FB

FB


Ads

Selasa, 09 April 2019

Suling Emas Jilid 093

"Huh! Sudah menjadi kewajiban seorang isteri untuk mengurus rumah tangga, melayani suami dan memelihara anak. Kemana pun si suami pergi, si isteri harus mengikutinya. Sebelum menikah denganmu, Kam Si Ek memang sudah terkenal sebagai seorang patriot, mana ia sudi menuruti kehendakmu meninggalkan tugasnya? Sayang dia menjadi orang Shan-si, kalau dia menjadi penduduk sini dan membantu negara kita, alangkah baiknya. Dan kau meninggalkannya begitu saja? Anak durhaka! Perbuatanmu ini akan mengotori pula namaku sebagai ayahmu. Tahu??"

Lu Sian tidak tahan mendengar maki-makian ayahnya dan ia lari ke kamarnya dengan muka merah, menutup diri dalam kamar tidak mau keluar lagi. Ia memeras otak. Agaknya tinggal di rumah ayahnya pun tidak akan menyenangkan, pikirnya. Pula, setelah ayahnya marah-marah, agaknya tidak mungkin tercapai pengharapannya, yaitu menerima ilmu-ilmu tinggi dari ayahnya.

Oleh karena inilah, maka pada malam hari itu juga, ia menyelinap masuk ke dalam kamar pusaka ayahnya, mengambil tiga kitab rahasia, simpanan ayahnya yang oleh ayahnya disebut Sam-po Cin-keng (Kitab Tiga Pusaka), lalu malam itu juga ia meninggalkan ayahnya!

Tiga buah kitab itu adalah pusaka yang amat dirahasiakan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Sebuah kitab merupakan pelajaran inti Ilmu Khi-kang Coam-im-I-hun-to (Suara Merampas Semangat Orang) dan kitab ke tiga adalah inti pelajaran Ilmu Silat Beng-kauw-kun (Ilmu Silat Beng-kauw) yang merupakan ciptaan baru dengan maksud untuk dijadikan pegangan bagi para pimpinan Beng-kauw. Ilmu silat ini adalah gabungan daripada semua ilmu silat yang pernah diajarkan ayahnya kepada Lu Sian, yaitu Pat-mo-kun, Sin-coa-kun, dan Toa-hong-kun.

Dengan semangat besar Lu Sian mempelajari ilmu-ilmu ini. Beng-kauw-kun dapat ia pelajari dengan mudah Karena ia sudah mengenal tiga macam ilmu silat itu, maka tentu saja lebih mudah baginya untuk menghafal dan melatih diri dengan ilmu silat gabungan yang amat hebat ini.

Akan tetapi untuk melatih kedua ilmu perampas semangat melalui suara dan pandang mata, bukanlah pekerjaan mudah. Untuk itu ia harus memperkuat sin-kang dan khi-kangnya lebih dahulu, maka setiap kali ada kesempatan, ia lalu bersamadhi dan melatih tenaga dalam menurut petunjuk kitab-kitab itu.

Di samping melatih diri dengan kitab-kitab yang ia curi dari ayahnya, juga Liu Lu Sian mulai mencari keterangan perihal suling emas seperti yang ia dengar dari Bu Tek Lojin. Kakek yang amat sakti, dan kalau kakek itu sendiri menginginkan suling emas yang katanya menjadi rahasia akan ilmu silat yang paling tinggi, tentu suling emas itu merupakan benda keramat yang tak ternilai harganya. Akan tetapi tak seorang pun diantara orang-orang kang-ouw yang ia tanyai, tahu akan benda keramat itu.

Ia merantau terus ke timur dan masuklah ia di daerah yang termasuk wilayah Kerajaan Min (Hok-kian sekarang). Pada suatu hari menjelang senja ia tiba di kota Kim-peng yang ramai dengan perdagangan dan banyak dikunjungi orang luar kota. Lu Sian masuk ke dalam sebuah rumah penginapan An-hoa, tidak mempedulikan pandang mata banyak laki-laki yang berada di ruangan depan. Seorang pelayan terbongkok-bongkok datang menyambutnya, dan melihat pedang di pinggang Liu Lu Sian, pelayan itu bersikap hormat.

"Bung Pelayan, sediakan sebuah kamar yang bersih untukku!" kata Lu Sian lantang.

"Maaf, Li-hiap (Pendekar Wanita), maaf... semua kamar telah penuh. Dan agaknya di seluruh rumah penginapan dalam kota ini tidak ada lagi kamar kosong karena kota Kim-peng kita kebanjiran tamu yang hendak menyaksikan perayaan besar di kuil Siauw-lim-si."

Mendongkol sekali rasa hati Lu Sian. Kalau ia kemalaman di hutan, sudah biasa baginya tidur di atas pohon atau di dalam guha, akan tetapi kalau ia berada di kota seperti sekarang ini tentu saja ia ingin bermalam dalam sebuah kamar rumah penginapan.

"Ah, tidak bisakah kau mencarikan sebuah kamar untukku?" tanyanya, suaranya kecewa dan menyesal.

"Sungguh mati, saya merasa menyesal sekali, Nona. Kami akan senang sekali dapat melayani Nona, akan tetapi apa hendak dikata, banyak sekali tamu berkunjung dan sebelum Nona datang, sudah banyak pula tamu yang terpaksa kami tolak karena sudah kehabisan kamar."

Lu Sian menghela napas panjang. Menurutkan kemendongkolan hatinya, ingin ia memaksa dan menggunakan kekerasan, akan tetapi ia tekan perasaan ini dan ia sudah membalikkan tubuh hendak meninggalkan rumah penginapan An-hoa itu ketika tiba-tiba terdengar orang berkata.

"Nona, mencari kemana pun tidak akan ada gunanya. Lebih baik kau bermalam di kamarku, semalam atau selamanya pun boleh!"






Lu Sian memandang. Laki-laki itu usianya sudah tiga puluh tahun lebih, wajahnya bundar gemuk seperti bola, basah oleh peluh, baju di dadanya terbuka, agaknya karena hawa yang panas, sehingga tampak dadanya yang gemuk berdaging. Matanya sipit, mulutnya menyeringai, sikapnya kurang ajar. Dia ini duduk menghadapi meja bersama tiga orang laki-laki lain yang tersenyum-senyum menahan ketawa.

Hati Lu Sian yang sudah mendongkol itu kini mendidih, akan tetapi hanya dugaannya saja laki-laki ini main-main dengannya, kenyataannya belum terbukti, maka ia lalu berkata,

"Terima kasih atas kebaikan tuan memberikan kamar tuan kepada saya. Akan tetapi tuan sendiri lalu hendak tidur dimana?"

Laki-laki gendut itu tertawa menyeringai memandang kepada tiga orang kawannya yang juga tertawa gembira. Kemudian dia bangkit berdiri dan melangkah maju mendekati Lu Sian sambil berkata,

"Aiihhh, Nona, mengapa repot-repot? Kamar yang kusewa itu selain bersih, juga cukup lebar sehingga cukup untuk kita berdua. Kalau sudah pulas aku tidak banyak bergerak!"

"Ha-ha-ha-ha! Heh-heh-heh!" Tiga orang kawannya terpingkal-pingkal. "Memang tidak banyak bergerak akan tetapi kalau sudah pulas! Ha-ha!" Si Gendut berkata lagi.

Meledak rasanya hati Lu Sian saking marahnya. Pada saat itu muncul seorang pemuda dari kiri, seorang pemuda yang sejak tadi duduk di meja sudut, berpakaian serba kuning. Cepat ia melangkah maju dan menjura kepada Lu Sian sambil berkata,

"Nona, harap jangan melayani mereka. Kau pakailah kamarku, aku dapat tidur bersama dua orang suhengku di kamar belakang..."

Akan tetapi Lu Sian sudah tidak sudi mendengarkan omongan orang lain lagi karena matanya sudah memancarkan cahaya berapi ditujukan kepada si laki-laki gendut. Tiba-tiba tubuhnya bergerak ke depan, sukar diikuti pandang mata saking cepatnya dan...

"plak-plak-plak-plak!"

Muka dan tubuh laki-laki gendut itu dihajar habis-habisan oleh kedua tangan Lu Sian, tanpa sedikit pun memberi kesempatan pada Si Gendut untuk mengelak, membalas, bahkan bernafas.


Tubuh Si Gendut itu seperti di sambar petir, tersentak ke kanan kiri, ke belakang, terhuyung-huyung dan akhirnya roboh menabrak kursi, kulit mukanya hancur mandi darah, kedua matanya menonjol keluar, hidungnya remuk, telinga kirinya hilang dan napasnya empas-empis mau putus!

"Hayo, mana kawan-kawannya? Maju semua, biar kuhabiskan nyawanya! Bedebah! Keparat bermulut kotor! Hayo kalian bertiga kawannya, bukan? Kalian tadi menertawai aku? Maju semua! Pengecut, anjing bernyali tikus kalian kalau tidak berani maju!" Lu Sian dengan kemarahan meluap-luap menantang dan memaki.

Pemuda pakaian kuning itu agaknya terkejut menyaksikan sepak terjang Lu Sian yang demikian ganas, juga amat kaget mendapat kenyataan bahwa Lu Sian memiliki kepandaian sehebat itu, terbukti dari gerakan tubuhnya yang ringan tangkas sekali.

Si Gendut dan tiga orang kawannya adalah sebangsa buaya darat yang biasa mencari perkara dan mencari keuntungan di tempat-tempat ramai. Tiga orang buaya darat itu melihat kawannya dihajar setengah mati, menjadi kaget dan marah. Tadi mereka hanya melongo karena sedemikian cepatnya Lu Sian bergerak sehingga mereka tak sempat menolong kawan. Kini mereka bangkit serentak dan "sratt-sratt-sratt!" tangan mereka telah mencabut golok.

"Awas...! Lari...!!"

Pemuda baju kuning berteriak kaget kepada tiga orang itu. Namun terlambat! Sinar merah mernyambar dari tangan Lu Sian, tidak hanya ke arah tiga orang buaya darat itu, akan tetapi juga ada yang menyambar ke arah pemuda baju kuning.

Pemuda itu dengan gerakan tangkas miringkan tubuh dan tangannya menyambar sebatang jarum Siang-tok-ciam sambil melompat mundur. Akan tetapi tiga orang buaya darat itu sudah terjengkang dan merintih-rintih karena dada mereka sudah tertusuk jarum-jarum berbisa yang dilepas oleh Lu Sian tadi!

"Ah, jarum beracun yang hebat!" Pemuda baju kuning itu berseru kaget sambil meneliti jarum merah di tangannya. Kemudian ia melangkah maju mendekati Lu Sian, menjura sambil berkata. "Nona, kumohon dengan hormat sudilah kiranya Nona mengampuni mereka ini dan memberi obat penyembuh racun."

Lu Sian melirik dengan pandang mata dingin.
"Hemm, kau memiliki kepandaian juga!" katanya, hatinya panas karena jarumnya dapat ditangkap oleh pemuda itu. "Apakah kau kawan mereka dan hendak membela mereka?" Ucapan terakhir ini dikeluarkan dengan nada suara mengancam.

Pemuda itu tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Sama sekali bukan, Nona. Sobodoh-bodohnya orang macam Yap Kwan Bi ini, masih belum begitu tersesat untuk bersahabat dengan segala macam buaya darat."

Lu Sian merasa heran sekali mengapa hatinya menjadi lega mendegar bahwa pemuda yang tampan sekali ini bukan sahabat penjahat-penjahat itu. Pemuda ini amat tampan, mukanya halus seperti muka wanita, matanya lebar dan memandang dunia dengan jujur dan berani, senyumnya manis dan dagunya mempunyai belahan yang membayangkan sifat jantan, alisnya seperti golok dan amat hitam.

"Kalau bukan sahabat, mengapa kau mintakan ampun?"

Tanyanya, masih mengagumi wajah yang amat tampan dan benuk tubuh yang tegap dan padat.

"Nona, aku tahu bahwa kau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan orang-orang ini mencari mampus berani mengeluarkan ucapan menghina dan kurang ajar terhadapmu. Akan tetapi, nyawa manusia bukanlah nyawa ayam yang mudah dicabut begitu saja. Pula, dengan melayani segala cacing kecil macam mereka ini, bukankah berarti merendahkan kepandaian sendiri? Mereka sudah cukup mendapat pengajaran, maka sepatutnya kalau mereka diampuni dan diberi obat penawar racun. Alangkah tidak baiknya kalau kota yang tenteram ini dikotori oleh pembunuhan yang disebabkan hal-hal kecil! Aku Yap Kwan Bi yang bodoh mengharapkan kebijaksanaan Nona."

Pemuda itu bicara dengan teratur dan sopan, halus dan mengesankan. Seketika lenyap kemarahan di hati Lu Sian, seperti awan tipis tertiup angin. Ia mencibirkan bibirnya dan pemuda itu memejamkan matanya karena jantungnya sudah jungkir balik di dalam dada. Bukan main wanita ini, pikirnya. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan wanita secantik ini, dan ketika bibir yang kecil mungil dan merah membasah itu mencibir, memuncaklah daya tariknya sehingga ia hampir jatuh berlutut.

Ketika pemuda itu membuka matanya, Lu Sian telah mengeluarkan obat bubuk berwarna kuning, memberikan tiga bungkus kepada tiga orang buaya darat itu sambil berkata,

"Cabut jarum-jarum itu dan bersihkan, lalu berikan kepadaku!"

Tiga orang itu dengan tubuh menggigil menahan sakit membuka baju dan mencabut jarum-jarum yang menancap di dada mereka, dua batang seorang. Setelah membersihkan jarum-jarum itu dengan baju, mereka menyodorkannya kepada Lu Sian yang menerima dan menyimpannya.

"Sekarang minum obat ini seorang sebungkus dengan arak!"

Tergesa-gesa mereka membuka bungkusan obat, meminumnya dengan arak dan seketika rasa gatal-gatal dan panas pada tubuh mereka lenyap. Mereka segera menjatuhkan diri, mengangguk-anggukkan kepala sampai dahi mereka membentur lantai di depan Lu Sian.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar