FB

FB


Ads

Selasa, 23 April 2019

Suling Emas Jilid 126

"Eng-moi, setelah oleh Suhu kita dijodohkan, tidak... tidak senangkah hatimu? Tidak bahagiakah perasaanmu seperti yang kurasakan?"

Mendengar suara Bu Song menggetar penuh perasaan, sejenak jari tangan Eng Eng mencengkeram tangan Bu Song. Gadis itu memandang lagi. Dua pasang mata bertemu pandang, seakan-akan saling menjenguk isi hati masing-masing, dari jari tangan mereka terasa getaran aneh yang mewakili suara hati, kemudian Eng Eng menunduk perlahan, mengangguk tegas, terisak dan menyembunyikan mukanya di dada Bu Song yang bidang!

Bu Song mendekap kepala itu ke dadanya, seakan-akan ingin ia memasukkan kepala yang dicintanya itu ke dalam dada untuk selamanya. Kedua kakinya menggigil, entah mengapa ia hampir tidak kuat berdiri, demikian pula Eng Eng. Bu Song lalu menarik tubuh Eng Eng ke bawah, duduk di atas rumput tebal.

Mereka tidak bicara lagi, terayun dalam gelombang asmara yang membuat mereka seakan-akan terayun di angkasa, dibuai mimpi indah. Mereka tidak bicara, tidak bergerak. Eng Eng meletakkan kepala di atas dada yang bidang, rambut kepalanya yang halus dibelai jari-jari tangan Bu Song penuh kasih sayang dan dalam keadaan seperti itu mereka saling pandang penuh kemesraan.

"Eng-moi..." akhirnya terdengar Bu Song berkata, suaranya terdengar oleh telinga Eng Eng berbeda dari biasanya. Kini suara pemuda itu terdengar amat merdu dan mesra, terbungkus kasih sayang yang membuat hatinya sendiri menjadi terharu dan membuat ia ingin terisak menangis sepuasnya. "Eng-moi, semenjak kecil, kita sudah saling mencinta, seperti kakak dan adik. Akan tetapi karena kita bukanlah kakak beradik, maka tidak mungkin cinta kasih kita dapat berlangsung selamanya. Kalau aku memikirkan betapa kelak kita harus berpisah, hatiku serasa ditikam pisau. Akan tetapi, dengan kebijaksanaan Suhu, kita dijodohkan! Alangkah bahagia hatiku, Eng-moi, dan aku menjadi lebih beruntung lagi karena melihat kau pun merasakan kebahagiaan seperti yang kurasakan."

Eng Eng tersenyum penuh kebahagiaan.

"Kalau Suhu sudah pulang, aku akan pergi menempuh ujian, Moi-moi! Doakan saja aku berhasil agar aku dapat bekerja dan setelah aku lulus ujian, kita... kita..."

"Bagaimana...?" Eng Eng mendesak tak sabar.

"Kita lalu kawin!"

"Ihh...!"

Eng Eng membalikkan muka, bersembunyi di dada, tak kuasa menentang pandang mata yang nakal.

Bu Song hanya tertawa dan menciumi rambut yang harum.

"Song-koko, kemarin dulu itu..."

"Ya...?"

"Ketika kau.. kau menciumku..."

"Ya, mengapa...?"

"Kau sudah tahu tentang... tentang perjodohan kita?"

Bu Song tertawa menggoda.
"Tentu saja sudah. Ayahmu telah memberi tahu. Mengapa? Kau marah-marah karena kucium hidungmu, sekarang pun aku akan..."

"Tidak! Jangan...!" Eng Eng meronta ketika Bu Song menundukkan muka, lalu meloncat bangun dan memegang tangan Bu Song sambil tertawa-tawa. "Tidak boleh, Song-koko!"

"Mengapa tidak boleh?" Bu Song bertanya heran, kagum melihat wajah yang tertawa-tawa dan berseri-seri segar bagaikan sekuntum bunga tersiram embun pagi. "Bukankah sejak kecil sering engkau kucium?"






"Lain dulu lain sekarang! Dulu kita seakan-akan kakak beradik, sekarang..."

"Sekarang bagaimana?"

"Sekarang kita... sudahlah, pendeknya aku tidak mau sebelum kita... sebelum kita menikah!"

Bu Song juga tertawa dan mengangguk-angguk mengangkat tangan Eng Eng ke depan hidung dan menciumi tangan itu.

"Engkau benar, Moi-moi. Aku tadipun hanya bersenda-gurau. Jangan khawatir! Betapapun besar cinta kasihku kepadamu, aku akan menahan diri. Aku cukup menghormatimu, aku menghargaimu dan aku tidak akan merusak kepercayaanmu kepadaku. Asal kau suka menegur saja kalau aku lupa..."

"Ihh, dasar! Kalau lupa berarti kau sengaja. Song-koko, sudahlah, sekarang kau ceritakan apa yang kau lakukan di dusun tadi."

Mereka duduk di atas batu, saling berpegang tangan dan dengan hati gembira Bu Song bercerita tentang burung rajawali hitam yang diserbu penduduk dusun. Ia ceritakan betapa ia telah berhasil menolong anak burung itu dan memuji-muji burung besar, gagah dan indah itu.

Eng Eng girang sekali mendengar ini, matanya bersinar-sinar dan ia bertepuk tangan gembira.

"Wah burung yang hebat! Ingin sekali aku dapat melihatnya, Koko. Heiiii! Disana itu, bukankah itu hektiauw (rajawali hitam)?" Tiba-tiba Eng Eng berseru sambil menudingkan telunjuknya ke atas.

Bu Song cepat memandang dan betul saja. Tinggi di angkasa sebelah timur tampak burung rajawali hitam itu terbang melayang-layang amat gagahnya, biarpun karena jauhnya kelihatan amat kecil, namun jelas berbeda dengan burung-burung lain. Eng Eng saking gembira dan tertarik mendengar cerita Bu Song tadi, kini sudah meloncat berdiri dan berkata,

"Song-ko, aku mau melihatnya ke sana kalau ia turun!" Dan larilah gadis ini dengan cepat sekali.

"Eh, Eng-moi, tunggu...!"

Bu Song juga meloncat dan lari mengejar akan tetapi ternyata gadis itu larinya cepat bukan main. Bu Song yang tidak pernah belajar ilmu gin-kang dan tidak pernah belajar ilmu lari cepat, segera tertinggal jauh. Melihat betapa kekasihnya lari ke jurusan puncak terlarang, yaitu Puncak Api, ia menjadi khawatir sekali dan berteriak-teriak,

"Eng-moi...! Jangan kesana...! Puncak itu terlarang bagi kita..."

Akan tetapi Eng Eng yang melihat bahwa burung rajawali yang amat ia kagumi itu kini menyambar turun ke arah puncak, menjadi makin gembira dan lupa akan pesan ayahnya bahwa puncak itu tidak boleh dikunjungi karena amat berbahaya. Teriakan Bu Song ini memang mengingatkannya, akan tetapi setelah dekat dengan puncak, ia tidak melihat sesuatu yang boleh dianggap bahaya. Selain itu, andaikata benar-benar ada bahaya, ia takut apa? Kepandaiannya sudah cukup untuk dipergunakan menjaga diri. Burung itu amat indah! Maka tanpa mempedulikan peringatan Bu Song ia lari terus, hanya menoleh dan memberi isarat dengan tangan supaya pemuda itu mengikutinya dan jangan berteriak-teriak karena bisa membikin kaget burung.

Hati Bu Song penuh kekhawatiran. Ia seorang yang amat patuh kepada suhunya, dan ia tahu pula bahwa tidaklah percuma suhunya melarang mereka bermain-main ke Puncak Api. Suhunya seorang sakti yang bijaksana, kalau melarang tentulah ada sebab-sebabnya yang kuat. Kini larangan ini dilanggar oleh Eng Eng dan ia menjadi khawatir sekali.

Akan tetapi ia maklum dan mengenal baik watak Eng Eng. Bagaimana ia dapat mencegah dan melarang gadis itu yang begitu gembira? Dengan hati berdebar terpaksa Bu Song lari terus mengikuti Eng Eng yang amat cepat larinya itu.

Mereka kini sudah tiba di lereng puncak, memasuki sebuah hutan yang pohonnya besar-besar menjulang tinggi, daunnya berwarna coklat membuat keadaan hutan agak gelap.

"Eng-moi, tunggu...!"

Bu Song berteriak lagi, hatinya tidak enak ketika ia melihat bayangan Eng Eng lenyap ke dalam hutan.

"Song-ko, mari cepat...!" terdengar suara gadis itu menggema di dalam hutan.

Bu Song sudah lelah sekali sekarang, namun ia memaksa kedua kakinya untuk berlari memasuki hutan agar jangan sampai kehilangan jejak kekasihnya. Akan tetapi terpaksa ia berhenti dan memandang ke kanan kiri dengan bingung. Hutan itu selain besar dan agak gelap, juga amat membingungkan keadaannya karena pohon-pohon besar itu berbaris rapi dan serupa benar keadaannya. Tak tampak bayangan Eng Eng!

"Eng-moi, dimana kau...??" teriaknya keras.

Segera ia dibikin bingung oleh gema suaranya sendiri yang menjawab dari semua penjuru! Tiba-tiba ia mendengar desis dan ketika ia berdongak, seakan-akan copot jantungnya saking kaget dan ngeri melihat seekor ular yang besarnya melebihi pahanya dan panjang sekali bergantungan di atas pohon, kepala ular itu bergantung ke bawah dan mendesis-desis, matanya yang merah memandang ke arahnya dengan bengis. Agaknya binatang ini terkejut dari tidurnya ketika ia berteriak keras tadi. Dengan tubuh menggigil Bu Song lari meninggalkan tempat itu, memasuki hutan lebih dalam lagi.

"Eng-moi...!!"

Ia berteriak lagi beberapa kali karena ia benar-benar tidak tahu ke jurusan mana gadis itu lari.

"Song-ko...!!"

Tiba-tiba terdengar gema suara Eng Eng dari jauh sekali, dari arah timur sebelah dalam hutan itu.

Bu Song terkejut, dan juga girang. Cepat ia lari mendaki bagian yang tinggi dari hutan itu, tidak peduli lagi akan kelelahan kakinya sambil memanggil-manggil nama Eng Eng. Akan tetapi gadis itu tidak terdengar menjawabnya lagi dan selagi hatinya mulai gelisah ketika ia berlari memandang ke kanan kiri dan depan, mendadak terdengar jerit suara Eng Eng.

Jerit gadis itu membayangkan ketakutan hebat, maka Bu Song cepat lari ke jurusan itu, ke pinggir hutan yang dekat dengan pendakian ke puncak yang merupakan batu-batu karang yang runcing dan bertumpuk-tumpuk.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati Bu Song ketika melihat kekasihnya itu sedang bertempur melawan seekor binatang mirip monyet yang besar dan kuat. Rambut Eng Eng awut-awutan, sebagian pakaiannya ada yang robek, bahkan lengan kirinya berdarah, agaknya kena cakar kuku binatang itu yang panjang-panjang.

Gadis itu kelihatan lemah dan lelah. Melihat betapa dua ekor binatang semacam itu telah menggeletak di atas tanah, Bu Song dapat menduga bahwa tentu tadinya Eng Eng dikeroyok tiga. Gadis kekasihnya yang perkasa itu agaknya telah merobohkan dua diantara mereka, akan tetapi kini yang paling besar dan kuat menandinginya dan Eng Eng terdesak. Bukan main kuatnya binatang itu, karena beberapa kali tendangan kaki Eng Eng seakan-akan tidak dirasainya.

"Eng-moi....!"

Bu Song berseru keras dan dengan mata terbelalak ia menyerbu, lupa bahwa ia sama sekali tidak pernah berkelahi dan tidak tahu cara menggunakan kaki tangan yang baik dalam pertandingan. Pada saat itu, Eng Eng sudah terhuyung ke belakang ketika binatang itu menerjang hendak mencengkeram dan menggigit. Sial baginya, kakinya menginjak lubang tersembunyi di bawah rumput. Tubuhnya terguling roboh!

Bu Song melompat dan memukul binatang itu ketika melihat betapa binatang itu hendak menubruk Eng Eng. Akan tetapi pukulannya mengenai tempat kosong. Ternyata binatang itu lincah sekali dan dapat mengelak dengan mudah sehingga Bu Song yang memukul dengan seluruh tenaganya, terhuyung ke depan dan pada saat itu tengkuknya dipukul keras sekali oleh tangan binatang itu, tangan yang berbulu dan besar serta berat.

Bu Song merasa pandang matanya gelap dan ia roboh tertelungkup. Ia mendengar jerit Eng Eng, dan cepat ia melompat lagi sambil membalikkan tubuh. Kiranya Eng Eng kini sudah tertawan binatang itu, dipanggul di pundak kiri dan melihat keadaan tubuh Eng Eng yang lemas itu ia dapat menduga bahwa saking merasa ngeri dan takut, gadis itu telah pingsan.

"Binatang jahat, lepaskan dia!"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar