FB

FB


Ads

Senin, 18 Maret 2019

Suling Emas Jilid 042

Ban-pi Lo-cia agak tertegun ketika tubuhnya terpaksa bergerak ke sana kemari dan kedua lengan bajunya berkibar-kibar karena ia gunakan sebagai senjata untuk menghadapi hujan serangan pedang Lu Sian. Ia tertegun karena mengenal ilmu pedang itu.

"Kau... murid Pat-jiu Sin-ong...?"

Tanyanya sambil miringkan tubuh ke kiri disusul kebutan lengan bajunya ke belakang untuk menghalau golok Kam Si Ek.

Lu Sian tersenyum mengejek.
"Ban-pi Lo-cia manusia liar, kau berhadapan dengan puteri tunggalnya!"

"Ahh... ha-ha-ha, bagus sekali!" Ban-pi Lo-cia tertawa keras dan tiba-tiba ia menghentikan semua gerakannya.

Melihat hal ini, Lu Sian dan Kam Si Ek cepat menerjang, pedang Lu Sian membabat ke arah leher disusul dengan tangan kiri, sedangkan Kam Si Ek dari belakang membacokkan goloknya ke arah pinggang. Hebat sekali serangan dua orang muda ini.

Akan tetapi tiba-tiba berkelebat sinar hitam kecil panjang, seperti seekor ular terbang mengitari tubuh Ban-pi Lo-cia. Hebat sekali ini yang ternyata merupakan sehelai cambuk atau tali hitam panjang berkelebatan sambil mengeluarkan suara meledak-ledak seperti petir menyambar. Kam Si Ek berseru kaget karena goloknya sudah terlepas dari tangannya karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh terkena totokan ujung cambuk !

Lu Sian marah sekali, melihat cambuk itu masih mengancam Kam Si Ek ia menubruk maju dengan nekat, menggerakkan pedangnya menusuk ke arah tenggorokan kakek itu untuk dilanjutkan dengan gerakan mengiris ke arah cambuk. Serangan ini benar-benar amat berbahaya dan Ban-pi Lo-cia maklum akan hal ini. Dengan gerakan kaki ringan, kakek itu meloncat ke belakang sampai dua meter lebih dan ketika Lu Sian menerjang maju, tiba-tiba cambuknya mengeluarkan suara keras lalu menyambar ke depan, ujungnya menghantam ke arah muka yang cantik jelita itu.

Kini Lu Sian yang menjadi kaget setengah mati. Bunyi seperti petir dari ujung cambuk itu membingungkannya, apalagi melihat sinar hitam itu berputaran di depan mukanya. Celakalah ia kalau menerima lecutan cambuk ini, tentu akan bercacat ! Karena ini, ia menggerakkan pedang dan tangan kirinya ke depan, pedangnya berusaha membabat cambuk, tangan kirinya menggunakan gerakan Houw-jiauw-kang (Ilmu Mencengkram Kuku Harimau) untuk menangkap cambuk.

Ban-pi Lo-cia terkekeh dan tahu-tahu sinar cambuknya melingkar-lingkar makin lama makin mengecil dan tanpa dapat dihindarkan lagi oleh Lu Sian, kedua lengan gadis itu sudah terlibat cambuk, terus berputar-putar melibat dan membelenggu kedua pergelengan tangannya, Lu Sian mengeluh kaget, pedangnya terlepas dari tangannya dan betapapun ia mengerahkan tenaga untuk membebaskan kedua lengannya, namun sia-sia belaka.

"Huah-hah-hah, manisku, kau hendak lari ke manakah?"

Ban-pi Lo-cia memegangi cambuk atau tali hitamnya itu dengan tangan kiri, kemudian ia melangkah maju dan tangan kanannya dengan jari besar-besar dan penuh bulu itu diulur ke depan, agaknya hendak menangkap tubuh Lu Sian, matanya melotot penuh nafsu.

Melihat muka yang berkulit kasar, mata yang bijinya kemerahan, mulut dengan bibir tebal menyeringai makin mendekatinya, Lu Sian hampir menjerit saking ngeri dan seremnya.

"Binatang, kau lepaskan dia!"

Tiba-tiba Kam Si Ek yang sudah kehilangan goloknya itu meloncat dan menubruk Ban-pi Lo-cia dari belakang !

Tadi jenderal muda ini merasa lengan kanannya lumpuh setelah totokan ujung cambuk sehingga goloknya terlepas. Akan tetapi setelah cambuk itu menyambar ke arah Lu Sian, ia cepat mengerahkan sin-kang ke arah lengan untuk mengusir kelumpuhan. Betapa kagetnya melihat kini Lu Sian yang tertangkap dan agaknya Si Kakek Iblis itu hendak berbuat kurang ajar. Rasa kuatir membuat Kam Si Ek menjadi nekat dan seperti seekor singa muda ia meloncat dan menerkam dari belakang.






Kalau saja ia berada dalam keadaan biasa, tak mungkin Ban-pi Lo-cia dapat diserang secara kasar begini. Akan tetapi pada saat itu, Ban-pi Lo-cia seakan-akan dalam mabok, mabok kecantikan Lu Sian yang membuat semangatnya melayang-layang, apalagi setelah ia berhasil mengikat kedua tangan gadis itu dengan cambuknya. Bagaikan seorang kelaparan melihat panggang ayam di depannya. Ban-pi Lo-cia tidak ingat apa-apa lagi kecuali korbannya. Inilah sebabnya mengapa Kam Si Ek berhasil menerkamnya dan menggulatnya dari belakang.

Pemuda yang bertenaga kuat itu sudah memiting lehernya dari belakang dan menggunakan ilmu gulat yang memang pernah ia pelajari untuk memiting dan mencekik leher Ban-pi Lo-cia !

Kagetlah Ban-pi Lo-cia ketika tahu-tahu punggungnya diterkam dan lehernya dicekik lingkaran tangan yang kuat ! Karena jalan pernapasannya terancam, Ban-pi Lo-cia marah sekali. Sesaat ia melupakan Lu Sian, cambuknya ia tarik kembali dan kedua tangannya bergerak memukul kepala Kam Si Ek di belakangnya dan merenggut lengan yang mencekiknya.

Akan tetapi Kam Si Ek menyembunyikan kepalanya di belakang punggung, memiting dan mencekik terus, bahkan melingkarkan kedua kakinya pada pinggang dan paha lawannya dari belakang. Ia seakan-akan menjadi seekor lintah yang sudah menempel dan lekat, tak dapat dilepaskan lagi !

Menghadapi ilmu gulat macam ini Ban-pi Lo-cia kelabakan. Ia bisa dan berani menghadapi tata kelahi (ilmu silat) dari aliran manapun juga, akan tetapi menghadapi cara berkelahi yang ngawur dan tanpa aturan ini ia benar-benar terkejut sekali.

Pada saat itu, Lu Sian yang sudah terbebas daripada belenggu ujung cambuk, sejenak mengurut-ngurut kedua lengannya yang terasa sakit, kemudian ia menyambar pedangnya lagi dan cepat melakukan serangan tusukan bertubi-tubi, juga membabat lengan kakek itu untuk mencegah Si Kakek lihai ini memukul Kam Si Ek.

Repot juga Ban-pi Lo-cia. Kedua tangannya harus menghadapi pedang Lu Sian di depan yang menyerang seperti seekor burung walet menyambar-nyambar, sedangkan cekikan Kam Si Ek pada lehernya makin mengeras dan kuat sekali.

Sebetulnya dengan mudah Ban-pi Lo-cia akan dapat mengalahkan Lu Sian, akan tetapi karena ia terburu-buru saking gugup dan kuatirnya akan cekikan yang ketat, ia menjadi bingung sendiri, mengebut-ngebutkan kedua lengan baju untuk menghalau lengan Lu Sian tanpa mendapat kesempatan untuk memikirkan daya agar ia terbebas dari cekikan orang muda itu.

Kam Si Ek mengerahkan seluruh tenaganya. Niatnya hanya satu, yakni mematahkan tulang leher lawannya ! Tenaga jenderal muda ini memang besar sekali ! kalau yang ia piting lehernya itu bukan Ban-pi Lo-cia, tentu leher itu sudah patah tulangnya karena tenaga pitingan Kam si Ek ini mampu mematahkan tulang seekor harimau !

Akan tetapi Ban-pi Lo-cia bukan seekor harimau, bukan pula manusia biasa, melainkan seorang tokoh persilatan yang tinggi ilmunya dan amat kuat tenaganya. Ia pun cerdik. Hanya sebentar saja ia bingung. Segera ia mengerti bahwa kalau ia gugup, akan celakalah dia. Maka kini cambuknya kembali melecut-lecut dan mengeluarkan bunyi seperti petir menyambar, membentuk lingkaran-lingkaran dan di lain saat ujung cambuknya telah melibat pedang Lu Sian dan merampas pedang itu, kemudian ujung cambuk yang melibat pedang itu menyambar pula sehingga pedang itu seakan-akan dimainkan tangan menikam ke arah Lu Sian.

"Ayaaaa....!"

Lu sian terpaksa mengelak mundur, akan tetapi pedang itu terus mengejarnya, menikam bertubi-tubi sehingga gadis ini terpaksa menggulingkan dirinya dan menjauhi lawan. Saat inilah dipergunakan Ban-pi Lo-cia untuk menggunakan tangan kirinya menotok jalan darah di dekat siku lengan Kam Si Ek yang mengempit lehernya.

Ditotok jalan darahnya, seketika lumpuhlah lengan Kam Si Ek dan otomatis kempitannya pada leher juga terlepas. Dengan penuh amarah Ban-pi Lo-cia merenggutkan diri terlepas lalu membalik dan sekali tangan kirinya menampar, pundak Kam Si Ek kena pukulan dan pemuda itu terguling roboh !

"Bocah setan ! Ditawari kemuliaan kau memilih kematian. Kau hendak mencekik aku, hendak membuatku menjadi mayat dengan mata melotot dan lidah keluar, ya ? Mari kita lihat, siapa yang akan mampus menjadi setan penasaran!"

Ia menubruk maju dan di lain saat ia sudah menindih tubuh Kam Si Ek dan mencekik leher pemuda itu dengan lengan kanannya yang berjari besar-besar dan berbulu ! Tangan kirinya memegang cambuk dan ia tertawa bergelak-gelak ketika kedua tangan Kam Si Ek berusaha melepaskan cekikannya.

"Iblis tua, lepaskan dia!"

Liu Lu Sian terkejut sekali melihat pemuda itu tercekik, maka cepat ia menyambar pedangnya yang tadi dilepaskan libatan cambuk, lalu ia menerjang maju dengan nekat untuk menolong pemuda pujaan hatinya.

“Heh-heh-heh, kau bersabar dan tunggulah, manis ! Nanti kita bersenang-senang kalau bocah ini sudah kucekik sampai melotot matanya, keluar lidahnya dan melayang nyawanya ! Ha-ha-ha!"

Kakek gundul ini menggunakan cambuk di tangan kirinya untuk menangkis setiap kali pedang Lu Sian menyambar.

Kam Si Ek tahu bahwa nyawanya berada dalam cengkraman maut. Ia mengerahkan tenaga pada kedua tangannya, berusaha sekuatna untuk merenggut lepas lengan tangan yang mencekiknya. Namun hasilnya sia-sia belaka, karena tangan kakek yang kuat itu tidak dapat direnggutnya. Ia sudah hampir tidak tahan lagi, tak dapat bernapas, pandang matanya sudah berkunang, telinganya penuh suara melengking tinggi, kepalanya serasa membesar dan hampir meledak.

Tadinya ia mengharapkan bantuan Lu Sian, akan tetapi gadis itu pun tidak berdaya menolongnya, selalu tertangkis cambuk, habislah harapan Kam Si Ek. Ia merasa menyesal sekali, bukan menyesal harus mati. Bagi seorang gagah, kematian bukanlah apa-apa. Akan tetapi sebagai seorang panglima perang, ia ingin mati di dalam perang, bukan mati di tangan kakek ini yang berarti mati konyol bagi seorang pejuang. Lebih menyesal lagi hatinya Lu Sian itu pun menghadapi bencana yang agaknya akan lebih hebat daripada maut !

Tiba-tiba wajah Kam Si Ek yang sudah merah itu membayangkan kekagetan. Pada saat itu ia tengah memandang ke arah Liu Lu Sian dan kini hendak melihat apa yang akan dilakukan oleh gadis itu, ia berteriak sekuatnya.

"Jangan...!"

Akan tetapi teriakannya terhenti di tenggorokan yang terjepit erat oleh jari tangan Ban-pi Lo-cia.

"Brett...! Breettt ! Ban-pi Lo-cia, kau lihatlah ke sini dan lepaskan dia...!"


Mendengar suara kain robek dan suara Lu Sian menggetar, Ban-pi Lo-cia tertarik dan menoleh. Matanya yang sudah lebar makin melebar, mulutnya terbuka dan ujung bibirnya penuh air liur ketika ia melihat nona itu merobek bajunya sendiri sehingga baju bagian dada terobek lebar memperlihatkan baju dalam berwarna merah muda yang membayangkan kulit tubuh putih dengan bentuk menggiurkan.

"Kau masih belum mau melepaskannya?"

Suara Lu Sian merdu dan diucapkan dengan mulut menyungging senyum manis ditambah lirikan mata memikat.

"Heh-heh-heh... ah, hebat kau...!"

Ban-pi Lo-cia lupa kepada Kam Si Ek dan bagaikan dalam mimpi ia bangkit meninggalkan pemuda itu, kini ia terkekeh, matanya tak pernah berkedip menelan gadis di depannya, kakinya melangkah ke depan dan kedua tangannya dikembangkan siap untuk menubruk dan memeluk.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar