Kembali Eng Eng meramkan mata dan ketika membukanya lagi, kini beberapa butir air mata mengalir turun. Ia menggeleng kepala.
"Sakit semua rasa tubuhku... Song-ko. Kepalaku... ah, serasa dipukul-pukul dari dalam... dadaku... serasa terbakar dan akan pecah... oh..."
"Eng-moi...!" Bu Song mendekap kepala itu, mengelus-elusnya seakan-akan ia hendak mengusir rasa nyeri di kepala dengan usapan dan hendak mengoper rasa panas di dadanya sendiri. "Eng-moi, kau tentu akan selamat. Jangan khawatir, Moi-moi... aku akan membawamu pulang, aku akan..."
"Ssttt, diamlah... jangan bergerak, Koko... biarkan aku menikmati pelukanmu seperti ini untuk terakhir kali...! Song-koko, kau... kau... girangkah dijodohkan dengan aku...?"
Makin perih hati Bu Song, seakan-akan kini ditusuk-tusuk jarum. Ia menahan air mata yang hendak runtuh, lalu menundukkan muka menempelkan pipinya pada pipi Eng Eng, berbisik di telinganya,
"Tentu saja, kekasihku, tentu saja aku girang sekali..., karena itu kau harus sembuh, kau harus sembuh, kau harus selamat, kelak kita... menikah..."
Naik sedu sedan di dada Eng Eng dan hal ini agaknya amat menimbulkan nyeri sehingga ia meramkan matanya kembali. Ketika ia membuka matanya, air matanya makin deras mengalir akan tetapi mulutnya tersenyum.
"Song-ko..." Tangannya diangkat lemah, meraba-raba dan membelai dagu Bu Song yang agak berlekuk, "... mengapa kau... girang berjodoh denganku? Apakah kau... cinta padaku...?"
"Eng-moi...!" Bu Song teringat akan bisikan gadis itu ketika dalam keadaan setengah sadar tadi, bisikan pengakuan cinta. "Kau masih bertanya lagi? Aku cinta kepadamu, Eng-moi. Aku mencintamu dengan seluruh jiwa ragaku..."
"Koko..., kasihan kau..." Eng Eng merangkul leher itu dan mereka bertangisan.
Bu Song tak dapat menahan diri lagi, air matanya bercucuran, bercampur dengan air mata Eng Eng di pipi gadis itu yang ia coba mengeringkannya dengan ciumannya. Air mata yang bercampur darah yang masih mengalir keluar dari hidung. Bu Song tidak peduli, ia menghisap air mata dan darah itu.
"Kasihan kau, Koko..., karena aku... aku tidak akan hidup lagi..."
"Eng-moi...! Jangan berkata begitu.... Moi-moi, kau tidak... kau tidak akan... ah, kau akan hidup bersamaku..."
Jari-jari tangan Eng Eng menjelajahi muka pemuda itu, mengelus rambutnya seakan-akan ia hendak menggunakan saat terakhir untuk mengenal lebih dekat wajah pemuda yang sejak dahulu telah menguasai rasa kasihnya, yang dahulu hanya dapat ia pandang dan kenang saja.
"Aku tahu, Koko... aku terluka dalam hebat sekali... dalam dada... darah mengalir di dadaku, juga di kepalaku... tiada guna..., aku akan mati... dalam pelukanmu."
"Moi-moi!" Kini Bu Song menangis tersedu-sedu sambil mendekap gadis itu. "kau tidak akan mati! Kalau kau mati, aku pun ingin mati di sampingmu!"
Eng Eng tersenyum mendengar ini dan kini air mata Bu Song yang membanjir turun itu memasuki bibirnya yang terbuka, menimbulkan rasa segar pada kerongkongannya yang serasa panas terbakar. Tiba-tiba Eng Eng mendapatkan tenaganya kembali dan ia menolak muka Bu Song, lalu ia bangkit duduk.
Bu Song tentu saja menjadi girang sekali.
"Moi-moi, kau sembuh! Kuambilkan air, ya? Biar kumasak air agar air hangat-hangat dapat menyegarkan tubuhmu. Lalu kita mencari jalan naik, jangan khawatir, aku masih sanggup menggendongmu ke atas. Kita pulang!"
Eng Eng tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya, lalu tangannya menepuk tanah di dekatnya memberi isyarat kepada Bu Song untuk duduk di dekatnya.
"Kau.. kau sanggulkan rambutku....," katanya.
Biarpun kelihatannya gadis ini bertenaga kembali, namun suaranya tersendat-sendat dan sukar keluarnya, Bu Song cepat melakukan perintah ini. Jari-jari tangannya menggetarkan kasih sayang mesra ketika ia berusaha menyanggul rambut panjang halus itu sedapat mungkin.
Akan tetapi pekerjaan ini sukar sekali ia laksanakan. Jari-jari tangannya menggigil. Tubuhnya sendiri terasa sakit-sakit, ditambah rasa haru dan khawatir membuat air matanya bercucuran. Matanya menjadi kabur dan beberapa kali ia mendekap dan menciumi gadis itu dengan hati hancur.
Eng Eng balas memeluk dan bahkan gadis inilah yang mengeluarkan kata-kata hiburan, kata-kata lemah yang berbisik-bisik hampir tak terdengar.
"Diamlah... Koko, diamlah... kau sanggulkan rambutku... biar rapi..."
Bu Song berusaha membesarkan hatinya, akan tetapi bagaimana ia dapat menahan isak tangisnya ketika ia menyanggul rambut itu melihat betapa kepala Eng Eng penuh darah yang mulai membeku? Namun akhirnya berhasil juga ia menyanggul rambut gadis itu.
"Koko... aku... aku ingin..." Ia berhenti sukar sekali melanjutkan kata-katanya.
Bu Song menempelkan telinga di dekat bibir yang sudah pucat itu.
"Apa, Moi-moi kau ingin apa?"
"Ah, aku... aku malu... hik..."
Bu Song memeluknya.
"Katakanlah, kau mau apa, Moi-moi..."
"...hemmm...? ... aku... aku ingin... sekarang menikah denganmu." Lalu disambungnya perlahan sekali, "aku ingin... mati sebagai istrimu..."
"Eng-moi...!" Bu Song tak kuat menahan tangisnya.
"Koko, jangan menangis. Maukah kau...? Maukah kau...?"
Bu Song tak dapat menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya dan air matanya bercucuran membasahi mukanya. Hampir pemuda ini pingsan saking perih dan sakit rasa hatinya.
"Mari kita bersumpah, Koko, marilah..."
Terpaksa Bu Song menuruti permintaan Eng Eng. Dengan susah payah ia menggandeng gadis itu, diajak berlutut sambil berpegang tangan, berlutut seperti sepasang pengantin bersembahyang! Untuk menyenangkan hati gadis itu Bu Song berkata keras-keras,
"Langit dan bumi menjadi saksi! Saat ini kami, Kam Bu Song dan Kwee Eng, menjadi suami isteri, sehidup semati...!"
Eng Eng tertawa, tertawa malu-malu dan ketika Bu Song menolehnya, gadis itu merangkulnya dengan wajah penuh bahagia. Eng Eng menyembunyikan mukanya di dada Bu Song, akan tetapi pada saat itu pula nyawanya telah melayang meninggalkan raganya! Tadinya Bu Song tidak tahu, baru setelah ia merasa betapa tubuh gadis itu lemas sekali, ia mengangkat dan tahu bahwa kekasihnya itu tak bernyawa lagi.
"Eng-moi...!!" Ia menjerit, mendekap dan roboh pingsan sambil memeluk Eng Eng.
**** 129 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar