FB

FB


Ads

Minggu, 21 April 2019

Suling Emas Jilid 125

"Eng-moi....! Eng-moi...!!" Bu Song berteriak-teriak memanggil dan mencari-cari Eng Eng.

Pondok sunyi dan kosong. Ia lari ke pinggir anak sungai dimana biasanya Eng Eng suka pergi bermain, akan tetapi disana pun kosong.

"Eng-moi...! Dimana kau...??" Ia memanggil-manggil lagi dan mencari terus sambil berlarian ke sana ke mari.

Akhirnya ia berhenti di belakang pondok, mengerutkan keningnya. Aneh benar, pikirnya. Biasanya kalau ia pergi disuruh suhunya turun puncak, gadis itu selalu tentu menjemput atau menyongsongnya di tengah jalan, atau menantinya dan begitu ia datang tentu akan menghujani pertanyaan-pertanyaan. Mengapa sekarang gadis itu tidak tampak? Ia tahu bahwa suhunya telah pergi. Eng Eng hanya seorang diri di puncak, mengapa sekarang tidak ada?

"Eng-moi...!!"

Ia melindungi kanan kiri mulutnya dengan kedua tangan lalu berteriak-teriak memanggil-manggil lagi ke empat penjuru. Hanya gema suaranya sendiri yang menjawab dari jauh. Bu Song makin gelisah akan tetapi juga mendongkol, lalu mengingat-ingat.

Pernah gadis itu mempermainkannya. Pernah ketika Suhunya menyuruh ia memanggil Eng Eng, gadis itu sengaja bersembunyi, membiarkan ia mencari-cari sampai lelah. Ia teringat. Dahulu, ketika gadis itu mempermainkannya dan bersembunyi, Eng Eng pergi ke hutan penuh bunga di sebelah timur puncak.

Memang hutan itu indah sekali, merupakan sebuah taman bunga dan pohon-pohon cemara bermacam-macam bentuknya. Juga lereng bukit itu tanahnya tertutup rumput-rumput hijau gemuk. Wajah Bu Song berseri lagi, timbul harapan baru. Tentu disana sembunyinya.

Akan tetapi ia mengerutkan kening. Tidak mudah mencari Eng Eng disana. Hutan kembang itu luas sekali dan banyak terdapat pohon-pohon besar sehingga kalau gadis itu bersembunyi, sukar baginya untuk dapat mencarinya, ia teringat dahulupun ia tidak dapat mencarinya. Terbayang semua kejadian yang lalu, Bu Song tersenyum lalu lari ke dalam pondok, mengambil sebatang suling bambu dari kamarnya lalu berlari-lari lagi keluar dan menuju ke timur.

Memang luar biasa sekali ketahanan tubuh Bu Song. Tanpa diketahui sendiri oleh pemuda ini, ia benar-benar memiliki tubuh yang luar biasa kuatnya dan hal ini hanya diketahui oleh suhunya Kim-mo Taisu saja. Jangankan seorang pemuda yang tak pernah belajar ilmu silat. Seorang ahli silat yang lumayan sekalipun kiranya belum tentu dapat bertahan seperti Bu Song yang sehari ini telah melakukan perjalanan jauh naik turun gunung tanpa mengenal lelah. Sekarang pun, baru saja tiba di pondok ia sudah pergi lagi mencari Eng Eng dengan perjalanan sejam lebih naik turun puncak!

Ketika tiba di hutan itu, tak dapat ia cegah lagi ia memandang ke timur, ke arah puncak yang kemerahan. Selalu ia tidak dapat menahan hatinya memandang puncak yang kemerahan itu dan diam-diam ia bergidik. Suhunya telah berulang kali melarang dia dan Eng Eng untuk pergi ke puncak itu. yang oleh suhunya disebut Puncak Api. Pernah suhunya bercerita bahwa puncak itu adalah tempat yang amat berbahaya, selain sukar sekali didaki, juga disana terdapat binatang buas, jurang-jurang curam dan tanah-tanah yang dapat longsor apabila terinjak, di samping rumput berbisa pula. Alangkah jauh bedanya dengan hutan penuh bunga yang indah ini.

Benar seperti dugaannya, hutan bunga itupun sunyi, tidak tampak bayangan Eng Eng. Akan tetapi ia yakin bahwa gadis itu tentu bersembunyi di suatu tempat dalam hutan itu dan terkekeh-kekeh ketawa di tahan melihat ia datang mencarinya. Ia maklum pula bahwa percuma ia berteriak memanggil. Biar sampai serak suaranya, Eng Eng takkan muncul, bahkan akan mentertawakannya.

Maka ia pun lalu duduk di atas batu hitam lebar yang halus, tempat yang biasa ia gunakan untuk duduk dan bercakap-cakap dengan Eng Eng. Di dekat batu ini mengalir anak sungai yang jernih sekali sehingga batu-batu putih merah dan hijau tampak di dasarnya.

Bu Song duduk dan mengeluarkan sulingnya tadi. Ia pandai bersuling. Gurunya, Kim-mo Taisu adalah seorang ahli meniup suling, dan karena bermain musik adalah sebuah diantara kegemaran dan kesopanan para sastrawan, gurunya mengajarnya bertiup suling.






Ternyata bakatnya amat baik, bahkan diam-diam Kim-mo Taisu dengan heran mendapatkan kenyataan bahwa bakat muridnya lebih baik daripada bakatnya sendiri dalam hal meniup suling. Maka ia lalu diajar dan sekarang sudah pandai mainkan lagu-lagu merdu. Selain bertiup suling, gurunya mengajarkannya pula bermain tioki (catur), membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis. Pendeknya, suhunya ingin menurunkan semua kepandaian bun (sastra) kepadanya. Semua kepandaian seorang sastrawan dimiliki Bu Song!


Begitu lubang suling menempel di bibir, meluncurlah bunyi merdu yang mengalun, melengking dan menari-nari di angkasa, menyelinap di antara daun-daun dan bunga, menyentuh kuncup-kuncup bunga dan bermain-main dengan ujung rumput hijau.

Angin yang bertiup perlahan membuat pohon-pohon bunga bergerak perlahan dan pohon-pohon cemara bergoyang-goyang seperti puteri-puteri kahyangan menari-nari diiringi suara suling yang merdu. Jengkerik dan belalang yang biasanya hanya berdendang di waktu malam, kini agaknya tidak dapat menahan hasrat hati ikut bernyanyi seirama dengan suara suling.

Bu Song yang tahu akan lagu kesukaan Eng Eng, segera mainkan lagu yang iramanya merayu-rayu kalbu. Lagu ini tentang keluh-kesah setangkai kembang yang kekeringan, mengeluh menangis menanti datangnya hujan yang tak kunjung tiba, menanti tetesnya embun yang akan memberi air kehidupan padanya. Karena kini Bu Song mempunyai pandangan lain terhadap diri gadis itu, maka permainan sulingnya penuh perasaan, sehingga menggetarkan rasa dalam hatinya terhadap gadis itu.

Bu Song tidak usah menanti lama. Menjelang berakhirnya lagu yang ia mainkan dengan tiupan suling, tampak berkelebat bayangan putih, bayangan Eng Eng yang kini selalu memakai pakaian putih tanda berkabung. Dengan hati-hati Bu Song menyelesaikan lagunya, kemudian menghentikan tiupan suling yang meninggalkan kelengangan yang mengesankan, seolah-olah suara suling masih menggema di angkasa.

Ia segera menoleh dan melihat Eng Eng sudah berdiri di dekat anak sungai, akan tetapi gadis itu berdiri membelakanginya, menundukkan muka seakan-akan gadis itu tidak melihatnya, tidak tahu bahwa ia berada disitu, seakan-akan sedang menikmati pemandangan batu beraneka warna di dasar air jernih.

Bu Song tersenyum dan merasa heran mengapa jantungnya berdenyar-denyar seperti itu. Benar-benar pengertian bahwa gadis ini menjadi tunangannya, menjadi calon isterinya, telah merubah suasana menjadi sama sekali berbeda dengan biasanya. Dengan hati berdebar ia melangkah perlahan menghampiri Eng Eng dari belakang, lalu berhenti dekat punggung gadis itu.

"Eng-moi..." panggilnya lirih.

Kedua pundaknya bergoyang sedikit seperti menggigil, akan tetapi gadis itu tidak menjawab, juga tidak menoleh, mukanya makin tunduk, kini tidak lagi memandang air jernih, melainkan memandang ujung kakinya sendiri.

"Eng-moi..."

Bu Song mengulang panggilannya dan kini menyentuh pundak gadis itu lalu tertawa karena mengira gadis itu masih saja mempermainkannya.

Akan tetapi Eng Eng kini mengangkat kedua tangan ditutupkan pada mukanya. Bu Song terheran. Ada apalagi gadis ini? Seperti orang malu-malu! Heran benar! Selamanya belum pernah Eng Eng bersikap seperti ini.

"Eng-moi, kau kenapa...?"

Ia bertanya kini memegang kedua pundak itu perlahan lalu membalikkan tubuh gadis itu supaya menghadapinya.

Eng Eng menurut saja dan tubuhnya membalik, akan tetapi kedua tangannya masih ditutupkan di depan mukanya yang menunduk.

Bu Song makin terheran-heran. Kedua tangannya yang memegang pundak tadi mendapatkan pundak yang gemetar seperti seekor kelinci ketakutan! Dari celah-celah jari tangan yang menutupi muka, ia melihat kulit muka yang merah sekali, merah sampai ke telinga dan leher.

Alangkah bagus jari-jari tangan Eng Eng, tiba-tiba ia berpikir. Selama ini belum pernah ia memperhatikan jari tangan gadis itu dan baru sekarang ternyata olehnya betapa indahnya bentuk jari-jari itu halus meruncing dan kuku jarinya bersih mengkilap. Gadis itu tidak menangis, akan tetapi mengapa menutupi muka seperti orang malu-malu?

"Eng-moi, sepulangku dari dusun, setengah mati aku mencarimu. Setelah kudapatkan kau disini, mengapa kau menutupi mukamu? Eng-moi, kau pandanglah aku..."

Perlahan Bu Song memegang kedua lengan gadis itu dan menurunkannya. Muka itu kini tampak, masih menunduk dan merah sekali, bibirnya gemetar menahan senyum.

"Moi-moi kau pandanglah aku, mengapa kau tidak berani memandangku? Kau... kenapa, Moi-moi...?" tanyanya, heran dan mulai gelisah.

Eng Eng dapat menangkap kegelisahan dari suara Bu Song, jawabnya tanpa mengangkat muka,

"... aku... malu, Song-ko..."

"Malu? Malu kepada siapa dan karena siapa dan karena apa?"

Perlahan Eng Eng kembali mengangkat mukanya, kini memandang wajah Bu Song, dan menggigit bibir, lalu berkata setelah menekan rasa malu di hatinya,

"Tadi Ayah telah berangkat pergi dan dia bilang... dia bilang... bahwa aku dan engkau... ahh...!"

Eng Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya, terlampau malu hatinya dan ia kembali menunduk.

Bu Song memegang lagi kedua tangan Eng Eng, tertawa dan berkata,
"Tentang perjodohan kita...?"

Eng Eng mengangguk, lalu berkata lirih,
"Sejak keberangkatan Ayah, aku bingung. Aku malu menanti kedatanganmu, aku... aku takut bertemu denganmu, maka aku lari sembunyi..."

"Ha-ha, lucu engkau! Mengapa kau malu, Moi-moi?"
Makin erat Bu Song memegang tangan Eng Eng.

Jari-jari mereka saling cengkeram dan jari tangan Bu Song mencegah jari tangan Eng Eng yang hendak melepaskan diri, akan tetapi usaha melepaskan diri itu tidaklah terlalu sungguh-sungguh.

"Mengapa malu?" Bu Song mengulang.

Eng Eng mengangkat muka, matanya bersinar-sinar, bibir tersenyum malu, lalu cemberut dan berkata galak,

"Ahh... malu ya malu....!" Lalu membuang muka.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar