"Nanti dulu, orang muda. Kau pun harus ikut kami!"
"Hei, apa-apaan ini? Ji-wi Suhu kalau mau mengajak aku mengunjungi ketua kalian boleh saja, mari kita berangkat biar aku berunding atau berdebat dengannya. Akan tetapi orang muda ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini. Aku tidak sudi kalau pergi bersama dia!"
"Dia sudah melihat kami hendak pergi bersamamu, maka ia tak boleh hidup lagi. Kalau dia tidak boleh ikut, biar dia kita tinggalkan!" jawab seorang hwesio dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Sebuah benda bersinar terang menyambar ke arah Bu Song dan pemuda yang tanpa disadarinya sendiri telah memiliki pandang mata yang kuat dan tajam itu dapat melihat sebatang golok kecil melayang menuju ke arah lehernya!
Akan tetapi karena ia tidak pernah memperlajari bagaimana cara orang mengelak dari ancaman seperti itu, ia menjadi bingung dan pada saat itu, dari arah yang berlawanan, menyambar sebuah benda kecil yang dengan kecepatan kilat melayang dan membentur hui-to (golok terbang) itu.
"Cringg!"
Golok itu runtuh di atas tanah terpukul oleh sebuah benda yang hanya sebuah batu kerikil saja.
Dua orang hwesio itu mengangkat muka dan ternyata tak jauh dari situ telah berdiri seorang kakek tua yang kedua kakinya lumpuh dan berdirinya di atas kedua tongkat yang dipegangnya. Kedua kakinya bersila.
Bu Song tentu saja mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kakek yang menjadi paman dari ibu gurunya! Biarpun ia tidak pernah menyukai kakek ini yang ia anggap kasar, galak, aneh dan ganas, namun kini ia harus mengakui bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman golok terbang tadi.
"Kong-lo Sengjin!" Seorang di antara dua hwesio itu membentak. "Kembali kau hendak memusuhi Hui-to-pang! Belum lama ini seorang saudara kami kau bujuk membunuh isteri Kim-mo Taisu dan kau biarkan ia tewas di tangan Kim-mo Taisu!"
"Ha-ha, salahnya sendiri dia tidak kuat melawan Kim-mo Taisu!"
"Kau yang mengkhianatinya, kau berjanji hendak menghadapi Kim-mo Taisu. Sekarang ternyata kau malah menarik Kim-mo Taisu menjadi sekutumu. Kau curang dan sekarang apalagi yang hendak kau lakukan kepada kami?"
"Hwesio-hwesio tengik. Kau ini orang-orang apa berani bicara seperti itu kepadaku? Aku datang melarang kalian membunuh pemuda ini, dan tentang Ciu Gwan Liong, dia akan ikut bersamaku, bukan bersama kalian! Hayo lekas menggelinding pergi dari sini!"
"Kong Lo Sengjin orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi kami tidak!"
Bentakan ini disusul gerakan kedua tangan mereka dan tampaklah sinar berkelebatan. Kiranya banyak sekali golok terbang telah menyambar dan melayang ke arah tubuh kakek lumpuh itu bagaikan hujan. Hebat memang kepandaian yang merupakan keistimewaan tokoh-tokoh Hui-to-pang ini. Sinar terang golok-golok kecil itu sampai menyilaukan mata, mengeluarkan suara angin besar dan selain cepat melebihi anak panah terlepas dari busur, juga amat kuat karena digerakkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang tinggi.
Bu Song yang menonton dari samping merasa ngeri karena ia selain silau memandang sinar berkelebatan, juga tidak tahu bagaimana seorang manusia dapat menyelamatkan diri dari bahaya yang demikian hebatnya.
Tujuh orang penunggang kuda yang lihai-lihai tadi seketika tewas, karena diserang sebuah hui-to setiap orang dan dia sendiri kalau tidak tertolong Kong Lo Sengjin, tentu telah disembilih golok terbang. Apalagi sekarang kakek lumpuh itu sekaligus diserang dengan hui-to yang sedemikian banyaknya. Mana mungkin menyelamatkan diri? Ia sudah membayangkan betapa kakek itu akan roboh dengan tubuh tersayat-sayat menjadi beberapa potong daging kecil-kecil!
Akan tetapi kali ini serangan golok-golok terbang itu ditujukan kepada Kong Lo Sengjin, seorang kakek sakti yang berilmu tinggi. Memang kakek ini pun terkejut melihat hebatnya serangan kedua orang hwesio itu, dan maklum bahwa benda-benda terbang itu amat kuat dan berbahaya, tidak mungkin dapat ia halau dengan kedua lengan kosong belaka.
Namun kakek ini segera mengayun tubuhnya dan kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu kini diputar-putar di sekeliling tubuhnya, berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar.
Terdengar suara trang-tring-trang-tring tiada hentinya dan amatlah indah pemandangan di waktu itu. Sinar-sinar berkeredepan itu yang melayang ke arah kakek lumpuh, kini berpencaran seperti bintang-bintang jatuh dan suara nyaring yang terdengar karena bertemunya golok-golok terbang dengan kedua tongkat seakan-akan menimbulkan semacam musik yang aneh.
Akhirnya habislah puluhan batang golok yang menjadi bekal kedua orang tokoh Hui-to-pang itu. Mereka berhenti melemparkan golok terbang dan berdiri dengan mata mendelik memandang lawan.
Akan tetapi kini Kong Lo Sengjin pun sudah kehilangan tongkatnya dan tampak ia duduk bersila di atas tanah. Kedua tongkat yang tadinya mewakili kedua kaki dan kemudian dipergunakan untuk menangkisi golok-golok terbang itu ternyata telah hancur menjadi beberapa potong, menggeletak di depan kakinya yang lumpuh. Ternyata semua golok terbang dapat ditangkis akan tetapi kakek itupun kehilangan sepasang tongkatnya yang menjadi rusak.
Bu Song kaget dan mengira bahwa kakek itu terluka. Biarpun ia tidak pernah merasa suka kepada kakek itu, dan tadi hatinya berdebar keras mendengar percakapan antara mereka tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri ibu gurunya yang ternyata merupakan persekongkolan antara kakek lumpuh itu dan orang Hui-to-pang, namun melihat kakek itu tak berdaya agaknya, ia merasa kasihan dan melangkah mendekati.
"Hushh! Kau pemuda tolol jangan ikut campur! Tidak tahu bahwa kami adalah alat negara?" bentak Si Muka Hitam marah sekali.
Bu Song sama sekali tidak takut, ia malah melangkah maju dan berkata dengan suara keras,
"Justeru karena kalian alat negara seharusnya menggunakan peraturan dan hukum kesopanan! Bukankah negara itu diatur dengan hukum dan alat-alat negara adalah penegak hukum? Hanya perampok saja yang menindas dan menangkap orang tanpa kesalahan dan kalian sebagai alat negara seharusnya malah memberantas tindakan seperti itu. Hayo bebaskan kakek yang tidak bersalah itu, kalau tidak, aku akan melaporkan kalian kepada pembesar negeri di kota raja, tentu kalian akan dipecat dan dihukum!"
Sesaat Si Muka Hitam tercengang sampai melongo. Benar-benar belum pernah selama hidupnya ia melihat orang berani berkata-kata seperti itu terhadapnya. Kemudian ia tertawa bergelak dan sekali kakinya bergerak perut Bu Song sudah tersambar tendangan keras yang membuat tubuh Bu Song terpelanting dan bergulingan.
"Ha-ha-ha, kau boleh melapor, ha-ha! Justeru yang menyuruh tangkap sastrawan ini adalah pembesar negeri, tolol!"
Bu Song masih penasaran dan tendangan itu biarpun membuatnya jatuh terguling akan tetapi tidaklah amat nyeri, maka ia sudah cepat bangun kembali.
"Kalau begitu pembesar negeri yang menyuruhmu itu sewenang-wenang!" bentaknya pula.
Si Muka Hitam tertawa dan juga penasaran. Tendangannya amat keras dan ia terkenal sebagai seorang yang kuat. Bagaimana orang muda ini masih sanggup bangun dan malah kini membuka mulut menegur pembesar negeri?
"Kau menentang?"
Bentaknya dan kini tangan kanannya bergerak memukul, menyambar ke arah muka Bu Song.
Pemuda ini melihat jelas pukulan menyambar. Ia kaget dan berusaha mengelak, akan tetapi mukanya bertemu dengan pukulan kiri yang menyusul.
"Dessss!"
Pukulan ini keras sekali dan membuat matanya berkunang dan pada saat itu sebuah tinju yang amat keras telah menghantam dadanya, membuat tubuhnya terjengkang dan terbanting keras.
Tujuh orang itu tertawa-tawa, akan tetapi diam-diam Si Muka Hitam heran dan kaget sekali melihat betapa pemuda itu sudah bangun lagi dengan cepat, seakan-akan tidak merasakan pukulan-pukulannya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga itu! Diam-diam ia menaruh curiga dan memandang pemuda yang luar biasa kuat menahan pukulan itu yang sudah berdiri tegak lagi, kemudian ia memerintahkan anak buahnya untuk naik kuda dan membawa pergi tawanan mereka. Diam-diam ia merasa jerih juga terhadap pemuda aneh itu.
Akan tetapi baru saja ketujuh orang itu meloncat ke atas kuda sambil tertawa-tawa, suara ketawa mereka berubah menjadi jerit-jerit mengerikan dan mereka semua termasuk Si Muka Hitam terlempar dari atas punggung kuda dan ketika Bu Song memandang, ternyata mereka bertujuh sudah putus nyawanya.
Darah mengucur dari leher mereka seperti sekawanan lembu dipotong lehernya. Dua bayangan melompat keluar dari balik pohon dan mereka ini langsung menghampiri kakek sastrawan dan menolongnya turun dari atas punggung kuda.
Dua orang laki-laki ini berkepala gundul, berpakaian ringkas dengan lengan pendek, usia mereka empat puluh tahun lebih dan agaknya mereka adalah sebangsa hwesio.
"Saudara Ciu Gwan Liong harap jangan khawatir. Mari kami kawal Saudara menghadap ketua kami. Biar ada seratus anjing-anjing macam mereka tentu akan kami basmi semua."
Ciu Gwan Liong mengangkat kedua tangan memberi hormat.
"Kehormatan besar! Akan tetapi siapakah Ji-wi Suhu ini dan siapa pula ketua kalian? Aku tidak ada urusan dengan ketua kalian."
"Kami dari Hui-to-pang, dan ketua kami mengundang Saudara untuk diajak berunding."
"Ha-ha-ha, berunding?" Sastrawan tua itu tertawa bergelak. "Kalian orang-orang kang-ouw di mana-mana sama saja! Orang lemah macam aku ini mana dibutuhkan kalau tidak karena sebuah kitab kuno? Ji-wi Losuhu ketahuilah bahwa kitab yang dicari-cari itu tidak ada padaku. Aku bersumpah, kitab itu tidak ada padaku!"
Dua orang gundul itu saling pandang, kemudian seorang diantara mereka berkata sambil tertawa dingin,
"Kami hanya melakukan perintah membawa Saudara menghadap Pangcu (Ketua) kami."
"Ji-wi (Tuan Berdua) adalah pendeta-pendeta yang mengutamakan kebajikan, mengapa kini menggunakan kekerasan memaksa orang untuk ikut?" Tiba-tiba Bu Song mendekati dan membela kakek itu. "Bukankah dalam kitab sucimu terdapat ujar-ujar Nabi Buddha bahwa seorang bhikku (pendeta) biarpun masih muda asal ia mentaati ajaran Sang Buddha, ia akan menerima penerangan dunia seperti bulan purnama terbebas awan? Kalau dua orang pendeta seperti Ji-wi sudah menggunakan kekerasan, membunuh orang dan memaksa kakek ini untuk ikut, bukankah itu sudah melanggar segala hukum agama kalian sendiri dan berarti memupuk dosa?"
Dua orang hwesio itu saling pandang, muka mereka berubah merah dan sinar mata mereka menjadi bengis. Melihat pemuda yang telah diserahi kitab ini kembali mencampuri urusan secara berani mati untuk membelanya, sastrawan tua itu cepat-cepat berkata,
"He sastrawan muda yang gila! Kau mau mengikuti ujian, pergilah dan jangan usil mencampuri urusan orang lain! Terhadap Ji-wi Losuhu ini, aku sanggup mengatasi, tidak membutuhkan bantuanmu. Hayo pergi, sikapmu memualkan perutku!"
Bu Song terkejut dan heran. Masa kakek ini begini tak kenal budi, dibela malah balas memaki? Akan tetapi kemudian ia ingat bahwa kakek ini telah menyerahkan kitab kepadanya dan agaknya kitab itu yang kini diperebutkan, maka ia lalu mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata,
"Orang tua, kalau begitu biarlah kita berpisah. Harap kau orang tua suka menjaga diri baik-baik."
Kemudian ia melempar pandang penuh teguran kepada dua orang hwesio itu dan membalikkan tubuhnya, melangkah hendak pergi dari situ.
Akan tetapi tiba-tiba Bu Song roboh terguling ketika sebuah tangan seorang hwesio bergerak ke depan dan menyentuh pundaknya. Bukan main kuat tangan itu sehingga tanpa dapat dicegah lagi Bu Song terpelanting.
"Nanti dulu, orang muda. Kau pun harus ikut kami!"
"Hei, apa-apaan ini? Ji-wi Suhu kalau mau mengajak aku mengunjungi ketua kalian boleh saja, mari kita berangkat biar aku berunding atau berdebat dengannya. Akan tetapi orang muda ini tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini. Aku tidak sudi kalau pergi bersama dia!"
"Dia sudah melihat kami hendak pergi bersamamu, maka ia tak boleh hidup lagi. Kalau dia tidak boleh ikut, biar dia kita tinggalkan!" jawab seorang hwesio dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak.
Sebuah benda bersinar terang menyambar ke arah Bu Song dan pemuda yang tanpa disadarinya sendiri telah memiliki pandang mata yang kuat dan tajam itu dapat melihat sebatang golok kecil melayang menuju ke arah lehernya!
Akan tetapi karena ia tidak pernah memperlajari bagaimana cara orang mengelak dari ancaman seperti itu, ia menjadi bingung dan pada saat itu, dari arah yang berlawanan, menyambar sebuah benda kecil yang dengan kecepatan kilat melayang dan membentur hui-to (golok terbang) itu.
"Cringg!"
Golok itu runtuh di atas tanah terpukul oleh sebuah benda yang hanya sebuah batu kerikil saja.
Dua orang hwesio itu mengangkat muka dan ternyata tak jauh dari situ telah berdiri seorang kakek tua yang kedua kakinya lumpuh dan berdirinya di atas kedua tongkat yang dipegangnya. Kedua kakinya bersila.
Bu Song tentu saja mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Kong Lo Sengjin, kakek yang menjadi paman dari ibu gurunya! Biarpun ia tidak pernah menyukai kakek ini yang ia anggap kasar, galak, aneh dan ganas, namun kini ia harus mengakui bahwa kakek ini telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman golok terbang tadi.
"Kong-lo Sengjin!" Seorang di antara dua hwesio itu membentak. "Kembali kau hendak memusuhi Hui-to-pang! Belum lama ini seorang saudara kami kau bujuk membunuh isteri Kim-mo Taisu dan kau biarkan ia tewas di tangan Kim-mo Taisu!"
"Ha-ha, salahnya sendiri dia tidak kuat melawan Kim-mo Taisu!"
"Kau yang mengkhianatinya, kau berjanji hendak menghadapi Kim-mo Taisu. Sekarang ternyata kau malah menarik Kim-mo Taisu menjadi sekutumu. Kau curang dan sekarang apalagi yang hendak kau lakukan kepada kami?"
"Hwesio-hwesio tengik. Kau ini orang-orang apa berani bicara seperti itu kepadaku? Aku datang melarang kalian membunuh pemuda ini, dan tentang Ciu Gwan Liong, dia akan ikut bersamaku, bukan bersama kalian! Hayo lekas menggelinding pergi dari sini!"
"Kong Lo Sengjin orang lain boleh takut kepadamu, akan tetapi kami tidak!"
Bentakan ini disusul gerakan kedua tangan mereka dan tampaklah sinar berkelebatan. Kiranya banyak sekali golok terbang telah menyambar dan melayang ke arah tubuh kakek lumpuh itu bagaikan hujan. Hebat memang kepandaian yang merupakan keistimewaan tokoh-tokoh Hui-to-pang ini. Sinar terang golok-golok kecil itu sampai menyilaukan mata, mengeluarkan suara angin besar dan selain cepat melebihi anak panah terlepas dari busur, juga amat kuat karena digerakkan dengan pengerahan tenaga lwee-kang tinggi.
Bu Song yang menonton dari samping merasa ngeri karena ia selain silau memandang sinar berkelebatan, juga tidak tahu bagaimana seorang manusia dapat menyelamatkan diri dari bahaya yang demikian hebatnya.
Tujuh orang penunggang kuda yang lihai-lihai tadi seketika tewas, karena diserang sebuah hui-to setiap orang dan dia sendiri kalau tidak tertolong Kong Lo Sengjin, tentu telah disembilih golok terbang. Apalagi sekarang kakek lumpuh itu sekaligus diserang dengan hui-to yang sedemikian banyaknya. Mana mungkin menyelamatkan diri? Ia sudah membayangkan betapa kakek itu akan roboh dengan tubuh tersayat-sayat menjadi beberapa potong daging kecil-kecil!
Akan tetapi kali ini serangan golok-golok terbang itu ditujukan kepada Kong Lo Sengjin, seorang kakek sakti yang berilmu tinggi. Memang kakek ini pun terkejut melihat hebatnya serangan kedua orang hwesio itu, dan maklum bahwa benda-benda terbang itu amat kuat dan berbahaya, tidak mungkin dapat ia halau dengan kedua lengan kosong belaka.
Namun kakek ini segera mengayun tubuhnya dan kedua tongkat yang menggantikan kedua kaki itu kini diputar-putar di sekeliling tubuhnya, berubah menjadi segulung sinar yang melingkar-lingkar.
Terdengar suara trang-tring-trang-tring tiada hentinya dan amatlah indah pemandangan di waktu itu. Sinar-sinar berkeredepan itu yang melayang ke arah kakek lumpuh, kini berpencaran seperti bintang-bintang jatuh dan suara nyaring yang terdengar karena bertemunya golok-golok terbang dengan kedua tongkat seakan-akan menimbulkan semacam musik yang aneh.
Akhirnya habislah puluhan batang golok yang menjadi bekal kedua orang tokoh Hui-to-pang itu. Mereka berhenti melemparkan golok terbang dan berdiri dengan mata mendelik memandang lawan.
Akan tetapi kini Kong Lo Sengjin pun sudah kehilangan tongkatnya dan tampak ia duduk bersila di atas tanah. Kedua tongkat yang tadinya mewakili kedua kaki dan kemudian dipergunakan untuk menangkisi golok-golok terbang itu ternyata telah hancur menjadi beberapa potong, menggeletak di depan kakinya yang lumpuh. Ternyata semua golok terbang dapat ditangkis akan tetapi kakek itupun kehilangan sepasang tongkatnya yang menjadi rusak.
Bu Song kaget dan mengira bahwa kakek itu terluka. Biarpun ia tidak pernah merasa suka kepada kakek itu, dan tadi hatinya berdebar keras mendengar percakapan antara mereka tentang pembunuhan yang dilakukan atas diri ibu gurunya yang ternyata merupakan persekongkolan antara kakek lumpuh itu dan orang Hui-to-pang, namun melihat kakek itu tak berdaya agaknya, ia merasa kasihan dan melangkah mendekati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar