Pukulan batin yang diderita Kim-mo Taisu ketika ia mendapatkan muridnya pingsan di samping puterinya, membuat pendekar ini seketika menjadi seorang yang seperti hilang semangat. Rambutnya seketika menjadi putih semua, wajahnya kerut-merut dan pandang matanya sayu seperti lampu kehabisan minyak.
Ketika ia mendengar cerita Bu Song tentang kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Eng Eng, wajah pendekar itu menjadi beringas, kemudian ia lari dan mengamuk. Sehari itu terdengar suara Kim-mo Taisu memekik-mekik dan melengking-lengking di seluruh bukit dan akibatnya amatlah mengerikan. Tak seekor pun binatang monyet tinggal hidup lagi di situ. Ratusan bahkan mungkin ribuan ekor monyet berikut yang masih kecil-kecil semua terbunuh oleh Kim-mo Taisu dan pekerjaan pembunuhan besar-besaran ini baru selesai setelah hari mulai gelap.
Setelah mengubur jenazah puterinya di dekat kuburan isterinya, Kim-mo Taisu memandang Bu Song dengan pandang mata layu, kemudian bertanya.
"Bu Song, semua bahan kepandaian yang ada padaku telah kau miliki, namun agaknya engkau tidak merasakan hal itu. Biarlah, agaknya memang lebih baik begitu. Kepandaian silat ternyata hanya mendatangkan malapetaka dan kau berangkatlah ke Kerajaan Cou Muda. Disana mulai diadakan ujian tiap tahun untuk memilih tenaga-tenaga muda yang pandai. Setelah sampi di kota raja, kau carilah seorang sahabatku bernama Ciu Tang yang bekerja sebagai pengurus rumah gadai, tinggalnya di sebelah kiri rumah penginapan Lok-an. Kau berikan suratku ini dan selanjutnya dialah yang akan mengatur agar kau dapat mengikuti ujian."
Dengan muka pucat dan mata merah Bu Song mendengarkan pesan gurunya, kemudian tak tahan lagi ia menubruk kaki gurunya dan menangis.
"Ah, Suhu... malapetaka telah menimpa kehidupan Suhu... teecu sama sekali belum mampu membalas kebaikan Suhu akan tetapi Suhu selalu memperhatikan keadaan teecu..."
Kim-mo Taisu menghela napas panjang.
"Jalan hidupmu dan jalan hidupku bersimpang jauh. Kau tidak menyukai ilmu silat, mudah-mudahan hidupmu lebih berbahagia daripada hidupku. Mungkin engkau lebih benar, Bu Song."
Dengan hati terharu dan penuh duka pemuda itu lalu mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawanya. Ia makin terharu kalau teringat bahwa semua pakaiannya itu adalah pemberian suhunya. Maka ia lalu teringatlah akan miliknya sendiri, yaitu obat sarang burung rajawali yang diambilnya dari puncak. Segera diambilnya obat itu dan diberikannya kepada Kim-mo Taisu sambil berkata.
"Teecu tidak dapat berbuat sesuatu untuk membalas kebaikan Suhu, juga tidak memiliki sesuatu untuk diberikan. Sarang rajawali hitam ini mungkin sekali berguna bagi Suhu, harap Suhu sudi menerimanya."
Terbelalak kakek itu memandang benda ini.
"Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" Tanyanya penuh keheranan.
Bu Song lalu menceritakan pengalamannya ketika ia menolong anak rajawali yang jatuh kemudian ia melihat benda ini yang segera diambilnya. Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepala dan berkata,
"Benar-benar kehendak Thian! Sungguh aneh dan luar biasa? Seluruh orang kang-ouw akan mengilar melihat benda ini, Bu Song. Biarpun aku sendiri diberi waktu seribu tahun, belum tentu aku bisa mendapatkan benda ini. Ah, sungguh lucu kalau nasib mau mempermainkan orang. Kau memiliki semua bakat dan dasar, akan tetapi kau tidak suka ilmu silat, akan tetapi kau mendapatkan mustika rajawali hitam ini! Sungguh lucu! Kau simpan ini baik-baik, dan setiap kali kau merasa lapar, kau boleh masak ini dan makan. Obat ini akan menguatkan tubuhmu dan mencegah segala macam racun mengganggumu."
"Teecu serahkan kepada Suhu..."
"Ah, aku sudah tua dan sudah kebal. Untuk apa segala macam obat? Kau simpanlah dan turut nasihatku, kau makan semua sampai habis!"
Perpisahan ini amat menyedihkan. Bu Song tidak mau pergi meninggalkan suhunya sebelum orang tua itu pergi lebih dulu. Akhirnya, tiga hari kemudian, berangkatlah Kim-mo Taisu turun dari puncak, diikuti pandang mata muridnya yang berlutut di depan pondok ke arah gurunya pergi.
Setelah Kim-mo Taisu tidak tampak lagi, baru Bu Song menggendong buntalannya, lalu ia menghampiri kuburan isteri gurunya dan Eng Eng. Ia berlutut dan memberi hormat di depan kuburan ibu gurunya, kemudian dengan kepalan tangannya ia menghapus air mata, bangkit berdiri dan dengan langkah lebar ia meninggalkan puncak.
Pada waktu itu, Bu Song sudah berusia dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, wajahnya tampan, alisnya berbentuk golok dan dipandang sepintas lalu ia patut menjadi seorang pendekar. Akan tetapi wajahnya suram muram, sepasang matanya yang tajam itu kehilangan kegembiraan hidup sedangkan dagunya mengeras tanda bahwa semuda itu ia sudah mengalami banyak kekecewaan hidup. Ia sudah kehilangan orang-orang yang ia sayang.
Akan tetapi, ia harus mentaati perintah suhunya, ia harus tidak mengecawakan harapan suhunya. Ia akan mengikuti ujian dengan penuh semangat sehingga berhasil. Dengan demikian berarti ia menjunjung tinggi nama suhunya dan hanya inilah agaknya satu-satunya pembalasan budi yang akan dapat ia lakukan terhadap suhunya.
Sementara itu, setelah jauh dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, Kim-mo Taisu lalu mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali menuju ke selatan.
Teringat akan semua yang baru saja ia alami, Kim-mo Taisu berkali-kali menghela napas. Nasib mempertemukan dia dengan Liu Lu Sian, bahkan melibatkan dia dengan urusan bekas kekasihnya itu yang kini menjadi tokoh iblis betina yang dimusuhi semua orang kang-ouw.
Nasib membuat dia terpaksa membela Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian sehingga ia melakukan pembunuhan terhadap orang kang-ouw yang mengeroyok Lu Sian. Teringat betapa ia terluka hebat, dibawa lari oleh bekas kekasihnya itu dan dirawat di dalam pondok dalam hutan, dirawat penuh kesabaran dan kemesraan. Lu Sian mencintanya! Dan ia masih mencinta Lu Sian! Hal ini tak dapat mereka sangkal pula.
"Lu Sian, tidak baik begini," katanya ketika wanita itu merawatnya dengan kasih sayang besar. "Kita sudah tua dan jalan hidup kita bersimpang jauh."
"Mengapa tidak baik, Kwee Seng?" Lu Sian menjawab. "Memang jalan hidup kita tadinya bersimpang jauh, akan tetapi Thian mempertemukan kita dan terbukalah sekarang mataku bahwa sesungguhnya hanya engkaulah laki-laki yang patut kutemani selamanya. Aku dahulu bodoh, Kwee Seng, akan tetapi setelah kini sadar, tak maukah engkau memperbaiki kesalahan yang sudah lewat?"
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya.
"Tidak bisa, Lu Sian. Tidak mungkin lagi..."
Lu Sian menahan isak.
"Kwee Seng, di mana-mana aku dikurung musuh. Tidak sanggup rasanya aku harus menghadapi semua itu seorang diri. Aku sudah bosan, Kwee Seng. Aku sudah rindu hidup tenteram di samping orang yang kucinta!"
Lu Sian kini benar-benar menangis, menelungkup di atas dada Kim-mo Taisu yang terlentang di atas dipan bambu.
"Sudah terlambat, Lu Sian. Dan lagi, apakah kau hendak menghancurkan kebahagiaan puteramu sendiri?"
"Apa...?" Lu Sian meloncat mundur dan memandang wajah Kim-mo Taisu dengan mata terbelalak.
Kim-mo Taisu tersenyum. Dadanya tidak terasa sakit lagi setelah semalam diobati oleh Lu Sian yang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatan bekas kekasihnya. Juga ramuan obat simpanan Lu Sian amat manjur untuk menyembuhkan luka di dalam tubuh.
"Lu Sian, kau tidak tahu bahwa bertahun-tahun puteramu, Kam Bu Song, telah ikut denganku dan menjadi muridku. Malah kini ia akan menjadi mantuku."
Lu Sian terbelalak, mulutnya ternganga dan tak terasa lagi air matanya bertitik-titik turun membasahi pipinya. Rasa girang, haru, dan duka menyesak di dadanya.
"Ceritakan..." dia berbisik, "ceritakan tentang dia..."
Dengan singkat Kim-mo Taisu lalu menceritakan pertemuannya dengan Bu Song dan betapa Bu Song menjadi muridnya, kemudian betapa ia menjodohkan Bu Song dengan Eng Eng.
"Anakmu itu aneh, dan bijaksana tidak seperti kita, Lu Sian. Dia benci akan ilmu silat dan sama sekali tidak mau belajar ilmu silat, malah ia menganggap ilmu silat, suatu ilmu yang amat jahat."
"Hee...? Mengapa begitu? Kalau begitu, dia menjadi muridmu... belajar apakah?"
"Belajar ilmu membaca dan menulis, menggambar dan menulis indah. Belajar sastera. Malah sekarang ia hendak kusuruh menempuh ujian di kota raja, setelah lulus ujian barulah pernikahan dilangsungkan. Lu Sian, kau tentu setuju, bukan, demi kebahagiaan puteramu?"
Lu Sian menundukkan mukanya.
"Kalau begitu... dia... dia tentu membenciku..."
"Dia tidak membenci siapapun juga. Hanya, tentu saja dia tidak tahu bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi..."
"Aahhh...!" Lu Sian terisak menangis. Akan tetapi kekerasan hatinya segera menguasai hati dan pikirannya. Ia meloncat berdiri. "Tidak peduli! Biar dia menjadi putera ayahnya, menjadi orang baik-baik, menjadi pembesar!" Aku Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian lalu meloncat pergi dan meninggalkan Kim-mo Taisu.
"Lu Sian...!" Kim-mo Taisu memanggil, akan tetapi wanita itu tidak kembali lagi.
Diam-diam ia menarik napas panjang, amat kasihan melihat nasib bekas kekasihnya itu. Ia maklum bahwa ceritanya tentang Bu Song tadi menghancurkan hati Lu Sian dan mendatangkan tekanan batin yang hebat sekali kepada wanita itu merasa kehilangan segala-galanya. Betapa tidak harus dikasihani kalau seorang wanita seperti Lu Sian itu, oleh perbuatannya sendiri di waktu muda, setelah tua kini dimusuhi semua orang, bahkan tidak dikehendaki oleh puteranya sendiri?
Kim-mo Taisu sendiri sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa nasibnya sendiri juga amat buruk. Ia menyedihkan keadaan Lu Sian, menaruh kasihan kepada Lu Sian, akan tetapi sama sekali ia tidak tahu bahwa pada saat itu keluarganya tertimpa bencana hebat. Kwee Eng, puteri tunggalnya, satu-satunya orang yang menjadi keluarganya di dunia ini telah direnggut maut nyawanya dalam keadaan yang amat menyedihkan!
Memang banyak sekali hal-hal terjadi di dunia ini yang amat menyedihkan dan membingungkan manusia. Banyak terjadi hal-hal yang kelihatannya tidak adil. Namun sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Semua peristiwa yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan yang mengatur dengan sesempurna-sesempurnanya. Hanya karena semua itu menjadi rahasia besar, maka manusia tidak dapat menyelaminya dengan akal dan pikiran, sehingga bagi manusia kadang-kadang kelihatannya aneh dan janggal serta tidak adil.
Bagi pendapat umum, agaknya sudahlah sepatutnya kalau orang seperti Liu Lu Sian setelah tua hidup menderita oleh karena ia memetik buah daripada semua perbuatannya sendiri di waktu ia masih muda. Masih muda menjadi hamba nafsu, setelah tua timbul sesal dan duka.
Akan tetapi bagaimanakah dengan Kim-mo Taisu? Mengapa ia selalu hidup merana dan sengsara? Bukankah dia seorang pendekar besar, seorang yang berbudi baik? Mengapa ia pun mengalami hidup menderita di waktu tua?
Memang sudah semestinya begitulah! Dunia ini berputar oleh dua sifat yang bertentangan dan saling dorong, saling menghidupkan. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin! Sudah semestinya begitu. Yang menderita karena gelap, yang menderita karena panas atau dingin!
Bahagialah mereka yang tidak menderita karena terang atau gelap, karena panas atau dingin. Mereka inilah sesungguhnya manusia yang sudah sadar dan dapat menyesuaikan diri dengan segala peristiwa yang menimpa dirinya karena maklum bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan!
Segala peristiwa yang sudah semestinya terjadi di dunia ini, terjadilah sesuai dengan rencana-Nya dan kehendak-Nya. Tiada kekuasaan lain di dunia yang mampu mengubahnya. Peristiwa pun terjadilah. Tidak ada susah atau senang. Susah atau senang merupakan hasil tanggapan si manusia yang menghadapinya.
Manusia bijaksana dan sadar akan menerima penuh kesadaran dan kesenangan, baik peristiwa itu menguntungkan maupun merugikan dirinya. Sebaliknya, orang yang belum sadar akan menerimanya dengan sorak-sorai kesenangan atau tangis keluh kedukaan. Penerimaan macam inilah yang akan membentuk akibat-akibat dan perbuatan-perbuatan yang tiada berkeputusan, membentuk lingkaran-lingkaran. Karma yang makin kuat membelenggu manusia.
Ketika ia mendengar cerita Bu Song tentang kecelakaan yang menyebabkan tewasnya Eng Eng, wajah pendekar itu menjadi beringas, kemudian ia lari dan mengamuk. Sehari itu terdengar suara Kim-mo Taisu memekik-mekik dan melengking-lengking di seluruh bukit dan akibatnya amatlah mengerikan. Tak seekor pun binatang monyet tinggal hidup lagi di situ. Ratusan bahkan mungkin ribuan ekor monyet berikut yang masih kecil-kecil semua terbunuh oleh Kim-mo Taisu dan pekerjaan pembunuhan besar-besaran ini baru selesai setelah hari mulai gelap.
Setelah mengubur jenazah puterinya di dekat kuburan isterinya, Kim-mo Taisu memandang Bu Song dengan pandang mata layu, kemudian bertanya.
"Bu Song, semua bahan kepandaian yang ada padaku telah kau miliki, namun agaknya engkau tidak merasakan hal itu. Biarlah, agaknya memang lebih baik begitu. Kepandaian silat ternyata hanya mendatangkan malapetaka dan kau berangkatlah ke Kerajaan Cou Muda. Disana mulai diadakan ujian tiap tahun untuk memilih tenaga-tenaga muda yang pandai. Setelah sampi di kota raja, kau carilah seorang sahabatku bernama Ciu Tang yang bekerja sebagai pengurus rumah gadai, tinggalnya di sebelah kiri rumah penginapan Lok-an. Kau berikan suratku ini dan selanjutnya dialah yang akan mengatur agar kau dapat mengikuti ujian."
Dengan muka pucat dan mata merah Bu Song mendengarkan pesan gurunya, kemudian tak tahan lagi ia menubruk kaki gurunya dan menangis.
"Ah, Suhu... malapetaka telah menimpa kehidupan Suhu... teecu sama sekali belum mampu membalas kebaikan Suhu akan tetapi Suhu selalu memperhatikan keadaan teecu..."
Kim-mo Taisu menghela napas panjang.
"Jalan hidupmu dan jalan hidupku bersimpang jauh. Kau tidak menyukai ilmu silat, mudah-mudahan hidupmu lebih berbahagia daripada hidupku. Mungkin engkau lebih benar, Bu Song."
Dengan hati terharu dan penuh duka pemuda itu lalu mempersiapkan barang-barang yang hendak dibawanya. Ia makin terharu kalau teringat bahwa semua pakaiannya itu adalah pemberian suhunya. Maka ia lalu teringatlah akan miliknya sendiri, yaitu obat sarang burung rajawali yang diambilnya dari puncak. Segera diambilnya obat itu dan diberikannya kepada Kim-mo Taisu sambil berkata.
"Teecu tidak dapat berbuat sesuatu untuk membalas kebaikan Suhu, juga tidak memiliki sesuatu untuk diberikan. Sarang rajawali hitam ini mungkin sekali berguna bagi Suhu, harap Suhu sudi menerimanya."
Terbelalak kakek itu memandang benda ini.
"Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" Tanyanya penuh keheranan.
Bu Song lalu menceritakan pengalamannya ketika ia menolong anak rajawali yang jatuh kemudian ia melihat benda ini yang segera diambilnya. Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepala dan berkata,
"Benar-benar kehendak Thian! Sungguh aneh dan luar biasa? Seluruh orang kang-ouw akan mengilar melihat benda ini, Bu Song. Biarpun aku sendiri diberi waktu seribu tahun, belum tentu aku bisa mendapatkan benda ini. Ah, sungguh lucu kalau nasib mau mempermainkan orang. Kau memiliki semua bakat dan dasar, akan tetapi kau tidak suka ilmu silat, akan tetapi kau mendapatkan mustika rajawali hitam ini! Sungguh lucu! Kau simpan ini baik-baik, dan setiap kali kau merasa lapar, kau boleh masak ini dan makan. Obat ini akan menguatkan tubuhmu dan mencegah segala macam racun mengganggumu."
"Teecu serahkan kepada Suhu..."
"Ah, aku sudah tua dan sudah kebal. Untuk apa segala macam obat? Kau simpanlah dan turut nasihatku, kau makan semua sampai habis!"
Perpisahan ini amat menyedihkan. Bu Song tidak mau pergi meninggalkan suhunya sebelum orang tua itu pergi lebih dulu. Akhirnya, tiga hari kemudian, berangkatlah Kim-mo Taisu turun dari puncak, diikuti pandang mata muridnya yang berlutut di depan pondok ke arah gurunya pergi.
Setelah Kim-mo Taisu tidak tampak lagi, baru Bu Song menggendong buntalannya, lalu ia menghampiri kuburan isteri gurunya dan Eng Eng. Ia berlutut dan memberi hormat di depan kuburan ibu gurunya, kemudian dengan kepalan tangannya ia menghapus air mata, bangkit berdiri dan dengan langkah lebar ia meninggalkan puncak.
Pada waktu itu, Bu Song sudah berusia dua puluh tahun. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, wajahnya tampan, alisnya berbentuk golok dan dipandang sepintas lalu ia patut menjadi seorang pendekar. Akan tetapi wajahnya suram muram, sepasang matanya yang tajam itu kehilangan kegembiraan hidup sedangkan dagunya mengeras tanda bahwa semuda itu ia sudah mengalami banyak kekecewaan hidup. Ia sudah kehilangan orang-orang yang ia sayang.
Akan tetapi, ia harus mentaati perintah suhunya, ia harus tidak mengecawakan harapan suhunya. Ia akan mengikuti ujian dengan penuh semangat sehingga berhasil. Dengan demikian berarti ia menjunjung tinggi nama suhunya dan hanya inilah agaknya satu-satunya pembalasan budi yang akan dapat ia lakukan terhadap suhunya.
Sementara itu, setelah jauh dari puncak yang selama ini menjadi tempat tinggalnya, Kim-mo Taisu lalu mengerahkan kepandaiannya dan berlari cepat sekali menuju ke selatan.
Teringat akan semua yang baru saja ia alami, Kim-mo Taisu berkali-kali menghela napas. Nasib mempertemukan dia dengan Liu Lu Sian, bahkan melibatkan dia dengan urusan bekas kekasihnya itu yang kini menjadi tokoh iblis betina yang dimusuhi semua orang kang-ouw.
Nasib membuat dia terpaksa membela Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian sehingga ia melakukan pembunuhan terhadap orang kang-ouw yang mengeroyok Lu Sian. Teringat betapa ia terluka hebat, dibawa lari oleh bekas kekasihnya itu dan dirawat di dalam pondok dalam hutan, dirawat penuh kesabaran dan kemesraan. Lu Sian mencintanya! Dan ia masih mencinta Lu Sian! Hal ini tak dapat mereka sangkal pula.
"Lu Sian, tidak baik begini," katanya ketika wanita itu merawatnya dengan kasih sayang besar. "Kita sudah tua dan jalan hidup kita bersimpang jauh."
"Mengapa tidak baik, Kwee Seng?" Lu Sian menjawab. "Memang jalan hidup kita tadinya bersimpang jauh, akan tetapi Thian mempertemukan kita dan terbukalah sekarang mataku bahwa sesungguhnya hanya engkaulah laki-laki yang patut kutemani selamanya. Aku dahulu bodoh, Kwee Seng, akan tetapi setelah kini sadar, tak maukah engkau memperbaiki kesalahan yang sudah lewat?"
Kim-mo Taisu menggeleng-geleng kepalanya.
"Tidak bisa, Lu Sian. Tidak mungkin lagi..."
Lu Sian menahan isak.
"Kwee Seng, di mana-mana aku dikurung musuh. Tidak sanggup rasanya aku harus menghadapi semua itu seorang diri. Aku sudah bosan, Kwee Seng. Aku sudah rindu hidup tenteram di samping orang yang kucinta!"
Lu Sian kini benar-benar menangis, menelungkup di atas dada Kim-mo Taisu yang terlentang di atas dipan bambu.
"Sudah terlambat, Lu Sian. Dan lagi, apakah kau hendak menghancurkan kebahagiaan puteramu sendiri?"
"Apa...?" Lu Sian meloncat mundur dan memandang wajah Kim-mo Taisu dengan mata terbelalak.
Kim-mo Taisu tersenyum. Dadanya tidak terasa sakit lagi setelah semalam diobati oleh Lu Sian yang mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk memulihkan kesehatan bekas kekasihnya. Juga ramuan obat simpanan Lu Sian amat manjur untuk menyembuhkan luka di dalam tubuh.
"Lu Sian, kau tidak tahu bahwa bertahun-tahun puteramu, Kam Bu Song, telah ikut denganku dan menjadi muridku. Malah kini ia akan menjadi mantuku."
Lu Sian terbelalak, mulutnya ternganga dan tak terasa lagi air matanya bertitik-titik turun membasahi pipinya. Rasa girang, haru, dan duka menyesak di dadanya.
"Ceritakan..." dia berbisik, "ceritakan tentang dia..."
Dengan singkat Kim-mo Taisu lalu menceritakan pertemuannya dengan Bu Song dan betapa Bu Song menjadi muridnya, kemudian betapa ia menjodohkan Bu Song dengan Eng Eng.
"Anakmu itu aneh, dan bijaksana tidak seperti kita, Lu Sian. Dia benci akan ilmu silat dan sama sekali tidak mau belajar ilmu silat, malah ia menganggap ilmu silat, suatu ilmu yang amat jahat."
"Hee...? Mengapa begitu? Kalau begitu, dia menjadi muridmu... belajar apakah?"
"Belajar ilmu membaca dan menulis, menggambar dan menulis indah. Belajar sastera. Malah sekarang ia hendak kusuruh menempuh ujian di kota raja, setelah lulus ujian barulah pernikahan dilangsungkan. Lu Sian, kau tentu setuju, bukan, demi kebahagiaan puteramu?"
Lu Sian menundukkan mukanya.
"Kalau begitu... dia... dia tentu membenciku..."
"Dia tidak membenci siapapun juga. Hanya, tentu saja dia tidak tahu bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi..."
"Aahhh...!" Lu Sian terisak menangis. Akan tetapi kekerasan hatinya segera menguasai hati dan pikirannya. Ia meloncat berdiri. "Tidak peduli! Biar dia menjadi putera ayahnya, menjadi orang baik-baik, menjadi pembesar!" Aku Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian lalu meloncat pergi dan meninggalkan Kim-mo Taisu.
"Lu Sian...!" Kim-mo Taisu memanggil, akan tetapi wanita itu tidak kembali lagi.
Diam-diam ia menarik napas panjang, amat kasihan melihat nasib bekas kekasihnya itu. Ia maklum bahwa ceritanya tentang Bu Song tadi menghancurkan hati Lu Sian dan mendatangkan tekanan batin yang hebat sekali kepada wanita itu merasa kehilangan segala-galanya. Betapa tidak harus dikasihani kalau seorang wanita seperti Lu Sian itu, oleh perbuatannya sendiri di waktu muda, setelah tua kini dimusuhi semua orang, bahkan tidak dikehendaki oleh puteranya sendiri?
Kim-mo Taisu sendiri sama sekali tidak pernah bermimpi bahwa nasibnya sendiri juga amat buruk. Ia menyedihkan keadaan Lu Sian, menaruh kasihan kepada Lu Sian, akan tetapi sama sekali ia tidak tahu bahwa pada saat itu keluarganya tertimpa bencana hebat. Kwee Eng, puteri tunggalnya, satu-satunya orang yang menjadi keluarganya di dunia ini telah direnggut maut nyawanya dalam keadaan yang amat menyedihkan!
Memang banyak sekali hal-hal terjadi di dunia ini yang amat menyedihkan dan membingungkan manusia. Banyak terjadi hal-hal yang kelihatannya tidak adil. Namun sesungguhnya tidaklah demikian adanya. Semua peristiwa yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan yang mengatur dengan sesempurna-sesempurnanya. Hanya karena semua itu menjadi rahasia besar, maka manusia tidak dapat menyelaminya dengan akal dan pikiran, sehingga bagi manusia kadang-kadang kelihatannya aneh dan janggal serta tidak adil.
Bagi pendapat umum, agaknya sudahlah sepatutnya kalau orang seperti Liu Lu Sian setelah tua hidup menderita oleh karena ia memetik buah daripada semua perbuatannya sendiri di waktu ia masih muda. Masih muda menjadi hamba nafsu, setelah tua timbul sesal dan duka.
Akan tetapi bagaimanakah dengan Kim-mo Taisu? Mengapa ia selalu hidup merana dan sengsara? Bukankah dia seorang pendekar besar, seorang yang berbudi baik? Mengapa ia pun mengalami hidup menderita di waktu tua?
Memang sudah semestinya begitulah! Dunia ini berputar oleh dua sifat yang bertentangan dan saling dorong, saling menghidupkan. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin! Sudah semestinya begitu. Yang menderita karena gelap, yang menderita karena panas atau dingin!
Bahagialah mereka yang tidak menderita karena terang atau gelap, karena panas atau dingin. Mereka inilah sesungguhnya manusia yang sudah sadar dan dapat menyesuaikan diri dengan segala peristiwa yang menimpa dirinya karena maklum bahwa semua itu adalah kehendak Tuhan!
Segala peristiwa yang sudah semestinya terjadi di dunia ini, terjadilah sesuai dengan rencana-Nya dan kehendak-Nya. Tiada kekuasaan lain di dunia yang mampu mengubahnya. Peristiwa pun terjadilah. Tidak ada susah atau senang. Susah atau senang merupakan hasil tanggapan si manusia yang menghadapinya.
Manusia bijaksana dan sadar akan menerima penuh kesadaran dan kesenangan, baik peristiwa itu menguntungkan maupun merugikan dirinya. Sebaliknya, orang yang belum sadar akan menerimanya dengan sorak-sorai kesenangan atau tangis keluh kedukaan. Penerimaan macam inilah yang akan membentuk akibat-akibat dan perbuatan-perbuatan yang tiada berkeputusan, membentuk lingkaran-lingkaran. Karma yang makin kuat membelenggu manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar