FB

FB


Ads

Rabu, 20 Maret 2019

Suling Emas Jilid 048

Semenjak kerajaan besar Tang yang memerintah selama hampir tiga abad (618-907) roboh oleh Gubernur Cu Bun yang kemudian mengangkat diri sendiri menjadi raja dari Kerajaan Liang Muda, muncul raja-raja kecil di seluruh negara yang jumlahnya sukar dihitung. Di samping perebutan kekuasaan di antara raja-raja kecil ini, banyak pula keluarga Kaisar Tang yang berhasil menyelamatkan diri, dibantu oleh para bekas panglima dan bangsawan, berusaha untuk merebut kembali tahta Kerajaan Tang yang sudah roboh itu.

Seorang pangeran Tang secara diam-diam menghimpun kekuatan dan berhasil menarik tenaga-tenaga ahli, diantaranya bahkan telah mendapat bantuan dari bekas Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang sudah menjadi seorang kakek lumpuh yang sakti dan berjuluk Kong Lo Sengjin, dapat pula menarik bantuan Gubernur Li Ko Yung yang dibantu oleh Jenderal Muda Kam Si Ek, dan masih banyak pula orang-orang gagah yang menganggap bahwa memang Pangeran Tang itu tepat untuk mendirikan kembali Kerajaan Tang setelah berhasil merampas tahta kerajaan dari Pemerintah Liang Muda.

Setelah mengalami perang hebat, yang merupakan perang saudara, maka berhasillah Pangeran Tang itu merobohkan Kerajaan Liang Muda, menghajar habis bala tentaranya dan merampas kota raja Lok-yang. Hal ini terjadi pada tahun 923 sehingga kerajaan Liang Muda itu hanya tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan pertama dari jaman Lima Dinasti, berumur hanya tujuh belas tahun saja (907-923).

Kini pemerintahan dikuasai lagi oleh keluarga Kerajaan Tang, dimulai pada tahun 923 itu dan diberi nama Kerajaan Tang Muda. Akan tetapi ternyata tidaklah seperti Kerajaan Tang yang telah roboh, Kerajaan Tang Muda ini, karena masih terus-menerus timbul rebutan kekuasaan diantara "orang dalam", juga ancaman serangan dari raja-raja kecil masih terus mengepung Kerajaan Tang Muda.

Gubernur Li yang berjasa dalam perjuangan ini, ternyata tidak diberi kenaikan pangkat, tidak ditarik ke kota raja untuk dijadikan menteri, melainkan oleh Raja Tang Muda ditetapkan menjadi Gubernur di Shan-si seperti biasa dan hanya diberi pengampunan atas dosa-dosanya karena dahulu pernah ikut memberontak kepada raja terakhir Dinasti Tang !

Gubernur ini tidak berani membantah secara berterang, namun di dalam hatinya timbul dendam terhadap Kerajaan Tang Muda. Adapun Kam Si Ek yang tenaganya amat dihargai dan terutama sekali masih amat dibutuhkan oleh kerajaan baru ini, Jenderal Kam Si Ek tetap tinggal di Shan-si.

Waktu berjalan dengan amat cepatnya dan sementara terjadi pergantian kekuasaan itu, pernikahan antara Kam Si Ek dan Liu Lu Sian sudah berjalan tujuh tahun dan mereka mempunyai seorang putera berusia enam tahun. Anak ini bernama Kam Bu Song, seorang anak yang sinar matanya tajam membayangkan kecerdasan, wajahnya tampan (lebar dan terang), dan mempunyai tulang dan otot yang kuat, menjadi bahan baik untuk menjadi ahli ilmu silat.

Akan tetapi, Kam Si Ek lebih suka menggembleng puteranya itu dengan ilmu surat lebih dulu, maka sejak berusia lima tahun, Kam Bu Song sudah pandai membaca ribuan huruf.

Suami isteri ini pada tahun-tahun pertama hidup penuh kebahagiaan, berenang dalam madu cinta kasih. Akan tetapi, seperti yang telah dikhawatirkan oleh Pat-jiu Sin-ong, perbedaan watak mereka mulai terasa setelah lewat beberapa tahun.

Dalam soal pendidikan terhadap Bu Song saja, mereka sudah berbeda pendapat dan hal ini sudah menjadi bahan percekcokan. Liu Lu Sian menghendaki puteranya menjadi ahli silat yang kelak akan menjagoi kolong langit, sebaliknya Kam Si Ek berpendapat lain, tidak menyukai puteranya menjadi seorang petualang dunia kang-ouw.

Soal-soal lain yang jelas memperlihatkan perbedaan paham dan kesenangan segera susul-menyusul memperlihatkan diri. Kalau tadinya perbedaan-perbedaan itu masih terselimut cinta kasih mereka yang mesra, lambat laun perbedaan ini terlihat mencolok dan mulai mengganggu perasaan.

Lu sian beberapa kali menyatakan keinginannya merantau, malah mengajak suaminya meninggalkan tugas untuk setahun dua tahun agar mereka dapat mengajak putera mereka merantau dan menambah pengalaman di dunia kang-ouw. Tentu saja Kam Si Ek menolak ajakan ini.

Lu Sian menyatakan bahwa ia ingin sekali memperdalam ilmu kepandaiannya agar kelak dapat diturunkan kepada puteranya atau setidaknya, kelak takkan dapat terhina lagi oleh orang-orang sakti seperti pernah mereka derita ketika mereka bentrok melawan orang-orang sakti, akan tetapi Kam Si Ek menjawab bahwa bukanlah ilmu silat yang dapat melindungi kita, melainkan watak yang baik !

Demikianlah, percekcokan-percekcokan kecil timbul, disusul dengan percekcokan-percekcokan besar, Kam Si Ek yang berwatak keras dan jujur tidak mau mengalah, dan akhirnya tak dapat dicegah lagi rumah tangga yang tadinya penuh kebahagiaan itu menjadi berantakan !






Pada suatu pagi yang cerah, kegelapan meliputi rumah Panglima Kam Si Ek, karena isterinya tidak berada di dalam kamarnya. Liu Lu Sian berjiwa petualang ! Hanya sehelai kertas ditinggalkan berikut beberapa huruf tulisannya.

Kam Si Ek,
Kita berpisah untuk selamanya. Kau boleh menikah lagi dengan seorang yang kau anggap cocok dengan keadaanmu. Aku titip Bu Song, kelak kalau aku sudah berhasil, akan kujemput dia.
Liu Lu Sian

Kam Si Ek menjadi pucat mukanya ketika ia menjatuhkan diri di atas kursi dalam kamar mandi memegang surat itu dengan tangan gemetar. Ia tahu bahwa ia telah salah pilih dalam perjodohan, bahwa watak isterinya itu sama sekali berbeda dengan wataknya, berbeda watak berbeda paham, namun sebagai seorang laki-laki ia menerima penderitaan daripada kesalahan ini dengan hati tabah.

Betapapun juga, ia mencinta isterinya itu dan sekarang, melihat kenyataan pahit bahwa isterinya meninggalkannya, hatinya menjadi kosong dan perasaannya perih. Terbayang percekcokan mereka malam tadi ketika Lu Sian untuk kesekian kalinya membujuknya untuk meletakkan jabatan dan melakukan perantauan.

"Si Ek !" demikian isterinya berkata marah, isterinya itu sejak menikah menyebut namanya begitu saja. "Kau sendiri bilang bahwa Kerajaan Tang Muda ini tidaklah sama dengan Kerajaan Tang yang telah roboh, bahwa kerajaan ini menjadi sarang koruptor dan medan perebutan kekuasaan. Apalagi rajanya mengandalkan bimbingan seorang kejam dan jahat seperti Kong Lo Sengjin, mengapa kau masih mau diperkuda oleh pemerintah macam itu?"

"Lu Sian, isteriku, jangan kau salah mengerti. Aku sama sekali bukan menghambakan diriku kepada orang-orang tertentu, melainkan kepada negara dan bangsaku. Itulah sebabnya mengapa aku bisa mengatakan bahwa Kerajaan Tang Muda ini tetap bukan pemerintahan yang baik, dan sesungguhnya aku sama sekali tidak ikut-ikut dengan kelaliman mereka, aku bertugas menjaga keamanan di perbatasan barat untuk menghalau musuh dari luar yang hendak mengganggu wilayah kita, bertugas mengamankan keadaan daerah ini dari gangguan orang-orang jahat."

"Apa bedanya?" Lu Sian panas dan mukanya merah menambah kecantikannya, "Kau kurung dirimu dengan tugas, dan kau kurung diriku pula dengan kekukuhanmu, Si Ek, kenapa kau tidak mau menerima permintaanku? Ah, kiranya cintamu terhadapku sudah mulai luntur!"

Lu Sian bersungut-sungut, akan tetapi tidak seperti kebiasaan kaum wanita kalau bertengkar, dia tidak menangis.

"Lu Sian, mengapa kau selalu berpemandangan sempit terhadap hubungan suami isteri? Ketahuilah, isteriku. Cinta kasih antar suami isteri haruslah lebih masak, tidak seperti cinta kasih muda-mudi yang belum terikat oleh pernikahan. Cinta muda-mudi masih mentah, hanya terdorong rasa saling suka dan mabuk oleh daya tarik masing-masing. Akan tetapi, cinta kasih suami istri lebih mendalam, lebih matang dan libat-melibat dengan kewajiban, saling berkorban dan mengurangi pementingan diri sendiri. Sekarang ini, aku menjalankan kewajibanku sebagai suami dan ayah, juga sebagai seorang patriot, kau tingal di sisiku melaksanakan kewajiban sebagai isteri dan ibu, apalagi kekurangannya ? Kalau kau ajak aku dan anak kita pergi merantau, bukankah itu berarti kita sama-sama melarikan diri dari pada kewajiban ? Bagaimana pula dengan pendidikan Bu Song? Kau tahu sendiri, anak kita itu maju sekali dalam ilmu surat."

Lu Sian menggebrak meja dengan tangannya sehingga ujung meja tebal itu menjadi somplak!

"Cukup ! Bosan aku mendengar kuliahmu ! Kalau aku tahu bahwa cintamu terhadapku hanya unutk membuat aku terikat kewajiban-kewajiban, tak sudi aku !"

Sambil berkata demikian Lu Sian lari memasuki kamar dan membanting pintu keras-keras.

Kam Si Ek berdiri tercengang dan terpaku memandang meja, berulang kali menarik napas panjang, kemudian ia pun memasuki kamar lain karena tidak mau membuat isterinya makin marah. Ia tahu bahwa kalau sedang marah begitu, isterinya sama sekali tidak suka didekatinya.

Di dalam kamar, Kam Si Ek duduk termenung sampai akhirnya ia tertidur dengan duduk, mukanya disembunyikan di atas kedua lengan. Dan pada pagi harinya, baru ia tahu bahwa isterinya telah pergi meninggalkannya, meninggalkan putera mereka, dan ia yang sudah mengenal baik watak isterinya, tahu pula bahwa percuma saja kalau ia mengejar, percuma pula kalau ia menanti. Isterinya tidak akan mau kembali, karena watak isterinya itu, sekali mengeluarkan kata-kata, akan dipegangnya sampai mati!

Baru tujuh tahun mereka menikah. Ia baru berusia dua puluh sembilan tahun. Lu Sian baru berusia dua puluh lima ! Mereka berdua masih muda dan harus sudah berpisah. Kam Si Ek merasa betapa berat derita hidup yang dialaminya. Apalagi kalau Bu Song, puteranya yang baru berusia enam tahun itu bertanya tentang ibunya, serasa dicabik-cabik hatinya. Puteranya itu cerdik sekali dan agaknya puteranya yang berusia enam tahun itu sudah dapat menduga apa yang terjadi antara ayah dan bundanya.

"Apakah ibu nakal dan ayah mengusirnya ? Apakah kesalahan ibu?"

Berkali-kali Bu Song bertanya, dan selalu Kam Si Ek menjawab bahwa ibunya sedang pergi ke selatan, menengok kakeknya yang sedang menjadi ketua Beng-kauw di Nan-cao.

Bu Song tidak menangis, hanya menyatakan heran dan tidak percaya mengapa ibunya pergi begitu saja tanpa pamit kepadanya, pergi tidak mengajak ayahnya ataupun dia. Ketika anak itu mendesak-desaknya, Kam Si Ek yang sedang pusing dan duka itu, membentaknya dengan keras dan sejak itu Bu Song tidak mau bertanya lagi tentang ibunya, akan tetapi diam-diam anak ini hatinya penuh pertanyaan dan menduga-duga siapa yang bersalah antara ayah dan ibunya. Ia sudah terlalu sering mendengar ayah dan ibunya bercekcok, ia tahu bahwa mereka bertengkar akan tetapi tidak tahu apa urusannya dan tidak tahu pula siapakah sebetulnya yang salah diantara mereka.

Hidup seakan-akan hukuman bagi Kam Si Ek semenjak isterinya pergi meninggalkannya. Setelah Lu Sian pergi, barulah ia merasa betapa sunyi rasanya dan betapa tiada kegembiraan sama sekali dalam hidupnya. Kalau keadaan Kerajaan Tang Muda tidak seburuk itu, agaknya ia akan mendapat hiburan dengan pekerjaannya.

Akan tetapi keadaan Kerajaan Tang Muda ini benar-benar seperti yang digambarkan Lu Sian dalam pertengkaran mereka. Memang betul bahwa Kerajaan Liang yang merobohkan Dinasti Tang itu dapat dihancurkan dan dapat pula didirikan Kerajaan Tang Muda dengan pimpinan para keturunan keluarga Raja Tang, namun keadaannya sudah amat buruk dan rusak.

Pimpinan muda itu hanya sekelompok orang-orang yang mengumbar nafsu, orang-orang yang mengejar kesenangan belaka, mengejar kedudukan dan kemuliaan. Orang-orang yang tadinya menjadi pejuang gagah berani, setelah memperoleh kedudukan dan kemuliaan, menjadi lupa sama sekali akan tujuan perjuangan mereka.

Setiap orang pejuang tadinya bercita-cita menghalau penindas, menghalau kelaliman demi kesejahteraan rakyat jelata, demi nusa dan bangsa. Akan tetapi, begitu para pejuang ini merasai kenikmatan daripada kedudukan dan kemuliaan, maboklah mereka dan lupalah mereka akan cita-cita luhur itu. Masa bodoh rakyat yang melarat tertindas. Masa bodoh orang lain. Aku yang berjuang mati-matian. Aku yang bertaruh nyawa. Aku pula yang harus senang. Mengapa memikirkan orang lain ? Begitulah kira-kira bantahan dan sanggahan mereka apabila sewaktu-waktu suara hati pejuang menuntut mereka di dalam hati sanubari.

Namun, tiada yang kekal di dunia ini. Kesenangan tidak. Kedudukan pun tidak. Semua pasti berakhir, kesenangan dan kesusahan silih berganti mengisi hidup. Semua serba berputar. Selama manusia mengenal suka, tentu ia akan bertemu dengan duka. Siapa yang mengabdi kepada duka, pasti sekali waktu akan diperbudak suka. Inilah hukum timbal balik yang tak terbantahkan lagi. Im Yang ! Titik kedua ujung poros yang memutar segala sesuatu di alam mayapada ini.

Tiga tahun semenjak Lu Sian meninggalkan Kam Si Ek tanpa pernah ada berita, maka Kam Si Ek mengalami pernikahannya yang kedua. Gadis pilihannya kali ini adalah puteri seorang siucai (gelar sastrawan), bernama Ciu Bwee Hwa. Tidak secantik Liu Lu Sian tentu saja karena puteri Beng-kauwcu itu memang memiliki kecantikan yang sukar dicari keduanya, akan tetapi Ciu Bwee Hwa terdidik sebagai seorang wanita yang halus perangainya, bersusila dan berkebudayaan tinggi.

Yang mendesak Kam Si Ek adalah sucinya sendiri, yaitu Lai Kui Lan yang sekarang telah menjadi nikouw (pendeta wanita) di Kelenteng Kwan-im-bio, dan berjuluk Kui Lan Nikouw.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Lai Kui Lan ini pun menjadi korban asmara. Ia jatuh hati kepada Kwee Seng, kemudian patah hati melihat Kwee Seng terjungkal di dalam jurang yang pasti akan membawa maut bagi pendekar itu. Inilah sebabnya mengapa Lai Kui Lan kini menjadi seorang nikouw, setelah ia tertarik oleh ajaran dan ceramah para pendeta wanita yang sering dikunjunginya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar