Kui Lan Nikouw yang menyaksikan kehancuran rumah tangga sutenya, menjadi ikut berduka. Maka dari itu, dialah yang mendesak kepada Kam Si Ek untuk menikah lagi, karena hal ini selain perlu bagi Kam Si Ek sendiri, juga amat perlu bagi Bu Song.
Anak itu tentu saja memerlukan kasih sayang seorang ibu, dan karena ibunya sendiri sudah pergi meninggalkannya, sebaiknya dicarikan pengganti seorang ibu yang baik budi. Dan pilihan mereka jatuh kepada Ciu Bwee Hwa, puteri tunggal sastrawan Ciu Kwan yang hidup menduda di dusun Ting-chun dikaki Gunung Cin-ling-san di lembah sungai Han.
Upacara pernikahan antara Kam Si Ek dengan Ciu Bwee Hwa, dilangsungkan secara sederhana sekali. Namun karena Kam Si Ek adalah seorang jenderal muda yang terkenal dan disegani, maka tetap saja menjadi meriah dengan datangnya para pembesar dan orang-orang ternama. Akan tetapi, setelah perayaan pesta pernikahan itu selesai, muncullah peristiwa-peristiwa yang membuat hati Kam Si Ek lebih menderita lagi.
Tepat pada malam pernikahannya, ketika para tamu sudah pulang, di waktu malam sunyi dan kedua mempelai sudah memasuki kamar pengantin, tiba-tiba jendela kamar itu diketuk orang dari luar dan ada suara membentak,
"Kam Si Ek, kalau kau benar laki-laki, keluarlah!"
Mendengar suara ini, Ciu Bwee Hwa menjadi pucat dan mempelai wanita ini memegang lengan suaminya sambil berkata, suaranya gemetar,
"Harap jangan layani orang itu...!"
Tentu saja Kam Si Ek menjadi curiga. Sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa, mana mungkin ia tidak melayani orang yang menantangnya seperti itu ? Ia memandang tajam wajah isterinya, lalu bertanya,
"Mengapa ? Siapa dia?" Dalam suaranya jelas terkandung kecurigaan dan penasaran.
Tiba-tiba Ciu Bwee menangis sedih. Lalu terisak-isak berkata,
"Dia... dia... itu Giam Sui Lok, orang sekampung denganku. Dia... seorang jago silat muda di kampung kami... dan dia pernah melamarku akan tetapi... ditolak oleh ayah. Biarpun dia seorang pendekar yang terkenal baik, namun ayah tidak suka... karena dia buta huruf. Ah, dia telah bersumpah hendak menjadi suamiku, harap kau suka menaruh kasihan... dan jangan melayaninya..."
Kam Si Ek mengerutkan keningnya. Mana ada aturan begini? biarpun disebut pendekar oleh isterinya, jelas bahwa pemuda itu seorang yang tidak tahu aturan. Setelah ditolak lamarannya, bagaimana berani bersumpah hendak memusuhi siapapun yang menjadi suami Bee Hwa? Dan kalau dia tidak mau melayaninya, bukankah ia akan disangka pengecut dan penakut ?
“Kau bilanglah terus terang, apakah sebabnya kau melarangku melayaninya? Apakah kau suka kepadanya?"
Bwee Hwa masih menangis ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di depan suaminya.
"Bagaimana kau bisa bilang begitu ? Ahh..., bukankah aku sudah menjadi isterimu ? Jiwa ragaku kuserahkan kepadamu, bagaimana pikiranku dapat mengingat laki-laki lain? Suamiku, aku memohon kau tidak melayaninya, karena aku tidak ingin kalian bertempur, kemudian seorang diantara kalian terluka atau terbunuh. Kau suamiku, tentu saja aku berpihak kepadamu... akan tetapi, dia terkenal sebagai seorang yang gagah dan baik di kampung kami, dia bukan orang jahat..."
Kam Si Ek mengangkat bangun isterinya dan memeluknya.
"Jangan kau kuatir, aku akan menasihatinya, kalau tidak terpaksa, aku takkan bertanding dengannya."
Kembali daun jendela diketuk dari luar.
"Kam Si Ek, aku Gam Sui Lok dari Cin-ling-san ! Ada urusan diantara kita berdua yang harus diselesaikan sekarang juga. Apakah kau benar-benar tidak berani keluar?"
"Hemm, kau tunggulah!"
Kam Si Ek lalu melepaskan isterinya, menyambar senjatanya dan membuka daun jendela, terus melompat keluar.
Di pekarangan belakang rumah, tempat yang sunyi, di bawah sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Sinar mata orang itu muram, akan tetapi wajahnya membayangkan kegagahan dan kejujuran. Biarpun merasa tak senang melihat orang ini begitu tidak tahu aturan, namun sedikitnya Kam Si Ek kagum akan keberanian dan kejujurannya.
"Orang she Giam, baru saja isteriku bercerita tentang dirimu. Kau seorang laki-laki, bagaimana begini tak tahu aturan dan tak tahu malu ? Dia sudah menjadi isteri orang, mengapa kau masih saja mengejar-ngejar ? Apakah di dunia ini hanya ada dia seorang wanita ? Perbuatanmu datang malam ini, benar-benar merupakan penghinaan bagiku, akan tetapi mengingat bahwa kau bertindak karena kebodohanmu, aku mau maafkan dan harap kau segera pergi dari sini, jangan memperlihatkan diri lagi. Perkara ini habis sampai disini saja."
Giam Sui Lok menggertak gigi dan berkata, suaranya lantang penuh kegeraman hati,
"Kam Si Ek, enak saja kau bicara ! Semenjak kecil aku mengenal Bee Hwa, belasan tahun aku melihatnya, aku mimpikan dia, dan ayahnya menolak lamaranku karena aku seorang miskin dan bodoh ! Karena itu aku sudah tak dapat hidup lagi kalau tidak dapat berjodoh dengan Ciu Bwee Hwa. Aku sudah bersumpah akan mati diujung senjata siapa yang menjadi suaminya, atau membunuh suami itu. Sekarang dia menjadi isterimu. Nah, mari kita selesaikan persoalan ini. Kau harus mati di tanganku atau aku yang akan mampus di tanganmu untuk mengakhiri penderitaan batin ini!" Sambil berkata demikian, Giam Sui Lok mencabut goloknya !
Kam Si Ek menjadi marah.
"Kau benar-benar seorang yang berwatak berandalan dan tidak menggunakan aturan."
"Tak perlu banyak cakap, pendeknya berani atau tidak kau mengakhiri urusan ini diujung senjata ? Kalau tidak berani, sudahlah, sedikitnya aku tidak akan menderita lagi karena tahu bahwa ayah Bwee Hwa memilih kau bukan karena kau lebih gagah daripada aku, melainkan karena kau seorang panglima, biarpun hanya panglima pengecut."
"Tutup mulut ! Lihat golokku siap menandingimu!" bentak Kam Si Ek yang juga sudah mencabut golok emasnya.
Giam Sui Lok tertawa bergelak lalu menerjang maju dan terjadilah pertandingan hebat dan seru antara kedua orang itu. Pemuda tinggi besar bermuka hitam itu bertanding dengan nekat, goloknya menyambar-nyambar dengan amat cepat dan kuat agaknya bernafsu sekali untuk segera merobohkan lawan yang amat dibencinya karena telah mengawini wanita yang menjadi idaman hatinya !
Kalau saja ilmu silatnya agak lebih tinggi tingkatnya, agaknya Kam Si Ek akan repot menghadapi terjangan penuh nafsu dan nekat ini. Akan tetapi, ternyata tingkat kepandaian Giam Sui Lok tidaklah sehebat nafsunya, dan dibandingkan dengan Kam Si Ek ia kalah jauh.
Dengan tenang sekali Kam Si Ek menggerakkan golok emasnya menangkis sampai belasan jurus, kemudian setelah ia melihat kelemahan lawan dan banyaknya kesempatan terbuka karena kenekatan itu, mulailah ia menerjang dan membalas.
Akan tetapi Kam Si Ek tidak berniat membunuh lawannya yang sama sekali tidak mempunyai dosa terhadapnya itu, maka setelah melihat kesempatan baik, goloknya menyerempet pangkal lengan kanan lawannya. Giam Sui Lok mengeluh, pangkal lengannya luka dan goloknya terlepas dari pegangan. Ia tidak mengerang kesakitan, menahan rasa nyeri lalu berkata,
"Kau menang. Nah, lekas bacoklah leherku, aku tidak ingin hidup lagi!"
Kam Si Ek tersenyum dan menyimpan goloknya.
"Justeru aku hendak membiarkan kau hidup, sobat ! Kau masih muda dan birlah kau hidup lebih lama untuk menyesali perbuatanmu yang lancang ini. Kelak kau akan merasa malu sendiri akan sepak terjangmu yang bodoh ini. Nah, kau pergilah!"
Giam Sui Lok memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Kam Si Ek ! Aku mengaku kalah dan minta mati, akan tetapi kau membiarkan aku hidup, agaknya kau ingin lebih menyiksaku. Akan tetapi, akan datang saatnya aku kembali mencarimu dan sebelum aku mati di tanganmu atau kau mati di tanganku, aku takkan mau sudah!"
Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri ia menjemput goloknya lalu pergi menghilang di balik gelap malam.
Kam Si Ek berdiri tertegun, hatinya penuh penyesalan. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi, seorang anak kecil berusia sembilan tahun mengintai dari balik semak-semak. Anak ini adalah puteranya sendiri, Kam Bu Song!
Semenjak beberapa hari ini, Bu Song mengunci diri di dalam kamarnya dan menangis saja. Malam ini ia membawa buntalan pakaian, diam-diam keluar dari kamarnya, dan terkejut menyaksikan pertempuran di pekarangan belakang. Ia bersembunyi dan mengintai, kemudian setelah ayahnya kembali ke dalam rumah, ia cepat berlari keluar dan lenyap pula di tempat gelap.
Dapat dibayangkan betapa duka dan bingungnya hati Kam Si Ek. Pernikahannya yang ke dua itu amat cepat disusul dua peristiwa yang mengganjal hatinya. Peristiwa dengan Giam Sui Lok sudah cukup menjengkelkan, akan tetapi peristiwa kedua, larinya Kam Bu Song benar-benar membuatnya berduka dan gelisah sekali. Tentu saja ia segera menyebar orang-orangnya untuk mencari, namun hasilnya sia-sia belaka.
Anak itu tidak dapat ditemukan, seakan-akan ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. Mula-mula ia menyangka bahwa Giam Sui Lok yang melakukan penculikan, akan tetapi ketika ia menyuruh orangnya menyelidik, ternyata Giam Sui Lok kembali ke Cin-ling-san, merawat luka dan memperdalam ilmu silat, sama sekali tidak tahu-menahu tentang lenyapnya Kam Bu Song !
Anak itu tentu saja memerlukan kasih sayang seorang ibu, dan karena ibunya sendiri sudah pergi meninggalkannya, sebaiknya dicarikan pengganti seorang ibu yang baik budi. Dan pilihan mereka jatuh kepada Ciu Bwee Hwa, puteri tunggal sastrawan Ciu Kwan yang hidup menduda di dusun Ting-chun dikaki Gunung Cin-ling-san di lembah sungai Han.
Upacara pernikahan antara Kam Si Ek dengan Ciu Bwee Hwa, dilangsungkan secara sederhana sekali. Namun karena Kam Si Ek adalah seorang jenderal muda yang terkenal dan disegani, maka tetap saja menjadi meriah dengan datangnya para pembesar dan orang-orang ternama. Akan tetapi, setelah perayaan pesta pernikahan itu selesai, muncullah peristiwa-peristiwa yang membuat hati Kam Si Ek lebih menderita lagi.
Tepat pada malam pernikahannya, ketika para tamu sudah pulang, di waktu malam sunyi dan kedua mempelai sudah memasuki kamar pengantin, tiba-tiba jendela kamar itu diketuk orang dari luar dan ada suara membentak,
"Kam Si Ek, kalau kau benar laki-laki, keluarlah!"
Mendengar suara ini, Ciu Bwee Hwa menjadi pucat dan mempelai wanita ini memegang lengan suaminya sambil berkata, suaranya gemetar,
"Harap jangan layani orang itu...!"
Tentu saja Kam Si Ek menjadi curiga. Sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa, mana mungkin ia tidak melayani orang yang menantangnya seperti itu ? Ia memandang tajam wajah isterinya, lalu bertanya,
"Mengapa ? Siapa dia?" Dalam suaranya jelas terkandung kecurigaan dan penasaran.
Tiba-tiba Ciu Bwee menangis sedih. Lalu terisak-isak berkata,
"Dia... dia... itu Giam Sui Lok, orang sekampung denganku. Dia... seorang jago silat muda di kampung kami... dan dia pernah melamarku akan tetapi... ditolak oleh ayah. Biarpun dia seorang pendekar yang terkenal baik, namun ayah tidak suka... karena dia buta huruf. Ah, dia telah bersumpah hendak menjadi suamiku, harap kau suka menaruh kasihan... dan jangan melayaninya..."
Kam Si Ek mengerutkan keningnya. Mana ada aturan begini? biarpun disebut pendekar oleh isterinya, jelas bahwa pemuda itu seorang yang tidak tahu aturan. Setelah ditolak lamarannya, bagaimana berani bersumpah hendak memusuhi siapapun yang menjadi suami Bee Hwa? Dan kalau dia tidak mau melayaninya, bukankah ia akan disangka pengecut dan penakut ?
“Kau bilanglah terus terang, apakah sebabnya kau melarangku melayaninya? Apakah kau suka kepadanya?"
Bwee Hwa masih menangis ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di depan suaminya.
"Bagaimana kau bisa bilang begitu ? Ahh..., bukankah aku sudah menjadi isterimu ? Jiwa ragaku kuserahkan kepadamu, bagaimana pikiranku dapat mengingat laki-laki lain? Suamiku, aku memohon kau tidak melayaninya, karena aku tidak ingin kalian bertempur, kemudian seorang diantara kalian terluka atau terbunuh. Kau suamiku, tentu saja aku berpihak kepadamu... akan tetapi, dia terkenal sebagai seorang yang gagah dan baik di kampung kami, dia bukan orang jahat..."
Kam Si Ek mengangkat bangun isterinya dan memeluknya.
"Jangan kau kuatir, aku akan menasihatinya, kalau tidak terpaksa, aku takkan bertanding dengannya."
Kembali daun jendela diketuk dari luar.
"Kam Si Ek, aku Gam Sui Lok dari Cin-ling-san ! Ada urusan diantara kita berdua yang harus diselesaikan sekarang juga. Apakah kau benar-benar tidak berani keluar?"
"Hemm, kau tunggulah!"
Kam Si Ek lalu melepaskan isterinya, menyambar senjatanya dan membuka daun jendela, terus melompat keluar.
Di pekarangan belakang rumah, tempat yang sunyi, di bawah sinar bulan purnama, ia melihat seorang laki-laki muda yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Sinar mata orang itu muram, akan tetapi wajahnya membayangkan kegagahan dan kejujuran. Biarpun merasa tak senang melihat orang ini begitu tidak tahu aturan, namun sedikitnya Kam Si Ek kagum akan keberanian dan kejujurannya.
"Orang she Giam, baru saja isteriku bercerita tentang dirimu. Kau seorang laki-laki, bagaimana begini tak tahu aturan dan tak tahu malu ? Dia sudah menjadi isteri orang, mengapa kau masih saja mengejar-ngejar ? Apakah di dunia ini hanya ada dia seorang wanita ? Perbuatanmu datang malam ini, benar-benar merupakan penghinaan bagiku, akan tetapi mengingat bahwa kau bertindak karena kebodohanmu, aku mau maafkan dan harap kau segera pergi dari sini, jangan memperlihatkan diri lagi. Perkara ini habis sampai disini saja."
Giam Sui Lok menggertak gigi dan berkata, suaranya lantang penuh kegeraman hati,
"Kam Si Ek, enak saja kau bicara ! Semenjak kecil aku mengenal Bee Hwa, belasan tahun aku melihatnya, aku mimpikan dia, dan ayahnya menolak lamaranku karena aku seorang miskin dan bodoh ! Karena itu aku sudah tak dapat hidup lagi kalau tidak dapat berjodoh dengan Ciu Bwee Hwa. Aku sudah bersumpah akan mati diujung senjata siapa yang menjadi suaminya, atau membunuh suami itu. Sekarang dia menjadi isterimu. Nah, mari kita selesaikan persoalan ini. Kau harus mati di tanganku atau aku yang akan mampus di tanganmu untuk mengakhiri penderitaan batin ini!" Sambil berkata demikian, Giam Sui Lok mencabut goloknya !
Kam Si Ek menjadi marah.
"Kau benar-benar seorang yang berwatak berandalan dan tidak menggunakan aturan."
"Tak perlu banyak cakap, pendeknya berani atau tidak kau mengakhiri urusan ini diujung senjata ? Kalau tidak berani, sudahlah, sedikitnya aku tidak akan menderita lagi karena tahu bahwa ayah Bwee Hwa memilih kau bukan karena kau lebih gagah daripada aku, melainkan karena kau seorang panglima, biarpun hanya panglima pengecut."
"Tutup mulut ! Lihat golokku siap menandingimu!" bentak Kam Si Ek yang juga sudah mencabut golok emasnya.
Giam Sui Lok tertawa bergelak lalu menerjang maju dan terjadilah pertandingan hebat dan seru antara kedua orang itu. Pemuda tinggi besar bermuka hitam itu bertanding dengan nekat, goloknya menyambar-nyambar dengan amat cepat dan kuat agaknya bernafsu sekali untuk segera merobohkan lawan yang amat dibencinya karena telah mengawini wanita yang menjadi idaman hatinya !
Kalau saja ilmu silatnya agak lebih tinggi tingkatnya, agaknya Kam Si Ek akan repot menghadapi terjangan penuh nafsu dan nekat ini. Akan tetapi, ternyata tingkat kepandaian Giam Sui Lok tidaklah sehebat nafsunya, dan dibandingkan dengan Kam Si Ek ia kalah jauh.
Dengan tenang sekali Kam Si Ek menggerakkan golok emasnya menangkis sampai belasan jurus, kemudian setelah ia melihat kelemahan lawan dan banyaknya kesempatan terbuka karena kenekatan itu, mulailah ia menerjang dan membalas.
Akan tetapi Kam Si Ek tidak berniat membunuh lawannya yang sama sekali tidak mempunyai dosa terhadapnya itu, maka setelah melihat kesempatan baik, goloknya menyerempet pangkal lengan kanan lawannya. Giam Sui Lok mengeluh, pangkal lengannya luka dan goloknya terlepas dari pegangan. Ia tidak mengerang kesakitan, menahan rasa nyeri lalu berkata,
"Kau menang. Nah, lekas bacoklah leherku, aku tidak ingin hidup lagi!"
Kam Si Ek tersenyum dan menyimpan goloknya.
"Justeru aku hendak membiarkan kau hidup, sobat ! Kau masih muda dan birlah kau hidup lebih lama untuk menyesali perbuatanmu yang lancang ini. Kelak kau akan merasa malu sendiri akan sepak terjangmu yang bodoh ini. Nah, kau pergilah!"
Giam Sui Lok memandang dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Kam Si Ek ! Aku mengaku kalah dan minta mati, akan tetapi kau membiarkan aku hidup, agaknya kau ingin lebih menyiksaku. Akan tetapi, akan datang saatnya aku kembali mencarimu dan sebelum aku mati di tanganmu atau kau mati di tanganku, aku takkan mau sudah!"
Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri ia menjemput goloknya lalu pergi menghilang di balik gelap malam.
Kam Si Ek berdiri tertegun, hatinya penuh penyesalan. Ia tidak tahu bahwa sejak tadi, seorang anak kecil berusia sembilan tahun mengintai dari balik semak-semak. Anak ini adalah puteranya sendiri, Kam Bu Song!
Semenjak beberapa hari ini, Bu Song mengunci diri di dalam kamarnya dan menangis saja. Malam ini ia membawa buntalan pakaian, diam-diam keluar dari kamarnya, dan terkejut menyaksikan pertempuran di pekarangan belakang. Ia bersembunyi dan mengintai, kemudian setelah ayahnya kembali ke dalam rumah, ia cepat berlari keluar dan lenyap pula di tempat gelap.
Dapat dibayangkan betapa duka dan bingungnya hati Kam Si Ek. Pernikahannya yang ke dua itu amat cepat disusul dua peristiwa yang mengganjal hatinya. Peristiwa dengan Giam Sui Lok sudah cukup menjengkelkan, akan tetapi peristiwa kedua, larinya Kam Bu Song benar-benar membuatnya berduka dan gelisah sekali. Tentu saja ia segera menyebar orang-orangnya untuk mencari, namun hasilnya sia-sia belaka.
Anak itu tidak dapat ditemukan, seakan-akan ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas. Mula-mula ia menyangka bahwa Giam Sui Lok yang melakukan penculikan, akan tetapi ketika ia menyuruh orangnya menyelidik, ternyata Giam Sui Lok kembali ke Cin-ling-san, merawat luka dan memperdalam ilmu silat, sama sekali tidak tahu-menahu tentang lenyapnya Kam Bu Song !
**** 049 ****
Tidak ada komentar:
Posting Komentar