FB

FB


Ads

Minggu, 07 April 2019

Suling Emas Jilid 090

Kemudian tiba gilirannya untuk bercerita. Seperti telah diceritakan oleh mendiang Ang-siauw-hwa atau Khu Kim Lin mendiang saudara kembarnya kepada Kwee Seng, dia dan Kim Lin adalah anak kembar dari seorang pangeran bernama Khu Si Cai, seorang Pangeran Kerajaan Tang. Khu Si Cai ini, adalah adik ipar Raja Muda Couw Pa Ong yang terkenal.

Ketika terjadi perang yang mengakibatkan tumbangnya Kerajaan Tang, keluarga Kaisar dan para bangsawan menjadi korban. Tak terkecuali keluarga Pangeran Khu yang ikut terbasmi. Sepasang bocah kembar yang baru berusia lima tahun itu dapat diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa lari keluar pada saat istana pangeran itu diserbu musuh dan dibakar.

Dalam pelarian ini mereka bertemu keributan perang sehingga akhirnya Khu Gin Lin terlepas dari gandengan tangan pelayannya membuat ia terpisah dari saudara kembarnya. Anak ini menangis sambil lari ke sana kemari, jatuh bangun ditabrak orang-orang yang sedang melarikan diri dari perang.

Akhirnya ia jatuh pingsan di tengah jalan hampir saja diinjak-injak orang yang sedang panik itu kalau saja tidak ditolong oleh seorang tosu (pendeta To) yang kebetulan lewat. Tosu ini sudah tua sekali, mukanya pucat dan melihat seorang anak perempuan menggeletak di jalan, hampir terinjak-injak, cepat ia menyambarnya dan membawanya pergi cepat-cepat.

"Tosu itu adalah Kwan Cin Cun, seorang tokoh Thian-san-pai yang terkenal sebagai seorang patriot pembela Kerajaan Tang, sahabat baik dari Paman Sin-jiu Couw Pa Ong."

Demikian Gin Lin melanjutkan ceritanya.
"Dia tidak tahu bahwa aku adalah keponakan Couw Pa Ong. Seperti juga Pamanku itu yang terluka hebat, malah menjadi lumpuh kedua kakinya, Suhu Kwan Cin Cu terluka parah di sebelah dalam dadanya, luka yang tak mungkin dapat disembuhkan lagi karena ia telah terkena pukulan beracun yang hebat. Dia membawaku ke Neraka Bumi dan kebetulan sekali saat itu musim kering sehingga lebih mudah memasuki Neraka Bumi. Neraka Bumi sebetulnya adalah tempat bertapa kakek gurunya, yaitu sucouw (kakek guru) dari Thian-san-pai, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh Suhu Kwan Cin Cu. Aku dibawa ke tempat itu, lalu ia melatihku membaca kitab dan juga dasar-dasar ilmu silat. Sayang sekali, ketika aku berusia dua belas tahun, Kwan Suhu meninggal dunia karena lukanya yang memang hebat sekali."

"Hemm, seorang sakti seperti dia, mengapa menyembunyikan diri dan tidak mau keluar lagi?" Kim-mo Taisu mencela.

"Dia sudah putus harapan. Katanya kepadaku, daripada keluar dari Neraka Bumi melihat negeri dijajah orang, lebih baik ia bersembunyi dan bertapa sampai mati. Selama mendidikku, ia menanamkan kesan betapa buruknya dunia, betapa jahatnya manusia, betapa berbahayanya hidup seorang gadis muda. Oleh karena itulah maka aku lalu membuat kedok nenek-nenek dan tak pernah mau keluar dari Neraka Bumi, sampai... sampai.... Thian membawamu masuk ke sana dan... dan... lahirnya Eng Eng."

Jari-jari tangan Gin Lin mencengkram jari-jari tangan suaminya dan keluarlah getaran-getaran kasih dari jari tangan mereka.

Ketika mereka berempat tiba di rumah kediamannya Couw Pa Ong, ternyata kakek lumpuh itu telah berada disitu, bahkan berdiri menanti di depan pintu. Bu Song memandang dengan kagum dan juga serem kepada kakek sakti itu. Ada pun Kim-mo Taisu segera maju dan memberi hormat dengan kikuk, karena sebetulnya, sebagai tokoh kang-ouw, ia enggan memberi hormat berlebihan, akan tetapi mengingat bahwa orang ini paman isterinya, tidak enak pula kalau tidak memberi hormat.

Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tertawa bergelak, kelihatannya girang sekali.

"Sudahlah, tidak perlu banyak sungkan, kita orang sendiri ha-ha-ha! Alangkah girang hatiku mendapat kenyataan bahwa suami keponakanku adalah Kim-mo Taisu! Sungguh menyenangkan, ini berarti bahwa Dinasti Kerajaan Tang masih belum saatnya lenyap dari permukaan bumi! Kim-mo Taisu, dengan adanya engkau sebagai keluarga kami, maka kekuatan untuk memulihkan kekuasaan Kerajaan Tang menjadi makin besar.

"Maaf, Ong-ya, eh... Paman, akan tetapi saya sama sekali tidak ada minat untuk memikirkan soal kerajaan, saya tidak akan ikut-ikut...."

"Ha-ha-ha, coba saja kita sama-sama lihat! Aku Kong Lo Sengjin adalah seorang buronan, dicap sebagai musuh kerajaan yang sekarang berkuasa, juga isterimu dianggap sebagai anggota pemberontak, keluarga bekas Kerajaan Tang. Kalau isterimu dimusuhi, apakah kau sebagai suaminya tidak?"






Kim-mo Taisu mengerutkan keningnya.
"Kalau begitu, saya akan ajak isteri, anak dan murid saya untuk menjauhkan diri, mengungsi di tempat sunyi, hidup mengasingkan diri di tempat aman tenteram."

Keng Lo Sengjin membanting-banting tongkatnya ke atas tanah.
"Gin Lin! Kau dengar kata-kata suamimu? Apa kau sudah lupa lagi, akan keluarga Ayah Bundamu yang terbasmi?"

"Paman, harap bersabar. Aku akan mengikuti suamiku ke manapun juga ia pergi. Tentang sakit hati keluarga, sampai mati pun keponakanmu ini tidak akan lupa."

"Haaahhh, pergilah...!"

Mulutnya bilang begitu akan tetapi kakek ini sendirilah yang pergi jauh dari rumah itu, dengan gerakan cepat sekali, berloncat-loncatan menggunakan kedua "kaki" nya yang berupa sepasang tongkat.

Gin Lin lalu berbenah, dibantu oleh tiga orang pembantu rumah tangga yaitu A-kwi, A-liong, dan Sam-hwa yang ternyata bukanlah pembantu rumah tangga sembarangan saja karena ketiga orang ini adalah bekas-bekas panglima pembantu Kong Lo Sengjin ketika kakek ini masih menjadi Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong!

Setelah selesai, dengan terharu Gin Lin berpamit dari tiga orang pembantu ini, dan mereka pun kelihatan terharu, apalagi Sam-hwa yang menangisi kepergian Eng Eng yang ia anggap sebagai cucunya.

"Harap kalian bertiga jangan terlalu sedih." Akhirnya Gin Lin berkata. "Betapapun juga, waktu akan membawa kita berkumpul dalam perjuangan yang sama."

Kata-kata ini agaknya menyadarkan mereka dan berserilah wajah mereka malah mereka mengantar keluarga itu sampai jauh keluar hutan. Setelah mereka berpisah, Kim-mo Taisu bertanya apa artinya ucapan isterinya ketika berpisah tadi.

Gin Lin menarik napas panjang.
"Mereka itu adalah bekas panglima dan pejuang pembela Kerajaan Tang. Seperti juga Paman dan aku sendiri, kita kehilangan keluarga, menyaksikan betapa keluarga terbasmi habis, betapa kerajaan runtuh diobrak-abrik dan dirampok, diperkosa, dihina oleh musuh. Anehkah kalau di lubuk hati kita masing-masing terpendam perasaan dendam yang tak dapat dipadamkan sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali? Kakek sudah berusaha keras, dan dengan kawan-kawan seperjuangan telah berhasil menjatuhkan Kerajaan Tang Muda, akan tetapi hanya berhasil mempertahankan selama tiga belas tahun saja, dan Kerajaan Tang Muda kembali jatuh di tangan musuh yang mendirikan Kerajaan Cin Muda. Ah, sebelum Kerajaan Tang bangkit kembali seperti dahulu, agaknya hati kita masih akan tetap mengandung dendam."

Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, akan tetapi tidak menjawab apa-apa. Baginya, perasaan dendam itu tidak ada dan tak dapat ia merasai atau mengerti apa yang diutarakan isterinya itu, karena ia sendiri tidak pernah melibatkan diri dengan urusan negara.

"Yang terpenting kita mendidik Eng Eng dan Bu Song." Akhirnya ia berkata, "dan kalau kita terlibat urusan perang, bagaimana kita mampu mendidik anak-anak itu? Mari kita pergi ke tempat yang tenteram dan jauh daripada keributan."

"Ke manakah? Asal jangan ke Neraka Bumi!"

Gin Lin berkata dan meremang bulu tengkuknya kalau ia membayangkan betapa puterinya harus hidup di neraka itu!

"Tempat yang baik dan berjasa." Kim-mo Taisu berkata, melamun.

"Ihhh, neraka itu kau anggap baik?"

Suaminya tersenyum dan memegang tangan Si Isteri.
"Kalau tidak ada Neraka Bumi, bagaimana kita bisa saling berjumpa?"

Gin Lin menjadi merah sekali mukanya, ia membuang senyum dan berkata.
"Sudahlah, kemana kita sekarang pergi?"

"Ke Min-san!"

Selama tinggal di Neraka Bumi dan ditinggal mati Kwan Cin Cu, Gin Lin membaca kitab-kitab dan banyak tahu akan teori ilmu silat sambil melatih diri sedapatnya. Biarpun kurang sempurna karena kurang bimbingan, namun dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga, maka dalam perjalanan jauh itu mereka tidak mengalami banyak kesulitan.

Apabila mereka melalui jalan yang sukar, Gin Lin menggendong puterinya sedangkan Kim-mo Taisu menggandeng tangan Bu Song atau kadang-kadang juga memondongnya. Setelah melakukan perjalanan beberapa bulan lamanya, akhirnya mereka sampai juga ke Puncak Min-san di mana Kim-mo Taisu lalu membangun sebuah pondok sederhana untuk tempat tinggal mereka, jauh dari pada dunia keramaian.

Mulai saat itu, Bu Song dan Eng Eng menerima gemblengan dari Kim-mo Taisu dan isterinya. Akan tetapi oleh karena Bu Song masih saja kukuh tidak mau mempelajari ilmu silat, maka hanya Eng Eng saja yang menerima latihan ilmu silat, sedangkan Bu Song mendapat pelajaran ilmu sastra.

Seperti kita ketahui, Kim-mo Taisu Kwee Seng ini dahulu adalah seorang mahasiswa yang tak pernah lulus dalam ujian. Biarpun ia lebih gemar ilmu silat, namun sesungguhnya ia bukanlah seorang yang bodoh dalam ilmu sastra. Tidak, bahkan ia amat pandai. Hanya pada masa itu, untuk dapat lulus dalam ujian tidaklah mudah. Nafsu korupsi sudah menjadi penyakit wabah yang menyerang seluruh pembesar yang berhak memeriksa ujian, jangan harap seorang mahasiswa akan dapat lulus dalam ujian. Kim-mo Taisu Kwee Seng adalah seorang yang berjiwa pendekar, tentu saja ia tidak sudi untuk melakukan penyuapan, tidak mau ia lulus ujian yang membuat ia gagal terus dalam ujian lagi.

Karena memang pandai dalam ilmu sastra, tentu saja ia dapat mengajarkan ilmu itu kepada Bu Song. Akan tetapi, di samping ilmu menulis dan membaca sajak ini, diam-diam Kim-mo Taisu menurunkan pelajaran dasar-dasar ilmu silat yang secara cerdik ia masukkan ke dalam pelajaran yang ia sebut ilmu kesehatan dan ilmu pengobatan.

Dalam diri Bu Song memang terdapat bakat istimewa, maka segala macam pelajaran dapat ia terima dengan mudah. Bahkan dalam latihan samadhi dan peraturan napas penyaluran jalan darah, ia jauh lebih maju daripada Eng Eng.

Bertahun-tahun keluarga ini hidup bersunyi, hanya bertetangga penduduk gunung yang tinggal di lereng Min-san. Hanya sepekan sekali keluarga ini dapat bertemu orang, karena penduduk tidak ada yang berani naik ke puncak yang sukar itu. Namun mereka hidup penuh ketenteraman dan kebahagiaan.

**** 090 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar