Lu Sian masih tersenyum-senyum, menyembunyikan pedang di tangannya di belakang tubuh, melangkah mundur dengan gerakan lemah gemulai seperti orang menari sehingga makin menonjollah kecantikan tubuhnya, terus mundur dan kadang-kadang melirik kepada Kam Si Ek yang masih rebah di belakang kakek itu.
Ketika ia melihat Kam Si Ek sudah merayap bangun, meraba-raba dan menemukan kembali goloknya kemudian bangkit berdiri, tangan kanan memegang gagang golok, tangan kiri mengelus-ngelus lehernya yang terasa kaku dan sakit, tiba-tiba Lu Sian menggerakkan tangan kiri yang tadinya bersembunyi di belakang tubuhnya, dibarengi teriakan nyaring.
"Bangsat tua, makanlah ini!"
Sinar merah menyambar ke seluruh tubuh Ban-pi Lo-cia disusul terjangan pedang yang menusuk ke arah muka di antara sepasang alisnya. Inilah serangan hebat sekali ! Ban-pi Lo-cia tengah terpesona oleh kecantikan Lu Sian, maka hampir saja ia menjadi korban serangan ini. Baiknya ia memang amat lihai, begitu melihat kelebatnya jarum dan pedang kesadarannya pulih dan sambil berseru kaget ia mencelat ke belakang, menyampok jarum-jarum dengan lengan bajunya dan menggerakkan cambuk untuk melibat pedang Lu Sian.
Tiba-tiba terdengar angin mendesir di belakangnya, ia cepat mengelebatkan cambuknya membentuk lingkaran lebar dan sekaligus ia sudah dapat menangkis golok di belakangnya dan pedang di depannya.
Segera Lu Sian dan Si Ek, tanpa dikomando lagi, telah mengeroyok Si Kakek Lihai sambil mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga. Maklum bahwa mereka berdua terancam bahaya maut yang hebat, maka mereka menjadi nekat. Mau melarikan diri tak mungkin, walaupun akan kalah, maka mereka kini menyerang dengan jurus-jurus berbahaya, kalau perlu siap mengadu nyawa !
Liu Lu Sian adalah puteri tunggal Pat-jiu-sin-ong, biarpun tingkat kepandaiannya jauh kalah kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, namun ia bukan sembarang lawan dan dapat berbahaya kalau maju secara nekat seperti itu.
Adapun Kam Si Ek, biarpun ilmu silatnya tidak seganas ilmu silat Lu Sian, namun pemuda ini bertenaga besar dan tak mengenal takut. Oleh karena inilah maka tidak mudah bagi Ban-pi Lo-cia untuk merobohkan mereka tanpa melukai berat atau membunuh. Padahal ia tidak sekali-kali bermaksud membunuh Lu Sian yang membuatnya tergila-gila, adapun Kam Si Ek kalau memang tidak dapat ia bujuk tentu akan dibunuhnya.
Setelah mencari akal, tiba-tiba cambuknya yang bernama Lui-kong-pian (Cambuk Kilat) membuat gerakan melingkar-lingkar ke atas dan terdengarlah suara cambuk meledak-ledak seperti petir, kemudian ujung cambuk menyambar bertubi-tubi ke arah kepala Kam Si Ek dan Liu Lu Sian.
Dua orang muda itu kaget sekali. Suara meledaknya cambuk itu seakan-akan memecahkan telinga, maka begitu melihat sinar menyambar ke atas kepala, mereka cepat menangkis dengan senjata. Akan tetapi, golok dan pedang seperti terhisap oleh cambuk, lekat dan tak dapat ditarik kembali.
Mereka berdua mengerahkan tenaga untuk dapat menarik kembali senjata mereka, dan saat ini dipergunakan oleh Ban-pi Lo-cia untuk secara tiba-tiba melepaskan cambuk Lui-kong-pian, tubuhnya segera berjongkok dan kedua lengannya memukul ke depan dengan jari-jari tangan terbuka. Inilah pukulan Hek-see-ciang (Tangan Pasir Hitam) yang luar biasa ampuhnya. Biarpun jarak mereka terpisah antara dua meter, namun begitu angin pukulan menghantam, dua orang muda itu terpental dan terjengkang lalu roboh !
"Hemm, tua bangka tak tahu malu ! Berani kau merobohkan Kam-goanswe yang gagah perkasa?"
Tiba-tiba terdengar angin mendesing dari kiri. Maklum bahwa ini adalah pukulan yang amat hebat. Ban-pi Lo-cia dengan kaget cepat memutar tubuh ke kiri dan menangkis. Dua macam tenaga pukulan sakti bertemu di udara, tidak mengeluarkan suara, akan tetapi akibatnya Ban-pi Lo-cia terhuyung mundur sampai empat langkah. Dan di depannya kini berdiri seorang kakek tua yang rambutnya riap-riapan, berdiri secara aneh karena bukan kedua kakinya yang berdiri, melainkan sepasang tongkat bambu yang menggantikan kedua kakinya yang ditekuk bersila.
"Eh... kau... kau Sin-jiu Couw Pa Ong ? Ha-ha, aku mendengar kau menjadi orang buronan yang lari ke sana ke mari seperti anjing terkena gebuk ? Ha-ha-ha, kedua kakimu lumpuh ? Aduh kasihan, Raja Muda yang malang kini menjadi pengemis lumpuh."
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Ia tidak gentar menhadapi Couw Pa Ong yang kini berjuluk Kong Lo Sengjin karena melihat orang itu sudah lumpuh. Ia maklum bahwa kakek bekas raja muda ini terkenal sekali dengan sepasang tangannya sehingga dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti), akan tetapi andaikata kakek itu belum lumpuh sekalipun ia tidak takut, apalagi sudah lumpuh. Segera ia memegang cambuk kilatnya erat-erat, siap untuk menggempur.
Kong Long Sengjin tidak menjadi marah mendengar makian ini.
"Ban-pi Lo-cia, kau tikus Khitan yang busuk. Mana aku ada waktu melayani segala tikus yang tiada harganya? Akan tetapi jangan kau mencoba mengganggu Kam-goanswe. Dia seorang patriot Ahala Tang, dan aku akan membelanya sampai mati!"
Ban-pi Lo-cia cukup maklum bahwa menghadapi kakek lumpuh ini, biarpun ia tidak akan kalah, namun ia merasa sangsi apakah ia akan dapat merobohkannya cepat-cepat, apalagi kalau dua orang muda itu nanti membantu Si Kakek Lumpuh. Ia memang cerdik. Perlu apa meributkan Kam Si Ek. Terang bahwa jenderal muda itu tidak akan suka membantu Khitan, andaikata ia paksa bawa ke Khitan, akhirnya tentu akan nekat tidak mau membantu.
Tadi pun sudah tampak jelas kekerasan hati pemuda ini. Membunuhnya pun kalau resikonya harus dikeroyok, tidak menguntungkan. Kerajaan di selatan tidaklah berbahaya lagi, mereka saling gempur, saling berebutan kekuasaan, apa perlunya takut akan barisan yang dipimpin Kam Si Ek ? ia lalu tertawa menyeringai.
"Kakek lumpuh, raja jembel ! Siapa butuh dia ? Kau bawalah jenderalmu itu, yang kubutuhkan adalah Si Bidadari!"
Ia menoleh dan memandang kepada Liu Lu Sian dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar.
Pada saat itu, Liu Lu Sian yang sudah sadar lebih dulu, telah lari kepada Kam Si Ek. Pemuda itu masih pingsan, akan tetapi setelah Lu Sian mengurut dada dan menotok tiga jalan darah terpenting, pemuda itu pun siuman dari pingsannya. Untung bahwa mereka tadi terkena pukulan tidak secara langsung, hanya terpukul oleh anginnya saja yang membuat mereka pingsan. Kalau tersentuh tangan Ban-pi Lo-cia dengan pukulannya Hek-see-ciang tentu sukar ditolong nyawa mereka.
Mendengar ucapan dua orang kakek sakti itu, Liu Lu Sian terkejut bukan main. Menghadapi seorang kakek saja sudah repot, apalagi kalau mereka berdua itu maju bersama, seorang menculik Kam Si Ek dan yang seorang pula menculik dia ! Ia tertawa cekikikan sambil menutup mulutnya dan matanya memandang ke arah Kong Lo Sengjin. Dua orang kakek itu terheran, dan Lu Sian segera meloncat berdiri, menudingkan telunjuknya ke arah Kong Lo Sengjin sambil berkata.
"Ayahku Pat-jiu Sin-ong pernah bilang bahwa Sin-jiu Couw Pa Ong adalah seorang patriot yang gagah perkasa dan seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, tidak takut akan setan dan iblis sehingga ayahku kagum sekali. Akan tetapi setelah aku menyaksikan sendiri, hi-hi-hik..." Liu Lu Sian tidak melanjutkan kata-katanya melainkan tertawa lagi terkekeh.
Kong Lo Sengjin mengerutkan keningnya, hatinya serasa dibakar dan ia membentak,
"Budak rendah ! Biarpun kau puteri Pat-jiu Sin-ong aku takut apa ? Mengapa kau mentertawakan aku ? Apanya yang tidak cocok?"
"Kau ternyata seorang yang licik, beraninya hanya membunuhi para pengungsi ! Orang-orang yang tidak bersalah, masih bangsa sendiri pula, karena mereka itu tidak kuat melawanmu, kau bunuhi seperti orang membunuh lalat saja. Akan tetapi sekali ini kau menghadapi seorang Khitan, musuh lama Kerajaan Tang, karena kau tahu bahwa Ban-pi Lo-cia orangnya lihai bukan main, kau lalu mengkeret nyalimu, nyali tikus yang beraninya hanya kepada si lemah. Khitan ini hampir membunuh Jenderal Kam, kau mengalah dan ketakutan. Cihh, mana itu darah pahlawan ? Hi-hi-hik!"
Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang bernama Kong Lo Sengjin adalah seorang bekas raja muda yang selalu dihormati orang. Selama hidupnya baru sekarang ia mendengar olok-olok macam itu terhadap dirinya, maka mukanya segera menjadi merah, dan ia mencak-mencak seperti orang kebakaran jenggot. Matanya bernyala jalang ketika ia menghadapi Ban-pi Lo-cia yang hanya menyeringai penuh ejekan.
"Ban-pi Lo-cia, bersiaplah kau ! Biar aku melawanmu agar jangan ada siluman cilik mengira Kong Lo Sengjin takut menghadapi seekor monyet Khitan!"
Ban-pi Lo-cia tentu saja maklum akan kelicikan Liu Lu Sian yang menggunakan siasat mengadu domba. Akan tetapi ia pun terkenal sebagai tokoh kang-ouw tingkat tinggi, mana bisa ia mengalah terhadap seorang kakek yang sudah lumpuh ? Ia harus memperlihatkan kelihaiannya, setelah merobohkan kakek lumpuh ini, apa sukarnya menangkap Si Gadis Liar dan membunuh Kam Si Ek ?
"Raja Muda bangkrut ! Kau lihat Lui-kong-pian mengambil nyawamu!"
Bentakan ini disusul suara "tar-tar-tar!" keras sekali ketika cambuknya melayang ke atas dan melecut-lecut sambil mengeluarkan bunyi seperti halilintar.
"Ha-ha-ha, kau benar, Ban-pi Lo-cia. Hajar saja kakek lumpuh itu, mana dia kuat melawanmu ?" Liu Lu Sian berseru sambil bertepuk tangan.
Besar hati Ban-pi Lo-cia mendengar gadis itu memihak kepadanya, maka ia makin hebat memutar cambuknya dan menyerang. Di lain pihak, Kong Lo Sengjin yang berwatak angkuh dan tinggi, merasa marah sekali dan ia tidak akan berhenti, tidak akan mau sudah sebelum ia berhasil mengalahkan Ban-pi Lo-cia.
Memang cerdik Liu Lu Sian. Ia memakai taktik memanaskan kedua pihak, sebentar ia memihak Ban-pi Lo-cia, sebentar ia memihak kakek lumpuh sehingga pertandingan di antara kedua orang sakti itu makin menghebat.
Sementara itu, seperti menjadi harapan Lu Sian, pertandingan makin lama makin hebat dan mati-matian sedangkan cuaca menjadi makin gelap, malam pun tiba. Dengan hati-hati Lu Sian mengumpulkan pedang dan golok Kam Si Ek, memberi isyarat supaya pemuda itu tidak banyak bergerak atau bicara, kemudian di dalam gelap ia memegang tangan pemuda itu, menyerahkan goloknya dan mengajaknya pergi dari situ dengan perlahan-lahan dan sedikit-sedikit.
Sementara itu, dua orang kakek yang sudah dibakar perasaannya oleh Lu Sian, telah bertanding dengan hebatnya. Mula-mula Ban-pi Lo-cia menggunakan tangan kosong karena ia memandang rendah kepada lawannya yang sudah lumpuh. Namun tahu bahwa lawannya ini tentu memiliki sin-kang yang kuat, maka dalam serangannya ia mengerahkan tenaga dan menggunakan Hek-see-ciang yang ia andalkan.
Agaknya Ban-pi Lo-cia, seperti biasa menjadi watak tokoh besar yang terlalu percaya kepandaian sendiri, memang sengaja hendak menguji sampai di mana hebatnya Si Kepalan Sakti. Pukulannya Hek-see-ciang yang tadi anginnya saja sudah mampu merobohkan Lu Sian dan Si Ek, kini menghantam ke arah Kong Lo Sengjin.
Hebat memang pukulan Hek-see-ciang dari kakek gundul ini. Tentu dilatih belasan tahun lamanya, dengan latihan mencacah dan memukul pasir besi panas yang tercampur racun kelabang direndam arak tua, maka kini pukulan yang dilancarkan dengan pengaruh tenaga sin-kang, hebatnya luar biasa sehingga tidak aneh kalau orang-orang muda perkasa seperti Lu Sian dan Si Ek tadi roboh hanya oleh anginnya saja.
Namun sekali ini perhitungan Ban-pi Lo-cia meleset. Kong Lo Sengjin tidak percuma dijuluki Sin-jiu atau Kepalan Sakti. Ia memang seorang ahli silat tangan kosong, maka tentu saja ia hafal akan segala macam pukulan berbisa seperti Hek-see-ciang atau Ang-see-jiu, maupun Pek-lek-jiu, malah sudah tahu pula bagaimana harus menghadapi pukulan-pukulan ini.
Kini melihat Ban-pi Lo-cia yang didahului oleh sinar hitam, ia tertawa bergelak, lalu memapaki pukulan itu dengan telapak tangan kanannya setelah memindahkan tongkat kanan ke tangan kiri.
Ban-pi Lo-cia girang melihat ini. Tangan terbuka merupakan sasaran lunak bagi Hek-see-ciang, karena hawa pukulannya akan langsung menembus kulit telapak tangan dan menyerbu ke dalam saluran darah terus ke jantung. Maka ia mengerahkan tenaganya dan memukul telapak tangan itu.
"Dessss...!"
Ban-pi Lo-cia kaget setengah mati karena kepalan tangannya bertemu dengan benda yang lemas lunak seperti kapas dan mendadak ia merasa betapa tenaga pukulannya seperti amblas tanpa dasar, tidak menemui sesuatu. Selagi ia hendak menarik tangannya, tiba-tiba tenaga pukulannya membalik dan menyerang dirinya sendiri melalui kepalan tangannya !
"Celaka...!"
Ia berseru kaget dan cepat lengan kirinya menampar tangan kanannya sendiri sehingga tenaga yang membalik itu tertangkis dan ia segera melempar diri ke belakang sambil bergulingan.
Kiranya kakek buntung itu sudah mempergunakan jurus dari Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang dasarnya memainkan atau mencuri tenaga lawan, kemudian dengan pengerahan tenaga sin-kang ia melontarkan kembali tenaga lawannya yang tadi tenggelam atau tersimpan.
Ketika ia melihat Kam Si Ek sudah merayap bangun, meraba-raba dan menemukan kembali goloknya kemudian bangkit berdiri, tangan kanan memegang gagang golok, tangan kiri mengelus-ngelus lehernya yang terasa kaku dan sakit, tiba-tiba Lu Sian menggerakkan tangan kiri yang tadinya bersembunyi di belakang tubuhnya, dibarengi teriakan nyaring.
"Bangsat tua, makanlah ini!"
Sinar merah menyambar ke seluruh tubuh Ban-pi Lo-cia disusul terjangan pedang yang menusuk ke arah muka di antara sepasang alisnya. Inilah serangan hebat sekali ! Ban-pi Lo-cia tengah terpesona oleh kecantikan Lu Sian, maka hampir saja ia menjadi korban serangan ini. Baiknya ia memang amat lihai, begitu melihat kelebatnya jarum dan pedang kesadarannya pulih dan sambil berseru kaget ia mencelat ke belakang, menyampok jarum-jarum dengan lengan bajunya dan menggerakkan cambuk untuk melibat pedang Lu Sian.
Tiba-tiba terdengar angin mendesir di belakangnya, ia cepat mengelebatkan cambuknya membentuk lingkaran lebar dan sekaligus ia sudah dapat menangkis golok di belakangnya dan pedang di depannya.
Segera Lu Sian dan Si Ek, tanpa dikomando lagi, telah mengeroyok Si Kakek Lihai sambil mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga. Maklum bahwa mereka berdua terancam bahaya maut yang hebat, maka mereka menjadi nekat. Mau melarikan diri tak mungkin, walaupun akan kalah, maka mereka kini menyerang dengan jurus-jurus berbahaya, kalau perlu siap mengadu nyawa !
Liu Lu Sian adalah puteri tunggal Pat-jiu-sin-ong, biarpun tingkat kepandaiannya jauh kalah kalau dibandingkan dengan Ban-pi Lo-cia, namun ia bukan sembarang lawan dan dapat berbahaya kalau maju secara nekat seperti itu.
Adapun Kam Si Ek, biarpun ilmu silatnya tidak seganas ilmu silat Lu Sian, namun pemuda ini bertenaga besar dan tak mengenal takut. Oleh karena inilah maka tidak mudah bagi Ban-pi Lo-cia untuk merobohkan mereka tanpa melukai berat atau membunuh. Padahal ia tidak sekali-kali bermaksud membunuh Lu Sian yang membuatnya tergila-gila, adapun Kam Si Ek kalau memang tidak dapat ia bujuk tentu akan dibunuhnya.
Setelah mencari akal, tiba-tiba cambuknya yang bernama Lui-kong-pian (Cambuk Kilat) membuat gerakan melingkar-lingkar ke atas dan terdengarlah suara cambuk meledak-ledak seperti petir, kemudian ujung cambuk menyambar bertubi-tubi ke arah kepala Kam Si Ek dan Liu Lu Sian.
Dua orang muda itu kaget sekali. Suara meledaknya cambuk itu seakan-akan memecahkan telinga, maka begitu melihat sinar menyambar ke atas kepala, mereka cepat menangkis dengan senjata. Akan tetapi, golok dan pedang seperti terhisap oleh cambuk, lekat dan tak dapat ditarik kembali.
Mereka berdua mengerahkan tenaga untuk dapat menarik kembali senjata mereka, dan saat ini dipergunakan oleh Ban-pi Lo-cia untuk secara tiba-tiba melepaskan cambuk Lui-kong-pian, tubuhnya segera berjongkok dan kedua lengannya memukul ke depan dengan jari-jari tangan terbuka. Inilah pukulan Hek-see-ciang (Tangan Pasir Hitam) yang luar biasa ampuhnya. Biarpun jarak mereka terpisah antara dua meter, namun begitu angin pukulan menghantam, dua orang muda itu terpental dan terjengkang lalu roboh !
"Hemm, tua bangka tak tahu malu ! Berani kau merobohkan Kam-goanswe yang gagah perkasa?"
Tiba-tiba terdengar angin mendesing dari kiri. Maklum bahwa ini adalah pukulan yang amat hebat. Ban-pi Lo-cia dengan kaget cepat memutar tubuh ke kiri dan menangkis. Dua macam tenaga pukulan sakti bertemu di udara, tidak mengeluarkan suara, akan tetapi akibatnya Ban-pi Lo-cia terhuyung mundur sampai empat langkah. Dan di depannya kini berdiri seorang kakek tua yang rambutnya riap-riapan, berdiri secara aneh karena bukan kedua kakinya yang berdiri, melainkan sepasang tongkat bambu yang menggantikan kedua kakinya yang ditekuk bersila.
"Eh... kau... kau Sin-jiu Couw Pa Ong ? Ha-ha, aku mendengar kau menjadi orang buronan yang lari ke sana ke mari seperti anjing terkena gebuk ? Ha-ha-ha, kedua kakimu lumpuh ? Aduh kasihan, Raja Muda yang malang kini menjadi pengemis lumpuh."
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. Ia tidak gentar menhadapi Couw Pa Ong yang kini berjuluk Kong Lo Sengjin karena melihat orang itu sudah lumpuh. Ia maklum bahwa kakek bekas raja muda ini terkenal sekali dengan sepasang tangannya sehingga dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti), akan tetapi andaikata kakek itu belum lumpuh sekalipun ia tidak takut, apalagi sudah lumpuh. Segera ia memegang cambuk kilatnya erat-erat, siap untuk menggempur.
Kong Long Sengjin tidak menjadi marah mendengar makian ini.
"Ban-pi Lo-cia, kau tikus Khitan yang busuk. Mana aku ada waktu melayani segala tikus yang tiada harganya? Akan tetapi jangan kau mencoba mengganggu Kam-goanswe. Dia seorang patriot Ahala Tang, dan aku akan membelanya sampai mati!"
Ban-pi Lo-cia cukup maklum bahwa menghadapi kakek lumpuh ini, biarpun ia tidak akan kalah, namun ia merasa sangsi apakah ia akan dapat merobohkannya cepat-cepat, apalagi kalau dua orang muda itu nanti membantu Si Kakek Lumpuh. Ia memang cerdik. Perlu apa meributkan Kam Si Ek. Terang bahwa jenderal muda itu tidak akan suka membantu Khitan, andaikata ia paksa bawa ke Khitan, akhirnya tentu akan nekat tidak mau membantu.
Tadi pun sudah tampak jelas kekerasan hati pemuda ini. Membunuhnya pun kalau resikonya harus dikeroyok, tidak menguntungkan. Kerajaan di selatan tidaklah berbahaya lagi, mereka saling gempur, saling berebutan kekuasaan, apa perlunya takut akan barisan yang dipimpin Kam Si Ek ? ia lalu tertawa menyeringai.
"Kakek lumpuh, raja jembel ! Siapa butuh dia ? Kau bawalah jenderalmu itu, yang kubutuhkan adalah Si Bidadari!"
Ia menoleh dan memandang kepada Liu Lu Sian dengan mata melotot dan mulut terbuka lebar.
Pada saat itu, Liu Lu Sian yang sudah sadar lebih dulu, telah lari kepada Kam Si Ek. Pemuda itu masih pingsan, akan tetapi setelah Lu Sian mengurut dada dan menotok tiga jalan darah terpenting, pemuda itu pun siuman dari pingsannya. Untung bahwa mereka tadi terkena pukulan tidak secara langsung, hanya terpukul oleh anginnya saja yang membuat mereka pingsan. Kalau tersentuh tangan Ban-pi Lo-cia dengan pukulannya Hek-see-ciang tentu sukar ditolong nyawa mereka.
Mendengar ucapan dua orang kakek sakti itu, Liu Lu Sian terkejut bukan main. Menghadapi seorang kakek saja sudah repot, apalagi kalau mereka berdua itu maju bersama, seorang menculik Kam Si Ek dan yang seorang pula menculik dia ! Ia tertawa cekikikan sambil menutup mulutnya dan matanya memandang ke arah Kong Lo Sengjin. Dua orang kakek itu terheran, dan Lu Sian segera meloncat berdiri, menudingkan telunjuknya ke arah Kong Lo Sengjin sambil berkata.
"Ayahku Pat-jiu Sin-ong pernah bilang bahwa Sin-jiu Couw Pa Ong adalah seorang patriot yang gagah perkasa dan seorang di antara tokoh-tokoh besar di dunia persilatan, tidak takut akan setan dan iblis sehingga ayahku kagum sekali. Akan tetapi setelah aku menyaksikan sendiri, hi-hi-hik..." Liu Lu Sian tidak melanjutkan kata-katanya melainkan tertawa lagi terkekeh.
Kong Lo Sengjin mengerutkan keningnya, hatinya serasa dibakar dan ia membentak,
"Budak rendah ! Biarpun kau puteri Pat-jiu Sin-ong aku takut apa ? Mengapa kau mentertawakan aku ? Apanya yang tidak cocok?"
"Kau ternyata seorang yang licik, beraninya hanya membunuhi para pengungsi ! Orang-orang yang tidak bersalah, masih bangsa sendiri pula, karena mereka itu tidak kuat melawanmu, kau bunuhi seperti orang membunuh lalat saja. Akan tetapi sekali ini kau menghadapi seorang Khitan, musuh lama Kerajaan Tang, karena kau tahu bahwa Ban-pi Lo-cia orangnya lihai bukan main, kau lalu mengkeret nyalimu, nyali tikus yang beraninya hanya kepada si lemah. Khitan ini hampir membunuh Jenderal Kam, kau mengalah dan ketakutan. Cihh, mana itu darah pahlawan ? Hi-hi-hik!"
Sin-jiu Couw Pa Ong yang sekarang bernama Kong Lo Sengjin adalah seorang bekas raja muda yang selalu dihormati orang. Selama hidupnya baru sekarang ia mendengar olok-olok macam itu terhadap dirinya, maka mukanya segera menjadi merah, dan ia mencak-mencak seperti orang kebakaran jenggot. Matanya bernyala jalang ketika ia menghadapi Ban-pi Lo-cia yang hanya menyeringai penuh ejekan.
"Ban-pi Lo-cia, bersiaplah kau ! Biar aku melawanmu agar jangan ada siluman cilik mengira Kong Lo Sengjin takut menghadapi seekor monyet Khitan!"
Ban-pi Lo-cia tentu saja maklum akan kelicikan Liu Lu Sian yang menggunakan siasat mengadu domba. Akan tetapi ia pun terkenal sebagai tokoh kang-ouw tingkat tinggi, mana bisa ia mengalah terhadap seorang kakek yang sudah lumpuh ? Ia harus memperlihatkan kelihaiannya, setelah merobohkan kakek lumpuh ini, apa sukarnya menangkap Si Gadis Liar dan membunuh Kam Si Ek ?
"Raja Muda bangkrut ! Kau lihat Lui-kong-pian mengambil nyawamu!"
Bentakan ini disusul suara "tar-tar-tar!" keras sekali ketika cambuknya melayang ke atas dan melecut-lecut sambil mengeluarkan bunyi seperti halilintar.
"Ha-ha-ha, kau benar, Ban-pi Lo-cia. Hajar saja kakek lumpuh itu, mana dia kuat melawanmu ?" Liu Lu Sian berseru sambil bertepuk tangan.
Besar hati Ban-pi Lo-cia mendengar gadis itu memihak kepadanya, maka ia makin hebat memutar cambuknya dan menyerang. Di lain pihak, Kong Lo Sengjin yang berwatak angkuh dan tinggi, merasa marah sekali dan ia tidak akan berhenti, tidak akan mau sudah sebelum ia berhasil mengalahkan Ban-pi Lo-cia.
Memang cerdik Liu Lu Sian. Ia memakai taktik memanaskan kedua pihak, sebentar ia memihak Ban-pi Lo-cia, sebentar ia memihak kakek lumpuh sehingga pertandingan di antara kedua orang sakti itu makin menghebat.
Sementara itu, seperti menjadi harapan Lu Sian, pertandingan makin lama makin hebat dan mati-matian sedangkan cuaca menjadi makin gelap, malam pun tiba. Dengan hati-hati Lu Sian mengumpulkan pedang dan golok Kam Si Ek, memberi isyarat supaya pemuda itu tidak banyak bergerak atau bicara, kemudian di dalam gelap ia memegang tangan pemuda itu, menyerahkan goloknya dan mengajaknya pergi dari situ dengan perlahan-lahan dan sedikit-sedikit.
Sementara itu, dua orang kakek yang sudah dibakar perasaannya oleh Lu Sian, telah bertanding dengan hebatnya. Mula-mula Ban-pi Lo-cia menggunakan tangan kosong karena ia memandang rendah kepada lawannya yang sudah lumpuh. Namun tahu bahwa lawannya ini tentu memiliki sin-kang yang kuat, maka dalam serangannya ia mengerahkan tenaga dan menggunakan Hek-see-ciang yang ia andalkan.
Agaknya Ban-pi Lo-cia, seperti biasa menjadi watak tokoh besar yang terlalu percaya kepandaian sendiri, memang sengaja hendak menguji sampai di mana hebatnya Si Kepalan Sakti. Pukulannya Hek-see-ciang yang tadi anginnya saja sudah mampu merobohkan Lu Sian dan Si Ek, kini menghantam ke arah Kong Lo Sengjin.
Hebat memang pukulan Hek-see-ciang dari kakek gundul ini. Tentu dilatih belasan tahun lamanya, dengan latihan mencacah dan memukul pasir besi panas yang tercampur racun kelabang direndam arak tua, maka kini pukulan yang dilancarkan dengan pengaruh tenaga sin-kang, hebatnya luar biasa sehingga tidak aneh kalau orang-orang muda perkasa seperti Lu Sian dan Si Ek tadi roboh hanya oleh anginnya saja.
Namun sekali ini perhitungan Ban-pi Lo-cia meleset. Kong Lo Sengjin tidak percuma dijuluki Sin-jiu atau Kepalan Sakti. Ia memang seorang ahli silat tangan kosong, maka tentu saja ia hafal akan segala macam pukulan berbisa seperti Hek-see-ciang atau Ang-see-jiu, maupun Pek-lek-jiu, malah sudah tahu pula bagaimana harus menghadapi pukulan-pukulan ini.
Kini melihat Ban-pi Lo-cia yang didahului oleh sinar hitam, ia tertawa bergelak, lalu memapaki pukulan itu dengan telapak tangan kanannya setelah memindahkan tongkat kanan ke tangan kiri.
Ban-pi Lo-cia girang melihat ini. Tangan terbuka merupakan sasaran lunak bagi Hek-see-ciang, karena hawa pukulannya akan langsung menembus kulit telapak tangan dan menyerbu ke dalam saluran darah terus ke jantung. Maka ia mengerahkan tenaganya dan memukul telapak tangan itu.
"Dessss...!"
Ban-pi Lo-cia kaget setengah mati karena kepalan tangannya bertemu dengan benda yang lemas lunak seperti kapas dan mendadak ia merasa betapa tenaga pukulannya seperti amblas tanpa dasar, tidak menemui sesuatu. Selagi ia hendak menarik tangannya, tiba-tiba tenaga pukulannya membalik dan menyerang dirinya sendiri melalui kepalan tangannya !
"Celaka...!"
Ia berseru kaget dan cepat lengan kirinya menampar tangan kanannya sendiri sehingga tenaga yang membalik itu tertangkis dan ia segera melempar diri ke belakang sambil bergulingan.
Kiranya kakek buntung itu sudah mempergunakan jurus dari Bian-kun (Silat Tangan Kapas) yang dasarnya memainkan atau mencuri tenaga lawan, kemudian dengan pengerahan tenaga sin-kang ia melontarkan kembali tenaga lawannya yang tadi tenggelam atau tersimpan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar