FB

FB


Ads

Kamis, 11 April 2019

Suling Emas Jilid 098

Untung bagi Lu Sian, Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio yang hendak mengejar pula, dicegah oleh Kian Hi Hosiang yang berkata,

"Omitohud... semoga Sang Buddha melimpahkan kesadaran kepada mereka yang sesat. Cheng Han dan Cheng Hie, tak usah mengejar. Ketiga Suhengmu dan seorang Sumoimu sudah cukup. Kita tidak perlu menanam bibit permusuhan dengan golongan lain. Kurasa empat orang muridku itu sudah maklum dan asal dapat menangkap kembali Kwan Bi dan membawanya kesini untuk menerima hukuman, cukuplah."

Demikianlah, upacara sembahyang di Kuil Siauw-lim-si yang tadinya akan dibuat besar-besaran dan meriah, ternyata menjadi sunyi dan muram akibat peristiwa itu. Para tamu juga tahu diri, melihat keadaan tuan rumah tertimpa urusan yang tidak menyenangkan mereka lalu berpamit dan meninggalkan kuil itu dalam keadaan suram.

Lu Sian berlari cepat sekali dan setelah memasuki sebuah hutan tiga puluh lie jauhnya dari Kim-peng, ia berhenti dan meletakkan tubuh Kwan Bi di atas rumput, terlindung oleh pohon besar dari sinar matahari senja. Segera ia memeriksa keadaan kekasihnya itu. Ketika membuka bajunya, tampak kulit dada membayang biru, tanda bahwa Kwan Bi telah menderita luka pukulan yang cukup hebat. Cepat ia mencari air untuk membasahi kepala pemuda itu, lalu memberinya pula minum sedikit.

Kwan Bi siuman kembali dan membuka matanya. Melihat Lu Sian, ia tersenyum dan menggeleng kepalanya.

"Lu-cici, aku telah membikin kau banyak susah..."

Lu Sian menggunakan pipinya menutup mulut pemuda itu dan berbisik di telinganya.
"Hushhh, kau mengigau, bicara dibolak-balik. Akulah yang membuat kau menderita seperti ini. Akan tetapi jangan takut, selama ada aku disini, tidak ada seorang pun boleh mengganggumu, siapa pun juga dia!"

Kwan Bi tersenyum, akan tetapi berbareng dua titik air mata membasahi pipinya, lalu kembali dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

"Tidak mungkin... dosaku terhadap Suhu dan Siauw-lim-pai tidak boleh kuhindari, aku harus kembali kesana. Lu-cici kau pergilah, tinggalkan aku. Budimu sudah terlampau banyak. Cin... cinta kasihmu takkan kulupakan selama hidupku. Kau tinggalkanlah aku, biar kuhadapi sendiri kemarahan Suhu."

Lu Sian menciumnya. Timbul rasa sayangnya kepada pemuda ini, rasa sayang yang terdorong rasa haru mendengar betapa pemuda ini amat mencintainya, cinta sungguh-sungguh, cinta yang membuat pemuda itu sanggup berkorban untuknya. Belum pernah ia dicinta orang seperti ini, kecuali... kecuali agaknya... cinta kasih Kwee Seng yang telah mati!

"Tidak, aku tidak akan pergi dari sampingmu. Mereka itu boleh saja datang dan mereka hanya akan dapat mengganggu dirimu jika aku sudah menjadi mayat!"

"Lu-cici... ah, Lu-cici...!"

Kwan Bi merangkul dan roboh pingsan pula. Guncangan jantungnya akibat rasa haru dan kasih ini membuat napasnya sesak dan luka itu menyerangnya lagi, membuatnya pingsan.

Lu Sian cepat menaruh telapak tangan kirinya ke atas dada yang terpukul, lalu sambil duduk bersila ia mengerahkan sinkang-nya untuk membantu kekasihnya memanaskan jalan darah, memperkuat hawa sehingga luka itu akan cepat sembuh. Ia duduk dalam keadaan begini sampai senja terganti malam. Bulan sudah muncul sore-sore dan keadaan menjadi terang seperti siang. Tiba-tiba Lu Sian terkejut oleh suara bentakan.

"Perempuan tak bermalu! Kau serahkan murid Siauw-lim-pai yang murtad itu kepada kami!"

Lu Sian terkejut sekali, akan tetapi ia tidak melepaskan tangannya dari atas dada Kwan Bi. Ia hanya mengerling dan tampaklah olehnya empat orang berdiri tidak jauh dari pohon. Yang seorang adalah wanita yang tadi hendak menggeledahnya, maka ia memandang rendah. Yang tiga adalah laki-laki semua, yaitu murid-murid Siauw-lim-pai yang tadi ia lihat ikut menghadang di pintu.

Dua orang berusia empat puluh lebih. Yang seorang lagi paling banyak berumur empat puluh, mukanya putih halus seperti pemuda belasan tahun, tubuhnya kecil akan tetapi matanya berkilauan terkena cahaya bulan. Orang kedua berkumis kecil panjang bergantung ke bawah, sedangkan orang ke tiga bermuka kurus sehingga tulang-tulang pipinya menonjol ke luar, tampak menyeramkan.

"Cih, perempuan tak tahu malu. Menculik laki-laki!" Wanita yang bukan lain adalah Tan Liu Nio murid Siauw-lim-pai itu mencaci.






Panas hati Lu Sian. Wataknya yang nakal membuat ia sengaja memanaskan hati orang. Ia menunduk, merangkul leher dan mencium Kwan Bi yang masih pingsan dengan mesra dan lama! Dengan hati geli ia mendengar betapa Tan Liu Nio mengeluarkan suara menyumpah-nyumpah dan meludah, sedangkan laki-laki berkumis itu membentak lagi.

"Kami mengingat ayahmu ketua Beng-kauw, dengan baik-baik minta kembalinya adik seperguruan kami. Akan tetapi bukan berarti kami takut kepadamu! Jangan sesalkan kami kalau kami menggunakan kekerasan apabila kau membangkang!"

Lu Sian tertawa mengejek dan ringan bagaikan seekor kupu-kupu ia melompat ke atas cabang pohon dan dari situ ia melayang turun. Indah sekali gerakannya, indah seperti seorang dewi kahyangan menari dan seperti seekor kupu-kupu terbang melayang mencari madu kembang. Dengan ringan sekali ia melompat pula ke depan empat orang murid Siauw-lim-pai itu sambil berkata.

"Betul kalian tidak takut kepadaku? Kalau tidak takut, kenapa kalian mau mengeroyokku berempat?" Lu Sian berkata sambil tersenyum manis.

"Siapa hendak mengeroyok? Tak tahu malu! Kami orang-orang Siauw-lim-pai bukanlah pengecut yang suka mengandalkan jumlah banyak mencari kemenangan!" bentak si Muka Halus yang bernama Long Kiat.

"Aih, aih, begitukah? Jangan-jangan hanya untuk bersombong saja begitu, nanti kalau sudah terdesak lalu melolong-lolong minta bantuan kawan dan sambil menebalkan muka kalian berempat maju berbareng!"

"Cukup, kami datang bukan untuk berdebat!" kata si Kumis yang bernama Lo Keng Siong. "Kuulangi lagi, kami datang untuk membawa pulang Yap Kwan Bi, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau!"

"Wah, jangan galak-galak. Bagaimana tidak ada sangkut-pautnya dengan aku? Kalian hendak membawa pulang dia untuk dipukul lagi? Untuk dihukum? Enak saja! Aku yang tidak suka membiarkan dia disiksa."

Si Muka Kurus yang bernama Tan Bhok, kakak misan Tan Liu Nio, tak sabar lagi. Ia membentak sambil menudingkan telunjuknya yang hanya tulang terbungkus kulit itu ke arah muka Lu Sian,

"Bocah setan banyak tingkah! Kami datang berurusan dengan Sute kami sendiri, mengapa kau turut campur? Kau berhak apakah mencampuri urusan dalam orang-orang Siauw-lim-pai seperti kami?!"

"Huh, kalian berempat dan semua orang Siauw-lim-pai yang tak tahu malu! Kalian semua berhak apa mencampuri urusan pribadi Yap Kwan Bi dan aku? Kami saling mencinta, kalian tahu? Kami saling mencinta, dan kami berhak, sama-sama muda sama-sama suka, kalian mau apa? Tentu saja aku tidak membiarkan kalian membawa pergi Yap Kwan Bi yang sudah terluka oleh si Keledai Gundul tadi!"

"Kurang ajar kau! Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kau mundur dan jangan mencampuri urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong marah.

"Tidak bisa tidak aku mencampuri urusan Yap Kwan Bi. Pendeknya, aku melarang kalian membawanya pergi, habis perkara!"

"Kau menantang?" kumis Lo Keng Siong bergerak-gerak.

"Terserah! Aku sudah berjanji bahwa orang hanya dapat membawa tubuh Yap Kwan Bi kalau aku sudah menjadi mayat!"

"Iblis betina, kau sudah bosan hidup?"

"Hi-hik, kalian hendak mengeroyok?" Lu Sian mengejek. "Kunasehatkan kalian, kalau memang hendak memaksa dan hendak menyerangku, lebih baik kalian maju berempat mengeroyokku, karena kalau maju seorang demi seorang berarti mengantar nyawa dengan sia-sia!"

"Perempuan sombong!" bentak Liong Kiat marah. "Twa-suheng, biar siauwte mengusir iblis betina ini!"

"Eh, eh, benar-benar hendak maju satu-satu? Awas, aku sudah memberi peringatan. Karena Kwan Bi juga murid Siauw-lim-pai, aku tidak bermaksud memusuhi Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau kalian mendesak, jangan salahkan kaki tanganku yang tidak bermata."

"Sombong!"

Liong Kiat sudah menerjang dengan Ilmu Silat Tangan Kosong Lo-han-kun yang terkenal tangguh itu. Dengan kuda-kuda terpentang dan langkah diseret hampir berbareng, ia melancarkan pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan pusar. Berat dan mantap pukulan ini, mendatangkan angin pukulan yang mengeluarkan bunyi menderu.

Lu Sian menggerakkan tangannya dengan jari terbuka. Dengan telapak tangannya ia menerima kedua kepalan tangan lawan hingga telapak dan kepalan itu saling menempel. Saat itu juga Lu Sian dapat merasakan tekanan tenaga si Muka Halus amatlah kuatnya. Ia tidak melawan, melainkan meminjam tenaga pukulan Liong Kiat. Kedua kakinya diayun ke belakang sehingga tubuhnya terangkat naik ke atas dengan kedua tangan masih menempel pada kepalan lawan.

Selagi Liong Kiat terkejut sekali menyaksikan penyambutan lawan yang luar biasa ini, tiba-tiba Lu Sian sudah mengirim pukulan dengan sodokan jari tangan kanannya mengarah ubun-ubun kepalanya. Karena pada saat itu tubuh Lu Sian berada tepat di atasnya, maka serangan itu luar biasa dahsyat dan bahayanya, amat cepat datangnya sehingga sukar ditangkis lagi!

"Sute, awas....!"

Lo Keng Siong berseru kaget sekali sambil lompat mendekat diikuti Tan Bhok dan Tan Liu Nio.

Pada saat yang amat berbahaya itu, Liong Kiat masih sempat memperlihatkan bahwa murid Siauw-lim-pai tidaklah semudah itu dirobohkan. Ia membuang tubuhnya ke belakang, roboh terjengkang bagaikan sepotong balok kayu.

Akan tetapi begitu pundaknya menyentuh tanah, ia sudah melakukan poksai (salto) ke belakang, berjungkir balik sampai tiga kali. Ia berdiri dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Bergidik ia kalau teringat betapa dalam segebrakan saja ia tadi sudah hampir tercengkeram maut.

Lu Sian sudah berdiri sambil tersenyum manis. Memang kepandaian Lu Sian sekarang jauh bedanya dengan ketika ia mula-mula meninggalkan suaminya, Kam Si Ek. Sekarang ia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat. Ginkang-nya sudah terlatih baik dan yang ia warisi dari Tan Hui adalah ilmu ginkang yang terhebat di jaman itu. Juga ia telah mempelajari tiga macam kitab Sam-po-cin-keng dari ayahnya, maka baik ilmu silat tangan kosong mau pun ilmu pedangnya sudah meningkat beberapa kali lipat, ditambah gerakan yang luar biasa cepatnya berkat ginkang Coan-in-hui.

"Sudah kukatakan, lebih baik kalian mundur dan jangan ganggu aku dan Yap Kwan Bi. Atau kalau kalian nekad mengajak berkelahi, majulah berbareng. Kalau satu-satu, percuma, tidak akan ramai!"

Bukan main pedas dan tajamnya kata-kata ini memasuki dada keempat orang murid Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi melihat kenyataan bahwa memang ilmu kepandaian wanita ini seperti iblis, dia memang bukan lawan mereka kalau maju seorang demi seorang. Bahkan seandainya Cheng Han Hwesio sendiri yang maju, belum tentu saudara seperguruan itu akan dapat menandingi Lu Sian.

"Kau menantang kami maju berempat?" kata Lo Keng Siong hati-hati.

"Hi-hik, mengapa tanya-tanya lagi? Majulah bersama, biar lebih asyik aku melayani kalian berempat."

"Bukan kami takut maju seorang demi seorang, akan tetapi kau menantang dan kau terlalu menghina. Ji-wi Sute (Kedua Adik Seperguruan) dan Sumoi, mari kita basmi iblis betina sombong ini!"

Seru Lo Keng Siong sambil mencabut senjatanya, sebatang ruyung berwarna hitam yang tadinya ia sembunyikan di bawah bajunya.

Tan Liu Nio dan Liong Kiat mencabut pedang masing-masing, sedangkan Tan Bhok mengeluarkan senjatanya yang hebat, yaitu sehelai rantai baja. Mereka segera mengambil kedudukan empat penjuru, mengurung Lu Sian dengan gerakan perlahan dan langkah teratur, mata tak berkedip memandang lawan yang terkurung di tengah-tengah!

Lu Sian masih tersenyum, kedua kakinya membuat kuda-kuda menyilang. Tubuhnya miring, kedua lengannya diangkat ke atas, melengkung di atas kepala dengan jari-jari tangan terbuka. Pasangan kuda-kudanya ini amat manis seperti orang menari, akan tetapi menyembunyikan kesiap-siagaan yang lengkap dan gagah.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar