Berbahayalah orang yang terlalu lemah menghadapi racun asmara seperti halnya Kwee Seng. Pendekar ini seorang yang kuat lahir batin, namun menghadapi pengaruh asmara, ia roboh. Perasaannya menjadi lemah dan lunak seperti lilin cair dipermainkan tangan-tangan asmara yang jahil.
Kegagalan cinta kasihnya terhadap Ang-siauw-hwa, kemudian pukulan batin oleh asmara yang nakal ketika terjadi peristiwa dengan nenek di Neraka Bumi, benar-benar membuatnya runtuh. Rasa sesal dan malu bercampur aduk sehingga membuat kelakuannya seperti orang gila. Membuat ia merantau tanpa tujuan sampai bertahun-tahun lamanya.
Memang sesungguhnya, tiada seorang pun manusia di dunia ini yang terluput dari pada serangan dan dorongan nafsu yang merobah diri menjadi cinta. Tak seorang pun boleh mengingkari atau menghindarinya, karena hal ini sudahlah wajar. Namun, betapa hebat cinta kasih merangsang hatinya, manusia tetap harus tenang waspada, jangan membiarkan diri diperhamba nafsu, harus tetap berada di atas nafsu dan dapat mengendalikannya.
Nafsu seumpama kuda. Badan wadag (jasmani) seumpama kereta. Nafsulah yang menarik jasmani ke depan sehingga berhasil memperoleh kemajuan jasmani, seperti halnya kuda menarik kereta sehingga dapat maju dengan lancar. Akan tetapi, tanpa ada Sang Kusir yang menguasai kuda itu maka akan berbahayalah jadinya. Sifat kuda memang liar, ganas dan tidak mudah ditundukkan. Sang Kusir inilah rohani yang harus diperkuat dengan kesadaran.
Apabila Sang Kusir kuat dan dapat menguasai keliaran kuda nafsu, maka kuda itu akan dapat dibikin jinak, dapat dikendalikan untuk maju menarik kereta jasmani ke arah jalan yang benar. Sebaliknya, apabila Sang Kusir itu lemah, maka kuda nafsu yang akan menguasai perjalanan, dan akibatnya dapat mengerikan. Kuda liar dapat menarik kereta beserta kusirnya tanpa aturan lagi dan besar kemungkinan akan membawa kereta masuk jurang!
Betapapun juga, terlalu meremehkan cinta kasih seperti halnya Liu Lu Sian, juga berbahaya sekali. Sekali meremehkan cinta kasih murni antara suami isteri, besar kemungkinan orang akan terseret kepada sifat tinggi hati dan memandang cinta sebagai barang permainan dan iseng-iseng belaka! Sifat ini akan menyeret orang untuk berkecimpung ke dalam percintaan hewani yang terdorong oleh nafsu berahi semata.
Liu Lu Sian telah melakukan kesalahan itu. Ia memandang rendah akan cinta kasih suami isteri sehingga ia rela meninggalkan kam Si Ek dan puteranya, mencari kebebasan. Memang hal ini tidak mungkin. Siapapun juga yang telah mengikatkan diri dengan perjodohan, berarti ia mengikatkan diri pula dengan pelbagai kewajiban, tak mungkin dapat bebas lagi kalau ia mau menjadi seorang isteri atau suami yang baik. Lu Sian lari daripada kewajiban-kewajiban yang dianggapnya berat tak menyenangkan itu. Ia lari mencari kebebasan, kebebasan total, juga kebebasan cinta!
Ada juga rasa sesal di hatinya ketika ia meninggalkan rumah, namun rasa ini ia buang jauh-jauh dengan bayangan yang menyenangkan. Betapa pun ia akan bertualang sesuka hatinya. Pergi ke mana pun ia suka. Agak berat hatinya kalau ia teringat kepada Bu Song. Namun, bantah hatinya, Bu Song sudah besar, dan di sana ada ayahnya. Tentu anak itu takkan terlantar. Pula, ia memang hendak mempertinggi ilmunya untuk kelak diwariskan kepada Bu Song. Puteranya harus menjadi ahli silat nomor satu di dunia ini!
Lu Sian berangkat menuju rumah ayahnya di Nan-cao. Ia harus memberitahukan ayahnya tentang perceraiannya dengan Kam Si Ek. Kalau tidak diberitahu dan ayahnya itu datang menjenguknya di rumah Kam Si Ek, tentu ayahnya akan mendapat malu. Selain ini, untuk mempertinggi ilmunya ia harus minta bantuan ayahnya. Ia maklum betapa ayahnya amat kikir dalam hal menurunkan kepandaiannya.
Ketika ayahnya bertanding melawan Kwee Seng, ayahnya dapat mengimbangi kelihaian pendekar itu, sedangkan dia sama sekali tidak berdaya menghadapi Kwee Seng. Kalau ayahnya masih bersikap kikir, ia tahu di mana ayahnya menyimpan kitab-kitab itu, kalau perlu dicurinya.
Ia tidak tergesa-gesa dalam perjalanannya yang amat jauh itu, karena ia hendak menikmati "kebebasannya". Bukan main gembira hatinya ketika ia melihat betapa semua mata, terutama laki-laki, di sepanjang perjalanan menelannya dengan lahap. Teringat ia akan keadaannya dahulu sebelum menjadi isteri Kam Si Ek, di mana semua laki-laki memuja dan memperebutkan cintanya.
Alangkah senangnya dalam keadaan seperti itu. Ia merasa dirinya terangkat tinggi sekali, merasa amat berharga, tidak seperti kalau berada di rumah Kam Si Ek di mana ia hanya terikat oleh kewajiban melayani suaminya seorang dan merawat anaknya.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian mulailah Lu Sian merasa kesepian. Mulai ia merasa rindu akan belaian dan cumbu rayu, akan kasih sayang seorang pria. Ia merasa rindu sekali kepada Kam Si Ek, suaminya yang selalu memperlihatkan kasih sayang mesra terhadap dirinya.
Pada pagi hari itu, Lu Sian duduk termenung di dalam rumah makan. Semalam ia sama sekali tidak tidur dalam rumah penginapan tak jauh dari rumah makan itu. Gelisah semalam suntuk ia bergulingan di atas pembaringan, hatinya penuh rindu berahi kepada suami yang telah ia tinggalkan. Ia malah sampai menangis penuh penyesalan mengapa ia tinggalkan suami dan anaknya. Akan tetapi hatinya yang keras melarangnya untuk kembali, karena ia maklum bahwa di rumah suaminya, segala akan berubah lagi menjadi hambar, sehari-hari hanya berkeliaran di dalam rumah tak pernah dapat menikmati alam bebas.
Hanya semangkok bubur dan daging asin dapat memasuki perutnya. Sehabis makan ia termenung, tak merasa betapa tiga pasang mata pelayan melahap kecantikannya. Rumah makan itu masih kosong, belum ada tamu sepagi itu.
"Bung pelayan, beri aku dua mangkok bubur panas dan arak hangat!"
Tiba-tiba suara ini menyadarkan Lu Sian dari lamunannya. Ia melirik ke kanan dan tampak olehnya seorang laki-laki sudah duduk di depan meja sebelah kanannya, dekat pintu rumah makan.
Karena tenggelam dalam lamunannya, ia sampai tidak tahu bahwa ada tamu memasuki rumah makan itu. Pelayan cepat melayani tamu baru ini dan laki-laki itu makan dengan lahapnya, kelihatannya lapar sekali.
Dari sudut matanya, Lu Sian melihat bahwa laki-laki itu berusia tiga puluh lebih, sikapnya tenang dan wajahnya tampan gagah, akan tetapi seperti diliputi awan kedukaan dan kekuatiran. Tubuh laki-laki itu tegap dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya lapuk, akan tetapi gagangnya yang licin karena sering dipergunakan itu berukirkan kepala burung dewata.
Lu Sian dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah seorang yang pandai ilmu silat, akan tetapi seperti biasa, ia memandang rendah karena selama perjalanan, terlalu banyak ia melihat laki-laki berpedang namun yang tingkat kepandaiannya hanya begitu-begitu saja. Hanya wajah orang itu agak menarik perhatiannya, wajah yang benar-benar gagah, dagunya membayangkan kekerasan hati, wajah yang memiliki kegagahan seperti wajah Kam Si Ek, suaminya.
Pada saat itu terdengar suara nyanyian yang parau dan serak, datangnya dari jalan besar, diselingi suara berketuknya tongkat di atas tanah berbatu. Lapat-lapat terdengar kata-kata dalam nyanyian bersama dari beberapa orang itu, membuat Lu Sian terkejut dan cepat memandang ke luar.
Beratap langit berlantai bumi
Disanalah tempat tinggal kami
Kami tidak punya apa-apa
Makan pakaian kami tinggal minta!
Kekagetan Lu Sian ada sebabnya. Pernah ia mendengar nyanyian sederhana ini dari mulut ayahnya yang memuji nyanyian itu sebagai syair yang baik dan berisi dari Perkumpulan Pengemis Hati Kosong (Khong-sim Kai-pang).
Menurut penuturan ayahnya, diantara perkumpulan-perkumpulan pengemis yang besar-besar, yang paling terkenal dan amat banyak anggotanya, adalah Khong-sim Kai-pang itulah. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan biarpun hanya perkumpulan pengemis, namun sesungguhnya merupakan orang-orang yang menjadi penganut agama gabungan Buddha dan Locu. Karena filsafat Locu, maka mereka namakan diri Pengemis Hati Kosong, dan karena pengaruh ajaran Budhha, maka mereka mengemis ke sana ke mari, hidup sederhana sekali!
Lu Sian masih teringat beberapa tahun yang lalu ayahnya menyatakan bahwa ketua perkumpulan Pengemis Hati Kosong ini adalah Yu Jin Tianglo, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, ahli bermain toya dan tongkat. Biarpun tidak secara resmi, namun pada umumnya para perkumpulan pengemis lain di beberapa propinsi mengakui Khong-sim Kai-pang sebagai partai induk dan semua peraturan mengenai "dunia pengemis" bersumber kepada perkumpulan Pengemis Hati Kosong inilah. Kiranya hanya perkumpulan pengemis Ban-hwa-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga) di pantai timur sajalah yang dapat menandingi kebesaran nama Khong-sim Kai-pang.
Pada saat Lu Sian termenung mengingat cerita ayahnya, suara nyanyian mereka sudah berhenti, tinggal suara ketukan tongkat di atas batu-batu jalan saja yang terdengar, makin lama makin dekat. Ketika Lu Sian melirik ke arah laki-laki gagah di dekat pintu, orang itu juga menggeser kursinya menghadap pintu, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu, tetap tenang dengan awan kedukaan menyelimutinya.
Orang itu masih tetap makan buburnya dengan sumpit, sebentar-sebentar diseling minum araknya. Karena penggeseran kursi itu, maka kini Lu Sian duduknya berhadapan dengan laki-laki itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa laki-laki itu tampan dan gagah, amat menarik hati.
Muncullah kini rombongan penyanyi itu di depan pintu. Mereka terdiri dari tiga orang pengemis, pakaian mereka bermacam-macam akan tetapi kesemuanya sudah rombeng, penuh tambalan, bahkan ada seorang di antara mereka yang kaki celana sebelah kiri buntung sampai di atas lutut. Ada pula yang kaki kanannya telanjang sedangkan kaki kiri bersepatu baru. Orang ke tiga masih muda, biarpun pakaiannya tambal-tambalan dan robek-robek, namun kainnya bersih sekali dan jelas tampak pengemis muda ini "pasang aksi" ketika matanya memandang Lu Sian.
Tiga orang pengemis ini kelihatan tercengang kaget ketika melihat laki-laki tadi, dan segera mereka maju ke depan, mata mereka tiba-tiba mengandung sinar kemarahan, akan tetapi mulut mereka masih senyum-senyum.
Hanya Si Pengemis Muda saja yang kadang-kadang melirik tajam ke arah Lu Sian, agaknya perhatiannya terhadap laki-laki tadi amat terganggu oleh hadirnya Lu Sian yang membetot semangatnya. Pengemis yang bersepatu sebelah itu mengetuk-ngetukkan tongkat berirama, lalu membuka mulutnya bernyanyi, suaranya parau dan dalam seperti suara seekor katak besar.
"Tamu tak diundang datang kemari
apakah hendak menyerahkan diri?"
Laki-laki gagah itu menghabiskan buburnya, lalu berteriak memanggil pelayan dengan suara tenang,
"Heii, Bung Pelayan. Tolong tambah bubur setengah mangkok lagi."
Pelayan segera datang, akan tetapi ketika melirik keluar pintu ia menjadi marah. Setelah mengisi mangkok kosong dengan bubur dan menghidangkannya ke meja Si Laki-laki gagah, pelayan itu lalu mendamprat ke luar pintu.
"Eh, kalian ini bagaimana berani tak tahu aturan begini? Ada tamu sedang dahar, jangan diganggu! Nanti sore saja datang kalau hendak minta sisa..."
Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa pengemis termuda telah mengambil batu dan meremasnya hancur seperti orang meremas tepung saja! Pelayan itu mengenal gelagat, tahu bahwa tiga orang pengemis itu bukan pengemis biasa, maka mukanya menjadi pucat ketika ia menoleh ke arah tamunya yang enak-enak makan kemudian cepat-cepat ia pergi menjauhi.
Pengemis muda itu dengan lagak sombong membuang hancuran batu ke atas tanah, matanya melirik ke arah Lu Sian mengharapkan pujian. Akan tetapi gadis ini melirik pun tidak, melainkan terus memperhatikan Si Laki-laki Gagah, dan di dalam hatinya siap untuk membantu kalau laki-laki itu menghadapi bahaya.
Tanpa mempedulikan teguran pimpinan tadi, pengemis ke dua yang kaki celananya panjang sebelah, menyambung nyanyiannya.
"Menyerahkan diri membayar hutang
baru si Kecil diantar pulang!"
Pengemis muda segera menyambung nyanyian ini, suaranya dibuat-buat dan memang suaranya merdu, matanya melirik Lu Sian dan bibirnya tersenyum-senyum.
"Diantar pulang ke rumah siapa?
Apakah si Manis ada yang punya?"
Mendengar nyanyian terakhir ini, tiba-tiba lelaki itu menoleh ke arah Lu Sian dan dalam beberapa detik dua pasang mata bertemu. Muka lelaki itu menjadi merah, sinar matanya tampak terpesona lalu bingung. Namun jelas bahwa dengan kekerasan hati laki-laki itu dapat menyadarkan kembali kebingungannya karena terpesona oleh kecantikan wajah Lu Sian yang sejak tadi tidak dilihatnya. Ia memaksa mukanya kembali menunduk dan tenang-tenang saja makan buburnya dengan sumpit.
Juga hati Lu Sian berdebar aneh, ketika mereka bertemu pandang tadi. Melihat pandang mata orang itu, ia seperti dapat menjenguk isi hatinya! Jelas sekali laki-laki itu kagum kepadanya. Biasanya, semua laki-laki yang memandangnya tentu kagum dan jatuh hati, akan tetapi hal itu malah membuat Lu Sian kadang-kadang tersenyum mengejek di samping kebanggaannya. Sekali ini tidak. Ia merasa girang sekali!
Kegagalan cinta kasihnya terhadap Ang-siauw-hwa, kemudian pukulan batin oleh asmara yang nakal ketika terjadi peristiwa dengan nenek di Neraka Bumi, benar-benar membuatnya runtuh. Rasa sesal dan malu bercampur aduk sehingga membuat kelakuannya seperti orang gila. Membuat ia merantau tanpa tujuan sampai bertahun-tahun lamanya.
Memang sesungguhnya, tiada seorang pun manusia di dunia ini yang terluput dari pada serangan dan dorongan nafsu yang merobah diri menjadi cinta. Tak seorang pun boleh mengingkari atau menghindarinya, karena hal ini sudahlah wajar. Namun, betapa hebat cinta kasih merangsang hatinya, manusia tetap harus tenang waspada, jangan membiarkan diri diperhamba nafsu, harus tetap berada di atas nafsu dan dapat mengendalikannya.
Nafsu seumpama kuda. Badan wadag (jasmani) seumpama kereta. Nafsulah yang menarik jasmani ke depan sehingga berhasil memperoleh kemajuan jasmani, seperti halnya kuda menarik kereta sehingga dapat maju dengan lancar. Akan tetapi, tanpa ada Sang Kusir yang menguasai kuda itu maka akan berbahayalah jadinya. Sifat kuda memang liar, ganas dan tidak mudah ditundukkan. Sang Kusir inilah rohani yang harus diperkuat dengan kesadaran.
Apabila Sang Kusir kuat dan dapat menguasai keliaran kuda nafsu, maka kuda itu akan dapat dibikin jinak, dapat dikendalikan untuk maju menarik kereta jasmani ke arah jalan yang benar. Sebaliknya, apabila Sang Kusir itu lemah, maka kuda nafsu yang akan menguasai perjalanan, dan akibatnya dapat mengerikan. Kuda liar dapat menarik kereta beserta kusirnya tanpa aturan lagi dan besar kemungkinan akan membawa kereta masuk jurang!
Betapapun juga, terlalu meremehkan cinta kasih seperti halnya Liu Lu Sian, juga berbahaya sekali. Sekali meremehkan cinta kasih murni antara suami isteri, besar kemungkinan orang akan terseret kepada sifat tinggi hati dan memandang cinta sebagai barang permainan dan iseng-iseng belaka! Sifat ini akan menyeret orang untuk berkecimpung ke dalam percintaan hewani yang terdorong oleh nafsu berahi semata.
Liu Lu Sian telah melakukan kesalahan itu. Ia memandang rendah akan cinta kasih suami isteri sehingga ia rela meninggalkan kam Si Ek dan puteranya, mencari kebebasan. Memang hal ini tidak mungkin. Siapapun juga yang telah mengikatkan diri dengan perjodohan, berarti ia mengikatkan diri pula dengan pelbagai kewajiban, tak mungkin dapat bebas lagi kalau ia mau menjadi seorang isteri atau suami yang baik. Lu Sian lari daripada kewajiban-kewajiban yang dianggapnya berat tak menyenangkan itu. Ia lari mencari kebebasan, kebebasan total, juga kebebasan cinta!
Ada juga rasa sesal di hatinya ketika ia meninggalkan rumah, namun rasa ini ia buang jauh-jauh dengan bayangan yang menyenangkan. Betapa pun ia akan bertualang sesuka hatinya. Pergi ke mana pun ia suka. Agak berat hatinya kalau ia teringat kepada Bu Song. Namun, bantah hatinya, Bu Song sudah besar, dan di sana ada ayahnya. Tentu anak itu takkan terlantar. Pula, ia memang hendak mempertinggi ilmunya untuk kelak diwariskan kepada Bu Song. Puteranya harus menjadi ahli silat nomor satu di dunia ini!
Lu Sian berangkat menuju rumah ayahnya di Nan-cao. Ia harus memberitahukan ayahnya tentang perceraiannya dengan Kam Si Ek. Kalau tidak diberitahu dan ayahnya itu datang menjenguknya di rumah Kam Si Ek, tentu ayahnya akan mendapat malu. Selain ini, untuk mempertinggi ilmunya ia harus minta bantuan ayahnya. Ia maklum betapa ayahnya amat kikir dalam hal menurunkan kepandaiannya.
Ketika ayahnya bertanding melawan Kwee Seng, ayahnya dapat mengimbangi kelihaian pendekar itu, sedangkan dia sama sekali tidak berdaya menghadapi Kwee Seng. Kalau ayahnya masih bersikap kikir, ia tahu di mana ayahnya menyimpan kitab-kitab itu, kalau perlu dicurinya.
Ia tidak tergesa-gesa dalam perjalanannya yang amat jauh itu, karena ia hendak menikmati "kebebasannya". Bukan main gembira hatinya ketika ia melihat betapa semua mata, terutama laki-laki, di sepanjang perjalanan menelannya dengan lahap. Teringat ia akan keadaannya dahulu sebelum menjadi isteri Kam Si Ek, di mana semua laki-laki memuja dan memperebutkan cintanya.
Alangkah senangnya dalam keadaan seperti itu. Ia merasa dirinya terangkat tinggi sekali, merasa amat berharga, tidak seperti kalau berada di rumah Kam Si Ek di mana ia hanya terikat oleh kewajiban melayani suaminya seorang dan merawat anaknya.
Akan tetapi, beberapa bulan kemudian mulailah Lu Sian merasa kesepian. Mulai ia merasa rindu akan belaian dan cumbu rayu, akan kasih sayang seorang pria. Ia merasa rindu sekali kepada Kam Si Ek, suaminya yang selalu memperlihatkan kasih sayang mesra terhadap dirinya.
Pada pagi hari itu, Lu Sian duduk termenung di dalam rumah makan. Semalam ia sama sekali tidak tidur dalam rumah penginapan tak jauh dari rumah makan itu. Gelisah semalam suntuk ia bergulingan di atas pembaringan, hatinya penuh rindu berahi kepada suami yang telah ia tinggalkan. Ia malah sampai menangis penuh penyesalan mengapa ia tinggalkan suami dan anaknya. Akan tetapi hatinya yang keras melarangnya untuk kembali, karena ia maklum bahwa di rumah suaminya, segala akan berubah lagi menjadi hambar, sehari-hari hanya berkeliaran di dalam rumah tak pernah dapat menikmati alam bebas.
Hanya semangkok bubur dan daging asin dapat memasuki perutnya. Sehabis makan ia termenung, tak merasa betapa tiga pasang mata pelayan melahap kecantikannya. Rumah makan itu masih kosong, belum ada tamu sepagi itu.
"Bung pelayan, beri aku dua mangkok bubur panas dan arak hangat!"
Tiba-tiba suara ini menyadarkan Lu Sian dari lamunannya. Ia melirik ke kanan dan tampak olehnya seorang laki-laki sudah duduk di depan meja sebelah kanannya, dekat pintu rumah makan.
Karena tenggelam dalam lamunannya, ia sampai tidak tahu bahwa ada tamu memasuki rumah makan itu. Pelayan cepat melayani tamu baru ini dan laki-laki itu makan dengan lahapnya, kelihatannya lapar sekali.
Dari sudut matanya, Lu Sian melihat bahwa laki-laki itu berusia tiga puluh lebih, sikapnya tenang dan wajahnya tampan gagah, akan tetapi seperti diliputi awan kedukaan dan kekuatiran. Tubuh laki-laki itu tegap dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang yang sarungnya lapuk, akan tetapi gagangnya yang licin karena sering dipergunakan itu berukirkan kepala burung dewata.
Lu Sian dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah seorang yang pandai ilmu silat, akan tetapi seperti biasa, ia memandang rendah karena selama perjalanan, terlalu banyak ia melihat laki-laki berpedang namun yang tingkat kepandaiannya hanya begitu-begitu saja. Hanya wajah orang itu agak menarik perhatiannya, wajah yang benar-benar gagah, dagunya membayangkan kekerasan hati, wajah yang memiliki kegagahan seperti wajah Kam Si Ek, suaminya.
Pada saat itu terdengar suara nyanyian yang parau dan serak, datangnya dari jalan besar, diselingi suara berketuknya tongkat di atas tanah berbatu. Lapat-lapat terdengar kata-kata dalam nyanyian bersama dari beberapa orang itu, membuat Lu Sian terkejut dan cepat memandang ke luar.
Beratap langit berlantai bumi
Disanalah tempat tinggal kami
Kami tidak punya apa-apa
Makan pakaian kami tinggal minta!
Kekagetan Lu Sian ada sebabnya. Pernah ia mendengar nyanyian sederhana ini dari mulut ayahnya yang memuji nyanyian itu sebagai syair yang baik dan berisi dari Perkumpulan Pengemis Hati Kosong (Khong-sim Kai-pang).
Menurut penuturan ayahnya, diantara perkumpulan-perkumpulan pengemis yang besar-besar, yang paling terkenal dan amat banyak anggotanya, adalah Khong-sim Kai-pang itulah. Mereka itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi dan biarpun hanya perkumpulan pengemis, namun sesungguhnya merupakan orang-orang yang menjadi penganut agama gabungan Buddha dan Locu. Karena filsafat Locu, maka mereka namakan diri Pengemis Hati Kosong, dan karena pengaruh ajaran Budhha, maka mereka mengemis ke sana ke mari, hidup sederhana sekali!
Lu Sian masih teringat beberapa tahun yang lalu ayahnya menyatakan bahwa ketua perkumpulan Pengemis Hati Kosong ini adalah Yu Jin Tianglo, seorang yang memiliki ilmu silat tinggi, ahli bermain toya dan tongkat. Biarpun tidak secara resmi, namun pada umumnya para perkumpulan pengemis lain di beberapa propinsi mengakui Khong-sim Kai-pang sebagai partai induk dan semua peraturan mengenai "dunia pengemis" bersumber kepada perkumpulan Pengemis Hati Kosong inilah. Kiranya hanya perkumpulan pengemis Ban-hwa-kai-pang (Perkumpulan Pengemis Selaksa Bunga) di pantai timur sajalah yang dapat menandingi kebesaran nama Khong-sim Kai-pang.
Pada saat Lu Sian termenung mengingat cerita ayahnya, suara nyanyian mereka sudah berhenti, tinggal suara ketukan tongkat di atas batu-batu jalan saja yang terdengar, makin lama makin dekat. Ketika Lu Sian melirik ke arah laki-laki gagah di dekat pintu, orang itu juga menggeser kursinya menghadap pintu, akan tetapi wajahnya tidak membayangkan sesuatu, tetap tenang dengan awan kedukaan menyelimutinya.
Orang itu masih tetap makan buburnya dengan sumpit, sebentar-sebentar diseling minum araknya. Karena penggeseran kursi itu, maka kini Lu Sian duduknya berhadapan dengan laki-laki itu dan diam-diam ia harus mengakui bahwa laki-laki itu tampan dan gagah, amat menarik hati.
Muncullah kini rombongan penyanyi itu di depan pintu. Mereka terdiri dari tiga orang pengemis, pakaian mereka bermacam-macam akan tetapi kesemuanya sudah rombeng, penuh tambalan, bahkan ada seorang di antara mereka yang kaki celana sebelah kiri buntung sampai di atas lutut. Ada pula yang kaki kanannya telanjang sedangkan kaki kiri bersepatu baru. Orang ke tiga masih muda, biarpun pakaiannya tambal-tambalan dan robek-robek, namun kainnya bersih sekali dan jelas tampak pengemis muda ini "pasang aksi" ketika matanya memandang Lu Sian.
Tiga orang pengemis ini kelihatan tercengang kaget ketika melihat laki-laki tadi, dan segera mereka maju ke depan, mata mereka tiba-tiba mengandung sinar kemarahan, akan tetapi mulut mereka masih senyum-senyum.
Hanya Si Pengemis Muda saja yang kadang-kadang melirik tajam ke arah Lu Sian, agaknya perhatiannya terhadap laki-laki tadi amat terganggu oleh hadirnya Lu Sian yang membetot semangatnya. Pengemis yang bersepatu sebelah itu mengetuk-ngetukkan tongkat berirama, lalu membuka mulutnya bernyanyi, suaranya parau dan dalam seperti suara seekor katak besar.
"Tamu tak diundang datang kemari
apakah hendak menyerahkan diri?"
Laki-laki gagah itu menghabiskan buburnya, lalu berteriak memanggil pelayan dengan suara tenang,
"Heii, Bung Pelayan. Tolong tambah bubur setengah mangkok lagi."
Pelayan segera datang, akan tetapi ketika melirik keluar pintu ia menjadi marah. Setelah mengisi mangkok kosong dengan bubur dan menghidangkannya ke meja Si Laki-laki gagah, pelayan itu lalu mendamprat ke luar pintu.
"Eh, kalian ini bagaimana berani tak tahu aturan begini? Ada tamu sedang dahar, jangan diganggu! Nanti sore saja datang kalau hendak minta sisa..."
Tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya ketika melihat betapa pengemis termuda telah mengambil batu dan meremasnya hancur seperti orang meremas tepung saja! Pelayan itu mengenal gelagat, tahu bahwa tiga orang pengemis itu bukan pengemis biasa, maka mukanya menjadi pucat ketika ia menoleh ke arah tamunya yang enak-enak makan kemudian cepat-cepat ia pergi menjauhi.
Pengemis muda itu dengan lagak sombong membuang hancuran batu ke atas tanah, matanya melirik ke arah Lu Sian mengharapkan pujian. Akan tetapi gadis ini melirik pun tidak, melainkan terus memperhatikan Si Laki-laki Gagah, dan di dalam hatinya siap untuk membantu kalau laki-laki itu menghadapi bahaya.
Tanpa mempedulikan teguran pimpinan tadi, pengemis ke dua yang kaki celananya panjang sebelah, menyambung nyanyiannya.
"Menyerahkan diri membayar hutang
baru si Kecil diantar pulang!"
Pengemis muda segera menyambung nyanyian ini, suaranya dibuat-buat dan memang suaranya merdu, matanya melirik Lu Sian dan bibirnya tersenyum-senyum.
"Diantar pulang ke rumah siapa?
Apakah si Manis ada yang punya?"
Mendengar nyanyian terakhir ini, tiba-tiba lelaki itu menoleh ke arah Lu Sian dan dalam beberapa detik dua pasang mata bertemu. Muka lelaki itu menjadi merah, sinar matanya tampak terpesona lalu bingung. Namun jelas bahwa dengan kekerasan hati laki-laki itu dapat menyadarkan kembali kebingungannya karena terpesona oleh kecantikan wajah Lu Sian yang sejak tadi tidak dilihatnya. Ia memaksa mukanya kembali menunduk dan tenang-tenang saja makan buburnya dengan sumpit.
Juga hati Lu Sian berdebar aneh, ketika mereka bertemu pandang tadi. Melihat pandang mata orang itu, ia seperti dapat menjenguk isi hatinya! Jelas sekali laki-laki itu kagum kepadanya. Biasanya, semua laki-laki yang memandangnya tentu kagum dan jatuh hati, akan tetapi hal itu malah membuat Lu Sian kadang-kadang tersenyum mengejek di samping kebanggaannya. Sekali ini tidak. Ia merasa girang sekali!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar