Naik sedu-sedan dari dada wanita itu ketika ia menarik napas panjang.
"Kwee-koko, apakah kau tidak mengenal suaraku?"
"Suaramu seperti... seperti suara Ang-siauw-hwa..."
"Ah, alangkah bodohnya kadang-kadang lelaki yang paling pintar di dunia ini! Agaknya tanpa bukti kau takkan mengerti selamanya. Kwee-koko, kau kenalilah aku?"
Wanita itu dengan gerakan cepat mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, menutupi muka dengan benda itu dan ketika ia menurunkan kedua tangannya, Kim-mo Taisu melompat ke belakang sampai dua meter lebih, berdiri terbelalak dengan muka pucat. Bahwa, ternyata nenek penghuni Neraka Bumi yang kini berdiri di depannya!
"Kau...? Kau....?" Ia berkata, suara menggigil dan kakinya melangkah maju.
Gin Lin melepas kedoknya dan melemparnya jauh-jauh.
"Kwee-koko, apakah kau sekarang mengenalku?" katanya sambil mengembangkan kedua lengannya. "Ah, Kwee-koko, betapa rinduku kepadamu...!"
Kim-mo Taisu berdongak dan tertawa bergelak-gelak,
"Kau rindu....? Ah, dan aku..., aku... ah, sampai gila aku memikirkan kau....!"
Bagaikan didorong tenaga mujijat, keduanya saling tubruk dan saling peluk, berdekapan mesra. Gin Lin menangis terisak-isak sedangkan Kim-mo Taisu masih tertawa-tawa akan tetapi kedua matanya bercucuran air mata ketika mereka berpelukan dan berciuman. Kemudian kim-mo Taisu mengangkat tubuh Gin Lin dan ia menari-nari sambil berputar-putar memondong tubuh "nenek" itu.
"Ha-ha-ha-ha! Dan aku menjadi seperti gila menyesali perbuatanku!"
Gin Lin mengusap-ngusap rambut yang terurai itu.
"Kwee-koko, kenapa kau sampai menjadi begini?"
"Apa seperti jembel ini? Ha-ha-ha, agar tepat dengan keadaanmu sebagai seorang nenek-nenek keriputan. Hanya seorang jembel gila yang begitu buta beristerikan seorang nenek. Kau isteriku, ha-ha-ha! Engkau isteriku tercinta!"
Gin Lin memeluk dan mendekap kepala suaminya dengan terharu sambil menangis sedangkan suaminya masih memondongnya dan berjingkrak-jingkrak kegirangan, juga dengan pipi basah air mata. Mereka lupa diri, lupa segala sehingga tidak ingat bahwa anak perempuan tadi memandang mereka dengan bengong, dan anak itu menangis pula menyaksikan mereka mengucurkan air mata.
"Ibu... Ibu....!" Anak itu memanggil.
Kim-mo Taisu tersentak kaget seperti terpukul dadanya. Ia menurunkan Gin Lin dan terhuyung-huyung mundur dengan wajah pucat.
"Kau.. kau... sudah menjadi isteri orang lain...?"
Gin Lin tersenyum dengan air mata masih bercucuran, lalu menggandeng tangan anak itu.
"Eng Eng, dia ini ayahmu, Nak. Kwee-koko, setelah kau pergi, aku... aku melahirkan anak ini. Hanya karena dialah maka aku merobah tekadku untuk mati di Neraka Bumi, aku membawanya keluar mencarimu. Dia ini anakmu, Kwee-koko."
Terdengar rintihan isak di tenggorokkan Kim-mo Taisu. Ia berlutut, memegang kedua tangan anaknya, memandang wajah yang mungil itu, kemudian ia memondongnya sambil tertawa. Tangan kirinya juga menyambar dan memondong tubuh isterinya. Berganti-ganti ia memandang dan menciumi isteri dan anaknya dengan kebahagiaan hati yang sukar dilukiskan. Ia merasa seakan-akan menerima anugerah yang paling besar dan belum pernah selama hidupnya ia mengalami kebahagiaan seperti saat ini.
"Isteriku....! Anakku...! Ah, Kwee seng... Kwee Seng.. agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadamu...!" katanya, suaranya menggetar penuh keharuan.
"Ayah... sudah lama sekali aku mencari-carimu. Ibu seringkali menangis, katanya kau tidak mau menjadi Ayah Eng Eng. Sekarang Ayah sudah disini, mengapa ibu masih menangis? Apa ayah betul-betul tidak suka kepada Eng Eng?"
Ucapan yang keluar dari bibir mungil itu seperti pisau mengiris jantung Kim-mo Taisu. Terasa olehnya betapa ia telah melakukan dosa besar terhadap Gin Lin yang selain telah menolong nyawanya di Neraka Bumi ternyata masih menaruh cinta kasih yang amat besar kepadanya. Sungguh ia telah berdosa. Andaikata Gin Lin benar-benar seorang nenek sekalipun, ia tidak semestinya meninggalkan seorang yang begitu mencintanya.
"Eng Eng. Alangkah manis namamu. Ayah amat cinta dan sayang kepadamu, anakku!" Ia menciumi pipi anaknya.
"Tapi Ayah mengapa menangis? Ibu juga? Mengapa susah?"
"Ayah tidak susah. Lihat, sekarang aku tertawa, dan Ibumu juga!"
Anak itu memandang ayah dan ibunya, benar saja mereka tersenyum dengan air mata membasahi pipi.
"Suhu...!"
Kwee Seng memandang dan ternyata Bu Song sudah muncul disitu.
"Teecu menghaturkan selamat bahwa Suhu telah dapat berkumpul dengan Subo (Ibu Guru) dan... dan adik puteri Suhu." Kata Bu Song dengan pandang mata sejujurnya dan muka ikut bergembira.
Kim-mo Taisu menurunkan tubuh isterinya perlahan. Sambil memondong Eng Eng ia menghadapi muridnya berkata,
"Bu Song, kenapa kau pergi meninggalkan aku tanpa pamit?"
Mendengar suara ayahnya seperti marah dan melihat Bu Song menundukkan kepala, Eng Eng segera menjawab ayahnya.
"Ayah, jangan marah kepadanya. Dialah yang membawa Ibu dan aku kesini menemui Ayah. Bu Song tidak nakal, dia baik, Ayah!"
"Ehh...??"
Kim-mo Taisu memandang isterinya yang tersenyum dan mengangguk, bahkan isterinya lalu memberi penjelasan.
"Muridmu ini bekerja pada kami, mengambil air dari puncak. Ketika mengangsu air untuk kali terakhir, ia melihat kau berhadapan dengan musuh jahat, maka setibanya di rumah kami ia bertemu denganku dan mengatakan bahwa gurunya Kim-mo Taisu, menghadapi bahaya maka ia harus cepat-cepat pergi dari rumah kami, tidak mau kutahan lagi. Aku memang ada dugaan bahwa Kim-mo Taisu adalah engkau, maka aku lalu mengajak Eng Eng dan bersama Bu Song pergi menyusulmu kesini. Kiranya benar-benar kau berhadapan dengan musuh yang tangguh. Baiknya ada Pamanku Couw Pa Ong yang membantumu."
"Couw Pa Ong...? Dia itu... Pamanmu...?"
"Mari kita pulang dulu, nanti kita bicara sampai jelas."
"Pulang?" terharu hati Kim-mo Taisu, karena sesungguhnya, entah sudah berapa lamanya ia tidak mengenal arti kata "pulang" lagi. Sambil menggandeng tangan isterinya dan memondong Eng Eng, Kim-mo Taisu mengangguk dan menjawab, "Marilah!"
"Bu Song, kau ikut dengan kami."
Kata Khu Gin Lin dengan suara halus, akan tetapi Bu Song masih berdiri dengan kepala menunduk.
"Bu Song, hayo ikut, nanti kita main-main di rumah!"
Eng Eng juga berkata, akan tetapi tetap saja Bu Song tidak bergerak dan tidak pula mengangkat muka.
Anak itu sedang dilanda kedukaan hebat. Ia memang ikut bergirang menyaksikan kebahagiaan suhunya yang telah berkumpul kembali dengan isteri dan anaknya, akan tetapi sekaligus peristiwa ini pun mengingatkan ia akan keadaannya sendiri yang jauh ayah jauh ibu, seorang anak yang tidak dapat mengecap kebahagiaan seperti Eng Eng karena ayah bundanya cerai berai. Pula, agaknya suhunya marah kepadanya, dan kalau suhunya sendiri diam saja, bagaimana ia bisa ikut mereka?
Melihat Bu Song diam saja tidak menjawab, Eng Eng lalu melorot turun dari pondongan ayahnya, lari menghampiri Bu Song dan menarik tangannya.
"Hayo, kau ikut! Eh, kau... kau menangis? Kenapa??"
Mendengar ini, kagetlah Kim-mo Taisu. Ia sudah mengenal betul perangai Bu Song, seorang anak yang amat keras hatinya, yang tidak pernah sudi menangis, tabah dan berani luar biasa. Kalau sekarang menangis, benar-benar aneh!
Tadinya, perjumpaannya dengan anak isterinya membuat Kim-mo Taisu sejenak melupakan Bu Song, apalagi karena muridnya itu telah meninggalkannya tanpa pamit. Ia menganggap muridnya sudah tidak suka lagi ikut dengannya, maka iapun tadi tidak mengacuhkannya lagi. Akan tetapi sekarang mendengar bahwa muridnya menangis, ia segera membalikkan tubuh menghampiri Bu Song.
"Bu Song, kau lihat aku!"
Bu Song mengangkat mukanya. Anak ini menggigit bibir menahan air mata dan memandang suhunya dengan mata tajam.
"Ketika aku bicara dengan Beng-kauwcu, kenapa kau lalu pergi meninggalkan aku tanpa pamit? Apakah kau sudah bosan ikut gurumu?"
Bu Song menggeleng kepalanya.
"Teecu tidak bosan, akan tetapi teecu tidak mau bertemu dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan."
"Hehh...?? Kau tahu nama Beng-kauwcu? Mengapa kau tidak mau bertemu dengannya?" Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan merasa heran.
"Karena... karena... dia adalah Kong-kong (kakek) teecu..."
"Apa kau bilang??" Kim-mo Taisu melangkah maju mendekati muridnya lalu berjongkok agar dapat memandang wajah muridnya, baik-baik. "Dia itu Kakekmu? Bu Song, katakanlah siapa nama ayahmu?"
"Ayah teecu Kam Si Ek, akan tetapi teecu tidak mau pulang..., juga teecu tidak mau ikut Kong-kong, teecu hendak mencari ibu..."
Jantung Kim-mo Taisu bedebar-debar keras, lalu ia memeluk Bu Song.
"Ah, mengapa ada peristiwa begini kebetulan? Bu Song... jadi kau anak Lu Sian dan Kam Si Ek...??"
Bu Song meronta dari pelukan suhunya, memandang dengan mata tebelalak.
"Suhu mengenal Ayah dan Ibu?"
"Anak baik, tentu saja aku mengenal mereka!"
"Kalau begitu maaf, teecu tidak dapat ikut Suhu lagi." Anak ini lalu membalikkan tubuhnya dan lari.
Akan tetapi dengan tiga kali lompatan saja Kim-mo Taisu sudah menangkap tangannya.
"Kenapa?"
"Teecu tidak mau Suhu kembalikan ke rumah Ayah atau Kong-kong. Teecu hendak mencari ibu."
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk.
"Baiklah, Bu Song. Aku tidak akan mengantarmu kepada Ayah dan Kakekmu, kau ikut saja dengan kami dan kelak kubantu kau mencari Ibumu."
Kembali ia menghela napas karena teringat akan cerita Pat-jiu Sin-ong Liu Gan bahwa Liu Lu Sian telah meninggalkan suami dan putera, malah telah melakukan hal-hal yang luar biasa di dunia kang-ouw, telah mencuri kitab-kitab dari Beng-kauw sendiri.
Sungguh aneh, mengapa secara kebetulan sekali putera Liu Lu Sian menjadi muridnya? Pantas saja begitu berjumpa dengan anak ini, timbul rasa sayang di hatinya. Kiranya anak ini darah daging Lu Sian! Diam-diam ia menjadi girang sekali dan berjanji kepada diri sendiri untuk mengimbangi Bu Song seperti puteranya sendiri.
Maka turunlah mereka berempat dari puncak dengan wajah bahagia. Kim-mo Taisu tak pernah dilepaskan tangannya oleh isterinya yang kadang-kadang mengucurkan air mata sambil tersenyum-senyum memandangi wajah suaminya yang dirindukannya selama bertahun-tahun. Mereka bergandeng tangan sambil bercakap-cakap menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah. Eng Eng yang sifatnya lincah itu pun menggandeng tangan Bu Song diajak balapan lari atau diajak memetik bunga mengejar kupu-kupu di sepanjang jalan, sambil tertawa-tawa.
Secara singkat Kim-mo Taisu menceritakan pengalamannya sejak keluar dari Neraka Bumi, pengalaman yang penuh kesengsaraan dan kepahitan sehingga membuat isterinya makin sayang kepadanya. Khu Gin Lin ikut mengucurkan air mata mendengar betapa suaminya menyesali diri sendiri sampai menjadi seperti seorang jembel gila.
"Kwee-koko, apakah kau tidak mengenal suaraku?"
"Suaramu seperti... seperti suara Ang-siauw-hwa..."
"Ah, alangkah bodohnya kadang-kadang lelaki yang paling pintar di dunia ini! Agaknya tanpa bukti kau takkan mengerti selamanya. Kwee-koko, kau kenalilah aku?"
Wanita itu dengan gerakan cepat mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, menutupi muka dengan benda itu dan ketika ia menurunkan kedua tangannya, Kim-mo Taisu melompat ke belakang sampai dua meter lebih, berdiri terbelalak dengan muka pucat. Bahwa, ternyata nenek penghuni Neraka Bumi yang kini berdiri di depannya!
"Kau...? Kau....?" Ia berkata, suara menggigil dan kakinya melangkah maju.
Gin Lin melepas kedoknya dan melemparnya jauh-jauh.
"Kwee-koko, apakah kau sekarang mengenalku?" katanya sambil mengembangkan kedua lengannya. "Ah, Kwee-koko, betapa rinduku kepadamu...!"
Kim-mo Taisu berdongak dan tertawa bergelak-gelak,
"Kau rindu....? Ah, dan aku..., aku... ah, sampai gila aku memikirkan kau....!"
Bagaikan didorong tenaga mujijat, keduanya saling tubruk dan saling peluk, berdekapan mesra. Gin Lin menangis terisak-isak sedangkan Kim-mo Taisu masih tertawa-tawa akan tetapi kedua matanya bercucuran air mata ketika mereka berpelukan dan berciuman. Kemudian kim-mo Taisu mengangkat tubuh Gin Lin dan ia menari-nari sambil berputar-putar memondong tubuh "nenek" itu.
"Ha-ha-ha-ha! Dan aku menjadi seperti gila menyesali perbuatanku!"
Gin Lin mengusap-ngusap rambut yang terurai itu.
"Kwee-koko, kenapa kau sampai menjadi begini?"
"Apa seperti jembel ini? Ha-ha-ha, agar tepat dengan keadaanmu sebagai seorang nenek-nenek keriputan. Hanya seorang jembel gila yang begitu buta beristerikan seorang nenek. Kau isteriku, ha-ha-ha! Engkau isteriku tercinta!"
Gin Lin memeluk dan mendekap kepala suaminya dengan terharu sambil menangis sedangkan suaminya masih memondongnya dan berjingkrak-jingkrak kegirangan, juga dengan pipi basah air mata. Mereka lupa diri, lupa segala sehingga tidak ingat bahwa anak perempuan tadi memandang mereka dengan bengong, dan anak itu menangis pula menyaksikan mereka mengucurkan air mata.
"Ibu... Ibu....!" Anak itu memanggil.
Kim-mo Taisu tersentak kaget seperti terpukul dadanya. Ia menurunkan Gin Lin dan terhuyung-huyung mundur dengan wajah pucat.
"Kau.. kau... sudah menjadi isteri orang lain...?"
Gin Lin tersenyum dengan air mata masih bercucuran, lalu menggandeng tangan anak itu.
"Eng Eng, dia ini ayahmu, Nak. Kwee-koko, setelah kau pergi, aku... aku melahirkan anak ini. Hanya karena dialah maka aku merobah tekadku untuk mati di Neraka Bumi, aku membawanya keluar mencarimu. Dia ini anakmu, Kwee-koko."
Terdengar rintihan isak di tenggorokkan Kim-mo Taisu. Ia berlutut, memegang kedua tangan anaknya, memandang wajah yang mungil itu, kemudian ia memondongnya sambil tertawa. Tangan kirinya juga menyambar dan memondong tubuh isterinya. Berganti-ganti ia memandang dan menciumi isteri dan anaknya dengan kebahagiaan hati yang sukar dilukiskan. Ia merasa seakan-akan menerima anugerah yang paling besar dan belum pernah selama hidupnya ia mengalami kebahagiaan seperti saat ini.
"Isteriku....! Anakku...! Ah, Kwee seng... Kwee Seng.. agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadamu...!" katanya, suaranya menggetar penuh keharuan.
"Ayah... sudah lama sekali aku mencari-carimu. Ibu seringkali menangis, katanya kau tidak mau menjadi Ayah Eng Eng. Sekarang Ayah sudah disini, mengapa ibu masih menangis? Apa ayah betul-betul tidak suka kepada Eng Eng?"
Ucapan yang keluar dari bibir mungil itu seperti pisau mengiris jantung Kim-mo Taisu. Terasa olehnya betapa ia telah melakukan dosa besar terhadap Gin Lin yang selain telah menolong nyawanya di Neraka Bumi ternyata masih menaruh cinta kasih yang amat besar kepadanya. Sungguh ia telah berdosa. Andaikata Gin Lin benar-benar seorang nenek sekalipun, ia tidak semestinya meninggalkan seorang yang begitu mencintanya.
"Eng Eng. Alangkah manis namamu. Ayah amat cinta dan sayang kepadamu, anakku!" Ia menciumi pipi anaknya.
"Tapi Ayah mengapa menangis? Ibu juga? Mengapa susah?"
"Ayah tidak susah. Lihat, sekarang aku tertawa, dan Ibumu juga!"
Anak itu memandang ayah dan ibunya, benar saja mereka tersenyum dengan air mata membasahi pipi.
"Suhu...!"
Kwee Seng memandang dan ternyata Bu Song sudah muncul disitu.
"Teecu menghaturkan selamat bahwa Suhu telah dapat berkumpul dengan Subo (Ibu Guru) dan... dan adik puteri Suhu." Kata Bu Song dengan pandang mata sejujurnya dan muka ikut bergembira.
Kim-mo Taisu menurunkan tubuh isterinya perlahan. Sambil memondong Eng Eng ia menghadapi muridnya berkata,
"Bu Song, kenapa kau pergi meninggalkan aku tanpa pamit?"
Mendengar suara ayahnya seperti marah dan melihat Bu Song menundukkan kepala, Eng Eng segera menjawab ayahnya.
"Ayah, jangan marah kepadanya. Dialah yang membawa Ibu dan aku kesini menemui Ayah. Bu Song tidak nakal, dia baik, Ayah!"
"Ehh...??"
Kim-mo Taisu memandang isterinya yang tersenyum dan mengangguk, bahkan isterinya lalu memberi penjelasan.
"Muridmu ini bekerja pada kami, mengambil air dari puncak. Ketika mengangsu air untuk kali terakhir, ia melihat kau berhadapan dengan musuh jahat, maka setibanya di rumah kami ia bertemu denganku dan mengatakan bahwa gurunya Kim-mo Taisu, menghadapi bahaya maka ia harus cepat-cepat pergi dari rumah kami, tidak mau kutahan lagi. Aku memang ada dugaan bahwa Kim-mo Taisu adalah engkau, maka aku lalu mengajak Eng Eng dan bersama Bu Song pergi menyusulmu kesini. Kiranya benar-benar kau berhadapan dengan musuh yang tangguh. Baiknya ada Pamanku Couw Pa Ong yang membantumu."
"Couw Pa Ong...? Dia itu... Pamanmu...?"
"Mari kita pulang dulu, nanti kita bicara sampai jelas."
"Pulang?" terharu hati Kim-mo Taisu, karena sesungguhnya, entah sudah berapa lamanya ia tidak mengenal arti kata "pulang" lagi. Sambil menggandeng tangan isterinya dan memondong Eng Eng, Kim-mo Taisu mengangguk dan menjawab, "Marilah!"
"Bu Song, kau ikut dengan kami."
Kata Khu Gin Lin dengan suara halus, akan tetapi Bu Song masih berdiri dengan kepala menunduk.
"Bu Song, hayo ikut, nanti kita main-main di rumah!"
Eng Eng juga berkata, akan tetapi tetap saja Bu Song tidak bergerak dan tidak pula mengangkat muka.
Anak itu sedang dilanda kedukaan hebat. Ia memang ikut bergirang menyaksikan kebahagiaan suhunya yang telah berkumpul kembali dengan isteri dan anaknya, akan tetapi sekaligus peristiwa ini pun mengingatkan ia akan keadaannya sendiri yang jauh ayah jauh ibu, seorang anak yang tidak dapat mengecap kebahagiaan seperti Eng Eng karena ayah bundanya cerai berai. Pula, agaknya suhunya marah kepadanya, dan kalau suhunya sendiri diam saja, bagaimana ia bisa ikut mereka?
Melihat Bu Song diam saja tidak menjawab, Eng Eng lalu melorot turun dari pondongan ayahnya, lari menghampiri Bu Song dan menarik tangannya.
"Hayo, kau ikut! Eh, kau... kau menangis? Kenapa??"
Mendengar ini, kagetlah Kim-mo Taisu. Ia sudah mengenal betul perangai Bu Song, seorang anak yang amat keras hatinya, yang tidak pernah sudi menangis, tabah dan berani luar biasa. Kalau sekarang menangis, benar-benar aneh!
Tadinya, perjumpaannya dengan anak isterinya membuat Kim-mo Taisu sejenak melupakan Bu Song, apalagi karena muridnya itu telah meninggalkannya tanpa pamit. Ia menganggap muridnya sudah tidak suka lagi ikut dengannya, maka iapun tadi tidak mengacuhkannya lagi. Akan tetapi sekarang mendengar bahwa muridnya menangis, ia segera membalikkan tubuh menghampiri Bu Song.
"Bu Song, kau lihat aku!"
Bu Song mengangkat mukanya. Anak ini menggigit bibir menahan air mata dan memandang suhunya dengan mata tajam.
"Ketika aku bicara dengan Beng-kauwcu, kenapa kau lalu pergi meninggalkan aku tanpa pamit? Apakah kau sudah bosan ikut gurumu?"
Bu Song menggeleng kepalanya.
"Teecu tidak bosan, akan tetapi teecu tidak mau bertemu dengan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan."
"Hehh...?? Kau tahu nama Beng-kauwcu? Mengapa kau tidak mau bertemu dengannya?" Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan merasa heran.
"Karena... karena... dia adalah Kong-kong (kakek) teecu..."
"Apa kau bilang??" Kim-mo Taisu melangkah maju mendekati muridnya lalu berjongkok agar dapat memandang wajah muridnya, baik-baik. "Dia itu Kakekmu? Bu Song, katakanlah siapa nama ayahmu?"
"Ayah teecu Kam Si Ek, akan tetapi teecu tidak mau pulang..., juga teecu tidak mau ikut Kong-kong, teecu hendak mencari ibu..."
Jantung Kim-mo Taisu bedebar-debar keras, lalu ia memeluk Bu Song.
"Ah, mengapa ada peristiwa begini kebetulan? Bu Song... jadi kau anak Lu Sian dan Kam Si Ek...??"
Bu Song meronta dari pelukan suhunya, memandang dengan mata tebelalak.
"Suhu mengenal Ayah dan Ibu?"
"Anak baik, tentu saja aku mengenal mereka!"
"Kalau begitu maaf, teecu tidak dapat ikut Suhu lagi." Anak ini lalu membalikkan tubuhnya dan lari.
Akan tetapi dengan tiga kali lompatan saja Kim-mo Taisu sudah menangkap tangannya.
"Kenapa?"
"Teecu tidak mau Suhu kembalikan ke rumah Ayah atau Kong-kong. Teecu hendak mencari ibu."
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk.
"Baiklah, Bu Song. Aku tidak akan mengantarmu kepada Ayah dan Kakekmu, kau ikut saja dengan kami dan kelak kubantu kau mencari Ibumu."
Kembali ia menghela napas karena teringat akan cerita Pat-jiu Sin-ong Liu Gan bahwa Liu Lu Sian telah meninggalkan suami dan putera, malah telah melakukan hal-hal yang luar biasa di dunia kang-ouw, telah mencuri kitab-kitab dari Beng-kauw sendiri.
Sungguh aneh, mengapa secara kebetulan sekali putera Liu Lu Sian menjadi muridnya? Pantas saja begitu berjumpa dengan anak ini, timbul rasa sayang di hatinya. Kiranya anak ini darah daging Lu Sian! Diam-diam ia menjadi girang sekali dan berjanji kepada diri sendiri untuk mengimbangi Bu Song seperti puteranya sendiri.
Maka turunlah mereka berempat dari puncak dengan wajah bahagia. Kim-mo Taisu tak pernah dilepaskan tangannya oleh isterinya yang kadang-kadang mengucurkan air mata sambil tersenyum-senyum memandangi wajah suaminya yang dirindukannya selama bertahun-tahun. Mereka bergandeng tangan sambil bercakap-cakap menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah. Eng Eng yang sifatnya lincah itu pun menggandeng tangan Bu Song diajak balapan lari atau diajak memetik bunga mengejar kupu-kupu di sepanjang jalan, sambil tertawa-tawa.
Secara singkat Kim-mo Taisu menceritakan pengalamannya sejak keluar dari Neraka Bumi, pengalaman yang penuh kesengsaraan dan kepahitan sehingga membuat isterinya makin sayang kepadanya. Khu Gin Lin ikut mengucurkan air mata mendengar betapa suaminya menyesali diri sendiri sampai menjadi seperti seorang jembel gila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar